• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS POLA KOMUNIKASI ANTARA PERAWAT TERHADAP

B. Komunikasi antarpribadi Perawat Terhadap Pasien Skizofrenia di

1. Analisis Pengembangan Hubungan antara Perawat terhadap Pasien

a. Komponen-Komponen Pengembangan Hubungan antara Perawat terhadap Pasien Skizofrenia

Berdasarkan hasil observasi lapangan, peneliti menemukan bahwa pola komunikasi yang terjalin antara perawat terhadap pasien skizofrenia di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor ialah pola komunikasi antarpribadi.

Komponen dalam proses komunikasi yang memiliki keterikatan antara satu sama lain, yaitu: sumber/komunikator, proses encoding, pesan/informasi, media, komunikan, proses decoding, umpan balik/feed back, dampak, dan gangguan (noise). Begitupun dalam proses pengembangan hubungan yang terjalin antara perawat dan pasien ini, dimana perawat berperan sebagai komunikator, pasien penderita

skizofrenia berperan sebagai komunikan, terdapat proses encoding yang

dilakukan dalam diri komunikator, pesan yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan, adanya proses decoding sehingga menghasilkan umpan balik/feed back dari komunikan kepada komunikator, serta ada dampak yang dihasilkan, Meski tingkat kontribusi dalam proses komunikasi ini lebih dominan terjadi di pihak komunikator (perawat) dibanding komunikan (pasien) hal ini disinyalir oleh kondisi mental pasien yang proses interaksinya akan lebih berjalan jika terdapat stimulus yang signifikan.

Dalam proses komunikasi hal yang harus dimiliki oleh komunikator, yaitu. Pertama, komunikator diharapkan memiliki

kredibilitas yang tinggi bagi komunikasinya. Kedua, memiliki keterampilan berkomunikasi yang baik. Ketiga,mempunyai pengetahuan yang luas. Keempat, memiliki sikap yang baik. Kelima, memiliki daya tarik atau memiliki kemampuan untuk melakukan perubahan sikap/menambah pengetahuan pada diri sendiri. Teori tersebutpun terbukti ketika memang perawat memang memiliki kredibilitas dan skill komunikasi yang baik karena terlihat dari background komunikator yang telah berprofesi sebagai perawat sejak lama dan telah menyelesaikan program pendidikan keperawatan selama kurang lebih 4 tahun bagi jenjang S1 keperawatan dan 3 tahun untuk jenjang D3 keperawatan. Komunikator inipun memiliki pengetahuan yang mapan tentang pasien yang diasuhnya karena setiap awal masa perawatan, pasien akan didata dan dianalisis berdasarkan informasi yang didapat dari keluarga maupun dari pasien itu sendiri.

“Latar belakang penyakit pasien misalnya kenapa pasien akhirnya dibawa kemari, riwayat hal yang telah ia lakukan, misalnya memukul ibu atau bapaknya, misalnya keluarga tidak sanggup menghadapi pasien, lalu dimasukan ke IGD dan kita berkolaborsi dengan dokter.”10

Dampak dari proses komunikasi dapat diklasifikasikan menurut kadarnya yaitu dampak kognitif, yaitu berkat komunikasi seseorang menjadi tahu tentang sesuatu, afektif dan psikomotorik yang merupakan dampak yang timbul pada komunikan dalam bentuk tindakan atau perilaku. Begitupun dampak yang dihasilkan dari proses interaksi

10

Wawancara pribadi dengan bapak Riva’i, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang yudistira, Bogor 18 Februari 2015

terhadap diri pasien ialah dampak kognitif dan dampak psikomotorik/behavioral. Dampak kognitif misalnya kini pasien mengetahui tentang cara menghardik halusinasi dengan cara meyakinkan diri sendiri bahwa bisikan halusinasi tersebut tidaklah nyata. Sedangkan dampak psikomotorik/behavioral, ketika pasien sudah benar-benar mampu mempraktikan pengetahuan kognitifnya dalam kehidupan sehari-harinya, misalnya pasien kini sadar akan menjaga kebersihan dirinya sendiri dengan mandi sendiri, mengangganti baju dan melakukan tindakan menjaga kebersihan lainnya secara mandiri.

b. Ciri-ciri Pengembangan Komunikasi yang Terjalin antara Perawat terhadap Pasien Skizofrenia

Ciri-ciri dalam komunikasi antarpribadi ialah harus pesan dua arah, suasana nonformal, umpan balik segera, peserta komunikasi memiliki jarak yang dekat, dan proses komunikasi dilakukan secara simultan. Begitupun ciri yang terdapat dalam onjek penelitian ini, yaitu: prosesnya terjalin secara dua arah, suasana nonformal, umpan balik segera, peserta komunikasi berada dalam jarak yang dekat.

