• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. KAJIAN PUSTAKA

2.3 Analisis Kontrastif

Istilah analisis kontrastif atau contrastive analysis yang secara umum diartikan dengan analisis yang memperlihatkan perbedaan dan persamaan. Secara teoritis analisis kontrastif bertujuan untuk menemukan atau membuktikan persamaan maupun perbedaan dalam berbagai bentuk, karakteristik dan aspek kebahasaan antara bahasa-bahasa yang dibandingkan, sementara secara praktis kajian ini bertujuan untuk menemukan prinsip-prinsip kebahasaan yang bermanfaat untuk diterapkan untuk keperluan pengajaran, pembelajaran dan penerjemahan.

Analisis kontrastif dalam penerjemahan adalah aktivitas atau kegiatan yang mencoba membandingkan struktur BSur dengan struktur BSar. Perbedaan dan persamaan dua bahasa yang dihasilkan dapat digunakan sebagai dasar dalam menemukan persamaan dan perbedaan tersebut yang pada akhirnya membantu penerjemah dalam proses penerjemahan. Hal ini dikarenakan seorang penerjemah harus menguasai bahasa dan tata bahasa dari BSur maupun BSar.

Krisdalaksana (1993: 13) mengatakan “Analisis kontrastif adalah metode sinkronis dalam analisis bahasa untuk menunjukkan persamaan dan perbedaan antara bahasa-bahasa atau dialek-dialek untuk mencari prinsip yang dapat diterapkan dalam masalah praktis, seperti pengajaran bahasa dan terjemahan”. James (1986: 3) menambahkan “Analisis kontrastif adalah suatu upaya yang bertujuan untuk menghasilkan dua tipologi yang bernilai terbalik (yaitu kontrastif, bukan komparatif dan berlandaskan asumsi bahwa bahasa-bahasa dapat dibandingkan (maksudnya analisis kontrastif selalu berkaitan dengan pasangan (dua buah) bahasa). Bussman

(1996: 102) menyatakan analisis kontrastif merupakan “Lingusitics subdiscipline concerned with the synchronic, comparative study of two or more language varieties. Generally both differences and similarities are studied, although emphasis is usually placed on differences thought to lead to inference (i.e. negative transfer, the faulty application of structure form one’s native language to the second language. Dan

Lubis (2009: 23) menjelaskan “Analisis kontrastif suatu upaya untuk

membandingkan dua bahasa secara sinkronis yang bertujuan untuk mendeskripsikan perbedaan dan persamaan kedua bahasa dalam berbagai aspek”.

Secara keseluruhan uraian pengertian di atas menunjukkan bahwa analisis kontrastif bertujuan untuk memperoleh dan menghasilkan perbedaan-perbedaan sistem atau struktur antara dua bahasa, dan hasil yang diperoleh dapat dimanfaatkan untuk keperluan dalam pengajaran dan penerjemahan. Namun perlu ditekankan bahwa analisis kontrastif biasanya lebih terfokus pada pencarian perbedaan yang dapat menyebabkan terjadinya interferensi dari BSur ke BSar. Temuan tentang perbedaan dan persamaan di antara kedua bahasa digunakan untuk membantu pengajaran bahasa asing dan juga penerjemahan. Analisis kontrastif (Hoey dan Houghton, 1998) dapat memberikan penjelasan tentang kesulitan yang mungkin dihadapi dalam penerjemahan. Berikut analisis kontrastif antara bahasa Mandailing dengan bahasa Inggris (Lubis, 2009: 198-216).

2.3.1. Pronomina Persona

Kedua bahasa memiliki pronomina pertama tunggal yaitu I dalam BI dan au dalam BM, pronomina kedua tunggal yaitu you dalam BI dan ho dalam BM,

pronomina ketiga tunggal yaitu he, she, it dalam BI dan ia dalam BM. Kedua bahasa juga memiliki pronomina kedua jamak you dalam BI dan hamu dalam BM dan pronomina ketiga jamak yaitu they dalam BI dan halai dalam BM.

Sistem pronominal kedua bahasa memiliki banyak perbedaan, sebagai berikut: 1. Pronomina ketiga tunggal dalam BI dibedakan berdasarkan gender, he untuk

gender maskulin dan she untuk gender femnine dan it untuk non-manusia. 2. Pronomina kedua tunggal dan jamak you dalam BI memiliki bentuk yang

sama sedangkan dalam BM dibedakan yaitu ho dan hamu.

