• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN ANALISIS

4.6. Analisis Impulse Response Function (IRF)

Pada tahap ini dilakukan analisis untuk mengetahui pengaruh perubahan dari satu variabel pada variabel itu sendiri atau variabel lainnya. Estimasi yang dilakukan untuk IRF ini dititikberatkan pada respon suatu variabel pada perubahan satu standar deviasi dari variabel itu sendiri maupun dari variabel lainnya yang terdapat dalam model. Adapun penerapan analisis IRF dalam penelitian ini dilakukan secara berurut (pada variabel tertentu) berdasarkan matriks korelasi (Lampiran 11), yaitu mulai dari variabel yang relatif mudah dipengaruhi berdasarkan hasil matriks korelasi tersebut.

Sebagai variabel yang relatif lebih mudah/sensitif dipengaruhi oleh variabel lainnya daripada PDB riil, maka analisis IRF pada penelitian ini pertama-tama dilakukan untuk mengamati respon dari IHSG terhadap guncangan volume KPRA Indonesia, dan sebaliknya (respon volume KPRA terhadap guncangan IHSG). Berdasarkan Gambar 4.1, diketahui bahwa guncangan pada volume KPRA sebesar satu standar deviasi direspon positif oleh IHSG sepanjang 50 periode, dan respon positif tersebut cenderung persistent pada kisaran 0,025 persen sejak periode ke-23. Secara ekonomi, hasil uji ini mengindikasikan bahwa di Indonesia, guncangan-guncangan pada volume KPRA belum terlalu mampu mengganggu atau menimbulkan efek negatif pada bursa saham. Hal ini bisa terjadi karena belum mendominasinya proses pemilikan tempat tinggal melalui KPRA di Indonesia, seperti tercermin pada data di Tabel 1.1, dimana dilaporkan bahwa di Indonesia proses pemlikan rumah di Indonesia masih didominasi oleh sistem pembayaran secara tunai.

.008 .012 .016 .020 .024 .028 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 Responseof LN_IHSGtoCholesky One S.D. LN_VKPRA Innovation

Demikian pula hal ini sejalan dengan hasil survei mengenai industri properti yang dilakukan BI dan LPPM IPB (2007) yang menemukan bahwa sejumlah besar konsumen residensial (sekitar 40 persen) melakukan pembelian rumah dengan menggunakan dana sendiri (bukan kredit), dengan beberapa alasan diantaranya sebagai berikut: (i) tidak ingin terlibat hutang, (ii) prosedur perbankan yang rumit, serta (iii) memiliki dana yang cukup.

Sumber: Hasil Penelitian (2008)

Gambar 4.1. Respon IHSG terhadap Guncangan Volume KPRA Indonesia

Begitupula dengan respon volume KPRA terhadap guncangan IHSG sebesar satu standar deviasi adalah positif sepanjang 50 periode, sebagaimana tersaji dalam Gambar 4.2. Adapun respon positif tersebut cenderung persistent pada kisaran 0,0059 mulai periode 39. Hal ini menunjukkan bahwa volume KPRA mebutuhkan waktu cukup lama untuk kembali stabil akibat adanya guncangan pada IHSG.

Sumber: Hasil Penelitian (2008)

Gambar 4.2. Respon Volume KPRA terhadap Guncangan IHSG Indonesia

Adapun respon business cycle terhadap guncangan volume KPRA sebesar satu standar deviasi disajikan dalam Gambar 4.3. Pada gambar tersebut terlihat bahwa sepanjang 50 periode, guncangan pada volume KPRA direspon secara positif oleh PDB riil. Mulai periode 14 dan seterusnya, guncangan volume KPRA tersebut cenderung direspon secara persistent dengan tingkat respon berkisar pada 0,004 persen. Respon positif ini mengindikasikan bahwa dalam jangka panjang, pertumbuhan volume KPRA akan meningkatkan permintaan masyarakat terhadap sektor perumahan (termasuk hal-hal yang berkaitan dengan sektor perumahan) melalui konsumsi, dan juga meningkatkan permintaan investasi (khususnya yang berkaitan dengan sektor perumahan/properti), sehingga pada akhirnya berdampak pada peningkatan permintaan agregat dan pendapatan nasional.

