• Tidak ada hasil yang ditemukan

Departemen Geofisika dan Meteorologi

2.6 Fungsi Autokorelasi (ACF) dan Fungsi Autokorelasi Parsial (PACF)

Koefisien autokorelasi menunjukkan keeratan hubungan nilai peubah yang sama dalam periode waktu yang berbeda (Makridakis, 1988). Fungsi autokorelasi contoh (r) untuk lag atau beda waktu k yaitu:

Seperti halnya autokorelasi yang merupakan fungsi atas lagnya, yang hubungannya dinamakan fungsi autokorelasi (ACF), autokorelasi parsial juga merupakan fungsi atas lagnya, dan hubungannya dinamakan Fungsi Autokorelasi Parsial (partial autocorrelation function, PACF). Koefisien autokorelasi parsial mengukur keeratan hubungan antara Zt dan Zt-k dengan menghilangkan pengaruh dari Zt-1, Zt-2,..., Z

t-k+1. Gambar dari ACF dan PACF dinamakan korelogram (correlogram) dan dapat digunakan untuk menelaah signifikansi autokorelasi dan kestasioneran data. Fungsi autokorelasi parsial pada lag ke-k dinotasikan oleh:

Økk = Corr (Z1, Zt- k | Zt-1, Zt-2,..., Zt- k+1)

kk

φ

adalah koefisien korelasi dalam distribusi bivariat

Z Z

t

,

t k yang tergantung pada

1

,

2

,...,

1

t t t k

Z

Z

Z

− + . Dengan kata lain, menentukan korelasi antara dua peubah

dan

t t k

Z Z

dengan mengontrol peubah lainnya (

Z

t1

,Z

t2

,...,Z

t k− +1). Secara umum bentuk fungsi autokorelasi adalah

1 1 2 2

... , 1,2,...,

j k j k j kk j k

j k

ρ φ ρ=

=

+φ ρ

=

+ +φ ρ

=

atau dapat ditulis

1 1 1 1 1 2 2 2 1 2 1 ... 1 ... ... 1 k k k k k k k k k ρ ρ φ ρ ρ ρ φ ρ ρ ρ φ ρ                 =                          M M M M M

Fungsi autokorelasi digunakan untuk menentukan apakah secara statistik nilainya berbeda signifikan dari nol apa tidak. Untuk itu perlu dihitung simpangan bakunya dengan rumus sebagai berikut:

Nilai ordo dari proses autoregressive dan moving average dapat diduga secara visual dari plot ACF dan PACF dari data. Plot tersebut menampilkan distribusi koefisien autokorelasi dan koefisien autokorelasi parsial (Cryer, 1986).

Perlu digarisbawahi bahwa kebanyakan deret waktu bersifat tidak stasioner dan bahwa aspek-aspek AR dan MA dari model ARIMA hanya berkenaan dengan deret waktu yang stasioner. Jika dari time plot tersebut deret terlihat tidak stasioner maka perlu dilakukan pembedaan (differencing) pada data untuk menghilangkan ketidakstasionerannya.

2.7 Stasioneritas

Data stasioner adalah data yang mempunyai rata-rata dan varians yang konstan sepanjang waktu. Data yang bersifat trend adalah contoh data yang tidak stasioner karena rata-ratanya berubah sepanjang waktu.

Kestasioneran data merupakan merupakan kondisi yang diperlukan dalam analisis deret waktu karena dapat memperkecil kekeliruan model, sehingga jika data tidak stasioner maka harus dilakukan transformasi stasioneritas melalui proses diferensi.

Berdasarkan diskripsinya, bentuk kestasioneran ada dua, yaitu stasioner kuat

dan stasioner lemah. Deskripsi umum kestasioneran adalah sebagai berikut, data deret Z1, Z2,... disebut stasioner kuat jika distribusi gabungan Zt1, Zt2, Z+ sama dengan distribusi gabungan Zt1+k, Zt2+k, ...,Ztn+k untuk setiap nilai t1, t2,.., tn, dan k. Sedangkan data disebut stasioner lemah, jika rata-rata hitung data konstan, E (Zt) = µ, dan autokovariansnya merupakan fungsi dari lag, ?k = f(k). Sedangkan ketidakstasioneran data diklasifikasikan atas tiga bentuk, yaitu:

1. Tidak stasioner dalam rata-rata hitung, jika trend tidak datar (tidak sejajar sumbu waktu), dan data tersebar 2. Tidak stasioner dalam varians, jika trend

datar atau hampir datar tapi data tersebar membangun pola menyebar atau menyempit yang meliput secara seimbang trendnya (pola terompet). 3. Tidak stasioner dalam rata-rata hitung

dan varians, jika trend tidak datar dan data membangun pola terompet.

