DAFTAR LAMPIRAN
RMM2 (data
4.5 Analisis J angka Pendek
Analisis jangka pendek difokuskan pada curah hujan bulan basah (Desember -Januari-Februari-Maret) tahun 1996, 2002, dan 2007. Curah hujan yang tinggi pada saat itu akan dianalisis apakah ada pegaruh dari fenomena Madden Julian Oscillation (MJO).
Setiap Januari hingga Februari, intensitas curah hujan di wilayah Jakarta m encapai puncaknya. Hujan dengan intensitas sangat tinggi di Jakarta pada tahun 1996 terjadi pada awal Februari, mencapai 200 mm/hari. Pada tahun 2002 curah hujan tinggi terjadi pada akhir Januari (15-30 Januari), mencapai 200 mm/hari sedangkan pada tahun 2007 curah hujan tinggi mencapai 250 mm/hari terjadi pada 1-5 Februari (Lampiran 6). Tahun 1996, 2002, dan 2007 terjadi banjir besar di Jakarta. Definisi banjir dalam tulisan ini adalah banjir besar yang hampir melumpuhkan kota Jakarta. Di luar tahun tersebut, Jakarta tentu saja mengalami banjir tetapi dengan skala, dampak, dan peningkatan kerugian yang jauh lebih kecil.
Penyebab banjir di Jakarta menurut Dr. Armi Susandi, MT (Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung) yaitu curah hujan tinggi, topografi Jakarta, dan Gelombang Pasang (ROB). Dalam tulisan ini hanya akan dibahas penyebab banjir dari pengaruh curah hujan tinggi.
Banjir akibat hujan lebat di daerah Jakarta berpotensi terjadi pada bulan Januari dan Februari. Perlu dianalisis apa penyebab dari hujan sangat lebat pada tiga tahun itu. Diduga ada pengaruh dari fenomena MJO yang menyebabkan curah hujan lebat tersebut. Berikut ini adalah plot dari RMM1 dan RMM2 untuk mengetahui fase aktif dan lemah MJO.
(a) (b)
Gambar 23 Plot data RMM1/2 (a) dan diagram fase MJO (sumber: Bureau of Meteorology Research Centre, 1996) (b) periode 1 Desember 1995 – 31 Maret 1996
(a) (b)
Gambar 24 Plot data RMM1/2 (a) dan diagram fase MJO (sumber: Bureau of Meteorology Research Centre, 2002) (b) periode 1 Desember 2001 – 31 Maret 2002
(a) (b)
Gambar 25 Plot data RMM1/2 (a) dan diagram fase MJO (sumber: Bureau of Meteorology Research Centre, 2007) (b) periode 1 Desember 2006 – 31 Maret 2007
awal Februari MJO aktif awal Februari MJO lemah akhir Januari MJO aktif M JO aktif M JO aktif M JO lemah
Diagram pergerakan MJO pada Gambar 23, 24, dan 25 (b) memperlihatkan bagaimana fase MJO ketika curah hujan tinggi pada tahun 1996, 2002, dan 2007 yang menyebabkan banjir di Jakarta. Pada awal Februari 1996 tepatnya tanggal 3, 9, 10, 11 Februari MJO berada pada fase aktif, begitu pula pada akhir Januari 2002 (Gambar 24). MJO aktif tersebut berpengaruh pada meningkatnya curah hujan. Salah satu wilayah yang terkena dampaknya yaitu Jakarta.
Menurut Dr. Fadli Syamsudin, ada empat faktor pemicu curah hujan tinggi yang berdampak banjir di Jakarta dari sisi klimatologi, yaitu cold surge, fenomena MJO, El Nino/La Nina Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD) dari Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, dan faktor lokal seperti Jakarta yang memiliki pola harian curah hujan yang dipengaruhi lingkungan maritim di sekitarnya juga memicu tingginya curah hujan. Pada awal Februari 2007 terjadi banjir besar akibat sangat lebatnya curah hujan harian, terutama pada tanggal 1-5 Februari. Dugaan awal yatu bahwa ada pengaruh dari fenomena MJO pada saat itu, seperti yang terjadi pada tahun 1996 dan 2002. Namun dugaan awal itu salah karena berdasarkan data RMM dan melihat diagram fase pergerakan MJO, ternyata pada awal Februari 2007 MJO berada dalam fase lemah.
Nilai RMM1 dan RMM2 juga berhubungan dengan angin, sehingga pada penelitian ini dianalisis pula vektor angin saat kejadian curah hujan ekstrim tahun 2007. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Rahmat Genorwo tahun 2009, pola pergerakan angin menunjukkan adanya pergerakan vortex di Selatan Pulaw Jawa saat kejadian curah hujan ekstrim tahun 2002 dan 2007. Fenomena vortex dimulai tanggal 23 Januari 2002 hingga berakhir 26 Januari 2002 dan tanggal 1 Februari untuk periode tahun 2007. Gerak turbulensi vektor angin akan menyebabkan terjadinya curah hujan tinggi. Namun fenomena vortex bukan merupakan efek dominan penyebab curah hujan ekstrim.