Hasil uji IRF mengenai respon business cycle ini sejalan dengan kesimpulan pengamatan Pusat Studi Properti Indonesia (seperti telah dipaparkan

.000 .001 .002 .003 .004 .005 .006 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Response of LN_VKPRA to Cholesky One S.D. LN_IHSG Innovation

.001 .002 .003 .004 .005 .006 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 Response of LN_PDB to Cholesky One S.D. LN_VKPRA Innovation

dalam Bab II), yang menyatakan bahwa selama 25 tahun terakhir di Indonesia, volume KPRA cenderung bergerak searah dengan business cycle, baik itu saat ekspansi ataupun resesi.

Sumber: Hasil Penelitian (2008)

Gambar 4.3. Respon Business Cycle terhadap Guncangan Volume KPRA Indonesia

Adapun respon sebaliknya (respon volume KPRA terhadap guncangan business cycle) sebagaimana tersaji dalam Gambar 4.4 menunjukkan bahwa sepanjang 50 periode, guncangan sebesar satu standar deviasi pada PDB riil juga direspon positif oleh volume KPRA. Respon positif tersebut cenderung persistent pada kisaran 0,0096 mulai perioe 18. Hal ini mengindikasikan bahwa guncangan dalam pertumbuhan ekonomi di Indonesia tidak menurunkan minat masyarakat terhadap KPRA sepanjang 50 periode, dan hal tersebut dapat terjadi mengingat bahwa saat ini kebutuhan terhadap rumah/tempat tinggal telah menjadi kebutuhan primer/dasar bagi mayoritas masyarakat Indonesia.

Sumber: Hasil Penelitian (2008)

Gambar 4.4. Respon Volume KPRA terhadap Guncangan Business Cycle Indonesia

4.7. Implikasi Kebijakan

Sejauh ini kebijakan di sektor properti khususnya terkait KPRA (Kredit Pemilikan Rumah dan Apartemen) telah cukup baik dilakukan oleh pemerintah dan pihak-pihak terkait, diantaranya adalah kebijakan pemerintah untuk mensubsidi penyediaan rumah dan apartemen bagi kelas meengah kebawah. Selain itu adanya bank di Indonesia yang cenderung berkonsentrasi terhadap pembiayaan KPRA menunjukkan bahwa KPRA masih mendapat perhatian khusus dan dipandang sebagai salah satu sektor yang berperan penting dalam perekonomian.

Adapun terkait dengan penelitian ini, diantaranya melihat hasil analisis impulse response function (IRF) yang menunjukkan bahwa selama beberapa periode yang diteliti (50 periode) guncangan pada volume KPRA direspon positif

.000 .002 .004 .006 .008 .010 .012 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Response of LN_VKPRA to Cholesky One S.D. LN_PDB Innovation

oleh PDB riil Indonesia, maka sejauh ini sebaiknya insentif-insentif untuk meningkatkan volume KPRA semakin diperbanyak, karena data Bank Indonesia menyebutkan bahwa kontribusi sektor perumahan terhadap perekonomian Indonesia masih relatif rendah (hanya 1,4 persen pada tahun 2007) jika dibandingkan dengan negara lain, misalnya Amerika yang mencapai 8 persen pada tahun yang sama. Namun, walaupun kontribusi sektor perumahan terhadap perekonomian Indonesia masih relatif rendah, tidak dapat dipungkiri bahwa peningkatan volume KPRA dapat menimbulkan efek berganda yang cukup positif bagi perekonomian, diantaranya peningkatan lapangan kerja di sektor properti, peningkatan konsumsi dan investasi sektor properti, serta utamanya dapat membantu pemenuhan kebutuhan papan (pemilikan tempat tinggal) bagi penduduk Indonesia.

