• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : ANALISA YURIDIS HUKUM POSITIF DAN HUKUM

B. Pembuktian Tindak Pidana Perkosaan

B. Pembuktian Tindak Pidana Perkosaan

Dalam pedoman pelaksanaan KUHP diaktakan bahwa “tujuan dari hukum acara untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran mataeril….”. Dengan berpegang pada tujuan tersebut (menemukan kebenaran materil), maka akan timbul suatu hal yang amat penting tetapi sekaligus sukar, yaitu bagaimana hakim dapat menetapkan kebenaran materil itu.10

Menurut Panitera Muda Hukum Pengadilan Negeri Jakarta Barat11

“Sistem pembuktian dalam mengungkapkan kasus perkosaan di muka sidang pengadilan sama dengan yang lainnya yaitu adanya bukti-bukti, saksi atau barang bukti (material) dan resume (kumpulan hasil) dari para dokter yang menangani masalah ini dan Visum Et Refertum yang dibuat oleh dokter kehakiman atau dokter puskesmas”.

Menemukan kebenaran materil itu tidaklah mudah, karena peristiwa atau kejadian yang sebenarnya tejadi pada masa lalu atau berselang. Makin lama waktu berselang akan makin sulit bagi hakim untuk menemukan kebenaran materil dan menjatuhkan keputusan suatu keputusan. Dalam perihal pembuktian ini merupakan bagian yang terpenting dari tiap-tiap proses pidana, karena hal ini tergantung apakah terdakwa akan dinyatakan bersalah atau tidak.

10

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, h. 108. 11

61

Dalam kitab Undang-undang hukum acara pidana maupun HIR terdapat persamaan dalam cara menggunakan alat bukti yakni sistem negatif menurut Undang-undang yang termuat dalam pasal 183 KUHAP dan pasal 294 ayat (1) HIR.12

Menurut Wirjono Prodjodikoro, mengenai sistem yang dianut oleh hukum acara pidana Indonesia adalah bahwa sistem pembuktian secara negatif tetap dipertahankan karena terdapat dua alasan :

1. Selayaknya hakim harus mempunyai keyakinan terhadap kesalahan terdakwa dalam menjatuhkan hukuman pidana dan jangan terpaksa memidana seseorang tanpa keyakinannya.

2. Bermanfaat sekali jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun kayakinannya, agar ada ukuran-ukuran tertentu yang harus diturutinya dalam melakukan peradilan. Di samping memudahkan adanya kesatuan dalam peradilan dan kepastian hukum dalam masyarakat.

Adapun yang terkandung dalam pasal 183 KUHAP ialah : 1. Sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah 2. Dengan dasar alat bukti yang sah, hakim yakin bahwa :

a. tindak pidana telah terjadi dan ; b. terdakwa telah bersalah

12

Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1989), Cet.ke-1,h. 13.

62

Sedangkan alat-alat bukti yang sah menurut pasal 184 KUHAP ialah : 1. Keterangan saksi

2. Keterangan ahli 3. Surat

4. Petunjuk

5. Keterangan terdakwa

Jika dibandingkan dengan alat bukti dalam HIR, maka ada penambahan alat bukti baru, yaitu keterangan ahli. Selain dari pada itu ada perubahan alat bukti yang dengan sendirinya maknanya menjadi lain yaitu “pengakuan terdakwa” menjadi “keterangan terdakwa”.13

Dengan demikian maka dalam proses penyidikan tindak pidana, penyidikan harus dapat menemukan sekurang-kurangnya terdapat dua alat bukti yang sah sebagaimana yang tersebut diatas. Hal tersebut juga didukung dengan adanya barang bukti lainnya yang dapat memberikan keyakinan kepada hakim atau terjadinya tindak pidana tersebut.

Dalam penyelidikan tindak pidana kesusilaan dan pelecehan seksual masalah pembuktian untuk memenuhi unsur-unsur terhadap perbuatan yang dituduhkan ini merupakan pekerjaan yang cukup rumit. Hal ini dikarenakan tidak adanya saksi yang mengetahui secara langsung atas perbuatan yang

13

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Jakarta : Arikha Media Cipta, 1993),h.306.

63

dilakukan, serta tidak ada barang bukti yang mendukung atas perbuatan tersebut.

Pada umumnya, tindak pidana perkosaan untuk bersetubuh dilakukan pelaku tidak disaksikan orang lain kecuali perempuan yang menjadi korban dan laki-laki sebagai pelaku. Jadi hanya perempuan inilah yang dapat memberikan keterangan atau kesaksian. Tetapi apa yang diucapkan perempuan itu belum tentu benar dan dapat dipercaya, atas berdasarkan keterangna perempuan itu saja terdakwa tidak dapat putus bersalah,kecuali jika terdapat alat bukti lain yang memperkuatnya. Akan halnya keterangan terdakwa yang berupa pengakuan seluruhnya, pada umumnya tidak akan diberikan secara logis karena akan merugikan dirinya sendiri.

