• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. KAJIAN PUSTAKA

2.4 Kajian Lintas Budaya

Peningkatan hubungan antarpribadi, antarkelompok maupun antarbangsa yang dipicu oleh kemajuan teknologi, transportasi dan komunikasi sejak ratusan tahun lalu membuat kebutuhan untuk memahami kebudayaan orang atau komunitas lain yang mereka temui dengan tujuan mencegah kesalahpahaman dan konflik meningkat. Para pedagang, diplomat, tentara, maupun mahasiswa yang harus berinteraksi, bertugas, atau tinggal bersama komunitas dengan budaya yang asing karena tuntutan pekerjaan maupun studi mereka sering menemukan masalah-masalah yang timbul karena perbedaan budaya. Untuk menjawab tantangan ini, para ilmuan menggagas kajian perbandingan terhadap sifat-sifat manusia melalui penelitian terhadap kebudayaan- kebudayaan yang ada dengan melibatkan sebanyak mungkin disiplin ilmu yang relevan. Gagasan untuk meningkatkan pemahaman atas konflik antaretnis dan masalah-masalah global yang dipicu oleh keanekaragaman budaya dunia dengan menggunakan strategi inter dan multidisipliner inilah yang menjadi cikal bakal kajian lintas budaya.

Seterusnya kajian lintas budaya ini kemudian diterapkan dalam penerjemahan. Teori penerjemahan klasik yang tetap diakui relevansinya hingga saat ini menyatakan bahwa tujuan utama setiap penerjemahan adalah mereproduksi makna atau pesan yang sama dengan yang dimaksudkan pengarang asli ke dalam bahasa sasaran. Akan tetapi pencapaian tujuan itu didekati dengan cara yang sangat kontras oleh konsep- konsep penerjemahan tradisional dan kontemporer. Menurut Hariyanto (2002) teori- teori penerjemahan yang muncul hingga tahun 1970-an cenderung menekankan

pengalihbahasaan pesan dan makna dari BSur ke BSar dengan hanya mengandalkan penguasaan penerjemah atas kedua bahasa yang terlibat dan pemahamannya atas topik-topik yang diterjemahkan. Peran pemahaman budaya sama sekali tidak mendapat tempat dalam teori-teori tersebut secara umum. Barulah sejak tahun 1978 esensi pemahaman lintas budaya memperoleh tempat dalam teori penerjemahan, yang dipelopori oleh Even-Zohar dan diikuti oleh Toury (dalam James, 2002) yang menegaskan “Translation is a kind of activity which inevitably involves at least two languages and two cultural traditions". Kemudian, sejak tahun 1990, pendekatan- pendekatan kajian lintas budaya bahkan diterapkan secara ekstensif dalam bidang penerjemahan sehingga teori-teori penerjemahan masa kini cenderung bersifat interdisipliner.

Kajian lintas budaya merupakan kajian dalam berbagai bidang ilmu yang dilakukan dengan cara membandingkan berbagai unsur beberapa kebudayaan. Kajian perbandingan di bidang politik, ekonomi, komunikasi, sosiologi, teori media, antropologi budaya, filsafat, sastra, linguistik dan musik (ethnomusicology) merupakan beberapa bentuk kajian dalam konteks ini. Namun saat ini kajian lintas budaya lebih diarahkan pada kajian tentang berbagai bentuk interaksi antara individu- individu dari berbagai kelompok budaya yang berbeda. Wikipedia (2008d) menyatakan “Cultural studies is an academic discipline which combines political economy, communication, sociology, social theory, literary theory, media theory, film/video studies, cultural anthropology, philosophy, museum studies and art history/criticism to study cultural phenomena in various societies. Cultural studies

researchers often concentrate on how a particular phenomenon relates to matters of ideology, nationality, ethnicity, social class, and/or gender”.

