Departemen Geofisika dan Meteorologi
4.3 Model Program Penentuan Fase Pergerakan MJO
Pada pembahasan sebelumnya telah diperoleh model statistik untuk memprediksi nilai RMM1 dan RMM2, yaitu ARIMA (2,1,2). Pergerakan MJO dari Samudera Hindia ke arah timur dibagi menjadi 8 fase. Untuk mendukung model prediksi MJO, maka
perlu juga dibuat suatu program untuk mengetahui fase pergerakan dan kekuatan MJO yang diprediksi. Model ini dibuat dengan memanfaatkan software Microsoft Visual Basic. Tampilan dari model program penentuan fase pergerakan MJO adalah sebagai berikut:
Gambar 20 Interface program penentuan fase pergerakan MJO Input dari program ini yaitu data RMM1
dan RMM2 dengan format .csv, sedangkan outputnya berupa fase pergerakan dan power MJO (lemah dan kuat ). Model ini berguna sekali mengingat cukup sulitnya menentukan fase pergerakan dan kekuatan MJO secara langsung, apalagi jika datanya banyak. Model ini sangat sederhana dan dapat digunakan oleh
siapa saja yang ingin mengetahui fase MJO. Ada beberapa syarat dari pembagian 8 fase tersebut dimana diagram fase pergerakan MJO dapat dilihat pada Bab II. Coding program ini terdapat di Lamp iran 3.
4.4 Analisis Jangka Panjang
Tipe curah hujan di wilayah Sumatera bagian selatan dan Jawa merupakan tipe curah hujan jenis Monsun. Periode musim hujan dan musim kemarau memiliki perbedaan yang jelas. Musim hujan terjadi pada bulan Desember, Januari, dan Februari. Sedangkan musim kemarau terjadi pada bulan Juni, Juli, dan Agustus. Gambar 21 memperlihatkan distribusi curah hujan bulanan di wilayah Jakarta yang diwakili oleh Stasiun Tanjung Priok, Stasiun Halim Perdanakusuma, Stasiun Kemayoran, dan Stasiun Cengkareng dari tahun 1995 sampai tahun 2008. Pada gambar tersebut terlihat bahwa curah hujan dengan intensitas tinggi di wilayah Jakarta terjadi pada bulan Januari-Februari-Maret.
Pada bulan Februari dan Maret hujan lebat terjadi hampir setiap hari. Sebagian berpendapat, ini adalah gejala alam biasa yang hampir terjadi setiap musim hujan. Bahkan ada yang menyatakan ini terkait erat dengan siklus lima tahunan yang menyebabkan Jakarta dan sekitarnya ”tenggelam” akibat curah hujan dengan intensitas cukup tinggi. Hingga saat ini belum ada penjelasan ilmiah yang secara utuh, runut, terpadu, serta mudah dimengerti masyarakat awam mengapa terjadi hujan lebat dengan intensitas tinggi.
Prof. Manabu D. Yamanaka dari Universitas Kobe, Jepang pada acara ”Workshop on Toward the Establishment of Hydrological Array for Intraseasonal Variation Monsoon Automonitoring (HARIMAU) and Its Application pada tanggal 6 Februari 2007 di BPPT, Jakarta mengatakan bahwa akibat tertahannya massa udara dingin oleh gunung Salak yang ada di Bogor, menyebabkan massa udara dengan kandungan uap air tadi kembali jatuh di Jakarta dan sekitarnya. Kalaulah skenario ini benar, mestinya hanya Kota Jakarta dan sekitarnya yang akan menerima hujan lebat secara terus -menerus. Namun, kenyataannya tidaklah demikian, justru curah hujan dengan intensitas tinggi lambat laun bergerak ke arah timur yang ditandai dengan banjir hampir di sepanjang Pantai Utara P. Jawa seperti Bekasi, Cikampek, Karawang (hampir seluruh Pantai Utara Jawa Barat) hingga Jawa Tengah. Jika menggunakan teori cold surge, fenomena ini menjadi sulit dijelaskan.
Ada beberapa faktor lain yang menyebabkan intensitas curah hujan tinggi di daerah Jakarta. Secara geografis di utara Jakarta terbentang laut sebagai sumber uap air, sementara di bagian selatan Jakarta ada pegunungan di Bogor. Pengaruh lokal itulah
yang kemudian memberikan andil besar semakin besarnya intensitas curah hujan di Jakarta pada Januari dan Februari.