1) Suasana nonformal

Ciri-ciri dalam komunikasi antarpribadi yang telah dibahas pada bab sebelumnya bahwa proses komunikasi ini dilaksanakan secara egaliter ataupun sejajar maka proses komunikasi bersifat santai, tidak kaku dan tidak terpaku dengan jabatan lawan bicara karena dalam komunikasi ini pendekatan secara personal lebih ditingkatkan. Begitupun yang terjadi dalam proses komunikasi ini dimana meski

komunikan mengalami masalah dalam dirinya, namun tetap saja ia berhak diperlakukan layaknya manusia secara umum. Terlebih jika proses interaksi yang terjalin adalah komunikasi yang sifatnya personal.

”saat berkomunikasi meski ada teori tapi kita tidak terlalu berpacu pada teori tersebut, artinya proses komunikasi bersifat natural saja dan sangat disesuaikan dengan keadaan pasien, agar pasien nyaman.”11

Penulis dapat memahami bahwa meski dalam dunia keperawatan telah ada ilmu ataupun acuan yang digunakan saat berinteraksi dengan pasien seperti komunikasi terapeutik, namun pada prakteknya komunikasi dilaksanakan sesantai mungkin agar iklim komunikasi nonformal dapat terjalin sehingga pasien tidak merasa di justifikasi oleh perawat dan berkat hal tersebut proses komunikasipun dapat terjalin secara dua arah.

2) Peserta komunikasi berada dalam jarak yang dekat

Dalam komunikasi antarpribadi secara fisik akan berdekatan satu sama lain sehingga memungkinkan pembicaraan yang bersifat pribadi dan rahasia. Kedekatan ini sekaligus menunjukkan derajat hubungan antara dua belah pihak.

Berdasarkan hasil observasi, terdapat sinkronisasi antara teori tersebut dengan hasil lapangan karena proses interaksi perawat dan pasien selalu dilaksanakan secara tatap muka sehingga baik pesan verbal maupun pesan nonverbal dapat diketahui secara spontan dan hubungan yang terjalin terkesan lebih personal dan rahasia. Dan

11

Wawancara pribadi dengan ibu Fujiati , Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015

komunikasi/interaksi antara perawat terhadap pasien merupakan salah satu metode penyembuhan yang diberikan rumah sakit kepada pasien. Oleh sebab itu, prosesnya selalu dilaksanakan secara berdekatan. dan lazimnya dilaksanakan di sekitar ruang asuh pasien. Hanya saja pada poin ini kerahasiaan tidak diutamakan karena meski komunikasi dilaksanakan secara berdekatan namun bukan berarti proses ini dilaksanakan benar-benar diruang tertutup karena disekitar komunikator dan komunikan terdapat pasien dan perawat-perawat lain.

3) Umpan balik segera

Umpan Balik (feed back) merupakan tanggapan, jawaban atau respon komunikan kepada komunikator, bahwa komunikasinya dapat diterima dan berjalan. Dalam proses komunikasi antara perawat dan pasien umpan balik merupakan indikator apakah jalinan komunikasi terjalin efektif atau tidak. Umpan balik pasien disesuaikan dengan kemampuan sosialisasi mereka, seperti pasien yang memiliki riwayat ISOS (isolasi sosial), feedback atau umpan balik yang diberikan cenderung negatif karena ia lebih suka berdiam diri dan sukar untuk berbicara banyak.

“Jika perawat banyak bertanya atau banyak mengajaknya berinteraksi ia akan lebih banyak diam.”12

“Respon mah ada aja, walaupun jawabnya singkat-singkat aja.”13

12

Wawancara pribadi dengan ibu Fujiati, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015

13

Wawancara pribadi dengan ibu Nurmilah, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015

“Yang ngasih respon sih ada beberapa, Cuma kalo pasiennya ISOS ia akan jawabnya ia tidak, ia tidak aja, tapi kalo memang pasiennya yang kooperatif baru ia akan tanya balik.”14

Sedangkan pasien hebefrenik, feed back yang diberikannya akan selalu sama seperti dengan proses komunikasi sebelumnya karena apa yang ingin ia dengar dan apa yang ingin ia bicarakan hanyalah seputar keinginannya saja.

