• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. METODE PENELITIAN

3.5. Definisi Operasional

Definisi operasional yang digunakan dalam penelitian yang berjudul Analisis Kebijakan Pengelolaan Taman hutan Raya Wan Abdul Rachman berbasis Ekososiosistem di Propinsi Lampung meliputi :

1. Taman Hutan Raya adalah salah satu Kawasan Pelestarian Alam yang untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli atau bukan asli (eksotik) yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi (IUCN. 1980).

2. Kebijakan adalah Peraturan yang telah dirumuskan dan disetujui untuk dilaksanakan guna mempengaruhi suatu keadaan, baik besaran maupun arahnya yang melingkupi keadaan kehidupan masyarakat umum (Sanim. 2000 dalam Ramdan H dan Yusran. 2001)

3. Analisis Kebijakan merupakan aktifitas menciptakan pengetahuan tentang dan dalam proses pembuatan kebijakan. Dalam menciptakan pengetahuan tersebut, analisis kebijakan meneliti sebab, akibat, dan kinerja kebijakan dan program publik (Dunn. 1999).

4. Ekososiosistem adalah suatu pendekatan sistem dalam pengambilan keputusan yang memadukan keseimbangan dalam aspek lingkungan, ekonomi dan sosial-budaya sehingga kebijakan yang diterapkan dapat berkelanjutan. Menurut Ollagnon H. 1989 ekososiosistem merupakan

hasil dari gabungan sistem ekonomi, sosial dan ekologi, yang disajikan sebagai basis untuk pengembangan sistem manajemen.

5. Pengelolaan Sumberdaya merupakan suatu tindakan atau perlakuan yang diberikan pada suatu sumberdaya untuk menjaga dan mempertinggi produktivitas sumberdaya tersebut secara berkesinambungan.

6. Agroforestry merupakan sistem penggunaan lahan secara berkelanjutan yang bertujuan untuk meningkatkan penghasilan dari kegiatan mengkombinasikan antara tanaman pangan (musiman) dengan tanaman pohon-pohonan dengan mengunakan prinsip pengelolaan yang sesuai dengan prinsip dan karakteristik budaya masyarakat sekitar (Vergara, 1982).

7. Strategi agroforestry, merupakan strategi mengoptimalkan penggunaan zona pemanfaatan dalam kawasan konservasi TAHURA WAR dengan tujuan meningkatkan penghasilan dari kegiatan mengkombinasikan antara tanaman pangan (musiman) dengan tanaman pohon-pohonan dengan menggunakan prinsip pengelolaan yang sesuai dengan prinsip dan karakteristik budaya masyarakat sekitar

8. Ekowisata, sebagai aktivitas perjalanan yang tidak mengganggu atau mengkontaminasi daerah alami dengan tujuan khusus dari belajar, menikmati dan mengamati suasana alam (hewan dan tumbuhan liar), dan juga manifestasi dari budaya setempat (baik yang lalu maupun sekarang) yang ditemui di daerah tersebut (Minca. et.al. 2000)

9. Strategi Ekowisata merupakan strategi mengoptimalkan penggunaan zona pemanfaatan dalam kawasan konservasi TAHURA WAR dengan tujuan meningkatkan penghasilan masyarakat sekitar melalui kegiatan wisata alam yang diiringi prinsip kelestarian.

4.1. Letak Geografis dan Batas Kawasan

Kawasan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman terletak antara 5o18’47” – 5 29 34 LS dan 105o02’42” – 105o14’42” BT dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :

Sebelah Utara : Kecamatan Bernung Kabupaten Lampung Selatan

Sebelah Selatan : Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Lampung Selatan Sebelah Timur : Kecamatan Kedondong Kabupaten Lampung Selatan Sebelah Barat : Kecamatan Telukbetung Utara dan Telukbetung Barat

Kota Bandar Lampung

Adapun luas wilayah kawasan Tahura Wan Abdul Rachman adalah sekitar 22.244 hektar yang termasuk ke dalam 2 (dua) wilayah administrasi, yakni Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Lampung Selatan dengan 7(tujuh) kecamatan yakni Kecamatan Padang Cermin, Kecamatan Kedondong, Kecamatan Way Lima, kecamatan Gedong Tataan, Kecamatan Kemiling, Kecamatan Telukbetung Barat dan Kecamatan Telukbetung Utara (Dishut. 2005). Peta lokasi kawasan tahura dapat dilihat pada Gambar 5.

