• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : ANALISA YURIDIS HUKUM POSITIF DAN HUKUM

E. Analisis Hasil Penelitian

3. Vonis Hakim

Vonis hakim dalam putusan No. 054/PID/B/1997/PN.JKT-BAR. Setelah membaca surat-surat perkara, mendengar keterangan saksi-saksi dan terdakwa, menimbang dan seabagainya, majekis hakaim memutuskan bahwa terdakwa Boy Santoso, telah terbukti secara sahd an meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana perkosaan dan menghukum oleh karena itu terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun, dan membebankan kepada tedakwa untuk membayar ongkos perkara sebesar Rp. 500,- (lima ratus rupiah).

E. Analisis Hasil Penelitian 1. Analisis Hukum Positif

Hakim dalam memutuskan perkara berdasarkan fakta atau peristiwa sebagai duduk perkara yang dapat diketahui dari alat-alat bukti yang ada di persidangan. Meskipun demikian, hakim bukanlah malaikat yang bebas dari berbagai kekhilafan atau bahkan justru kesalahan sehingga terkadang putusan tersebut belum memuaskan.

Sebagaimana putusan yang dijatuhkan oleh Ketua Majelis Soeratno SH, hakim anggota H.A Pardede SH, dan Ny. Vitalien Mahyani SH, setelah membaca surat-surat perkara, mendengar keterangan saksi dan terdakwa, menimbang dan sebagainya memutuskan bahwa terdakwa Boy Santoso, telah terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana perbuatan

84

cabul, dan menghukum oleh karena itu terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun, dan membebankan kepada terdakwa untuk membayar ongkos perkara sebesar Rp. 500,- (lima ratus rupiah).

Dalam putusan ini terdapat kejanggalan yakni dalam hal ini Ketua Majelis memvonis terdakwa dengan pasal 289 KUHP (dakwaan lebih subsider), dan tidak mengabulkan dakwaan primer dan subsider yakni pasal 285 dan 286 KUHP. Adapun alasan-alasan yang menyebabkan putusan tersebut terdapat kejanggalan adalah :

Petama, dari kerangan saksi-saksi, keterangan-keterangan ahli dan petunjuk-petunjuk yang saling bersesuaian dipersidangan pasal 285 dan 286 terbukti, dimana salah satu unsur dalam pasal 285 dan 286 yakni unsur bersetubuh adalah terbukti, karena berdasarkan keterangan saksi korban bahwa batang kemaluan terdakwa yang sudah tegang dipaksakan masuk kedalam lubang kemaluan saksi, hingga akhirnya saksi korban menjerit sekuatnya “AU…..AU… karena merasakan sakitnya. Dari sini dapat diketahui bahwa terdakwa telah benar-benar memasukan batang kemaluannya dan melakukan persetubuhan.

Sebagaimana yang terdapat dalam pada pasal 183 KUHP bahwa : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabia sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tinak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah

85

melakukannya.” Jadi dalam hal ini pasal 285 dan 286 terbukti karena terdapat dua ala bukti yakni keterangan saksi dan petunjuk.

Kedua, dalam hal penjelasan tentang keadaan-keadaan yang memberatkan hukuman bagi terdakwa, Ketua Majelis tidak melakukananya dengan maksimal. Ketua majelis hanya menyebutkan tiga point, yakni : terdakwa kurang bermoral, seharusnya melindungi korban karena ia anak idiot dan adik iparnya, kurang bertanggung jawab terhadap keluarga. Seharusnya dalam pemberatan hukuman Ketua Majelis mempertimbangkan yakni : akibat dari perbuatan yang dilakukan terdakwa menimbulkan trauma dan rasa takut pada diri saksi korban, perbuatan terdakwa juga menimbulkan keresahan pada diri keluarga dan orang tua saksi korban. Terlebih lagi mengingat saksi korban adalah anak idiot, yang patut dilindungi dari kejahatan apapun, termasuk kejahatan seksual, yang memiliki dampak psikis yang lebih fatal bagi saksi korban.