“Respon ada, cuman hampir rata-rata yang dia omongin hampir sama, kalo hari ini yang obrolin itu yah besok juga yang diobrolin akan sama juga. Kenapa sama, karena yang ingin ia dengar, yang ingin ia bicarakan seputar itu-itu saja.”15

Berdasarkan hasil observasi pasien yang memiliki masalah komunikasi cenderung pada pasien ISOS dan Hebefrenik saja karena pasien-pasien lain, seperti pasien riwayat RPK (riwayat perilaku kekerasan), Waham, RBD (riwayat bunuh diri) menunjukan geliat komunikasi yang baik. Berikut percakapan yang dilakukan antara perawat dengan pasien skizofrenia tipe paranoid waham.

“Perawat: iwan kenapa iwan dibawa kesini iwan? Pasien: dibawa kesini, karena pingin motor, Perawat: wah pingin motor, suster pingin pesawat. Perawat: emang udah kerja?

Pasien: udah

Perawat: kerja apa iwan?

14

Wawancara pribadi dengan ibu Ernawati, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015

15

Wawancara pribadi dengan ibu Ernawati, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015

Pasien: kerja biasa, cangkul.”16

Berdasarkan penyelidikan, perbedaan kondisi umpan balik/feed back antara pasien ISOS, Hebefrenik dengan pasien RPK, Waham, HDR ini dilatar belakangi oleh penyebab penyakitnya dan juga karakter asli pasien karena jika memang pasien memiliki karakter yang pendiam maka saat gangguan jiwanya terganggupun ia akan tetap saja menjadi pribadi yang diam.

c. Bentuk Pesan yang Digunakan Perawat Saat Berkomunikasi Dengan Pasien

Pesan yang digunakan dalam komunikasi antarpribadi yaitu pesan bersifat umum, jelas dan gamblang, bahasa yang jelas, positif, seimbang, dan penyesuaian dengan keinginan komunikator. Begitupun dalam proses ini pesan/bahasa yang digunakan bersifat jelas dan umum. Hal ini bertujuan agar pasien dapat dengan mudah memahami maksud dari perawat sehingga pasien dapat responsif mengimplementasikan apa yang dibicarakan oleh perawat.

“Kalo kata-katanya, kita cari kata-kata yang mudah yah, kata-kata yang mudah difahami mereka, bahasa yang sehari yang engga sulit mereka fahami, bahasan yang dasar-dasar aja misalkan tadi udah makan belum? Makannya pakai apa?, jangan ditanya yang aneh-aneh kan susah juga yah buat mereka tar jawabnya. Misalnya udah nikah belum, gimana tadi tidurnya?.”17

Selain penggunaan bahasa yang jelas, mudah dan gamblang perawat juga kadang menggunakan bahasa daerah, seperti bahasa sunda,

16

Percakapan antara perawat ruangan Yudistira dengan pasien skizofrenia tipe paranoid wahambernama Iwan pada tanggal 20 Februari 2015

17

Wawancara pribadi dengan bapak Mamat Sutedi, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 18 Februari 2015

jawa dan bahasa daerah lainnya sesuai dengan latar belakang pasien. hal ini bertujuan agar pasien merasa nyaman dan merasa akrab dengan perawat sehingga hubungan emosional dapat dengan mudah terjalin.

“Kalau dari segi bahasa paling pakai bahasa indonesia, kalo yang dari sunda ya pake bahasa sunda.”18

Pasien hebefrenik adalah pasien yang hanya akan membicarakan dan mendengarkan topik yang ia inginkan saja sehingga pesan yang disampaikan perawatpun harus sesuai dengan keinginan tersebut.

“Perawat: kalo yang hebefrenik sih susah yah, kadang kalo kita ngomong engga di denger, dia kan udah sibuk yah dengan dunianya.

Peneliti: lalu, saat keadaan yang seperti itu, maka bagaimana cara berkomunikasi dengan mereka agar mereka mau mendengarkan perawat?