Kajian lintas budaya dalam perspektif ini mengambil interaksi manusia sehari- hari sebagai bagian dari budaya yang perlu dicermati karena, sebagaimana halnya dengan pemahaman antropologis yang memandang budaya sebagai keseluruhan cara hidup (way of life). Oleh karena itu, unsur-unsur kebudayaan yang perlu diteliti seharusnya tidak hanya yang “spektakuler” saja. Hal-hal yang biasa dilakukan, dirasakan, dibicarakan, didengar, dilihat, maupun dialami dalam interaksi sehari-hari oleh dua atau lebih individu dengan latarbelakang kebudayaan berbeda merupakan wilayah amatan kajian lintas budaya. Dan berikut beberapa perbedaan dan persamaan antara budaya Mandailing dan budaya Inggris (Lubis, 2003: 216-224).

2.4.1 Wilayah Mandailing dan Inggris

Mandaling setelah pemekaran Kabupaten Tapanuli Selatan, berada di wilayah pemerintahan Kabupaten Mandailing Natal (Madina) yang terdiri dari 17 kecamatan. Mandailing merupakan bagian wilayah Kabupaten Mandailing Natal, sebagian besar wilayahnya membujur di sepanjang jalan raya lintas Sumatera kurang lebih 40 km dari Padang Sidempuan ke arah Selatan dan kurang lebih 150 km dari Bukit Tinggi ke arah Utara. Wilayah Mandailing dikenal dengan perbedaan menjadi Mandailing Godang (Mandailing Besar) dan Mandailing Julu/Ulu (Mandailing Hulu/Kecil) (Nasution, 2005: 5).

Berdasarkan ciri-ciri geografis dan flora, kedua daerah Mandailing itu berbeda. Mandailing Godang terdiri dari daratan rendah yang luas dan Mandailing

Julu memiliki daerah yang lebih tinggi dan umumnya bergunung-gunung. Wilayah Kabupaten Mandailing Natal didiami oleh kelompok etnis yang menganut garis keturunan ayah (patrilineal) terdiri dari sejumlah kelompok kekerabatan/marga Nasution, Lubis, Pulungan, Rangkuti, Batubara, Daulay, Matondang, Parinduri, Hasibuan, dan lain-lain. Nasution dan Lubis adalah dua marga besar yang berkuasa. Nasution menduduki wilayah Mandailing Godang dan Lubis menduduki wilayah Mandailing Julu (Abdullah, 1996: 287). Mayoritas penduduk mandailing hidup dari hasil pertanian padi, kopi, karet, cengkeh, dan sebahagian lagi bekerja sebagai pedagang hasil hutan dan bidang jasa angkutan.

Nama resmi dan lengkap Negara Inggris adalah The United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland, namun lebih popular dan sering orang menyebutnya dengan United Kingdom atau disingkat menjadi UK (McDowall, 1993: 10). Negara Inggris terdiri atas empat wilayah yang masing-masing memiliki karateristik budaya yang berbeda yakni England, Scotland, Wales and Northern Ireland. Dari keempat wilayah yang membentuk kerajaan Inggris, England atau Inggris dalam bahasa Indonesia adalah nama yang lebih pupuler dan lebih luas dikenal oleh orang luar.

Inggris adalah salah satu negara Eropa yang bertetangga dengan Perancis. Luas wilayah Inggris adalah 243.460 km2 dengan jumlah penduduk sekitar 56 juta jiwa, menggunakan bahasa Inggris dan London sebagai ibukotanya (Encyclopedia International, 1980, vol 18, 377-401). Penduduk asli Negara Inggris terdiri dari empat suku bangsa yakni English yang mendiami wilayah England, Scots yang mendiami

wilayah Skotlandia, Welsh yang mendiami wilayah Wales dan Irish yang mendiami wilayah Irlandia Utara.