Menurut pendapat R. Sugandhi menunjuk pada suatu perkosaan yang terjadi secara tuntas, artinya pihak pelaku (laki-laki pemerkosa) telah selesai melakukan perbuatannya hingga selesai (mengeluarkan air mani). Jika hal ini tidak sampai terjadi, maka secara eksplisit apa yang dilakukan laki-laki itu belum patut untuk dikataegorikan sebagai perkosaan.

Pendapat seperti ini belum tentu sama dan disepakati oleh para ahli-ahli lainnya. Ada ahli yang berpendapat, bahwa perkosaan tidak selalu harus mengeluarkan air mani (sperma). Cukup dengan pemaksaan persetubuhan

86

(sampai alat kelamin laki-laki masuk kedalam alat kelamin perempuan), maka hal itu sudah disebut sebagai perkosaan.

Akan tetapi apabila pelaku tidak berhasil memasukkan penisnya kedalam vagina korban, karena korbannya telah memberikan perlawanan atau telah meronta-ronta maka pelaku dapat dipersalahkan telah melakukan suatu ‘percobaan perkosaan’. Dan dapat dijatuhi hukum penjara selama delapan tahun yakni sesuai dengan pidana pokok terberat yang diancamkan dalam pasal 285 KUHP dikurangi dengan sepertiganya.

Bila kita bandingkan sanksi pidana yang telah dijatuhkan oleh Majelis Hakim dengan tuntutan dari jaksa penuntut umum terhadap para terdakwa dapat perbedaan yang mendalam. Pidana yang dijatuhkan majelis hakim jauh sekali dari tuntutan jaksa penuntut umum, dengan putusan majelis hakim itu tersirat adanya perlindungan yang berlebihan terhadap pelaku perkosaan, Karena pidana yang dijatuhkan belum sebanding dengan penderitaan yang harus ditanggung oleh korban. Mungkinkah dalam waktu yang relatif singkat korban dapat menghilangkan trauma yang dialaminya serta akibat-akibat lain yang dideritanya. Akan terasa kurang adil bila pihak perkosaan menebus kesalahan dari perbuatan yang dilakukannya hanya dalam waktu yang relatif singkat.

Menurut beberapa ahli Sosiologi maupun Psikologi mengatakan bahwa pidana terhadap para pelaku tindak pidana perkosaan di Indonesia masih

87

cukup rendah. Hal ini akan lebih dirasakan oleh korban perkosaan yang harus menanggung segala penderitaan akibat kejadian tersebut.

Disamping itu, bila dilihat dari sudut kepentingan masyarakat banyak, perbuatan tindak pidana perkosaan merupakan perbuatan yang tidak bermoral bahkan dapat dikatakan biadab. Perbuatan tersebut dapat menimbulkan keresahan bagi masyarakat umum khususnya perempuan. Jika hal-hal tersebut benar-benar diperhatikan dan dipertimbangkan, maka pidana penjara yang dijatuhkan kepada terdakwa pada kasus-kasus diatas belum dapat dikatakan adil (dilihat dari pihak korban). Untuk menghilangkan cap dari masyarakat awam tentang pemidanaan di Indonesia terhadap tindak pidana perkosaan yang dirasakan terlalu ringan dan sama sekali belum memperhatikan kepentingan korban. Maka wajarlah kiranya hanya suara-suara yang berpendapat agar pidana terhadap para pelaku perkosaan diperberat dan diberikannya hak kepada korban untuk menuntut ganti rugi atas kerugian yang dideritanya, baik kerugian fisik maupun kerugian psikis.

Apabila dikaitkan dengan kondisi saat ini, sejumlah perbuatan harus dilakukan untuk menyelaraskan KUHP dengan berbagai perkembangan yang telah ada, kalau perlu mencontoh apa yang ada diluar negeri. Tentunya dengan menyesuaikan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat Indonesia.