4.2. Kondisi dan Potensi Fisik Kawasan

4.2.1 Iklim

Menurut data iklim dari stasiun pengamat iklim terdekat berdasarkan curah dan hari hujan selama 10 tahun secara berturut-turut, menunjukkan bahwa bulan- bulan basah (curah hujan > 100 mm/bulan) terjadi pada Desember sampai Maret, bulan-bulan lembab (curah hujan 60--100 mm/bulan) terjadi selama 5 bulan dan sisanya merupakan bulan kering (curah hujan < 60 mm/bulan) terjadi pada Mei-- Juli.

Kondisi iklim rata-rata dalam 5 tahun terakhir, suhu mencapai 27.7oC, RH atau kelembaban sebesar 83.1%, dan persentasi sinar matahari adalah 33.1%. Sedangkan jumlah hari hujan berkisar antara 4,7 hari/bulan (September) sampai 17,8 hari/bulan (januari).

Secara rinci kondisi curah hujan kondisi iklim selama 5 tahun berturut- turut disajikan pada Tabel 7 dan Tabel 8.

Tabel 7. Curah hujan (mm) bulanan selama 10 tahun Bulan

Tahun

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des Jml

1982 208 148 85 129 25 68 47 3 342 13 71 217 1356 1983 281 106 27 118 86 52 101 9 7 42 88 126 993 1984 134 186 156 73 87 47 84 38 54 60 88 161 1168 1985 205 155 125 69 21 58 69 72 67 68 54 102 1065 1986 182 123 136 108 46 32 20 55 84 174 122 68 1150 1987 314 218 97 71 59 102 46 12 16 49 29 129 1150 1988 187 176 218 106 37 49 15 62 28 121 18 117 1034 1989 182 191 96 88 129 33 45 43 20 23 105 175 1080 1990 149 197 118 32 51 11 54 69 71 54 41 127 964 1991 198 123 107 76 108 9 22 0 0 1 91 462 1297 Rerata 204 162.3 116.5 87.0 64.9 46.1 50.3 36.3 68.9 60.5 70.7 168.4

Sumber : Stasiun Klimatologi Natar

Tabel 8. Kondisi iklim rata-rata selama 10 tahun

Tahun RH (%) Suhu (oc) Evaporasi (mm) Radiasi

(cal/cm2/hr) Sinar Matahari (%)

1982 81.2 26.1 3.9 435.0 24.9 1983 81.8 28.6 5.2 435.9 22.6 1984 85.3 27.5 3.2 413.4 40.7 1985 84.4 27.0 3.6 426.7 46.8 1986 84.2 27.3 3.5 462.7 45.1 1987 83.4 27.5 3.9 410.2 41.1 1988 85.9 27.2 3.4 327.6 27.4 1989 86.3 29.1 3.9 354.2 24.2 1990 74.7 28.0 3.6 324.6 23.9 1991 83.6 28.4 3.9 401.1 34.0 Jml 830.8 276.7 38.1 3991.4 330.7 Rerata 83.1 27.7 3.8 399.1 33.1

