• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS POLA KOMUNIKASI ANTARA PERAWAT TERHADAP

B. Komunikasi antarpribadi Perawat Terhadap Pasien Skizofrenia di

2. Analisis Komunikasi Terapeutik dalam Pengembangan Hubungan

a. Komponen dalam komunikasi terapeutik yang terjadi antara perawat terhadap pasien skizofrenia

Komponen yang penting dalam proses komunikasi terapeutik, ialah: kerahasiaan, keterbukaan diri, sentuhan, mendengar dan observasi aktif, dan menempatkan diri sebagai pasien.

1) Keterbukaan diri, perawat yang membuka diri dengan memberikan informasi mengenai diri perawat seperti informasi tentang biografi, ide, pikiran serta perasaan pribadi. Hal inipun terjadi dalam praktek keperawatan jiwa karena pada awal pertemuan, perawat memberikan informasi mengenai dirinya sendiri. Hal ini bertujuan agar memberi

43

Wawancara pribadi dengan bapak Mamat Sutedi, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015

stimulus kepada pasien tentang keterbukaan diri dan awal mulanya membangun kepercayaan.

“Kita kenalkan dulu diri kita siapa misalnya, “saya namanya pa ini, saya yang akan merawat bapak disini, itukan tujuannya pasien engga takut, pasien percaya pada kita, itu langkah awalnya untuk membangun rasa percaya.”44

2) Privasi dan menghormati batasan, maksudnya perawat tidak memaksakan kehendak tetapi menghormati keinginan dan kenyamanan pasien, seperti saat pasien enggan untuk bertemu maka perawat tidak memaksa.

“Yah, kalo misalkan dia engga mau berinteraksi kita engga bisa maksa, kita tinggalin dulu aja.”45

3) Sentuhan, menyentuh pasien dapat meningkatkan rasa nyaman dan aman bila tersebut diizinkan atau diinginkan. dalam prakteknya sentuhan ini berfungsi untuk meningkatkan kenyamanan dan tingkat kepercayaan pasien seperti halnya saat menghadapi pasien ISOS beberapa perawat menggunakan teknik ini agar pasien mau terbuka dan terfokus kepada pasien.

“Kalo nanya teknik saya, sepertinya banyak cara yah, bisa pendekatan dulu, bisa kita sambil sentuh dia.”46

4) Mendengar dan observasi aktif, mendengar aktif yang dimaksud ialah memperhatikan pesan yang disampaikan, mengatur duduk yang sesuai (berhadapan, jarak yang sesuai dan lain-lain), menghindari terjadinya interupsi, menyimak setiap perkataan pasien dengan

44

Wawancara pribadi dengan bapak Mamat Sutedi, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 18 Februari 2015

45

Wawancara pribadi dengan Ibu Siti Rohmah, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015

46

Wawancara pribadi dengan Ibu Fujiati, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015

penuh empati, dan secara ekslusif berkonsentrasi pada apa yang klien katakan. Begitupun antara perawat terhadap pasien karena ketika pasien berbicara perawat terfokus pada gerak gerik dan pada konten apa yang dibicarakan pasien, sehingga perawat dapat mengimbangi arah pembicaraan pasien meskipun pembicaraannya kadang out of the context. Sedangkan observasi aktif berarti mengobservasi tindakan nonverbal pembicara ketika ia berkomunikasi. Begitupun yang dilakukan oleh perawat saat ada salah satu pasien yang sedang marah dan memukul perawat dan pada saat situasi tegang tersebut, perawat memperhatikan raut dan ekspresi wajah dan sorot mata pasien.47

b. Keterampilan Komunikasi Yang Dimiliki Perawat Rumah Sakit Dr. H. Marzuki Mahdi Bogor

1) Keterampilan komunikasi verbal

Dalam praktek komunikasi terapeutik janganlah menggunakan kata-kata sulit (medis) untuk menggambarkan masalah, jangan menggunakan kata-kata yang tidak dipahami masyarakat diluar rumah sakit, namun sangat dianjurkan untuk menggunakan bahasa sehari-hari seperti kata berjalan, bukan ambulasi. Begitupun yang terjadi di lapangan karena pesan yang digunakan ialah pesan yang menggunakan kata-kata yang konkret/jelas dan umum hal ini bertujuan agar pasien dapat dengan mudah memahami maksud dari perawat secara langsung.

47

Hasil observasi yang dilakukan di rumah sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi, Bogor 19 Mei 2015.

“Kalo katanya kita cari kata yang mudah yah, kata-kata yang mudah difahami mereka, bahasa yang sehari yang engga sulit mereka fahami bahasan yang dasar-dasar aja misalkan tadi udah makan belum? Makannya pakai apa?.”48

2) Keterampilan komunikasi nonverbal

Pada tanggal 19 mei 2015 yang lalu terjadi pemukulan yang terjadi terhadap perawat di ruang Yudistira, hal ini terjadi karena ketidak nyamanannya akan kebisingan yang terjadi di luar ruangan pasien dan dengan kondisi pintu yang terbuka maka memudahkan pasien untuk keluar menghampiri perawat yang sedang duduk santai membelakangi ruang pasien sambil memukul salah satu perawat yang ada. Sebelum kejadian tersebut sebenarnya seorang dokter sudah dapat memprediksi kejadian yang akan terjadi karena saat ia masih di ruangannya ia terlihat seperti sedang mengintai dengan sorot mata penuh amarah, melotot dan memerah, tulang rahangnyapun mengeras dari beberapa sinyal tersebut dapat dipahami bahwa ia sedang marah, namun kejadian tersebut sangatlah cepat sehingga tidak dapat dihindari.