MJO terlihat jelas dari aktivitas awan-awan Cb yang dapat dilihat berdasarkan data radiasi gelombang panjang (OLR). Untuk itu perlu dilihat bagaimana anomali OLR pada awal Februari 2007. Warna biru pada Gambar 26 menunjukkan anomali OLR negatif (MJO aktif), sedangkan warna orange menunjukkan anomali OLR positif (MJO tidak aktif).
Gambar 26 T i m e-longitude section anomali OLR pada 3°LU–8°LS dan 105°BT-108°BT Januari–Maret 2007 (sumber: NOAA, 2007) Pada Gambar 26 terlihat bahwa awal Februari 2007 anomali OLR positif, sehingga tidak menunjukkan adanya kumpulan awan-awan tinggi (Super Cloud Cluster). Analisis data RMM dan OLR semakin menguatkan argumen penulis bahwa curah hujan tinggi di Jakarta awal Februari 2007 bukanlah disebabkan oleh fenomena MJO.
Fakta ini sekaligus membantah apa yang pernah diungkapkan oleh Erwin Mulyana (2008), bahwa kejadian banjir pada Februari 2007 disebabkan oleh adanya MJO aktif. Diduga ada fenomena lain yang menyebabkan curah hujan sangat lebat pada awal Februari 2007. Hasil penelitian Peiming Wu et al. (2007), curah hujan sangat lebat yang menyebabkan banjir pada aw al Februari 2007 disebabkan oleh pengaruh massa udara dingin yang bergerak dari Siberia ke kawasan ekuator melalui pesisir Jawa (cold surge), dan adanya pengaruh dari pergerakan Monsun yang melewati ekuator.
anomali OLR (+) M JO lemah
Di daerah tropis aktivitas konveksi di atas lautan lebih aktif dibanding di daratan dengan variasi yang besar. Sebagai akibat pertumbuhan awan konvektif yang besar, maka curah hujan variasinya sangat besar, namun untuk tahun 2007, konveksi pada tanggal 1 Februari 2007 sedikit melemah. Hal yang perlu diperhatikan adalah terdapat delay waktu kejadian hujan sebelum terjadi curah hujan ekstrim tersebut, secara fisis dianalisis sebagai pengumpulan energi di atmosfer sebagai penyebab curah hujan ekstrim.
Analisis jangka pendek untuk melihat peluang hujan lebat pada saat MJO difokuskan hanya di empat kota kawasan barat Indonesia, yaitu Jakarta, Palembang, Lampung, dan Kerinci pada tahun 2006, 2007, dan 2008.
Tabel 11 Peluang kejadian curah hujan > 50 mm/hari saat MJO aktif dan tidak aktif di wilayah Jakarta, Lampung, Palembang, dan Kerinci
Stasiun Tahun A (%) B (%) Halim P. 2006 1.33 2.16 2007 0.95 3.23 2008 0.97 0.78 Kemayoran 2006 2.21 2.88 2007 3.33 3.23 2008 2.2 0.72 Tj. Priok 2006 1.77 0 2007 3.81 3.23 2008 2.64 1.45 PD. Betung 2006 0.99 1.8 2007 2.38 2.58 2008 3.08 0 Palembang 2006 1.77 2.16 2007 2.38 3.23 2008 3.08 2.17 Lampung 2006 2.46 0.99 2007 4.09 1.5 2008 2.2 0.72 Kerinci 2006 0.88 0.72 2007 1.03 0 2008 0.88 0 Ket:
A = Peluang CH > 50 mm/hari saat MJO aktif B = Peluang CH > 50 mm/hari saat MJO tidak aktif
Tabel 11 menunjukkan bahwa peluang hujan lebat saat terjadinya MJO aktif adalah kecil (kurang dari 5%). Pertumbuhan awan
sampai mencapai tingkat matang dan menjadi hujan dibutuhkan inti kondensasi, uap air, energi dalam jumlah yang besar. Sehingga jika MJO aktif tetapi tidak menimbulkan curah hujan, hal itu dikarenakan awan-awan tersebut belum mencapai inti kondensasi sehingga terus bergerak dan bergabung dengan butir awan lain dan membentuk ukuran butir yang lebih besar lagi sehingga gaya berat mampu melawan daya angkat ke atas, dan butit dapat turun sebagai hujan. Tabel 11 juga sekaligus menunjukkan bahwa M JO tidak selalu identik dengan intensitas curah hujan yang tinggi.