Akhirnya penulis berpendapat, ada beberapa hal pokok yang berkaitan dengan sanksi pidana yang dijatuhkan hakim terhadap pelaku tindak pidana perkosaan yang dirasakan oleh korban perkosaan sebagai suatu ketidak adilan,

88

karena sanksi pidana itu terlalu ringan dan sama sekali tidak memperhatikan kepentingan korban perkosaan. Hal-hal tersebut adalah sebagai berikut :

1. Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutannya jarang sekali menuntut dengan ancaman pidana maksimal, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 285 KUHP yaitu dua belas tahun pidana.

2. Majelis Hakim dalam menjatuhkan vonis terhadap terdakwa pelaku tindak pidana perkosaan, hukuman yang diajtuhkan sering kali ringan dari sanksi pidana yang dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum.

3. Perbedaan dengan ancaman hukuman maksimal terhadap pelaku perkosaan dalam pasal 285 KUHP dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum, maupun dengan vonis yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim terhadap pelaku perkosaan sangatlah sulit.

4. Pasal 285 KUHP hanya baru memperhatikan panghukuman terhadap pelaku perkosaan, sama sekali belum memperhatikan kepentingan korban perkosaan.

5. Penjatuhan pidana penjara oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana perkosaan, merupakan puncak pelayanan oleh Negara terhadap korban perkosaan.

6. Dalam proses peradilan terhadap pelaku tindak pidana perkosaan korban sangat tertekan, karena dalam setiap peristiwa perkosaan yang menimpa dirinya dan hal ini sudah dimulai dari tingkat penyidikan di kepolisian dan pengadilan.

89

2. Analisis Hukum Islam

Dalam konteks hukum pidana Islam ternyata istilah perkosaan sulit dicari padanya namun dapat dikatakan sebagai zina dengan paksaan, jika dilihat dari hukum pidana Islam, maka tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa Boy Santoso merupakan hukum pidana yang dapat dikenakan had. Tindak pidana perkosaan termasuk kedalam salah satu kategori jarimah hudud. Dimana jarimah tersebut adalah hak Allah secara mutlak. Sanksi hukuman perkosaasn selain dihukum seperti pelaku zina ditambah dengan hukuman ta’zir sebagai hukuman atas pemaksaan, kekerasan atau ancaman yang dilakukan untuk memperlancar perkosaan.

Apabila kasus perkosaan itu betul-betul memenuhi syarat dan dapat dibuktikan kebenarannya sebagaimana dalam ketentuan yang telah ditetapkan, maka pelaku tindak pidana perkosaan Boy Santoso dapat dijatuhi sanksi-sanksi dengan ketentuan sebagai berikut :

a. Sanksi Rajam

Hukuman rajam bagi orang yang memperkosa, dalam bentuk lemparan batu sampai orang yang memperkosa tersebut mati, pelemparan batu dimaksudkan agar terpidana dapat merasakan kesakitan sedikit demi sedikit dan juga berlangsung penyiksaan lebih lama. Hukuman rajam ini hanya diberikan kepada orang yang muhsan.

90

Hukuman dera adalah hukuman cambukan sampai seratus kali, pada pelaksanaan sanksi hukuman ini sama sekali tidak mempunyai motif pembunuhan. Namun dalam hukuman ini tidak menutup kemungkianan bahwa orang yang dihukum sebelum mencapai bilangan 100, pelaku bisa saja meninggal terlebih dahulu. Hukuman dera ini berlaku bagi pemerkosa yang belum menikah atau beristri si pelaku pemerkosa karena perbuatannya harus dijatuhi hukuman jilid 100 kali cambukan.

Dalam sanksi hukuman tambahan ini (hukuman pengasingan) para puqaha berbeda pendapat yaitu :

1. Menurut Imam Malik, dalam hukuman pengasingan, hukuman dikenakan kepada laki-laki saja, sedang perempuan tidak dikenakan hukuman tersebut atasnya.

2. Menurut Imam Ahmad bi Hanbali, menyetujui hukuman pengasingan (selama satu tahun) sebagai hukuman tambahan terhadap hukuman dera. 3. Menurut Imam Abu Hanifah, berpendapat bahwa hukuman pengasingan

sebagai hukuman tambahan setelah pertimbanagn hakim atau kebijaksanaannya yang menangani perkara.