Untuk menelaah ketidakstasioneran data secara visual, tahap pertama dapat dilihat pada plot data atas waktu. Jika belum mendapatkan kejelasan, maka tahap berikutnya dapat dilakukan dengan melihat gambar plot ACF. Pada gambar ACF, jika datanya tidak stasioner maka gambarnya akan membangun pola:

a. Menurun, jika data tidak stasioner dalam rata-rata hitung (tren naik atau turun) b. Alternating, jika data tidak stasioner

dalam varians

c. Gelombang, jika data tidak stasioner dalam rata-rata hitung dan varians (Mulyana, 2004).

Apabila data yang menjadi input dari model ARIMA tidak stasioner, perlu dimodifikasi untuk menghasilkan data yang stasioner. Salah satu metode yang umum dipakai adalah metode pembedaan (defferencing). Metode ini dilakukan dengan cara mengurangi nilai data pada suatu periode dengan nilai periode sebelumnya.

2.8 Prakiraan dengan Time Series

Dalam klimatologi dibedakan dua kelompok metode peramalan, yaitu metode kausal dan time series. Metode kausal mengasumsikan adanya hubungan sebab akibat antara masukan dan keluaran sistem, sedangkan metode Time Series (Box-Jenkins) memperlakukan sistem seperti suatu kotak hitam (black box) tanpa berusaha mengetahui fakor-faktor yang mempengaruhi sistem tersebut. Sistem semata-mata dianggap sebagai suatu pembangkit proses, karena

tujuan utama dari metode ini adalah ingin menduga APA yang akan datang, bukan mengetahui MENGAPA hal itu terjadi. (Bey A, 1988).

ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average) merupakan salah satu model peramalaan yang berbasis time series yang dikembangkan oleh Box dan Jenkins (1976), dan nama mereka sering disinonimkan dengan proses ARIMA yang diterapkan untuk analisis deret berkala, peramalan, dan pengendalian. ARIMA telah diakui mempunyai kemampuan ramalan yang cukup memuaskan untuk jangka peramalan yang panjang (Tapliyal dalam Bey, A. 1988). ARIMA adalah suatu model gabungan yang meliputi model Autoregressive (AR) (Yule, 1926) dan Moving Average (MA) (Slutzky, 1937) dalam Makridakis et al., 1988. Kata integrated disini menyatakan tingkat pembedaan (degree of defferencing). ARIMA dikatakan sebagai model yang komplek, karena selain model ini merupakan gabungan antara AR dan MA, model ini dapat dipergunakan untuk pola time series seasonal (musiman) dan nonseasonal (tidak musiman) secara bersamaan.

Metode ARIMA memiliki keunggulan dibanding metode lainnya, yaitu metode Box-Jenkins disusun secara logis dan secara statistik akurat, metode ini memasukkan banyak informasi dari data historis, dan metode ini menghasilkan kenaikan akurasi peramalan dan pada waktu yang sama menjaga jumlah parameter seminimal mungkin (Jarret, 1991)

Metode ini menggunakan pendekatan iteratif yang mengindikasikan kemungkinan model yang bermanfaat. Model terpilih, kemudian dicek kembali dengan data historis apakah telah mendiskripsikan data tersebut dengan tepat. Model terbaik akan diperoleh apabila residual antara model peramalan dan data historis memiliki nilai yang kecil, distribusinya random, dan independen. Analisis deret waktu seperti pedekatan Box-Jenkins, mendasarkan analisis pada data deret waktu yang stasioner.

2.8.1 Model Autoregressive (AR)

Proses Autoregresif seperti namanya, adalah regresi pada dirinya sendiri. Proses autoregresif {Zt} orde p disingkat AR (p) memenuhi persamaan,

1 1 2 2

...

t t t p t p t

Dimana,

Zt = deret waktu stasioner

Ø1, ..., Øp = koefisien atau parameter dari model autoregressive

Zt-1, ..., Zt-p = Nilai masa lalu yang berhubungan

at = residual pada waktu t

Model Autoregressive Orde Pertama AR (1)

Model AR (1) memenuhi,

1

t t t

ZZ

+a

(2.6) (Cryer, 1986).

2.8.2 Model Moving Average (MA)

Pada model moving average, nilai Zt bergantung error orde q sebelumnya. Moving average orde q atau disingkat MA (q) memenuhi persamaan,

1 1 2 2

...

t t t t q t q

Z = −a θa

−θa

− −θa

(2.7) Dimana,

Zt = deret waktu stasioner

?1, ..., ?p = koefisien atau parameter dari model moving average

at-q = residual lampau yang digunakan oleh model

Model Moving Average Orde Pertama MA

Model MA (1) memenuhi,

1 1

t t t

Z = −a θa

(2.8) (Cryer, 1986).

2.8.3 Model Autoregressive-Moving Average (ARMA)

Jika diasumsikan deret waktu merupakan campuran dari autoregressive dan moving average maka modelnya menjadi,

1 1 2 2

...

1 1 2 2

...

t t t p t p t t t q t q

ZZ

Z

+ +φZ

+ −a θa

−θa

− −θa

(2.9)

(Cryer, 1986).

Dimana Zt dan at sama seperti sebelumnya, Zt

adalah konstanta, Ø dan ? adalah koefisien model. {Zt} dikatakan proses campuran autoregressive moving average orde p dan q, disingkat ARMA (p,q).