Menurut Dr. Fadli Syamsudin, koodinator program Hydrometeorological Array for Intraseasonal Variation Monsoon Auto Monitoring (Harimau) Indonesia, salah satu faktor yang menyebabkan hujan dengan intensitas tinggi adalah kiriman uap air jenuh dari Samudera Hindia akibat Madden Julian Oscillation (MJO). Menurut Beliau MJO dalam fase aktif memiliki korelasi terjadinya intensitas curah hujan yang tinggi terhadap wilayah yang dilaluinya. MJO merupakan osilasi dominan yang terjadi di hampir seluruh kawasan ekuator dengan nilai Power Spectral Density (PSD) berkisar antara 30 hingga 60 harian. Sejak peristiwa El-Nino pada tahun 1982-1983, variasi frekuensi rendah di wilayah tropis, baik itu waktu intraannual (kurang dari setahun) dan inter-annual (lebih dari setahun), mendapatkan banyak perhatian dan hubungannya dengan MJO berkembang dengan cepat.
Dalam penelitian ini, analisis jangka panjang dilakukan dengan melihat bagaimana pengaruh MJO terhadap curah hujan di Indonesia, yaitu berdasarkan analisis data Real Time Multivariate MJO (RMM1 dan RMM2). Sebagaimana yang telah dijelaskan pada Bab II bahwa MJO dikatakan dalam
fase aktif jika .
Analisis jangka panjang ini hanya difokuskan pada wilayah Indonesia bagian barat (studi kasus:Jakarta), sehingga fase pergerakan MJO juga hanya difokuskan pada fase 4 dan 5 (dapat dilihat pada diagram fase pergerakan MJO di Bab II). Data RMM yang dianalisis yaitu periode Januari 1995 - Desember 2008. Plot data RMM1 dan RMM2 (data asli) dengan nilai prediksi ARIMA (2,1,2) pada periode tersebut dapat dilihat pada Lampiran 5. Berikut ini plot RMM yang ditampilkan yaitu pada tahun 1996, 2002, dan 2007.
(a)
(b)
(c)
Gambar 22 Plot data RMM1/2 dengan nilai prediksi periode 1 Januari - 31 Desember 1996 (a), 2002 (b), dan 2007 (c)
Gambar 22(a) terlihat bahwa pada awal bulan Februari dan Juni 1996 MJO berada dalam fase aktif. MJO aktif yang terjadi pada bulan Februari tersebut menyebabkan hujan dengan intensitas tinggi, namun tidak sama halnya dengan MJO aktif pada bulan Juni. Pada bulan Juni 1996, curah hujan di wilayah
Jakarta khususnya sangat rendah. Begitu juga pada bulan kering lainnya (Juli-Agustus), MJO yang aktif tidak menyebabkan curah hujan tinggi pada saat itu.
MJO aktif yang terjadi pada bulan basah (Desember-Januari-Februari) berpeluang meningkatkan curah hujan. Hal itu dikarenakan posisi matahari pada ketiga bulan tersebut yaitu berada di sebelah selatan yang meny ebabkan penguapan tinggi. Sedangkan MJO aktif pada bulan kering (Juni-Juli-Agustus) tidak menyebabkan curah hujan tinggi. Sehingga salah jika dikatakan bahwa MJO selalu menyebabkan intensitas curah hujan tinggi, karena hal itu tidak selalu, kecuali ketika matahari berada di sebelah selatan khatulistiwa.
4.5 Analisis J angka Pendek
Analisis jangka pendek difokuskan pada curah hujan bulan basah (Desember -Januari-Februari-Maret) tahun 1996, 2002, dan 2007. Curah hujan yang tinggi pada saat itu akan dianalisis apakah ada pegaruh dari fenomena Madden Julian Oscillation (MJO).