Sumber : Stasiun Klimatologi Natar

4.2.1 Geologi dan Fisiografi

Kondisi geologi wilayah ini tersusun atas jaluran-jaluran (outliers) Pegunungan Barisan yang sebagian besar tersusun oleh bahan volkan muda. Secara umum wilayah ini tersusun oleh batuan pre-tersier dan andesit tua, ditunjukkan dengan banyaknya batu jenis andesit yang berserakan di sungai- sungai yang berada di wilayah ini. Formasi andesit tua terdiri dari lava, andesit,

breksi dan tufa sebagian kecil batuan bersusunan basal dan liparit. Terdapat rekahan-rekahan dan sesar-sesar pada batuan andesit, hal ini menunjukkan bahwa batuan telah mengalami gerakan tektonik. Endapan kuarter berupa tuf Lampung menutupi bagian terluas, dan merupakan endapan ignimbrit yang diendapkan pada lingkungan marin. Tuf mempunyai komposisi dasatik sampai liparitik dengan kadar tinggi (Watala, 2005).

Fisiografi wilayah ini secara umum termasuk dalam grup vulkan (Volcanic Group), secara umum bentang alam di wilayah ini terdiri dari pegunungan, perbukitan dan dataran. Di wilayah pegunungan terdiri dari pegunungan berlereng curam sampai sangat curam dan pegunungan berlereng sangat curam sekali. Wilayah pegunungan ini tersusun dari batuan volkan tua (basal, andesit dan dasit). Pada wilayah perbukitan bahan penyusun batuannya hampir sama dengan pegunungan, namun pada beberapa wilayah perbukitan terdapat batuan intrusif (granit) dan batuan metamorfik (skis, gneis). Pada formasi dataran tersusun oleh batuan granit dan skis (Watala, 2005).

4.2.2 Hidrologi

Kawasan tahura merupakan salah satu sumber kebutuhan air bagi Kota Bandar Lampung. Berdasarkan wilayah pengelolaannya termasuk dalam wilayah pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Way Sekampung. Sungai-sungai yang mengalir ke Kota Bandar Lampung dan dimanfaatkan sebagai sumber air minum oleh PDAM Way Rilau adalah Way Simpang Kanan, Way Simpang Kiri, dan Way Betung. Secara rinci kondisi Sub-Das sungai-sungai tersebut disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9. Kondisi hidrologi Sub-Das wilayah Gunung Betung

No Parameter Fisik Sub-Das

Way Sp.Kiri Sub-Das Way Sp.Kanan Sub-Das Way Betung 1. Luas (km2) 14.38 16.58 16.34

2. Panjang sungai utama (km) 35.95 36.75 40.25

3. Kerapatan drainase 2.54 2.35 2.62

4. Bentuk DAS Bulu burung Bulu burung Bulu burung

Dari parameter fisik Sub-Das yang ada terutama kerapatan drainase dan bentuk DAS, maka dapat digambarkan karakteristik hidrologi dari masing-masing sungai tersebut. Sebagai contoh kondisi hidrologi Way Betung masih lebih baik apabila dibandingkan dengan kedua Sub-Das lainnya, hal ini disebabkan oleh kerapatan drainasenya yang lebih tinggi. Apabila suatu Sub-Das memiliki kerapatan drainase yang tinggi maka air hujan yang jatuh di atas Sub-Das tersebut akan tersebar merata ke dalam anak-anak sungainya, sehingga sebelum memasuki sungai utama akan memiliki waktu tunggu (time lag) yang lebih lama dan akan meresap ke dalam tanah dalam jumlah yang lebih banyak. Sehingga pada umumnya nanti sungai yang memiliki kerapatan drainase tinggi akan mampu meningkatkan ketersediaan air bawah tanah. Hal ini dengan asumsi kondisi penutupan lahan untuk Sub-Das tersebut relatif sama (Watala, 2005).