3. Pronomina kedua jamak homu dalam BM dapat digunakan sebagai pronomina

kedua tunggal bentuk honorifik.

4. Pronomina persona dalam BI berubah bentuk sesuai fungsinya. Pronomina pertama tunggal I dalam fungsi subjektif berubah menjadi me dalam fungsi objektif, menjadi my sebagai ajektiva posesif, dan berubah menjadi my dalam fungsi posesif. Pronomina tunggal dan jamak kedua you tidak berubah dalam fungsi objektif, menjadi your sebagal ajektiva posesif dan menjadi yours dalam fungsi posesif. Pronomina tunggal ketiga he dalam fungsi subjectif berubah menjadi him dalam fungsi objektif, menjadi his sebagai ajektiva posesif dan menjadi his dalam fungsi posesif. Pronomina ketiga tunggal she dalam fungsi subjektif berubah menjadi her dalam fungsi objektif, menjadi her sebagai ajektiva posesif dan menjadi hers dalam fungsi posesif. Pronomina it dalam fungsi subjektif tidak berubah dalam fungsi objektif, menjadi its sebagai ajektiva posesif dan menjadi its dalam fungsi objektif.

Pronomina pertama we dalam fungsi subjektif berubah menjadi us dalam fungsi objektif, dan berubah menjadi urs dalam fungsi posesif. Pronomina ketiga jamak they dalam fungsi subjektif, berubah menjadi them dalam fungsi objektif, menjadi their sebagai ajetiva posesif dan berubah menjadi theirs dalam fungsi posesif.

5. Pronomina dalam BM tidak mengalami perubahan bentuk dalam ketiga fungsi tersebut.

2.3.2 Frasa

Kedua bahasa memiliki konstruksi frasa meskipun dalam jenis dan struktur yang tidak sama.

1. Pewatas dalam frasa nomina BI berada sebelum inti (the good day) sedangkan dalam BM pewatas berada setelah inti (ari na dengan).

2. Dalam BM partikel na muncul di antara inti dan pewatas (ari na denggan). 3. Struktur frasa verbal dalam BI lebih kompleks karena sebuah frasa verbal BI

dapat didahului satu atau lebih kata bantu (is being done), sedangkan frasa verbal BM, karena BM tidak memiliki kata bantu, strukturnya lebih sederhana. Sebuah frasa verbal BM pada umumnya hanya terdiri dari verba dan partikel negatif (ulang malua, ulang pasili-sili) atau dengan kata tugas (muda sorang, hatiha markuik, laho marpira).

4. Dalam struktur frasa ajektiva BI pewatas mendahului inti (very interesting, so easy) sedangkan dalam BM pewatas berada setelah inti (tajom bariba, bontar gorsing).

5. Frasa ajektiva BM pada umumnya terdiri dari ajektiva sebagai inti dan didahului partikel na (na martua, na uli, na landit). Dalam BI ajektiva tidak didahului partikel.

6. Bila sebuah ajektiva memerlukan pewatas “sangat” maka ajektiva tersebut didahului partikel na dan diakhiri partikel an (na denggan an, na landit an). 7. Ajekltiva dapat diulang dalam BM untuk menghasilkan makna “frekuensi”

(jeges-jeges, pintar-pintar), untuk menghasilkan makna “pengurangan” (lambat-lambat, asok-asok).

8. Dalam BI adverbia cara umumnya dibentuk dengan menambahkan sufiks -ly kepada ajektiva seperti slow + -ly → slowly. Jadi sebuah frasa adverbial cara dapat dibentuk dengan menambahkan adverbia kualitatif kepada adverbia cara seperti very quickly. Dalam BM sebuah ajektiva dapat berfungsi sebagai adverbial tanpa mengubah bentuk. Sebagai contoh, Babiat binatang na gogo “Harimau adalah hewan yang kuat”. Gogo dalam kalimat tersebut adalah ajektiva. Bila digunakan sebagai adverbia cara, tidak terjadi perubahan bentuk namun posisinya dalam kalimat berubah; berada di dekat verba (gogo mangan atau mangan gogo) atau berada sebelum pronominal/subjek seperti dalarn (gogo hamu mancari, ikhlas roha manjagit). Jadi sebuah frasa adverbial dalam BM dapat dibentuk dengan menambahkan sebuah adverbia kualitatif kepada adverbia seperti dalam tar lambat (ia ro), atau dengan menambahkan partikel na di depan adverbia dan menambahkan an pada akhir adverbia seperti no ipas an (ia kehe).