2.4.2 Agama dan Kepercayaan

Kedua masyarakat, masyarakat Inggris dan masyarakat Mandailing adalah masyarakat penganut agama. Namun membandingkan agama yang dianut oleh masyarakat Inggris, masyarakat yang multikultural dengan agama yang dianut oleh masyarakat Mandailing yang monokultural tentu lebih banyak perbedaan daripada persamaan. Persamaan utama di antara keduanya adalah bahwa kedua masyarakat masing-masing menganut agama, bukan masyarakat yang atheis. Tentu saja sebagai masyarakat yang beragama, masing-masing masyarakat memiliki ideologi ataupun norma-norma yang mengatur bagaimana manusia harus berinteraksi dengan sang Pencipta dan bagaimana harus berintegrasi dengan sesama anggota masyarakat. Sebagai contoh, perkawinan adalah suatu peristiwa yang dituntun oleh aturan agama dan norma-norma sosial yang berlaku dalam kedua masyarakat. Perkawinan tidak dapat dilakukan sesuka hati, sembarang waktu, atau dengan sebarang orang. Tidak seperti memenuhi kebutuhan dasar lain seperti makan, tidur, mengenakan pakaian yang secara relatif dapat dilakukan oleh masing-masing individu tanpa dituntun oleh aturan yang tegas.

Masyarakat Mandailing adalah masyarakat yang taat beragama. Meskipun orang Mandailing hidup sesuai tradisi dan norma-norma sosial namun keberadaan agama (Islam) berada di atas adat dan tradisi. Dalam masyarakat Mandailing kontemporer, adat tunduk kepada agama. Sebagai contoh, dalam masyarakat

tradisional Mandailing perkawinan intramarga dilarang, misalnya antara seorang gadis bermarga Nasution dengan pemuda semarga karena adat melarang hal itu. Namun dalam masyarakat Mandailing dewasa ini perkawinan intramarga sudah lumrah terjadi sebab agama Islam tidak melarangnya.

Sebagai masyarakat beragama yang taat, pengingkaran terhadap perintah wajib agama Islam seperti sholat, tidak mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, melawan orang tua atau melakukan perzinahan dan lain-lain dianggap sebagai pelanggaran besar terhadap agama dan biasanya mendapat sanksi dari masyarakat. Di dalam masyarakat Inggris, agama menjadi urusan pribadi. Seorang yang tidak melakukan perintah agama tidak perlu mendapat sanksi dari masyarakat. Pada perayaan natal, jumlah jamaah gereja bisa sangat banyak tetapi pada hari-hari biasa jumlah itu bisa menurun drastis (McDowall, 1993).

2.4.3 Keluarga dan Perkawinan

Membandingkan keluarga Inggris dengan keluarga Mandailing merupakan perbandingan dua institusi sosial yang sangat kontras. Dilatarbelakangi oleh tipe masyarakat yang berbeda yaitu masyarakat individualisme dan kolektivisme menghasilkan tipe keluarga yang berbeda. Masyarakat Inggris yang menganut tipe individualistik menghasilkan keluarga tipe-tipe keluarga inti (nuclear family), keluarga yang terdiri dari pasangan suami isteri dan dua orang anak. Sebaliknya masyarakat Mandailing yang menganut tipe kolektivisme menghasilkan keluarga yang bertipe keluarga luas (extended family), keluarga yang terdiri dari pasangan

suami isteri dan sejumlah anak dan kadang-kadang disertai anggota keluarga yang lain.

Di dalam keluarga Mandailing peran anak laki-laki lebih dominan daripada anak perempuan. Anak laki-lakilah yang melanjutkan keturunan keluarganya. Anak perempuan akan “dibawa” oleh suaminya. Anak laki-lakilah yang menjadi pewaris harta orangtuanya. Dalam ketiadaan orangtua, anak laki-lakilah yang bertanggung jawab terhadap keseluruhan keluarga.