Setiap Januari hingga Februari, intensitas curah hujan di wilayah Jakarta m encapai puncaknya. Hujan dengan intensitas sangat tinggi di Jakarta pada tahun 1996 terjadi pada awal Februari, mencapai 200 mm/hari. Pada tahun 2002 curah hujan tinggi terjadi pada akhir Januari (15-30 Januari), mencapai 200 mm/hari sedangkan pada tahun 2007 curah hujan tinggi mencapai 250 mm/hari terjadi pada 1-5 Februari (Lampiran 6). Tahun 1996, 2002, dan 2007 terjadi banjir besar di Jakarta. Definisi banjir dalam tulisan ini adalah banjir besar yang hampir melumpuhkan kota Jakarta. Di luar tahun tersebut, Jakarta tentu saja mengalami banjir tetapi dengan skala, dampak, dan peningkatan kerugian yang jauh lebih kecil.
Penyebab banjir di Jakarta menurut Dr. Armi Susandi, MT (Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung) yaitu curah hujan tinggi, topografi Jakarta, dan Gelombang Pasang (ROB). Dalam tulisan ini hanya akan dibahas penyebab banjir dari pengaruh curah hujan tinggi.
Banjir akibat hujan lebat di daerah Jakarta berpotensi terjadi pada bulan Januari dan Februari. Perlu dianalisis apa penyebab dari hujan sangat lebat pada tiga tahun itu. Diduga ada pengaruh dari fenomena MJO yang menyebabkan curah hujan lebat tersebut. Berikut ini adalah plot dari RMM1 dan RMM2 untuk mengetahui fase aktif dan lemah MJO.
(a) (b)
Gambar 23 Plot data RMM1/2 (a) dan diagram fase MJO (sumber: Bureau of Meteorology Research Centre, 1996) (b) periode 1 Desember 1995 – 31 Maret 1996
(a) (b)
Gambar 24 Plot data RMM1/2 (a) dan diagram fase MJO (sumber: Bureau of Meteorology Research Centre, 2002) (b) periode 1 Desember 2001 – 31 Maret 2002
(a) (b)
Gambar 25 Plot data RMM1/2 (a) dan diagram fase MJO (sumber: Bureau of Meteorology Research Centre, 2007) (b) periode 1 Desember 2006 – 31 Maret 2007
awal Februari MJO aktif awal Februari MJO lemah akhir Januari MJO aktif M JO aktif M JO aktif M JO lemah
Diagram pergerakan MJO pada Gambar 23, 24, dan 25 (b) memperlihatkan bagaimana fase MJO ketika curah hujan tinggi pada tahun 1996, 2002, dan 2007 yang menyebabkan banjir di Jakarta. Pada awal Februari 1996 tepatnya tanggal 3, 9, 10, 11 Februari MJO berada pada fase aktif, begitu pula pada akhir Januari 2002 (Gambar 24). MJO aktif tersebut berpengaruh pada meningkatnya curah hujan. Salah satu wilayah yang terkena dampaknya yaitu Jakarta.
Menurut Dr. Fadli Syamsudin, ada empat faktor pemicu curah hujan tinggi yang berdampak banjir di Jakarta dari sisi klimatologi, yaitu cold surge, fenomena MJO, El Nino/La Nina Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD) dari Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, dan faktor lokal seperti Jakarta yang memiliki pola harian curah hujan yang dipengaruhi lingkungan maritim di sekitarnya juga memicu tingginya curah hujan. Pada awal Februari 2007 terjadi banjir besar akibat sangat lebatnya curah hujan harian, terutama pada tanggal 1-5 Februari. Dugaan awal yatu bahwa ada pengaruh dari fenomena MJO pada saat itu, seperti yang terjadi pada tahun 1996 dan 2002. Namun dugaan awal itu salah karena berdasarkan data RMM dan melihat diagram fase pergerakan MJO, ternyata pada awal Februari 2007 MJO berada dalam fase lemah.
Nilai RMM1 dan RMM2 juga berhubungan dengan angin, sehingga pada penelitian ini dianalisis pula vektor angin saat kejadian curah hujan ekstrim tahun 2007. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Rahmat Genorwo tahun 2009, pola pergerakan angin menunjukkan adanya pergerakan vortex di Selatan Pulaw Jawa saat kejadian curah hujan ekstrim tahun 2002 dan 2007. Fenomena vortex dimulai tanggal 23 Januari 2002 hingga berakhir 26 Januari 2002 dan tanggal 1 Februari untuk periode tahun 2007. Gerak turbulensi vektor angin akan menyebabkan terjadinya curah hujan tinggi. Namun fenomena vortex bukan merupakan efek dominan penyebab curah hujan ekstrim.