Selain itu bentuk Sub-Das Way Betung yang menyerupai bulu burung mempunyai kemampuan yang cukup baik dalam menyimpan air hujan yang jatuh sebagai masukan utama Sub-Das tersebut apabila dibandingkan dengan bentuk radial. Hal ini disebabkan karena bentuk Sub-Das bulu burung mempunyai waktu puncak (time consentration) yang lebih panjang daripada bentuk Sub-Das yang radial, sehingga secara tidak langsung akan meningkatkan jumlah air yang diresapkan ke dalam tanah pada Sub-Das tersebut (Watala, 2005).

Hasil pengamatan pada beberapa sungai yang bermuara di Teluk Lampung, ternyata hanya Way Betung dan Way Simpang Kiri yang tetap mengalir walaupun pada musim kemarau. Sungai-sungai di sekitarnya tidak berair (mengalir), tampaknya hanya mengalir apabila musim hujan dan pada musim kemarau kering. Sungai yang demikian termasuk dalam tipe intermitten rivers, yaitu hanya mengalir pada musim hujan dan tidak mengalir (kering) di musim kemarau kecuali bila ada hujan. Hal ini disebabkan karena pada musim kemarau permukaan air bawah tanah (water table) lebih rendah dari dasar sungai. Sungai-sungai yang bertipe intermitten ini sebagian besar berada pada Sub-Das Simpang Kanan (Watala, 2005).

4.2.3 Tanah

a. Topografi

Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman dengan luas wilayah sebesar 22.244 hektar memiliki kondisi lapangan dari topografi bergelombang, perbukitan lereng, tebing dan daerah pegunungan. Beberapa lembah terdapat di antara daerah perbukitan dan Gunung Betung, Pesawaran dan Tangkit Ulu Padang Ratu (1600 m dpl) (Watala, 2005). Peta ketinggian dan kelas lereng kawasan tahura dapat dilihat pada Gambar 6 dan 7.

b. Jenis Tanah

Jenis tanah berasal dari bahan induk batuan vulkan muda dan terbentuk dengan fisiografi pegunungan serta beriklim basah. Sedangkan vegetasi yang mempengaruhi pembentukan tanah adalah hutan, walaupun pada saat ini kondisi penutupan hutan tidak sepenuhnya bagus, bahkan pada beberapa wilayah telah berubah fungsinya. Secara umum jenis tanah terdiri dari latosol coklat dan andosol coklat, atau Typic Dystropepts. Tanah ini termasuk jenis Inceptisols (tanah yang baru berkembang), dengan kondisi umum sebagai berikut: kedalaman tanah cukup dalam, tekstur liat sampai liat berlempung, struktur kubus membulat (angular blocky), reaksi tanah masam, serta drainase baik (Watala, 2005).

c. Sifat Kimia Tanah

Reaksi tanah (kemasaman) berkisar antara masam sampai agak masam, dengan kisaran kemasaman tanah (pH ) 4.78--6.02. Sedangkan Al-dd (Alluminium dapat dipertukarkan) berpotensi masam tergolong sangat rendah (Watala, 2005).

Sedangkan kandungan unsur hara utama seperti N, P, K dan KTK Tanah adalah sebagai berikut: Kandungan Nitrogen tanah tergolong sangat rendah (0.08%--0.16%), kandungan fosfor tanah tergolong rendah sampai sangat rendah berkisar antara 2.06 ppm P--7.29 ppm P, kandungan Kalium tanah berkisar antara 0.03--0.91 me/100g. Sedangkan KTK (Kapasitas Tukar Kation) tanah tergolong rendah (9.7--18.50 me/100g) (Watala, 2005).

d. Sifat Fisika Tanah

Hasil analisis sifat fisika tanah di wilayah ini digambarkan dari parameter- parameter yang diukur yaitu, berat jenis (bulk density), ruang pori, pori drainase, air tersedia, serta permeabilitas. Berat jenis tanah tergolong sedang yang berkisar antara 1,11--1,36 g/cc, hal ini menunjukkan bahwa kondisi kepadatan tanah relatif padat. Ruang pori total tergolong sedang berkisar antara 48,7--58,11 % volume, hal ini menggambarkan bahwa ruang pori yang terisi udara berkisar antara 40--60 % sehingga tanah tidak terlalu padat.