Dari pemaparan kejadian diatas peneliti dapat memahami bahwa keterampilan komunikasi nonverbal sangat efektif digunakan disana untuk dapat mencegah hal-hal yang tidak diinginkan dan juga untuk mencari solusi atas masalah yang sedang terjadi.

48

Wawancara pribadi dengan Bapak Mamat Sutedi, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015

a) Menginterpretasi ekspresi wajah

Dalam proses komunikasi ini kita harus memperhatikan ekspresi pada wajah, sikap tubuh serta gerakan tubuh pasien. Karena wajah pasien atau tekanan suara, atau cara bicara dapat mengatakan lebih banyak daripada kata-kata. Pada saat pasien marah perawat mencoba menginterpretasi ekspresi wajah sehingga ia menyadari bahwa pasien sedang emosi. Hal ini terlihat dari rona wajahnya merah dan mulutnya cemberut, hal ini menunjukan bahwa emosinya sedang memuncak.

b) Menginterpretasi isyarat vokal

Isyarat vokal adalah suara nonverbal yang disampaikan bersama isi pembicaraan. Volume suara, nada suara, tinggi rendah nada (pitch) intensitas, penekanan, kecepatan, dan jeda mendukung pesan pengirim. Pada saat kejadian tersebut terjadi, semua perawat tahu bahwa ia sedang marah, pengetahuan tersebut muncul karena perawat menginterpretasi isyarat vokal pasien tersebut karena pada saat itu pasien memaki, “aing teu betah sia didie, sia awewe perusak rumah tangga aing”.Yang artinya, “Saya tidak betah disini, kamu wanita perusak rumah tangga saya”. Dengan menggunakan intonasi yang tinggi.

c) Menginterpretasi kontak mata

Mata disebut sebagai cerminan jiwa karena mata sering merefleksikan emosi kita.Pesan yang diberikan oleh mata meliputi humor, nafsu, penolakan, rasa tertarik, kebingungan, kebencian,

kebahagiaan, keedihan, ketakutan, peringatan, dan pembelaan. Saat kejadian tersebut terjadi baik peneliti maupun perawat mengobservasi mata pasien yang melotot, memerah dan memancarkan aura kemarahan. Berkat observasi tersebut perawat dapat memastikan bahwa emosi pasien benar-benar sedang tidak stabil.

d) Memahami tingkat makna

Kemampuan melakukan hal ini memerlukan teknik mendengar secara dangkal yaitu dengan mendengar pesan konkret dan juga mendengar secara mendalam yaitu memerlukan beberapa interpretasi pesan kemudian mengumpulkan informasi yang rinci untuk memvalidasi setiap asumsi atau tidak memvalidasi. Begitupun yang terjadi di lapangan perawat langsung tahu apa yang terjadi dengan hanya mendengar ucapan pasien bahwa,“Aing teu betah sia didie, sia awewe perusak rumah tangga aing”. Yang artinya, “Saya tidak betah disini, kamu wanita perusak rumah tangga saya”. Dari kata-kata “Saya tidak betah disini”. Perawat langsung dapat memahami bahwa pasien sedang marah karena terganggu akan keadaan yang tidak kondusif.

c. Relevansi Injeksi Obat dengan Interaksi Sosial

Obat dan interaksi sosial tidak dapat dipisahkan dalam proses penyembuhan pasien gangguan jiwa karena penyebab gangguan inipun bermacam-macam, seperti terdapat enzim dopamin yang berlebih dalam

tubuh sehingga obat dibutuhkan untuk menetralisis enzim berlebih tersebut.

“Obat untuk mengurangi enzim-enzim yang berlebih yang ada dalam diri pasien”.49

Penyebab lainnya ialah karena krisis akan kepercayaan diri, kurangnya dukungan, rasa tertekan ataupun rasa kesepian. Hal inilah yang menurut peneliti memiliki hubungan erat dengan proses interaksi karena dengan proses interaksi pasien dapat merasa diakui oleh lingkungan sekitar, ditingkatkan motivasinya, dan selalu ditemani sehingga rasa sepi dalam diri pasien semakin terkikis.

“Sebenarnya untuk menghilangkan rasa gelisah lebih efektif obat tapi kalau obat saja tidak ada interaksi sama aja, ya istilahnya butuh perhatian, mungkin alasan mereka dirawatpun karena memang kurang perhatian, dengan disini ia dianggap ada, dia diperhatiian dia diajak ngobrol berarti fifty-fifty.”50

Dan hal ini sesuai dengan tujuan dari proses komunikasi yang telah diulas diatas bahwa ujung pangkal sakit yang diderita pasien ini ialah jiwa dan spiritnya. Oleh karena itu, dengan proses komunikasi yang terjalin dengan baik, diharapkan ketidaksadaran dan spirit dalam jiwanya dapat bangkit kembali.

3. Peran Dakwah dalam Peningkatan Kesadaran Pasien di Rumah Sakit

Dokumen terkait