Hampir semua struktur frasa preporsional BI sama dengan struktur frasa preposisional BM kecuali struktur frasa yang mengacu kepada pelaku. Dalam BI frasa preposisional yang mengacu kepada pelaku menggunakan preposisi by sebagai inti seperti dalam by my fasther, by his uncle tetapi dalam BM tidak ditemukau preposisi yang bermakna pelaku. Jadi misalnya, kalimat BI This shirt was bought by my uncle, dalam BM akan menjadi Baju on itabusi udangku. Jadi tidak ada preposisi yang bermakna “oleh” dalam BM.

2.3.3 Kalimat

Berdasarkan fungsinya, kalimat pada umumnya dibedakan menjadi kalimat deklaratif, kalimat imperatif, kalimat interogatif dan kalimat eksklamatif. Kedua BI dan BM memiliki keempat jenis kalimat tersebut namun karena teks yang digunakan sebagai data merupakan genre eksplanatif, tidak ditemukan kalimat interogatif dan ka1imat eksklamatif. Perbedaan dalam pola atau struktur kalimat BI dan BM adalah sebagai berikut:

1. Ciri utama urutan kata dalam kalimat BI adalah subjek (S) – verba (V) – objek (O) seperti Father drinks coffee. Dalam BM urutan kata bisa berpola SVO seperti dalam Horbo simaradang tua (S) na mamolus (V) ombun manyorop (O) “Kerbau yang bertuah menempuh embun tebal” dan dapat berpola VSK. Seperti dalam Habangma on (V) langkupa (S) na songgop tu Gunung Tua (K).

2. Kalimat yang berpola subjek-predikat dalam BI dapat dibentuk dengan subjek verba (The moon shines) dan bisa juga berpola subjek + to be +

nomina/ajektiva/adverbial (She is a student/beautiful/here). Dalam BM kalimat yang sama juga memiliki pola subjek-verba (Au ro tingon luai ni Mandailing) tetapi karena BM tidak memiliki verba bantu, maka urutan kata

dalam kalimat untuk pola yang kedua hanya subjek +

nomina/ajektiva/adverbial seperti dalam Halaklahi (N) si suan bulu (N): Ari (N) na lupa (A), Dongdong (N) di Barangtoru (K).

3. BM tidak memiliki kalimat yang berpola S-P-OTL-OL seperti dalam BI (Size gave me a glass of water). Jadi tidak ada kalimat seperti Ia mangalehen au sagalas aek, tetapi Ia mangalehen sagalas aek baen di au, yang berpola subjek-verba-objek-keterangan.

2.3.4 Komponen Makna

Tidak mudah membandingkan komponen makna yang dimiliki masing- masing kata secara lengkap dalam dua bahasa karena jumlah kata yang sangat banyak yang dimiliki oleh setiap bahasa. Bila ini dilakukan untuk setiap kata tentu akan memerlukan waktu yang sangat banyak. Namun karena penerjemahan adalah upaya pengalihan makna dari BSur ke dalam BSar pemahaman tentang komponen makna yang dimiliki oleh sebuah kata perlu agar tidak terjadi pengalihan makna yang salah atau kurang tepat. Ciri universal yang dimiliki oleh kata adalah terdapatnya lebih dari satu komponen makna.

Seperti diuraikan sebelumnya, membandingkan komponen makna dua kata yang dianggap sebagai berpadanan tentu memerlukan waktu yang sangat banyak,

meskipun jumlah kata yang dijumpai dalam sebuah teks bukan seluruh kosa kata yang dimiliki bahasa tersebut.