Pori drainase menggambarkan kondisi drainase pada suatu jenis tanah, berdasarkan hasil pengamatan pori drainase tergolong tinggi pada lapisan atas (top soil) dan tergolong sedang pada lapisan bawah (sub soil). Sedangkan kondisi permeabilitas tanah pada lapisan atas tergolong agak cepat sampai cepat (10.1-- 23.7 cm/jam) dan pada lapisan bawah tergolong sangat lambat sampai lambat (0.12--0.65 cm/jam) (Watala, 2005).

4.1. Kondisi dan Potensi Biotik

4.1.1. Tipe vegetasi dan jenis tumbuhan serta Fauna

Tipe vegetasi secara umum mencakup vegetasi yang terbentuk oleh jenis- jenis tumbuhan liar atau tumbuhan alam dan tumbuhan yang dibudidayakan oleh petani penggarap. Tipe vegetasi yang ada di areal garapan petani dalam tahura pada umumnya merupakan tipe vegetasi hutan sekunder yang keberadaan jenis tumbuhan alamnya terdesak oleh jenis tanaman budidaya yang dikembangkan oleh petani di kawasan ini (seperti terlihat pada peta landuse Gambar 8). Jenis tumbuhan alam masih ada yang mencakup kelompok pohon, perdu, liana, dan tumbuhan bawah. Frekuensi ditemukannya jenis tersebut sangat kecil yang berarti keberadaannya sangat jarang (Watala, 2005).

Dari jenis tumbuhan alam yang ditemukan di areal garapan petani, beberapa jenis di antaranya kelompok pohon dan jenis yang penyebarannya luas, yaitu pohon dadap, aren, sonokeling, dan bayur, sedangkan jenis lainnya penyebarannya terbatas pada areal-areal garapan tertentu dan secara rinci disajikan pada Tabel 10. (Watala, 2005).

Jenis-jenis tanaman yang dibudidayakan di areal garapan sangat beragam, terdiri dari kelompok pohon, perdu, liana, empon-empon, dan palawija (seperti tersaji Tabel 10). Kerapatan jenis pohon yang dibudidayakan di tiap-tiap areal garapan petani sangat bervariasi, yaitu antara 307 batang/hektar hingga 1.934 batang/hektar. Tidak setiap penggarap membudidayakan semua jenis tanaman tersebut, karena masing-masing memiliki pilihan atau kesukaan yang berbeda- beda. (Watala, 2005).

Sedangkan jenis fauna yang dilindungi terdapat dikawasan ini adalah beruang madu, kijang, harimau, kukang, siamang, kera ekor putih (cecah), burung rangkong, dan yang lainnya (lihat pada Tabel 11). Sebelum kawasan tahura mengalami degradasi, banyak sekali hewan-hewan yang dapat dijumpai dengan mudah, namun saat ini sangat sedikit sekali hewan-hewan dapat dijumpai. Hal ini dikarenakan tempat hidup (habitat) mereka telah rusak, sehingga hewan-hewan tersebut hilang.

Tabel 10. Jenis pohon dan tanaman yang dibudidayakan di areal tahura Wan Abdul Rachman

Nama lokal Nama Latin

Jenis yang penyebarannya luas

Dadap Erythrina orientalis

Aren Arenga pinnata (Wurmb.)

Sonokeling Dalbergia latifolia

Bayur Pterospermum javanicum

Jenis yang penyebarannya terbatas pada areal garapan tertentu

Ketapang Terminalia cattapa L.

Pinang Areca catechu

Picung Pangium edule Reinw

Jarak Ricinus communis

Duwet Syzigium cumini

Suren, Toona sureni Merr

Tabel 10. lanjutan

Nama lokal Nama Latin

Cempaka Michelia champaca L

Mahoni Swietenia sp.