Adapun kebijakan yang dapat dijadikan insentif untuk meningkatkan volume KPRA tersebut diantaranya adalah dengan mempermudah prosedur pengajuan KPRA di lingkungan perbankan, merangsang bertambahnya jumlah lembaga keuangan yang berpartisipasi dalam pembiayaan perumahan dan mempertahankan atau bahkan meningkatkan program KPRA bersubsidi yang sejauh ini telah cukup baik dilakukan oleh pemerintah.

Namun demikian, kegiatan pemberian insentif untuk meningkatkan volume KPRA tersebut harus tetap dilakukan dengan prinsip kehati-hatian, seperti kehati-hatian dalm penyaluran kredit (pemilihan debitur). Hal ini demi menghindari masalah di sektor properti khususnya KPRA, seperti peningkatan kredit macet (NPL) yang dapat berdampak buruk bagi perekonomian.

Selain itu ekspansi volume KPRA juga harus senantiasa disertai dengan pemantauan daya serap pasar. Jangan sampai volume KPRA tumbuh jauh melebihi pertumbuhan daya serap pasar, hingga akhirnya terjadi kelebihan jumlah penawaran (oversupply) yang dapat merugikan banyak pihak, baik itu pemerintah, perbankan dan para pengembang atau pelaku bisnis properti. Adapun terkait dengan penelitian ini, beberapa variabel ekonomi yang dapat dijadikan acuan dalam ekspansi KPRA Indonesia diantaranya adalah lag volume KPRA dan total kredit perbankan. Maksudnya, jumlah atau volume KPRA dan total kredit perbankan pada periode sebelumnya harus benar-benar diperhatikan dalam menyalurkan KPRA pada periode berikutnya.

Masih berdasarkan penelitian ini, melihat hasil estimasi VAR/VECM yang menunjukkan bahwa inflasi adalah variabel yang berpengaruh signifikan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, maka diharapkan pemerintah dan otoritas moneter (Bank Indonesia) benar-benar mampu menjaga stabilitas inflasi Indonesia. Hal ini diantaranya dapat dilakukan dengan mengefektifkan pelaksanaan paket kebijakan inflation targetting framework (ITF).

Sinergisasi antara otoritas fiskal dan moneter dalam pengendalian inflasi penting, mengingat sejauh ini di Indonesia inflasi secara dominan dikontribusi besar oleh sektor riil khususnya melalui komoditas strategis, seperti bahan-bahan pokok dan bahan bakar minyak (BBM). Hal ini sebagaimana didukung oleh penelitian Widoatmodjo (2006) yang menyatakan bahwa selama 17 tahun pemantauan (dari tahun 1979 sampai 2006) sejak penggunaan IHK/indeks harga konsumen sebagai indikator inflasi Indonesia, sektor makanan menduduki rekor

dalam hal angka inflasi tertinggi. Bahkan sektor tersebut menunjukkan angka tertinggi dalam inflasi per sektor sebanyak 8 kali. Menyusul kemudian sektor perumahan 5 kali dan kemudian sektor sandang dan aneka barang serta jasa, yang masing-masing 2 kali. Sehingga disimpulkan bahwa inflasi Indonesia ternyata lebih banyak disebabkan oleh sektor riil, dan ini pun sebenarnya sumbernya terbatas pada komoditi strategis yang pemasarannya diatur oleh pemerintah, misalnya beras, gula, semen, BBM dan listrik.

Oleh karena itu, untuk kasus Indonesia pengendalian infasi tidak dapat ditekankan pada otoritas moneter saja, tapi juga perlu dukungan kuat atau kerjasama yang baik dari pemegang otoritas fiskal (pemerintah). Jika otoritas moneter dapat melakukan pengendalian inflasi melalui pelaksanaan paket kebijakan ITF, maka hal yang dapat dilakukan pemerintah untuk ikut membantu pengendalian inflasi diantaranya adalah melakukan kontrol akan efektivitas pelaksanaan kebijakan ITF serta pengaturan anggaran pengeluaran pemerintah (termasuk subsidi) sekaligus pengendalian ketersediaan dan alokasi atas komoditas strategis yang rentan inflasi.

Dokumen terkait