MJO terlihat jelas dari aktivitas awan-awan Cb yang dapat dilihat berdasarkan data radiasi gelombang panjang (OLR). Untuk itu perlu dilihat bagaimana anomali OLR pada awal Februari 2007. Warna biru pada Gambar 26 menunjukkan anomali OLR negatif (MJO aktif), sedangkan warna orange menunjukkan anomali OLR positif (MJO tidak aktif).
Gambar 26 T i m e-longitude section anomali OLR pada 3°LU–8°LS dan 105°BT-108°BT Januari–Maret 2007 (sumber: NOAA, 2007) Pada Gambar 26 terlihat bahwa awal Februari 2007 anomali OLR positif, sehingga tidak menunjukkan adanya kumpulan awan-awan tinggi (Super Cloud Cluster). Analisis data RMM dan OLR semakin menguatkan argumen penulis bahwa curah hujan tinggi di Jakarta awal Februari 2007 bukanlah disebabkan oleh fenomena MJO.
Fakta ini sekaligus membantah apa yang pernah diungkapkan oleh Erwin Mulyana (2008), bahwa kejadian banjir pada Februari 2007 disebabkan oleh adanya MJO aktif. Diduga ada fenomena lain yang menyebabkan curah hujan sangat lebat pada awal Februari 2007. Hasil penelitian Peiming Wu et al. (2007), curah hujan sangat lebat yang menyebabkan banjir pada aw al Februari 2007 disebabkan oleh pengaruh massa udara dingin yang bergerak dari Siberia ke kawasan ekuator melalui pesisir Jawa (cold surge), dan adanya pengaruh dari pergerakan Monsun yang melewati ekuator.
anomali OLR (+) M JO lemah
Di daerah tropis aktivitas konveksi di atas lautan lebih aktif dibanding di daratan dengan variasi yang besar. Sebagai akibat pertumbuhan awan konvektif yang besar, maka curah hujan variasinya sangat besar, namun untuk tahun 2007, konveksi pada tanggal 1 Februari 2007 sedikit melemah. Hal yang perlu diperhatikan adalah terdapat delay waktu kejadian hujan sebelum terjadi curah hujan ekstrim tersebut, secara fisis dianalisis sebagai pengumpulan energi di atmosfer sebagai penyebab curah hujan ekstrim.
Analisis jangka pendek untuk melihat peluang hujan lebat pada saat MJO difokuskan hanya di empat kota kawasan barat Indonesia, yaitu Jakarta, Palembang, Lampung, dan Kerinci pada tahun 2006, 2007, dan 2008.
Tabel 11 Peluang kejadian curah hujan > 50 mm/hari saat MJO aktif dan tidak aktif di wilayah Jakarta, Lampung, Palembang, dan Kerinci
Stasiun Tahun A (%) B (%) Halim P. 2006 1.33 2.16 2007 0.95 3.23 2008 0.97 0.78 Kemayoran 2006 2.21 2.88 2007 3.33 3.23 2008 2.2 0.72 Tj. Priok 2006 1.77 0 2007 3.81 3.23 2008 2.64 1.45 PD. Betung 2006 0.99 1.8 2007 2.38 2.58 2008 3.08 0 Palembang 2006 1.77 2.16 2007 2.38 3.23 2008 3.08 2.17 Lampung 2006 2.46 0.99 2007 4.09 1.5 2008 2.2 0.72 Kerinci 2006 0.88 0.72 2007 1.03 0 2008 0.88 0 Ket:
A = Peluang CH > 50 mm/hari saat MJO aktif B = Peluang CH > 50 mm/hari saat MJO tidak aktif
Tabel 11 menunjukkan bahwa peluang hujan lebat saat terjadinya MJO aktif adalah kecil (kurang dari 5%). Pertumbuhan awan
sampai mencapai tingkat matang dan menjadi hujan dibutuhkan inti kondensasi, uap air, energi dalam jumlah yang besar. Sehingga jika MJO aktif tetapi tidak menimbulkan curah hujan, hal itu dikarenakan awan-awan tersebut belum mencapai inti kondensasi sehingga terus bergerak dan bergabung dengan butir awan lain dan membentuk ukuran butir yang lebih besar lagi sehingga gaya berat mampu melawan daya angkat ke atas, dan butit dapat turun sebagai hujan. Tabel 11 juga sekaligus menunjukkan bahwa M JO tidak selalu identik dengan intensitas curah hujan yang tinggi.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Melalui metode Box Jenkins, model prediksi yang mendekati untuk data deret waktu RMM1/2 adalah ARIMA (2,1,2), yang artinya bahwa prakiraan data RMM1/2 untuk waktu mendatang tergantung dari data dan galat dua hari sebelumnya.