Dalam kajian ini dibandingkan sejumlah istilah kekerabatan yang ditemukan dalam teks marpokat haroan boru. Dalam teks tersebut ditemukan istilah-istilah kekerabatan seperti dalihan na tolu, suhut, kahanggi, anakboru, mora, namora natoras. Istilah-istilah tersebut tidak memiliki padanan dalam BI karena semuanya merupakan istilah budaya. Kata amang dalam BM dapat dipadankan dengan kata father dalam BI. Contoh lain dalam BM komponen makna utama kata amang dan father tentu serupa. Namun dalam BM kata amang tidak hanya mengacu kepada

“suami ibu” tetapi meluas kepada anak laki-laki seorang ayah/ibu sebab dalam budaya Mandailing anak laki-laki dianggap adik dan ayah kita. Oleh karena itu orang Mandailing boleh memanggil anak laki-lakinya amang karena dalam hubungan kekerabatan anak laki-laki setara dengan ayah kita. Demikian pula kata inang, Anak perempuan kita boleh dipanggil inang, karena anak perempuan kita dianggap adik ibu kita sendiri. Dalam BI kata father dapat juga mengacu kepada pastor di dalam gereja. Dengan demikian komponen makna kata father dan amang dalam kedua bahasa tersebut tidak sama sedangkan komponen makna kata inang dalam BM lebih luas daripada mother yang menjadi padanannya dalam BI. Coba kita lihat lagi sejumlah nama benda berikut dalam BM, dan sejauh mana kata-kata tersebut memiliki padanan dalam BI dan bila berpadanan apakah memiliki komponen makna yang sama.

amak lampisan bulung salungsung gulaen sale incor tali haporas Sira indahan manuk aek na ian horbo anduri pinggan pasu

Untuk kata-kata yang berada pada kolom sebelah kiri tentu tidak ditemukan padanannya dalam BI karena benda-benda tersebut berkaitan dengan budaya dan geografi. Sebagai contoh, amak dapat dipadankan dengan dengan mat, tetapi amak lampisan adalah produk budaya Mandailing yaitu tikar yang dibuat berlapis sebagai tempat duduk dalam acara-acara tertentu. Kata-kata pada kolom sebelah kanan, kecuali kata indahan, tentu saja memiliki komponen makna yang sama dalam BI. Kata sira berpadanan dengan salt, manuk dengan chicken, aek na lan dengan (fresh) water, horbo dengan buffalo, anduri dengan window dan pinggan pasu dengan big plate. Kata indahan biasanya dipadankan dengan kata rice dalam BI namun kata rice memiliki komponen makna yang sangat luas yang mencakup padi, beras ataupun menir. Dalam BM kata indahan berarti hanya “nasi yang berasal dari beras sebagai hasil proses pemasakan”. Istilah untuk padi, beras dan menir masing-masing adalah eme, danon, dan monis dalam BM. Jadi komponen makna rice dan indahan tidak persis sama.

2.3.5 Polisemi

Salah satu ciri semesta kata ialah terjadinya perluasan makna. Pada mulanya sebuah kata hanya memiliki sebuah makna primer saja, kemudian seiring dengan

masa pemakaian kata tersebut, makna primer tadi berkembang menjadi makna-makna yang lain. Jadi polisemi ditemukan dalam kosakata setiap bahasa walaupun keragaman makna itu berbeda dari satu bahasa ke bahasa lain.

BI dan BM dalam banyak hal adalah dua bahasa yang sangat berbeda. Misalnya dalam hal usia, BI jauh lebih tua daripada BM, jumlah penutur BI tidak sebanding dengan jumlah penutur BM, status BI tidak setara dengan BM dan lain- lain.

BI adalah bahasa yang telah berusia lebih dari satu milenium dan digunakan di seluruh dunia dengan status yang berbeda. Berdasarkan usianya yang sangat panjang tersebut, wajarlah sebuah kata dalam BI memiliki banyak makna. Sebagai contoh kata take memiliki 41 macam makna kata, kata make dan run masing-masing memiliki 22 macam makna yang berbeda. Contoh lain empat verba yang dalam BM yakni mambaen “membuat”, manjalahi mencari, jongjong ‘berdiri’, dan tubu ‘tumbuh’ dan dipadankan dengan kata BI yakni masing-masing make, find, stand, dan grow dan dibandingkan berapa makna skunder yang dimiliki masing-masing kata tersebut. Kata make dalam BI yang menjadi padanan kata mambaen memiliki 22 macam makna sedangkan BM hanya memiliki sebuah makna skunder yaitu ‘mengerjakan sawah’. Kata manjalahi yang menjadi padanan kata find dalam BI hanya memiliki sebuah makna sekunder yaitu ‘mencari nafkah’ sedangkan dalam BI terdapat 18 makna sekunder yang berbeda menurut kamus The Random House Dictioriary of the English Language edisi ke 2 tahun 1987. Kata jonjong yang menjadi padanan kata stand dalam BI hanya memiliki dua buah makna sekunder