Dalam masyarakat Mandailing perkawinan merupakan peristiwa besar yang didasarkan pada harapan-harapan besar seperti upaya kelanjutan keturunan, pembinaan hubungan di antara keluarga antara kedua belah pihak suami dan isteri. Besarnya makna sebuah perkawinan dalam masyarakat Mandailing ditandai dengan keterlibatan ketiga pilar dalam masyarakat Mandailing yaitu kahanggi, mora dan anakboru. Pengakhiran sebuah perkawinan atau perceraian dipandang sebagai perbuatan yang tidak terpuji. Dalam nasihat-nasihat perkawinan, kedua mempelai diharapkan dapat memberikan jumlah anak yang banyak (maranak sapulu pitu, marboru sapulu onom) dan agar perkawinan berlangsung selamanya (sayur matua bulung pitu sundut suada mara). Dalam masyarakat Inggris seperti dinyatakan oleh McDowall (1993) tingkat perceraian di negara itu tahun 1988 adalah stinggi 12,9% dalam 1000 pasangan. Hidup bersama sebelum pernikahan adalah perbuatan yang lazim terjadi dan menghasilkan kelahiran anak-anak di luar nikah (non-marial). Sebaliknya hidup bersama tidak pernah terjadi di dalam masyarakat Mandailing dan seandainya pun terjadi merupakan perbuatan yang sangat tercela dan pasangan yang

melakukan perbuatan tersebut akan mendapat hukuman yang sangat berat dalam masyarakat. Jangankan hidup bersama, berpacaran secara terang-terangan saja pun masih dipandang tabu oleh masyarakat Mandailing. Sementara dalam masyarakat Inggris berpacaran secara terbuka, hidup bersama bertahun-tahun hingga memiliki banyak anak, dan kawin-cerai adalah hal yang jamak terjadi dalam masyarakat tersebut.

2.4.4 Masyarakat

Masyarakat Inggris adalah masyarakat individualistik, masyarakat yang memandang bahwa kebebasan pribadi merupakan kebebasan yang tidak boleh dicampuri orang lain. Anggota masyarakat individualistik lebih mandiri (tidak banyak bergantung pada orang lain dan tidak pula suka menjadi tempat orang bergantung). Anggota masyarakat individualistik cenderung mengambil keputusan sendiri dan siap menanggung resiko sendiri sebagai konsekuensi dari keputusan yang diambilnya. Adalah hal yang wajar seorang anak, bila merasa sudah mampu, meninggalkan rumah orangtuanya dan hidup sendiri, dan seorang kakek/nenek memilih tinggal di rumah jompo, tidak tinggal/menumpang pada anak atau cucunya. Sebaliknya dalam masyarakat Mandailing yang komunal, paternalistik dan hirarkis seorang individu memandang bahwa kepentingan pribadi tidak boleh mengatasi kepentingan umum/masyarakat. Sebagai contoh, seorang asing/pendatang yang bukan salah satu anggota masyarakat yang ada di Mandailing yang ingin menetap atau menikahi seorang gadis di salah satu kampung Mandailing, yang bersangkutan harus terlebih dahulu menjadi anggota dari salah satu masyarakat yang ada di kampung tersebut

dengan cara penganugerahan marga. Dia tidak boleh mempertahankan “keasingannya” sendiri tetapi dia harus menjadi anggota masyarakat isterinya. Seorang anak tidak akan meninggalkan orang tuanya sebelum dia menikah. Orang tua mengharapkan anaknya sebagai pelindung dan tempat bergantung apabila di suatu saat dia telah berusia lanjut dan tidak lagi mampu mencari nafkah untuk dirinya. Jadi ketika seorang individu masih sebagai anak kecil dia memerlukan perlindungan dari orang tuanya, dan ketika dia nanti berusia lanjut dia akan akan mengharapkan perlindungan dari anaknya. Pepatah Tangi di siluluton bermakna bahwa seorang anggota masyarakat Mandailing diharapkan agar peka terhadap kesusahan orang lain. Peristiwa-peristiwa penting seperti kelahiran bayi, perkawinan, pendirian rumah baru, dan kematian tidak boleh diurus/dilaksanakan sendiri tetapi harus melibatkan dalihan na tolu.