2. Hasil validasi nilai RMM dengan nilai prediksi untuk per iode 2 Maret 2009 – 2 Juni 2009, menunjukkan bahwa nilai prediksi dengan model ARIMA (2,1,2) mendekati nilai RMM data asli, dengan rata-rata galat yang diperoleh yaitu 0.17 (RMM1) dan 0.15 (RMM2).
3. MJO fase aktif tidak selalu diikuti dengan hujan deras di Indonesia. MJO aktif berpeluang menimbulkan hujan deras di Indonesia ketika terjadi pada bulan basah (DJFM). Pada tahun 1996 dan 2002 MJO menjadi salah satu penyebab hujan deras (mencapai 200 mm/hari) yang menyebabkan banjir (studi kasus: Jakarta). Namun kejadian hujan deras yang menyebabkan banjir pada Februari 2007 terjadi ketika MJO dalam fase lemah, sehingga diduga ada fenomena lain yang menyebabkan hujan deras tersebut.
5.2 Saran
• Untuk meningkatkan keakuratan dalam prakiraan selanjutnya, sebaiknya model diperbaharui dengan data baru yang diperoleh.
• Penulis menyarankan untuk menggunakan metode prediksi (berbasis statistik) yang lebih baik lagi pada penelitian selanjutnya.
Di daerah tropis aktivitas konveksi di atas lautan lebih aktif dibanding di daratan dengan variasi yang besar. Sebagai akibat pertumbuhan awan konvektif yang besar, maka curah hujan variasinya sangat besar, namun untuk tahun 2007, konveksi pada tanggal 1 Februari 2007 sedikit melemah. Hal yang perlu diperhatikan adalah terdapat delay waktu kejadian hujan sebelum terjadi curah hujan ekstrim tersebut, secara fisis dianalisis sebagai pengumpulan energi di atmosfer sebagai penyebab curah hujan ekstrim.
Analisis jangka pendek untuk melihat peluang hujan lebat pada saat MJO difokuskan hanya di empat kota kawasan barat Indonesia, yaitu Jakarta, Palembang, Lampung, dan Kerinci pada tahun 2006, 2007, dan 2008.
Tabel 11 Peluang kejadian curah hujan > 50 mm/hari saat MJO aktif dan tidak aktif di wilayah Jakarta, Lampung, Palembang, dan Kerinci
Stasiun Tahun A (%) B (%) Halim P. 2006 1.33 2.16 2007 0.95 3.23 2008 0.97 0.78 Kemayoran 2006 2.21 2.88 2007 3.33 3.23 2008 2.2 0.72 Tj. Priok 2006 1.77 0 2007 3.81 3.23 2008 2.64 1.45 PD. Betung 2006 0.99 1.8 2007 2.38 2.58 2008 3.08 0 Palembang 2006 1.77 2.16 2007 2.38 3.23 2008 3.08 2.17 Lampung 2006 2.46 0.99 2007 4.09 1.5 2008 2.2 0.72 Kerinci 2006 0.88 0.72 2007 1.03 0 2008 0.88 0 Ket:
A = Peluang CH > 50 mm/hari saat MJO aktif B = Peluang CH > 50 mm/hari saat MJO tidak aktif
Tabel 11 menunjukkan bahwa peluang hujan lebat saat terjadinya MJO aktif adalah kecil (kurang dari 5%). Pertumbuhan awan
sampai mencapai tingkat matang dan menjadi hujan dibutuhkan inti kondensasi, uap air, energi dalam jumlah yang besar. Sehingga jika MJO aktif tetapi tidak menimbulkan curah hujan, hal itu dikarenakan awan-awan tersebut belum mencapai inti kondensasi sehingga terus bergerak dan bergabung dengan butir awan lain dan membentuk ukuran butir yang lebih besar lagi sehingga gaya berat mampu melawan daya angkat ke atas, dan butit dapat turun sebagai hujan. Tabel 11 juga sekaligus menunjukkan bahwa M JO tidak selalu identik dengan intensitas curah hujan yang tinggi.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Melalui metode Box Jenkins, model prediksi yang mendekati untuk data deret waktu RMM1/2 adalah ARIMA (2,1,2), yang artinya bahwa prakiraan data RMM1/2 untuk waktu mendatang tergantung dari data dan galat dua hari sebelumnya.