Perawat: yah, kita ngikutin mereka dulu”.19

Dari beberapa poin diatas dapat disimpulkan bahwa pesan yang digunakan bersifat positif, disesuaikan dengan kondisi pasien, sehingga apa yang disampaikan tidak ada yang menganggu ketenangan pasien, karena secara kodrati manusia tak ingin mendengarkan dan melihat hal-hal yang tidak menyenangkan dari dirinya. Oleh karena itu, setiap pesan agar diusahakan bermakna positif.

Bentuk pesan dapat bersifat informatif, persuasif dan koersif. Begitupun dalam kasus ini bentuk pesan yang digunakan dalam proses penetrasi ini lebih berbentuk persuasif atau ajakan. Karena bujukan

18

Wawancara pribadi dengan ibu Nurmilah, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015

19

Percakapan antara peneliti dengan perawat ibu Nurmilah di ruang Yudistira pada tanggal 17 Februari 2015

ialah proses membangkitkan pengertian dan kesadaran seseorang bahwa apa yang kita sampaikan akan memberikan rupa pendapat atau sikap sehingga ada perubahan. Hal ini dapat diidentifikasi dari cara perawat berkomunikasi dengan pasien dengan intonasi yang lembut, pelan-pelan, dan ada upaya pembangkitan kemampuan kognitif karena apapun yang disampaikan ialah demi merangsang kembali kesadaran pasien.

“Kita tanya baik-baik dan selidiki dengan bahasa yang baik, Berarti kita bujuk/persuasi.”

d. Tujuan Proses Komunikasi Perawat terhadap Pasien Skizofrenia Komunikasi antarpribadi merupakan suatu action oriented atau suatu kegiatan yang dilakukan untuk tujuan tertentu, seperti mengungkapkan perhatian kepada orang lain, mengenal diri sendiri dan orang lain, menemukan dunia luar, menciptakan dan memelihara hubungan menjadi bermakna, mempengaruhi sikap dan perilaku, bermain dan mencari hiburan, menghilangkan kerugian akibat salah komunikasi dan memberikan bantuan atau konseling. Jika diselidiki, maka tujuan pada praktek komunikasi ini lebih cenderung pada poin memberikan bantuan dan konseling kepada pasien yang sedang mengalami gangguan jiwa agar kembali sadar dan sembuh.

1) Membantu menghilangkan perilaku abnormal pasien

Pada intinya segala hal yang diberikan oleh pihak rumah sakit kepada pasien dilakukan semata-mata untuk mengembalikan kesadaran pasien agar pasien semakin sadar akan keberadaan dirinya dan lingkungan sekitar sehingga kelak ia mampu kembali beraktifitas seperti biasanya. Misalnya yang pada awalnya ia bekerja sebagai

petani maka setelah keluar rumah sakit perawat berharap agar pasien kembali mampu melakukan kegiatannya secara normal, segala bentuk tindak abnormal bisa hilang seutuhnya dan kondisi lingkungan kembali kondusif saat ada pasien di lingkungan sekitar.

“Tujuannya yah, untuk kesembuhan dia, saat pulang nanti seperti marah-marah, ngomong sendiri, g mau mandi, ngamuk-ngamuk g jelas, nah, sepuluh item itu ya paling tidak beberapa item itu hilang.”

2) Membantu menghilangkan halusinasi pasien

Tujuan lainnya ialah membantu pasien dalam menghilangkan/mengalihkan halusinasi ataupun delusi yang timbul dalam pikiran pasien, karena jika ia tidak dibiasakan berinteraksi dengan perawat ataupun sesama pasien dikhawatirkan akan semakin merasa sendiri, dan berdampak memburuknya kondisi pasien.

“Bercakap-cakap dengan perawat atau pasien lainnya merupakan suatu aktifitas yang penting untuk bisa mendistraksi halusinasi pasien. Dan kegiatan-kegiatan lain seperti mengarahkan minat/bakat pasien.”