yaitu “mendirikan rumah” seperti dalam pajonjong bagas “mendirikan rumah” dan “menegakkan/mempertahankan adat” seperti dalam pajonjong adat “menegakkan adapt/tradisi” sedangkan dalam BI terdapat sebanyak 41 buah makna sekunder. Kata tubu “tumbuh” yang menjadi padanan kata grow dalam BM hanya memiliki dua buah makna sekunder yaitu “anak lahir” dan “sesuatu, seperti bisul, tumbuh pada bagian tertentu tubuh” sedangkan dalam BI terdapat 13 buah makna sekunder.

Untuk perbandingan terakhir mari kita ambil kata ajektiva bontar yang menjadi padanan kata white dalam BI. Dalam BM kata ini hanya memiliki sebuah makna sekunder yaitu ‘ikhlas’ sedangkan dalam BI terdapat 18 macam makna sekunder.

2.3.6 Sinonimi dan Antonimi

Ciri universal lain kosakata bahasa ialah bahwa pengguna bahasa memiliki lebih dari satu cara untuk mengungkapkan konsep atau makna yang sama. Ungkapan yang berbeda untuk konsep yang sama secara teknis disebut sinonim. Konsep “besar” dalam BI dapat diungkapkan dengan menggunakan ungkapan-ungkapan lain seperti large, great, huge, enormous dan lain-lain. Dalam BM “sehat” dapat diungkapkan dengan menggunakan sekurang-kurangnya tiga ungkapan yaitu hiras, torkis, horas.

Antonim sebuah kata yang dapat ditemukan dalam kata-kata tertentu di setiap bahasa meskipun tidak setiap kata memiliki antonim. Dalam BI kata deep “dalam” dianggap antonim dengan kata shallow, kata far “jauh” dianggap antonim dengan close ‘dekat’. Kata godang “besar” dalam BM dianggap antonim dengan kata menek “kecil”, kata tobang “tua” dianggap antonim dengan kata poso “muda”. Dengan

demikian keberadaan sinonim dan antonim tidak hanya ditemukan dalam BI tetapi juga dalam BM.

Sejumlah kata yang bersinonim tentu saja tidak selalu berasal dari bahasa yang sedang dibicarakan. Misalnya kata royal “berkaitan dengan raja” yang menjadi sinonim kata kingly dalam BI berasal dari bahasa Perancis, kata Fiannce “pacar” yang merupakan sinonim kata boy/girl friend juga berasal dari bahasa Perancis. BI sebagai bahasa yang telah berusia ribuan tahun dan telah bergaul dengan banyak bahasa lain bukan saja dengan bahasa-bahasa yang berasal dari rumpun yang sama tetapi juga dengan bahasa-bahasa tidak serumpun. Jumlah sinonim yang dimiliki kata-kata BI jauh lebih banyak dari sinonim kata BM. Kita ambil kata house “rumah” dalam BI. Kata house memiliki sekurang-kurangnya enam sinonim seperti home, dwelling, abode, habitation, building sedangkan dalam BM hanya terdapat bagas dan inganan yang bermakna sama dengan house, ini menunjukkan bahwa budaya orang Inggris dalam hal perumahan jauh lebih kaya daripada budaya orang Mandailing. Mari kita ambil lagi sebuah kata yang berkaitan dengan “hidup” dalam BI. Terdapat sekurang- kurangnya enam kata seperti live, abide, reside, dwell, exist, survive (Urdang, 1978: 190). Sedangkan dalam BM hanya terdapat dua kata yakni ngolu/mangolu dan marhosa. Kata beautiful “cantik” dalam BI memiliki antonim paling tidak empat kata yaitu ugly, homely, unattractive, dan plain (Urdang, 1978: 30). Dalam BM kata deges “cantik” memiliki sebuah antonim saja yaitu jat ‘buruk’. Kata happy “gembira” dalam BI memiliki enam antonim yaitu sad, gloomy, unlucky, unfortunate (Urdang:

1978: 153) sedangkan dalam BM hanya terdapat dua kata yaitu marsak dan ibo (roha).