Salam Syzigium polyanthum

Gondang Ficus variegata B1

Sengon Albizia chinensis

Kiciung Ficus septica Burm. F.

Medang Litsea Spp.

Jenis pohon yang dibudidayakan

Durian Durio zibethinus

Alpokat Persea americana Mill.

Tangkil Gnetum gnemon L

Petai Parkia speciosa Hassk.

Coklat Theobroma cacao L

Nangka Artocapus heterophyllus

Jengkol Pithecellobium jiringa Jack

Mangga Mangifera indica

Kemiri Alcurites molluccana Willd

Karet Hevea brasiliensis Muell.

Kelapa Cocus nucifera

Jambu biji Psidium guajava

Rambutan Nephelium lappaceaum Linn

Cengkeh Syzigium aromaticus L.

Duku Lansium domesticum

Sirsak Annona muricata L.

Jenis tanaman budidaya selain pohon

Salak Salacea edulis reinw

Pisang Musa Spp.

Pepaya Carica papaya L.

Lada Piper nigrum L.

Kecipir Psophocarpus tetragonolabus

Timun Cucumis sativus Linn.

Labu siam Sechium edule Sw.

Sirih Piper betle L

Waluh Averrhoa bilimbi

Jahe Zingiber officinale Rosc.

Serai Cymbopogon nardus L. Rendle

Kunyit Curcuma domestica

Talas Colocasia esculenta L. Schott

Mantang Ipumea batatas L. Lam

Singkong Manihot esculanta Crantz.

Cabe Capsicum annuum L

Buncis Phascolus valgeris L

Tabel 10. lanjutan

Nama lokal Nama Latin

Kacang gude Laganus cajan L. Mill.

Jagung Zea mays L

Kedelai Glycine max L. Merr.

Bawang merah Allium ascalonicum L

Kacang panjang Vigna unguculata

Padi gogo Oryza sativa L

Rempai/tomat Lycopersium esculentum Mill

Tebu Sccharum offinarum L

Tabel 11. Jenis Hewan yang berada di sekitar kawasan tahura Wan Abdul Rachman

Nama Lokal Nama Latin

Beruang madu Alluropus ursinus

Rusa Cervus timorensis

Harimau Panthera tigris

Kukang Nyeticebus coucang

Siamang Hylobates syndatylus Raffles

Kera Ekor Panjang (cecah) Macaca fascicularis Burung Rangkong Bucirotidae

4.1. Kondisi dan Potensi Sosial, Ekonomi, dan Budaya

4.1.1. Keadaan Sosial Ekonomi

Keadaan WAR dikelilingi oleh 5 kecamatan yang meliputi 35 desa/kelurahan (Dinas Kehutanan, 2004) dengan keadaan jumlah dan kepadatan penduduk dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Jumlah dan kepadatan penduduk desa yang tercakup dalam wilayah kecamatan di sekitar Tahura WAR

Jumlah penduduk (orang) Kepadatan (orang/ha) Kecamatan Jum- lah desa/ Klu- rahan Desa berba tasan dg. THR Luas Desa (ha) Luas lahan per- tanian (ha) Laki- laki Perem- puan Jumlah Ab- so- lut Per- tani- an Gedong Tataan 36 10 8.201 3.392 20.169 19.916 40.085 4.88 11.82 Kedondong 29 6 5.146 4.373 10.279 7.981 18.260 3,55 4.17 Padang Cermin 26 12 26.322 13.782 24.345 23.771 48.116 1,83 3.49 Tl. Betung Barat 9 4 1.826 1.311 7.834 7.703 15.537 8.51 11.85 Tj. Karang Barat 9 3 2.604 * 12.698 12.136 24.834 9,54 * Jumlah 109 35 44.099 73.821 70.193 144.014 3,27