2.8.4 Model AutoregressiveIntegrated -Moving Average (ARIMA)

Tidak selamanya data yang akan dianalisis akan menunjukkan kestasioneran. Data yang tidak stasioner seringkali didapatkan di

kehidupan nyata. Deret waktu tanpa mean yang konstan misalnya, termasuk tidak stasioner. Salah satu cara menstasionerkan data adalah melalui differencing (pembedaan). Tinjau model AR(1):

1

t t t

ZZ

+a

(2.1 0) Terlihat dari persamaan (2.10) bahwa at tidak berkolerasi dengan Zt-1, Zt-2, .... Agar solusinya stasioner memenuhi persamaan (2.10) haruslah -1< Ø < 1. Jika Ø=1, maka persamaan (2.10) menjadi 1 t t t

Z =Z

+a

(2.1 1) atau t t

Z a

∇ =

(2.12) dimana

∇ = −Z

t

Z

t

Z

t1 adalah pembedaan pertama dari

Z

.

Proses stasioner dapat diperoleh dari hasil pembedaan data yang tidak stasioner. Variabel acak {Zt} dikatak an model integrasi autoregresif-moving average jika dibedakan sebanyak d kali dan merupakan proses ARMA yang stasioner. Disingkat ARIMA (p,d,q). Biasanya tingkat pembedaannya d=1 atau 2. Secara umum persamaan untuk model ARIMA (p,1,q), 1 1 2 2

...

1 1 2 2

...

t t t p t p t t t q t q

W W

W

+ +φW a a

+ − − − −θ θ

a

θa

(2.13) dimana

W

t

=Z

t

Z

t1, sehingga

( ) ( )

1 1 1 2 2 2 3

...

t t t t t t

Z Z− =

φ Z

Z

Z

Z

+

(

1

)

1 1 2 2

...

p

Z

t p

Z

t p

a

t

a

t

a

t q t q

a

φ

− −

θ

θ

θ

+ − + − − − −

Sehingga model ARIMA (1,1,1) memenuhi persamaan:

(2.14)

(Cryer, 1986).

Nilai ordo dari proses autoregressive dan moving average diduga secara visual dari plot PACF dan ACF dari data. Plot tersebut menampilkan distribusi koefisien autokorelasi dan koefisien autokorelasi parsial.

Pola yang tampak dalam plot ACF dan PACF dapat digunakan dalam pendugaan ordo MA dan AR karena masing-masing model memiliki pola yang khusus. Secara teoritis ?k=0 bagi k > q dalam model MA(q) dan Økk=0 bagi k > p dalam model AR (p) (Cryer, 1986).

Model ARIMA biasanya dilambangkan dengan ARIMA(p,d,q) yang mengandung pengertian bahwa model tersebut menggunakan p nilai lag dependen (orde AR), d tingkat proses pembedaan, dan q lag residual (orde MA).

2.8.5 Keterandalan Peramalan

Untuk mengukur keterandalan dari suatu hasil peramalan digunakan perhitungan Mean Absolute Deviation (MAD) dan Sum Square Error (SSE). MAD mengukur rata-rata penyimpangan absolute peramalan dari data aktualnya.

Dt = Data aktual ke-t F = Data hasil peramalan ke-t n = Banyaknya data

Peramalan yang terbaik adalah yang menghasilkan nilai MAD terkecil (Beasley, 2002).

Sum Square Error (SSE) mengukur jumlah kuadrat dari hasil selisih nilai peramalan dengan nilai aktual.

Peramalan terbaik adalah yang menghasilkan nilai SSE terkecil.

III. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Bidang Permodelan Iklim Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Bandung selama bulan Maret -Juni 2009.

3.2 Alat dan Data yang digunakan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah komputer dengan software Microsoft Office 2007, SPSS 16, Matlab versi 7.1, dan Microsoft Visual Basic 6.0. Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Data harian Real Time Multivariate MJO

seri 1 dan 2 (RMM1 dan RMM2) periode 1 Maret 1979 - 1 Maret 2009 (30 tahun) yang diperoleh dari web-side http://www.bom.gov.au/bmrc/clfor/cfstaff/ matw/maproom/RMM///

b. Data anomali pentad Outgoing Longwave Radiation (OLR) periode 3 Maret 1979 – 3 Maret 2009 yakni pada posisi 80oBT , 100oBT, 120oBT dan 140oBT yang diperoleh dari web-side

http://www.cpc.noaa.gov/products/precip/ CWlink/daily_mjo_index/proj_norm_orde r.ascii

c. D ata curah hujan harian wilayah Jakarta, Palembang, Lampung, dan Kerinci tahun 2006-2008

d. Data curah hujan bulanan tahun 1995-2008 (Sta. Halim Perdanakusuma, Sta. Pondok Betung, Sta. Kemayoran, Sta. Cengkareng, Sta. Tanjung Priok)

3.3 Metode Penelitian