2.3.7 Makna Generik-Spesifik

Makna generik-spesifik tidak sama dengan hubungan makna dalam sinonim. Dalam sinonim hubungan makna adalah hubungan paralel atau setara. Dalam hubungan makna generik-spesifik hubungan yang ada adalah hubungan hirarkis atau hubungan atas-bawah. Bahwa sebuah kata generik seperti bunga memiliki sejumlah kata spesifik seperti ros, lili, angrek, kaktus, dahlia, cempaka dll adalah hal yang umum dalam bahasa namun bisa saja istilah generik untuk sejumlah istilah spesifik tidak ditemukan dalam bahasa tertentu. Kedua bahasa, BI dan BM tentu saja memilki istilah generik dan spesifik.

Kata fowl “unggas” dalam BI sebagai contoh sudah mencakup sejumlah makna seperti cock, hen, duck, eagle, owl, parrot dll. Dalam BM makna spesifik seperti manuk “ayam”, hitik “itik”, alihi “elang”, onggang “enggang”, balom “balam”, baro-baro “cucakrawa” dll dapat dijumpai, tetapi tidak ada kata yang memiliki makna generik. Bila kata manuk, hitik dibuang, kata burung berlaku sebagai makna generik untuk kata-kata yang lainnya. Kata animal dalam BI memiliki sejumlah makna spesifik seperti lion, tiger, elephant, deer, buffa1o, horse dll. Dalam BM istilah-istilah seperti itu ditemukan yaitu masing-masing singa, babiat, gaja, hursa, horbo dan kudo tetapi tidak ditemukan istilah generik untuk istilah-istilah spesifik tersebut. Makna-makna spesifik seperti tarutung “durian”, manggis “manggis”, lancat “langsat”, rambutan, jambu, salak, unte “jeruk” dll ditemukan

dalam BM tetapi sekali lagi tidak ada istilah generik untuk semua kata tersebut. Sementara dalam BI kata fruit digunakan sebagai istilah generiknya. Tumbuhan yang tergolong ke dalam jenis palem seperti harambir “kelapa”, bargot ‘‘pohon enau”, salak, sawit, tidak ditemukan makna generiknya dalam BM, sedangkan dalam BI makna generiknya adalah palm tree.

2.3.8 Metafora

Pemakaian metafora dalam bahasa adalah sesuatu yang wajar. Bila kita amati kosakata bahasa yang digunakan, sebahagian adalah metafora. Dahulu, pemakaian metafora dianggap sebagai penyimpangan dari bahasa biasa. Ternyata banyak ungkapan yang kita gunakan dalam berkomunikasi terdiri dari metafora. Metafora telah sangat sering digunakan pemakai bahasa sehingga kadang tidak menyadari lagi bahwa sebuah metafora sedang digunakan. Mendengarkan ungkapan ibu kota, anak panah, mata pisau dalam B.Ind. tidak lagi dapat dirasakan bahwa metafora sedang digunakan. Seandainya makna denotatif yang digunakan maka ungkapan-ungkapan di atas akan berbunyi seperti kota tempat pemerintah pusat, panah yang dilontarkan dari busur, bagian yang tajam dari pisau yang tentu saja lebih rumit dan tidak praktis.

Dalam kedua bahasa, BI dan BM dapat ditemukan banyak metafora baik yang tergolong ke dalam dead metaphor maupun yang tergolong ke dalam live metaphor. Contoh-contoh lain metafora mati dalam BM adalah baju bulu, bontar ni ate-ate, pir tondi matogu. Dalam BI metafora mati adalah seperti from the bottom of my heart, the meat of coconut, footnote dan lain-lain Contoh metafora hidup lain datam BM

adalah haruaya ho amang “pohon beringin engkau anakku”, banir na bolak parkolipan ko amang “pohon besar tempat berlindung kau amang”, mamolus dalan matobang “menempuh jalan berkeluarga”. Dalam BI Love is blue dan She is the star in our classroom merupakan metafora hidup.

Kita lihat pada contoh-contoh di atas bahwa metafora tidak hanya berkenaan dengan benda konkrit seperti the eye of the needle dalam BI atau ulu ni aek dalam BM tetapi bisa juga berkenaan dengan benda abstrak seperti Love is blind/blue dalam

Dokumen terkait