Keterangan: * = data tidak tercatat Sumber : Watala. 2005

Data pada Tabel 10 menunjukan bahwa kepadatan penduduk desa-desa di sekitar Tahura WAR, baik kepadatan absolut maupun pertanian, relatif tinggi. Kepadatan penduduk yang tinggi menyebabkan tingginya kebutuhan akan lahan untuk berbagai kepentingan; mata pencaharian dalam bidang pertanian memerlukan lahan; kaum buruh yang umumnya berdaya beli rendah tidak mampu membeli lahan. Keadaan sosial ekonomi ini merupakan daya dorong yang kuat untuk mendapatkan lahan dan menimbulkan perambahan.

Sementara itu, berdasarkan mata pencaharian sebagian besar penduduk bermatapencaharian dalam bidang pertanian (50,93%), buruh (36,29%) dan sisanya terdistribusi sebagfai pegawai negeri, buruh tambang, konstruksi, jasa dan dagang (dapat dilihat pada Tabel 13).

Tabel 13. Distribusi penduduk tiga kecamatan di sekitar Tahura WAR berdasarkan mata pencahariannya

Jumlah yang bekerja dalam bidang Kecamatan Pegawai Negeri Perta- nian Tam- bang Kera- jinan Kons-

truksi jasa Dagang Buruh

Kedondong 154 6.935 83 93 409 274 785 1.729 Gedong tataan 3721) 7.008 83 97 407 185 822 1.965 Teluk Betung Barat 173 2.252 - - - 75 258 4.817 Jumlah 699 16.195 166 190 816 534 1.865 8.511

Keterangan: 1) = Guru saja Sumber: Watala (2005)

Perambahan di Tahura WAR sudah berlangsung lama, sejak masih berstatus hutan lindung. Menurut Dinas Kehutanan Propinsi Lampung (2005) bahwa di kawasan tahura Wan Abdul Rachman lebih dari separuhnya dipakai oleh lebih kurang 5000 KK untuk lahan usahatani. Sampai sekarang perambahan dalam kawasan Tahura WAR masih belum dapat ditanggulangi secara tuntas, bahkan cenderung kembali meningkat.

4.4.2. Sistem budidaya yang dilakukan oleh masyarakat

Secara umum masyarakat membudidayakan tanaman keras maupun tanaman palawija dan sayuran di dalam kawasan tahura. Sistem tanam yang mereka lakukan adalah sistem tanam campuran. Berbagai jenis tanaman pertanian ditanam bersama-sama dalam suatu areal garapan dengan jarak tanam bebas, tidak

membentuk rotasi ataupun pergiliran tanaman, seperti terlihat pada Gambar 10. Cara pengolahan tanah pun pada umumnya tidak memperhatikan aspek pelestarian lahan, contohnya adalah masih banyaknya petani yang membuat arah larikan tanaman tidak searah dengan garis kontur (garis tinggi).

Gambar 10. Pengolahan tanah dan pola tanam yang tidak memperhatikan aspek pelestarian lahan.

Pemanfaatan lahan di bawah tegakan hutan ataupun di bawah pohon- pohon belum dipahami oleh para petani karena mereka menyukai menanam jenis palawija dan sayuran yang justru membutuhkan sinar matahari banyak. Hal demikian sudah pasti memerlukan lahan terbuka atau tanpa naungan, sehingga seperti yang dikemukakan di muka tadi bahwa akan ada kecenderungan selalu memanfaatkan lahan-lahan terbuka untuk menanam palawija, bukan untuk menanam atau mengembangkan pohon-pohon multiguna. Di sinilah peran kegiatan pembinaan masyarakat dalam pembangunan hutan kemasyarakatan yang perlu selalu ditekankan supaya memiliki motivasi untuk memperbaiki kondisi hutan. Oleh karena itu, kombinasi tanaman keras (pohon) dengan tanaman selain pohon diarahkan melalui upaya membudidayakan tanaman yang bersifat toleran di bawah tegakan hutan, misalnya talas, laos, kunyit, kencur. Penanaman padi gogo, jagung, kacang panjang, dan cabe sebenarnya tidak layak lagi dilakukan dalam kawasan hutan lindung yang dikelola sebagai areal hutan kemasyarakatan, sehingga sistem budidaya ini harus diubah dengan memotivasi petani untuk