Dalam kasus perkosaan ini penyidik dapat dibantu oleh tenaga ahli diantaranya adalah dokter forensic. Tenaga ahli inilah yang akan membuat keterangan ahli sebagai salah satu alat bukti dalam pembuktian tindak pidana kesusilaan.

Keterangan ahli menurut pasal 186 KUHAP ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Namun demikian keterangan ahli dapat juga diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu laporan (Visum Et Repertum) dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.

64

Dalam kasus perkosaan ini terdaat apa yang disebut dengan “saksi diam”. “saksi diam” ini merupak obyek pemeriksaan kriminalsitik. Peranan dan fungsi “saksi diam” dalam delik perkosaan sangat besar peranannya.

Dalam hal “saksi diam” berupa tubuh manusia yang hidup maupun yang sudah mati, maka dokter forensic dimintakan bantuannya dalam menerjemahkan “saksi diam” tersebut. Yang dilakukan “penerjemah dalam membantu perkara tindak pidana perkosaan untuk membuktikannya adalah adanya persetubuhan dan adanya kekerasan.14

1. Pembuktian Adanya Persetubuhan

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa persetubuhan telah terjadi apabila penis telah melewati batas depan vagina, tetapi kejadian demikian dalam hal ini sanagt sulit dibuktikan dengan ilmu kedokteran forensic karena bekas-bekasnya sangat tidak jelas.

a. Yang belum pernah bersetubuh (masih gadis)

Untuk memastikan adanya persetubuhan bagi yang masih gadis, robek selaput dara bisa dipastikan adanya persetubuhan. Namun tidak semua perempuan yang telah bersetubuh selaput daranya pecah, karena keelastisan selaput darah itu sendiri. Selain itu penetrasi penis harus disertai ejakuasi, karena ejakuasi inilah yang akan diperiksa dan merupan tanda pasti adanya persetubuhan.15

14

Handoko Tjonroputranto, Pokok-pokok Ilmu Kedokteran Forensik, jilid I,h. 1-5 15

Abdul Mun’im Idris, Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik, (Jakarta : Bina Rupa Aksara, 1989),h. 172.

65

b. Yang sudah bersetubuh

Pada umumnya, disini tidak dipersoalkan lagi mengenai robeknya selaput darah, akan tetapi lebih diperhatikan adanya ejakuasi dalam liang vagina dimana hasil pemeriksaan terdapat dua kemungkinan yaitu :

1. Tidak ditemukan adanya spermatozoa, hal ini dimungkinkan oleh dua sebab ialah :

• Memang tidak ada persetubuhan

• Ada persetubuhan tetapi si pelaku mandul atau si pelaku mencegahnya dengan koitus interuptus atau kondom.16 2.Ditemukan spermatozoa

2. Pembuktian Adanya Kekerasan

Pada umumnya, pembuktian adanya kekerasan pada tubuh korban sulit ditemukan oleh dokter, adapun lokasi yang sering ditemukan adalah bagian muka (daerah mulut dan bibir), leher, buah dada dan bagian dalam paha dan sekitar alat kelamin serta pergelangan tangan.17

Akan tetapi tidak terdapat luka (akibat kekerasan) pada tubuh perempuan tidaklah mutlak ia tidak mengalami perkosaan, karena bisa saja perempuan diancam dengan kekerasan, pingsan atau tidak berdaya.

16

Ibid., h. 172-173 17

66

Maka permberian seperti obat bius atau obat tidur serta pengaruh alkohol dan lain sebagainya dikatagorikan sebagai tanda adanya kekerasan.

Selain alat bukti yang telah diuraikan diatas, maka barang bukti dalam tindak pidana kesusilaan merupakan faktor yang harus diperhatikan oleh penyidik. Akan tetapi dalam tindak pidana kesusilaan penyidik sering kali mengalami kesulitan dalam menemukan atau memperolah barang-barang bukti, karena pada umunya cepat hilang atau mudah dihilangkan baik secara sengaja maupun tidak sengaja.

Selama ini dalam praktek pembuktian vide pasal 285 KUHP, alat bukti yang menentukan dalam kasus tindak pidana perkosaan adalah keterangan ahli (Visum Et Repertum) dari seorang dokter ahli yang ditunjuk menurut undang-undang. Selain harus adanya keyakinan hakim, maka dengan mengacu kepada pasal 389 naskah tersebut, alat bukti yang sangat menentukan adalah keterangan saksi korban mengenai semua ikhwal yang mendukung bahwa selama terjadinya tindak perkosaan itu, keterangan saksi korban ini harus dapat dibuktikan oleh jaksa penuntut umum didepan muka sidang pengadilan.