2. Hasil validasi nilai RMM dengan nilai prediksi untuk per iode 2 Maret 2009 – 2 Juni 2009, menunjukkan bahwa nilai prediksi dengan model ARIMA (2,1,2) mendekati nilai RMM data asli, dengan rata-rata galat yang diperoleh yaitu 0.17 (RMM1) dan 0.15 (RMM2).
3. MJO fase aktif tidak selalu diikuti dengan hujan deras di Indonesia. MJO aktif berpeluang menimbulkan hujan deras di Indonesia ketika terjadi pada bulan basah (DJFM). Pada tahun 1996 dan 2002 MJO menjadi salah satu penyebab hujan deras (mencapai 200 mm/hari) yang menyebabkan banjir (studi kasus: Jakarta). Namun kejadian hujan deras yang menyebabkan banjir pada Februari 2007 terjadi ketika MJO dalam fase lemah, sehingga diduga ada fenomena lain yang menyebabkan hujan deras tersebut.
5.2 Saran
• Untuk meningkatkan keakuratan dalam prakiraan selanjutnya, sebaiknya model diperbaharui dengan data baru yang diperoleh.
• Penulis menyarankan untuk menggunakan metode prediksi (berbasis statistik) yang lebih baik lagi pada penelitian selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
[Anonim]. 18 Januari 2008. Osilasi Madden -Julian, Biang Hujan Lebat?. Kompas. http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0801/18/humaniora/4173614.htm [Mei 2009]
[Anonim]. 20 Feb 2009. Banjir bandang bisa dideteksi dari cold surge dan MJO. Antara News.
http://www.antara.co.id/view/?i=12351209 45&c=WBM&s= [Mei 2009]
Aldrian, Edvin. 2000. Pola hujan rata-rata bulanan wilayah Indonesia; tinjauan hasil kontur data penakar dengan resolusi ECHAM T -42. Jurnal Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca Vol. 1, No. 2, 2000:113-123.
As-syakur AR. 2008. Faktor penyebab banjir. http://mbojo.wordpress.com/2008/04/07/fa ktor-penyebab-banjir-2-perubahan-lingkungan/ [April 2009]
Beasley JE. 2002. OR-Notes. Series of Introductory Notes. UK: Imperial College. http://www.ms.ic.ac.uk/jeb/or/forecast.htm l
Bey, Ahmad. 1987. Metode Kausal dan Time Series Untuk Analisis Data Iklim. Bogor: IPB.
[BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2009. Evaluasi musim hujan dan musim kemarau 2009 Propinsi Banten dan DKI Jakarta. Tangerang: Stasiun Klimatologi Pondok Betung.
Box GEP, Jenkins G M , Reinsel GC. 1976. Time Series Analysis: Forecasting and Control. San Fransisco : Holden-Day. Bureau of Meteorology Research Centre. An
RMM values up to "real time". .
http://www.bom.gov.au/bmrc/clfor/cfstaff/ matw/maproom/RMM/// [10 Juni 2009] Chatfield C. , 1984 , The Analysis of Time
Series : An Introduction. London:
Chapman and Hall.
Cryer JD. 1986. Time Series Analysis. USA: PWS Publishers.
Gernowo, Rahmat. 2009. Dinamika Atmosfer pada Curah Hujan Ekstrim dan Penerapan Modifikasi Cuaca Sistem Statis di daerah DKI Jakarta [disertasi]. Bandung: Institut Tekonogi Bandung.