4. pendapat kebanyakan para ulama sebagaimana pendapat Imam Ahmad, yang juga diantaranya Imam Syafi’i, mengatakan bahwa perlunya diberikan hukuman dera dan pengasingan bagi para pelaku yang tidak

91

Menurut Satria Effendi dalam hal hukuman berpendapat bahwa hukuman perkosaan pun berbeda dengan perzinahan. Jika sanksi zina adalah had (dera atau rajam), sedangkan perkosaan sanksinya asalah had disertai dengan hukuman tambahan (ta’zir) yang ditentukan majlis hakim. Seorang pelaku perkosaan dihukumi dengan hukuman had, hukuman ini disamakan dengan hukuman orang yang melakukan zina, akan tetapi bagi orang yang dipaksa untuk melakukan perbuatan tidak dikenakan had.

Keunggulan hukum Islam dari KUHP itu terletak dalam hal jenis hukuman yang berlaku cukup maksimal (memberatkan) bagi pelaku. Pelaku diancam dengan sanksi hukuman yang tidak ringan bila mana kejahatan yang dilakukan pelaku termasuk jenis kejahatan yang di murkai Allah SWT seperti penganiyaan, perzinahan, murtad dan pembunuhan.

Menurut penulis, semakin berat hukuman semakin kecil kemungkinan orang melakukan suatu tindakan kejahatan. Hukum pidana Islam yang berat ini jika ditinjau dari segi psikolog modern adalah suatu hukuman yang memililki fungsi penjeraan, baik pada sipelaku kejahatan maupun pada orang yang berniat untuk melakukan tindak kejahatan. Hukuman potong tangan untuk mereka yang mencuri selain fungsi sebagai fungsi sebagai penjeraan juga memiliki fungsi perlindungan bagi masyrakat. Mereka yang sudah dipotong tangannya tentu akan lebih sulit untuk melakukan tindak kejahatan dimasa-masa yang akan datang.

92

Dalam pelaksanaan hukuman atas pelaku perkosaan harus dipegang prinsip keadilan tanpa ada unsur pemberian keringanan atau pemberatan, sehingga ada unsur mendidik pada terhukum dengan hukuman maksimum penjara seumur hidup atau unsur menyadarkan lingkungan masyarakat yang tahu dan menyaksikan pelaksanaan hukuman mati, tanpa melupakan adanya kesempatan bertaubat bagi si terhukum sebelum hukuman dilaksanakan.

Sebagaimana pada tindak pidana yang lain, hukuman yang diberikan pada sipelaku kejahatan harus memperhatikan nilai pendidikan bagi pelaku perkosaan sehingga ia sadar akan kesalahannya. Sehingga apabila pelaku perkosaan dijatuhi hukuman mati, maka dalam hukuman mati taersebut alat yang digunakan dalam eksekusi itu harus mengandung etis ketuhanan, kemanusian dan keadilan. Dan apabila dijatuhkan hukuman penjara unsur manusiawi tetap harus diperhatikan. Unsur manusiawi ini dalam arti tidak menimbulkan depresi moral yang berkepanjangan sehingga apabila sipelaku bebas, maka dia akan dapat menjadi pribadi yang utuh tanpa beban psikis.

Selain menentukan bentuk hukuman bagi pelaku perkosaan serta dampak hukuman itu bagi pelaku dan masyarakat pada umunya, hukum Islam pun tidak mengabaikan perasaan korban. Karena seberat apapun hukuman bagi pelaku perkosaan korban tetaplah menderita dan tersisih, agar korban tidak semakin menderita maka hak-hak korban harus diperhatikan. Oleh karena itu dalam hukum Islam juga mengatur tentang ganti rugi yang diberikan pelaku

93

terhadap korban dan apabila korban (perempuan) tersebut hamil maka anaknya dapat dinisabkan kepada pelakunya.