3) Membantu membiasakan aktifitas pasien

Proses komunikasi yang terjalin antara perawat dan pasien merupakan salah satu trick agar perawat dengan mudah mengarahkan pasien menuju arah kesembuhan. Oleh karena itu, sesederhana apapun bentuk komunikasi dan konten yang disampaikan tetap saja selalu ada pesan penyembuhan disana. Oleh karena itu, proses ini bertujuan untuk menstimulasi pasien agar selalu ingat akan kewajibannya sebagai pasien, seperti menjalankan terapi yang telah disediakan oleh pihak

rehabilitasi, meminum obat secara teratur, dan tindakan-tindakan penunjang kesembuhan lainnya.

“Berkomunikasi itu cara buat terus mengingatkan pasien, agar pasien terbiasa.”20

4) Membantu membentuk kembali jati diri/semangat pasien

Hal terpenting dalam proses komunikasi yang terjalin antar perawat dan pasien ialah demi terbentuknya kembali jati diri, mengisi kekosongan jiwa, dan membangkitkan kembali semangat hidup pasien. Sehingga sakit dalam jiwanya dapat disembuhkan.

“Kuncinya berkomunikasi karena yang sakitkan jiwanya yah jadi yang harus dibangkitkan semangat kejiwaannya, spiritnya.”

e. Proses Pengembangan Hubungan Perawat terhadap Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor

Teori Altman dan Dalmas membuktikan bahwa hubungan-hubungan mengalami kemajuan dari tidak intim menjadi intim. Hubungan komunikasi antara orang dimulai pada tahapan suferfisial dan bergerak pada sebuah kontinum menuju tahapan yang lebih intim.

Terdapat keterkaitan antara prinsip hubungan mengalami kemajuan dari tidak intim menuju hubungan yang intim dengan praktek komunikasi antarpribadi ini, terlebih bagi pasien kategori hebefrenik dan ISOS (isolasi sosial), karena ia tidak akan mau berbicara dengan perawat jika tidak ada proses pendekatan seperti saling keterbukaan sebelumnya, indikasi keterbukaan ini dapat dilihat ketika pasien sudah terbuka akan

20

Wawancara pribadi dengan bapak Ahmad Riva’I, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015

latar belakang penyebab gangguan dalam dirinya, Dan sudah bersedia memberikan respon positif kepada komunikator (perawat). Agar keterbukaan dapat terjalin maka harus ada rasa percaya pasien terhadap perawat. Sisi kepercayaan ini sangat terlihat pada pasien ISOS karena ia tidak akan memberikan respon apapun pada orang yang baru ia temui.

Contoh, pada saat itu peneliti mencoba langsung berkomunikasi dengan pasien kategori ISOS tanpa melewati tahap pembangkitan kepercayaan terlebih dahulu, dan hal ini menyebabkan pasien hanya diam dan tidak memberikan respon apapun kepada komunikator. Kejadian ini sangat kontras ketika yang berkomunikasi dengannya adalah perawat yang memang telah lama menjalin interaksi sebelumnya, dan benar saja respon yang diberikan bersifat positif karena pada saat itu pasien sudi untuk memberikan respon kepada perawat.

Dari contoh diatas penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa hal terpenting yang harus dilalui untuk mengembangkan hubungan antara perawat dan pasien ialah pengambilan kepercayaan (bina trust) pasien. Karena jika kepercayaan tidak ada, pasien tidak akan terbuka kepada perawat, dan begitupun sebaliknya. Perihal kepercayaan merupakan pondasi utama dalam pengembangan hubungan perawat dan pasien, hal ini dibuktikan oleh beberapa kutipan yang dilontarkan oleh beberapa narasumber dari pihak rumah sakit, yaitu:

“Kalau awal iya pasti ada basa-basi dulu untuk bina trust, tapi setelah bina trust terjalin maka kita langsung difokuskan tentang apa yang akan kita ketahui tentang dia.”21

“Respon pastinya ada kalo emang udah ada rasa percaya.Yah intinya gimana trustnya sih yah.”22

“Intinya adalah trust atau percaya karena ketika pasien sudah trust maka ia akan mencari kita (perawat). Dan untuk membangun trust itu maka perawat harus punya kesabaran yang tinggi karena bukan hanya orang sakit saja kadang orang yang normal saja kalau melakukan pendekatan kalau orang itu benci kadang kita enggan untuk berkomunikasi jadi yang penting harus bersabar ekstra.”23

“Seiring dengan seringnya kita berinteraksi dengan pasien dan tergantung dengan pandai tidaknya perawat berinteraksi dengan pasien maka pasien akan sedikit-demi sedikit terbuka. Terlebih jika sudah ada bina trust.”24

Proses pembentukan kepercayaan pasien tidak dapat ditentukan berdasarkan waktu karena kadang prosesnya membutuhkan waktu sampai sebulan atau bahkan lebih. Hal ini ditentukan oleh kecakapan perawat melakukan persuasi terhadap pasien karena semakin sering perawat mendekati pasien untuk berkomunikasi, maka semakin besar kemungkinan kepercayaan terjalin hingga akhirnya keterbukaan antara pasien terhadap perawat dapat terjadi.

