• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Landasan Teori

2.2.2. Analisis Kebijakan

Analisis kebijakan diambil dari berbagai macam disiplin dan profesi yang bersifat deskriptif, evaluatif dan prespektif. Dunn (2003) menyatakan bahwa analisis kebijakan merupakan sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang ada hubungannya dengan kebijakan sehingga dapat dimanfaatkan ditingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan.

Selanjutnya analisis kebijakan didefinisikan pula sebagai salah satu diantara sejumlah banyak faktor didalam sistem kebijakan. Suatu sistem kebijakan (policy system) dimana didalamnya kebijakan dibuat, mencakup hubungan timbal balik antara tiga unsur yaitu : kebijakan publik, pelaku kebijakan dan lingkungan kebijakan. Sistem kebijakan adalah produk manusia yang subjektif yang diciptakan melalui pilihan-pilihan yang sadar oleh para pelaku kebijakan. Berikut gabungan tiga unsur didalam sistem kebijakan (Thomas R Dye dalam Dunn, 2003). Pelaku Lingkungan Kebijakan Kebijakan Publik

Kebijakan publik (public policies) merupakan rangkaian pilihan yang kurang lebih berhubungan termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak yang dibuat oleh badan dan pejabat pemerintah yang diformulasikan didalam berbagai bidang termasuk lingkungan hidup.

Masalah kebijakan tergantung pula pada pola keterlibatan pelaku kebijakan (policy stakeholders) yang khusus, yaitu para individu atau kelompok individu yang mempunyai andil didalam kebijakan karena mereka mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keputusan pemerintah.

Sedangkan lingkungan kebijakan (policy environment) yaitu konteks khusus dimana kejadian-kejadian di sekeliling isu kebijakan terjadi, mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pembuat kebijakan dan kebijakan publik.

Salah satu faktor yang menyebabkan sulitnya mengambil keputusan (kebijakan) adalah sulitnya memperoleh informasi yang cukup serta bukti-bukti yang sulit disimpulkan. Karena itu dalam pengambilan keputusan akan lebih mudah bila menggunakan model tertentu. Model kebijakan adalah sajian yang disederhanakan mengenai aspek-aspek terpilih dari situasi problematik yang disusun untuk tujuan-tujuan khusus. Model-model kebijakan tersebut yaitu model deskriptif, model normatif, model verbal, model simbolik, model prosedural, model pengganti dan model perspektif.

Penerapan setiap model kebijakan tidak dapat dilakukan pada semua perumusan kebijakan karena masing-masing model memiliki fokus pada aspek- aspek yang berbeda. Menurut Forrester dalam Dunn (2003), persoalan kebijakan tidak terletak pada menggunakan atau membuang model, persoalannya hanyalah terletak pada pemilihan diantara berbagai alternatif.

Menurut Dunn (2003) proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan di dalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis. Aktivitas politis tersebut dijelaskan sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai rangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan waktu: penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan dan penilaian kebijakan.

Selanjutnya Dunn (2003) menjelaskan bahwa analisis kebijakan adalah awal, bukan akhir, dari upaya untuk meningkatkan proses pembuatan kebijakan, berikut hasilnya. Itulah sebabnya analisis kebijakan didefinisikan sebagai pengkomunikasian, atau penciptaan dan penilaian kritis, pengetahuan yang relevan dengan kebijakan, yang jelas, kualitas analisis kebijakan adalah penting sekali untuk memperbaiki kebijakan dan hasilnya.

Adapun menurut Ramdan dan Yusran (2001) ukuran efektifitas kebijakan yang perlu diperhatikan adalah :

a. Efisiensi, Kebijakan dalam pengelolaan Sumberdaya Alam (SDA) harus mampu meningkatkan efisiensi penggunaan SDA secara optimal. Kebijakan

pengelolaan SDA yang tidak mencerminkan efisiensi dapat menimbulkan degradasi lingkungan.

b. Fair (adil), bobot kebijakan harus ditempatkan secara adil, dimana kepentingan publik tidak terabaikan. Sebagai contoh rusaknya hutan tropis Indonesia disebabkan oleh tidak tercerminnya rasa keadilan publik. Masayarakat lokal selama 32 tahun rejim orde baru tidak mendapatkan kesempatan untuk menikmati langsung hutan yang ada di lingkungannya. Kebijakan konsesi hutan yang tidak fair dalam prakteknya telah memperkaya sekelompok pengusaha (pusat) dan memiskinkan masyarakat lokal. Ketidakadilan ini menyebabkan konflik sosial.

c. Mengarah kepada insentif, perbaikan lingkungan adalah tanggung jawab bersama karena SDA ini prinsipnya obligasi bersama yang harus dijaga. Namun untuk menciptakan attitude diperlukan insentif. Oleh karena itu kebijakan dalam pengelolaan SDA harus mengarah kepada insentif untuk merangsang tindakan dalam perbaikan lingkungan.

d. Penegakan hukum (enforcebility), kebijakan tidak akan efektif berjalan dalam kondisi disorder dan poor law enforcement. Penegakan hukum akan memaksa setiap anggota masyarakat untuk mentaati kebijakan yang telah ditetapkan.

e. Diterima oleh publik (public acceptable), kebijakan pengelolaan SDA selalu menyangkut kepentingan publik. Dengan demikian kebijakan yang baik harus dapat diterima oleh publik.

f. Moral, kebijakan yang baik tidak akan ada pengaruhnya dalam perbaikan SDA dan lingkungan apabila tidak dilandasi oleh moral yang baik. Moral adalah aspek normatif yang sangat penting dalam menjamin aspek positif dari suatu kebijakan. Moral menjadi spirit of soul dalam pengelolaan SDA. Kerusakan SDA di Indonesia yang meningkat selama ini dipengaruhi oleh pelaksanaan kebijakan tanpa moral. Oleh karena itu terjadinya moral hazard menjadi titik awal kerusakan SDA dan lingkungan.

Dalam kaitannya dengan pengelolaan Tahura Wan Abdul Rachman dimana semua pihak merasa berhak dan berwenang untuk mengelola kawasan tersebut, perlu adanya kebijakan yang dapat memberikan rasa adil (fair) kepada

semua pihak baik masyarakat lokal maupun pemerintah, dapat diterima oleh publik, efisien, dan dengan pendekatan moral kepada masyarakat, sehingga masyarakat dapat menerima walaupun diterapkannya sanksi-sanksi sebagai pendekatan penegakkan hukum di dalam menindak segala pelanggaran yang ada.

Pendekatan yang mestinya diterapkan oleh pemerintah dalam merumuskan suatu kebijakan pengelolaan kawasan tahura adalah dengan melakukan pendekatan kolaboratif terhadap semua aktor yang berperan pada kawasan tersebut baik pemerintah, masyarakat, LSM, perguruan tinggi dan lain-lain. Sehingga dengan pendekatan kolaboratif tersebut diharapkan dapat memadukan semua aspek yang ada baik aspek ekologi yang lestari, ekonomi yang meningkat, maupun sosial budaya masyarakat setempat yang baik dan dapat dipertahankan, yang disebut dengan konsep ekososiosistem.

Dokumen terkait