Dari sini jelas bahwa hukum Islam lebih luas dalam membahas masalah perkosaan ini. Segala jenis dan bentuk hukuman apapun dapat dibenarkan selama mampu mewujudkan tujuan dari pensyari’atan hukum pidana Islam. Atas dasar ini maka perumusan hukum yang sejalan dengan kondisi masa kini dapat dibenarkan pula. Sedangkan hukuman yang diterapkan dalam al-qur’an dan hadits hanya dipandang sebagai batas maksimal yang perlu diterapkan manakala bentuk hukuman lain tidak dapat mewujudkan tujuan hukum tersebut, sehingga ada dua aspek hukum yang dapat dituntut korban yaitu selain korban dapat memidanakan pelaku dan juga dapat memperdatakananya.

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penafsiran dan analisis putusan perkara No. 054/PID/B/1997/PN. JKT-BAR mengenai tindak pidana perkosaan anak ideot, maka penulis dapat mengambil kesimpulan, sebagai berikut :

1. Perbuatan yang termasuk dalam kategori perkosaan yakni perbutan berupa perbuatan yang melanggar kesusilaan, yaitu bersatunya alat kelamin laki-laki (penis) dengan alat kelamin perempuan (vagina) dan cukup dengan pemaksaan pesetubuhan (sampai alat kelamin laki-laki msuk kedalam alat kelamin perempuan), maka hal tersebut dianggap sebagai perkosaan. Dengan demikian, bahwa tidak ada pidana perkosaan untuk bersetubuh apabila penis hanya menyentuh bibir luar vagina (vulva). Didalam pasal 285 KUHP pelaku tindak pidana perkosan diancam dengan pidana 12 (dua belas) tahun penjara. Dan dalam hukum Islam perkosaan merupakan perbuatan zina dengan paksaan yang dapat dikenakan sanksi had karena perbutan tersebut merupakan hak Allah, sedangkan perempuan tidak dapat dikenakan had karena adanya paksaan tersebut, serta ditambah dengan hukuman ta’zir sebagai hukuman atas pemaksaan, kekerasan atau ancaman yang dilakukan unutuk memperlancar perkosaan.

94

2. Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat dalam memutuskan perkara No. 054/PID/B/1997/PN.JKT-BAR dalam hal penjelasan tentang keadaan-keadaan yang memberatkan hukuman bagi terdakwa, Ketua Majelis tidak melakukananya dengan maksimal. Ketua majelis hanya menyebutkan tiga point, yakni : terdakwa kurang bermoral, seharusnya melindungi korban karena ia anak idiot dan adik iparnya, kurang bertanggung jawab terhadap keluarga. Seharusnya dalam pemberatan hukuman Ketua Majelis mempertimbangkan yakni : akibat dari perbuatan yang dilakukan terdakwa menimbulkan trauma dan rasa takut pada diri saksi korban, perbuatan terdakwa juga menimbulkan keresahan pada diri keluarga dan orang tua saksi korban. Terlebih lagi mengingat saksi korban adalah anak idiot, yang patut dilindungi dari kejahatan apapun, termasuk kejahatan seksual, yang memiliki dampak psikis yang lebih fatal bagi saksi korban.

3. Analisis hukum positif terhadap putusan No. 054/PID/B/1997/PN.JKT-BAR tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa Boy Santoso terhadap adik iparnya yakni Lusi alias Bem-bem dirasakan terdapat kejanggalan yakni :

a) Dalam hal pasal yang divonis oleh hakim terhadap terdakwa b) Kuantitas hukuman

95

Seharusnya hakim dalam memvonis perkara tersebut menggunakan pasal 285 KUHP, hal ini dikarenakan semua unsur telah terpenuhi. Sedangkan menurut Hukum Islam hukuman dikenakan kepada pelaku saja yakni hukuman hudud dan hukuman ta’zir sebagai hukuman tambahan. Jadi pada dasarnya terdapat perbedaan yang signifikan antara Hukum Positif dan Hukum Islam mengeanai hukuman terhadap kasus terdakwa Boy Santoso.

Dokumen terkait