Sedangkan pembuktian tindak pidana perkosaan menurut hukum Islam dapat dimasukkan kedalam kategori zina yaitu hubungan seksual diluar nikah. Dalam menghukum pelaku pekosaan dapat merujuk pada dalil tentang hukuman zina. Karena kejahatan perkosaan secara tekstual tidak terdapat hukumannya dalam al-qur’an dan hadits dengan mengacu

67

kepada hukuman zina. Para ulama fiqh berijtihad untuk menemukan hukum perkosaan, tetapi tampaknya ada beberapa ganjalan dalam menggunakan hukum zina untuk menghukumi perbuatan perkosaan. Karena zina dilakukan suka sama suka, sedangkan dalam perkosaan terdapat unsur pemaksaan terhadap korban. Hal ini berimplikasi bukan hanya pada pembuktian, tetapi pemberian hukuman bagi pelaku perkosaan.

Dalam fiqh jinayat, syarat dijatuhi sebuah hukuman (had zina) tergantung pada sejumlah empat orang saksi laki-laki. Pendapat ini berlaku bagi pendapat mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali. Bila korban mengajukan gugatan tanpa didasari ke empat saksi tersebut, ia bisa dihukum atas dasar menuduh seorang berzina tanpa bukti yang jelas. Menurut Ibnu Hazam bahwa kesaksian yang kurang sempurna misalnya, jumlahnya kurang dari empat atau ada saksi perempuan maka tidak dapat menggugurkan gugatan atau membalikkan saksi menjadi tertuduh karena melemparkan tuduhan tanpa bukti yang kuat. Selain kebolehan perempuan menjadi saksi yang dibutuhkan adalah kesaksian bahwa pebuatan itu benar-benar dilakukan walaupun tidak disaksikan oleh empat orang saksi.

Syarat pembuktian zina, masih sulit diterapkan untuk menghukumi kejahatan perkosaan. Karena pada kenyataanya, perkosaan merupakan tindak kejahatan yang dilakukan secara tertutup untuk menghindari

68

kesaksian orang lain. Di dalam buku-buku fiqh klasik masalah perkosaan tidak dibahas secara memadai. Biasanya hanya dikatakan bahwa orang yang diperkosa bukanlah zina dan oleh karena itu tidak dapat dihukum sebagai zina. Tetapi pembuktian dan hukuman terhadap pelaku tesebut cendrung tidak dibahas.

Menurut Masikun, tentang pembuktian zina untuk dijadikan landasan bagi pembuktian perkosaan adalah bahwa seorang hakim harus mendapatkan empat orang saksi. Sebagaimana dalam firman Allah SWT :

18

Artinya :”Dan (terhadap) para perempuan yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberikan persaksian, maka kurunglah mereka (perempuan-perempuan itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya”. (QS. An-Nisa/4 :15)

18

69

Selain mendengarkan kesaksian empat orang saksi, seorang hakim juga harus mendengarkan pengakuan pelaku yang diulang sampai empat kali sebagaimana yang dilakukan terhadap pengakuan Maiz bin Malik.19

Bukti lainnya adalah adanya tanda kehamilan atau bukti keadaan mengandung dari korban perkosaan. Sebagaimana yang terdapat dalam hadits riwayat Imam Muslim dan Imam Husa’in yang mengatakan bahwa praktek Nabi Muhammad menerima adanya zina pada Ma’rufah al-Ghomidiyah karena ada bukti kehamilan pada dirinya. Sedangkan menurut jumhur ulama kehamilan diluar nikah tidak bisa digunakan sebagai alat bukti zina, alasan mereka bahwa alat bukti untuk zina adalah pengakuan dan persaksian tidak ada bukti lainnya.

Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa hakim sebelum memutuskan perkara perkosaan harus membenarkan bukti kebenaran perkosaan tersebut yaitu empat orang saksi atau pengakuan pelaku empat kali ucapan atau bukti keadaan mengandung dari korban perkosaan.20

Dengan demikian pembuktian terhadap tindak pidana perkosaan hampir sama dengan pembuktian perzinahan. Walaupun pada prakteknya keberadaan empat orang saksi pada dunia modern yang serba canggih pada saat ini, salah satunya bisa berupa hasil foto kejadian atau rekaman video dan

19

Al-Imam Al-Kahlani, Subulus Salam, (Beirut : Dar-Furats al-Arabiy, 1960), juz IV,h. 8.

20

70

lain-lain. Mengingat hal-hal diatas seorang hakim perlu meminta tenaga ahli dibidang tersebut untuk menjelaskan kesaksian dari kejadian tersebut.

C. Sanksi Hukuman Bagi Pelaku Perkosaan

Dokumen terkait