mengembangkan pohon-pohon MPTS (multipurpose trees species) supaya nantinya para petani mampu membangun hutan secara baik. Tentu indikasinya adalah terjaganya areal garapan dengan penutupan vegetasi pohon secara permanen.

Cara-cara yang dilakukan untuk membudidayakan jenis tanaman memang masih menggunakan cara-cara konvensional misalnya dalam pengolahan lahan, penyiangan, ataupun pendangiran.

Aspek pemeliharaan tanaman yang dilakukan petani saat ini perlu mendapat perhatian, mengingat cara-cara pemeliharaan tanaman secara benar sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lokasi belum dilakukan oleh para petani. Suatu contoh adalah cara penyiangan dan pendangiran tanaman dilakukan secara menyeluruh atau secara total pada areal tanaman dengan sabit dan cangkul. Diketahui bahwa 100% petani melakukan pembabatan bersih terhadap tumbuhan bawah (tumbuhan pengganggu) di areal garapannya. Mestinya penyiangan harus terbatas pada tempat-tempat sekitar tanaman saja, karena di areal-areal yang miring seperti di kawasan hutan lindung register 19 sangat peka terhadap proses erosi tanah, sehingga penutupan tumbuhan bawah sesungguhnya sangat diperlukan juga untuk mencegah terjadinya erosi, tanah longsor, dan menjaga kesuburan tanah. Demikian pula cara-cara pendangiran tanaman sebaiknya dilakukan pada tempat-tempat tertentu di sekitar tanaman saja. Kebiasaan pendangiran dan penyiangan memang dilakukan oleh petani di areal garapannya, akan tetapi cara ini mesti diarahkan menuju cara-cara pertanian konservasi, supaya tidak mengganggu kelestarian lahan. Petani yang sudah terbiasa mendangir tanamannya lebih kurang 45,1 %. Sedangkan pemupukan tanaman dan pemberantasan hama penyakit tidak begitu diperhatikan oleh para petani. Hal ini disebabkan oleh faktor harga pupuk dan harga pestisida yang mahal, sehingga para petani tidak melakukan pemeliharaan ini atau disebabkan faktor rendahnya pengetahuan tentang aspek pemupukan dan pemberantasan hama penyakit. Dengan demikian alternatif cara penyelesaiannya adalah dengan melakukan tindakan pemeliharaan secara murah menggunakan pupuk kandang atau pupuk hijau, dan melakukan pencegahan terhadap kemungkinan adanya serangan hama penyakit tanaman dengan perbaikan sanitasi lingkungan tempat tumbuh.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Pengelolaan Tahura WAR

Pengelolaan Tahura WAR yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan Propinsi Lampung berdasarkan pada perundang-undangan atau peraturan pemerintah yang berlaku baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Adapun dasar hukum Pengelolaan Tahura WAR adalah :

1. Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

2. Undang-undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

3. Undang-undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

4. PP No. 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam.

5. PP No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa 6. PP No. 8 Tahun 1999 tentang Pengawetan jenis Tumbuhan dan satwa liar 7. PP. No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Propinsi

sebagai Daerah Otonomi

8. PP No. 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan. 9. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 408 Tahun 1993 tentang

Persetujuan dan Penetapan Perubahan Fungsi dan Penunjukkan menjadi Hutan Lindung Reg. 19 Gunung Betung Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman.

10.Perda Propinsi Lampung No. 7 tahun 2000 tentang Retribusi terhadap pemungutan hasil hutan non kayu di kawasan hutan

Dokumen terkait