Handoko. 1995. Klimatologi Dasar. Jakarta: Pustaka Jaya.
Hermaw an, Eddy . 2002. Perbandingan antara Radar Atmosfer Khatulistiwa dengan M iddle and Upper Atmosphere Radar dalam pemantauan angin zonal dan angin meridional. Warta LAPAN 4, 1:8-16. Hermawan E et al. 2007. Analisis Hubungan
antara Propagasi dan Struktur Vertikal MJO dengan Perilaku Curah Hujan yang terjadi di atas Kototabang dan Kawasan Sekitarnya Berbasis Hasil Analisis Data EAR, BLR, Radiosonde dan NCEP/NCAR Re-analysis. Bandung: LAPAN.
Jarret J. 1991. Business Forecasting Methods (2nd ed.). Oxford :Basil Blacwell. Juniarti et al. 2002. Korelasi antara Outgoing
Longwave Radiation (OLR) dan Total Precipitable Water (TPW) di wilayah Indonesia periode 1996 – 1999. Kontribusi Fisika Indonesia 13:3.
Kadarsah. 2007. Tiga pola curah hujan Indonesia. http://kadarsah.wordpress.com [15 Mei 2009].
Kalnay E, Coauthors. 1996. The NCEP/NCAR 40-year reanalysis project. Amer Meteor l Soc 77: 437 –471.
Kyong H S. 2008. Evaluation of MJO forecast Skill from s everal statistical and dynamical forecast models. J Clim. Lau KM , Chan PH. 1986. Aspects of the
40±50 day oscillation during the northern summer as inferred from outgoing long-wave radiation. Month Weather Rev 114: 1354-1367.
Lestari D. 2009. Cold Surge dan MJO Pemicu Banjir Bandang. Antara News 14 Februari 2009.
Madden RA, Julian P. 1971. Detection of a 40±50 day oscillation in the zonal wind in the tropical Pacific. J Atmos Sci 28: 702-708.
Madden RA, Julian P. 1972. Description of global –Svale circulation cells in tropics with a 40-50 day period. J Atmos Sci 29:1109-1123.
Madden RA, Julian P. 1994. Observations of the 40-50 day tropical oscillation. Month Weather Rev 122:814-837.
Makridakis et al. 19 88. Metode dan Aplikasi Peramalan. Jilid Satu Ed ke-2. Untung SA dan Abdul B, penerjemah. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Forecasting, 2nd Edition.
Matthews AJ. 2000. Propagation mechanisms for the Madden-Julian Oscillation. Quart J Roy Meteor Soc 126: 2637 -2652.
Mulyana, 2004. Analisis Data Deret Waktu. Bandung : Universitas Padjajaran.
Mulyana, Erwin. 2008. The Expert Program for Climate Prediction in Asia-Pasific. Prosiding Country Report; 22 Sept-7 Nov 2008.
[NOAA] National Oceanic and Atmospheric Administration. Monitoring and data Outgoing Longwave Radiation. http://www.cpc.noaa.gov/products/precip/ CWlink/daily_mjo_index/proj_norm_orde r.ascii [17 Juni 2009]
Nurhayati N. 2007. Propagasi dan Struktur Vertikal MJO Indonesia Bagian Barat Berbasis hasil Analisis Data EAR, BLR, Radiosonde, dan NCEP/NCAR Reanalysis [skripsi]. Bogor: Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB.
Santoso, Singgih. 2002. SPSS versi 10 Mengolah Data Statis tik Secara Profesional. Jakarta: PT. Elex Medis Komputindo Kelompok Gramedia. Seto TH. 2002. Pengamatan Osilasi Madden
Julian dengan radar atmosfer equator (EAR) di Bukittinggi Sumatera Barat. Sains & Teknologi Modifikasi Cuaca 3:121 -124.
Sudjana. 1982. Statistika untuk Ekonomi dan Niaga. Ed ke-2. Bandung: Tarsito. Susandi, Armi. 2008. Pengaruh Kenaikan
Muka Laut dan Gelombang Pasang pada
Banjir Jakarta. Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibu Jakarta
Tikno S, Nike. 2004. Penerapan model ARIMA untuk prakiraan kondisi curah hujan wilayah kasus: Sub DAS Saguling.