“Kita tidak bisa pastikan waktu, kalo untuk bina trust pasien-pasien, Mungkin bisa seminggu, mungkin bisa dua minggu, tergantung pasiennya dan tergantung pendekatan si petugasnya. Semakin sering berinteraksi maka pasiennya mungkin bisa,”25

21

Wawancara pribadi dengan ibu Ernawati, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015

22

Wawancara pribadi dengan ibu Nurmilah, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015

23

Wawancara pribadi dengan bapak Ahmad Riva’i, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 18 Februari 2015

24

Wawancara pribadi dengan ibu Fujiati, Amd Kep, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015

25

Wawancara pribadi dengan ibu Fujiati, Perawat di rumah sakit Marzuki Mahdi Bogor, ruang Yudistira, Bogor 17 Februari 2015

1) Proses Pengembangan Hubungan antara Perawat Terhadap Pasien Skizofrenia Tipe Paranoid ISOS (Isolasi Sosial)

a) Keadaan Pasien ISOS Saat Berkomunikasi Dengan Perawat Ciri khas dari penderita ini ialah murung, mudah tersinggung dan selalu curiga. Sehingga ia berpotensi berperilaku agresif pada dirinya sendiri atau orang lain. Namun, berdasarkan hasil observasi, respon yang diberikan tidaklah berperilaku agresif namun cenderung sangat pasif karena ia hanya suka berdiam diri, ekspresi wajah yang murung/tidak ceria, selalu menundukan wajahnya, dan fokus pada apa yang ia lakukan, seperti melihat jari-jarinya sehingga fokus terhadap perawat teralihkan.

Menurut Dokter Pras ada dua hal yang menyebabkan pasien bertingkah laku seperti itu, diantaranya: karena halusinasi visual dan halusinasi auditori yang kuat yang membisikinya agar ia terus terdiam dan tidak berbicara apapun terhadap semua orang, dan yang kedua ialah karena terdapat gangguan organik dalam tubuhnya, seperti terdapat kerusakan pada pita suara sehingga ia tidak dapat berbicara apapun terhadap orang lain.

b) Teknik Komunikasi Perawat terhadap Pasien Skizofrenia Tipe Paranoid ISOS (isolasi sosial)

Tipe skizofrenia jenis ini sangat anti sosial karena ia sangat menyukai kesendirian dan tidak cakap untuk berkomunikasi dengan lawan bicaranya. Adapun teknik yang dapat digunakan oleh seseorang saat menghadapi pasien skizofrenia tipe ISOS ini, ialah:

memancing pasien dengan pertanyaan-pertanyaan yang spesifik, frekuensi bertanya ataupun mengajak yang tinggi, selalu diberi contoh setiap kali ada instruksi, mengajaknya dengan pelan-pelan (artikulasi yang jelas, volume suara yang standar, sifat pesan persuasif), harus slalu diberi pengertian. Menurut perawat ruangan Yudistira, ada beberapa cara yang dapat ditempuh saat menghadapi pasien jenis ini, yaitu:

(1) Menggunakan komunikasi nonverbal

Saat pasien fokus dengan dirinya ia hanya akan terus berdiam diri. Oleh karena itu, ia perlu untuk disadarkan dengan cara disentuh, diajak untuk memandang lawan bicara saat berkomunikasi, dan menggunakan intonasi yang agak tinggi agar pasien sepenuhnya sadar bahwa ada seseorang yang sedang memperhatikannya.

“Kalo kita nanya engga dijawab kita sentuh kan yah, di tepak itu namanya untuk yang tumpul. Karna orang yang seperti itu kalau diajak ngobrol nunduk aja, responnya

Dokumen terkait