Di dalam masyarakat Mandailing dewasa ini tidak dikenal kelas sosial. Tidak seperti di dalam masyarakat Inggris di mana kelas sosial dengan jelas dibedakan menjadi tiga yaitu kelas atas, menegah dan bawah. Di dalam masyarakat Mandailing penggolongan masyarakat hanya menjadi dua yaitu kelas/keluarga keturunan raja (raja pada zaman dahulu) yang dikenal dengan keluarga na mora (-mora) dan orang kebanyakan (halak na bahat). Perbedaan inipun dewasa ini semakin tidak jelas. Keadaan dan pendidikan keluarga “raja” umumnya lebih baik daripada orang kebanyakan karena mereka yang memiliki harta/tanah yang lebih luas dan mereka yang dapat mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Namun sekarang perbedaan itu sendiri semakin memudar karena era kerajaan tidak ada lagi dan semakin banyak

yang melanjutkan pendidikannya ke sekolah tinggi. Perkawinan di antara dua anggota masyarakat yang berasal dari dua kelas yang berbeda bukan sesuatu yang langka. Dalam interaksi sehari-haripun tidak terlihat adanya kelas tersebut. Hanya dalam upacara-upacara tradisional penting seperti perkawinan atau kematianlah akan terlihat adanya kelebihan kelas namora dari halak na bahat.

2.4.5 Gender

Dalam beberapa hal, seperti di masyarakat-masyarakat lainnya, status sosial kaum lelaki dengan kaum perempuan agak berbeda di dalam masyarakat Inggris dan masyarakat Mandailing. Di dalam banyak masyarakat kaum lelaki lebih dominan daripada kaum perempuan seperti di dalam kehidupan keluarga. Si anak laki-laki dipandang sebagai penerus keturunan. Baik di masyarakat Inggris maupun di masyarakat Mandailing bila seorang anak lahir maka anak tersebut diberi nama keluarga misalnya Richard Howard atau Helen Smith di mana Richard dan Helen sebagai nama diri dan Howard dan Smith masing-masing sebagai nama keluarga dalam masyarakat Inggris. Hal yang sama terjadi di masyarakat Mandailing. Seorang anak Mandailing, misalnya diberi nama Parlagutan Nasution atau Latifah Parinduri sebagai nama diri, Nasution dan Parinduri masing-masing sebagai nama keluarga atau yang lebih pupuler dengan marga. Seorang perempuan Inggris apabila ia telah menikah, ia boleh dipanggil atau disapa secara resmi dengan menggunakan nama keluarga suaminya, misalnya Mrs. Hopkin karena suaminya bernama Thomas Hopkin. Nama dirinya sendiri disebutkan. Di dalam masyarakat Mandailing nama

seorang isteri tidak dikaitkan dengan nama suami. Seorang isteri tetap dipanggil dengan nama dirinya (sebutan marga agak janggal untuk perempuan).

Seperti disebutkan oleh McDowall (1993) di negara maju seperti Inggris sekalipun dalam banyak hal posisi laki-laki tetap lebih dominan daripada kaum perempuan seperti dalam bidang pemerintahan dan juga di bidang non-pemerintahan. Dalam masyarakat Mandailing, perbedaan posisi kaum laki-laki dengan perempuan lebih jelas lagi. Kaum perempuan kecuali dalam bidang-bidang yang identik dengan wanita seperti memasak, mencuci pakaian, mengasuh anak, tetap berada di tangan kaum lelaki. Dalam musyawarah-musyawarah adat, suara kaum perempuan lebih banyak diberikan kepada anak laki-laki meskipun dewasa ini lebih banyak kaum perempuan yang bersekolah sampai ke perguruan tinggi. Pembagian harta lebih banyak diberikan kepada anak-anak laki-laki.

2.4.6 Bahasa

BI dan BM merupakan dua bahasa yang sangat berbeda bukan hanya dalam hal struktur dan jumlah kosakata tetapi juga dalam luas pemakaian, jumlah penutur dan keragaman fungsinya. Dalam hal pemakaian, BI dipakai di seluruh dunia (world language) meskipun dengan fungsi yang berbeda, sebagai bahasa ibu (native language), bahasa kedua (second language) dan sebagai bahasa asing (foreign language). BI digunakan oleh penutur asli tidak kurang dari 350 juta penutur di negara-negara besar dan maju seperti Inggris, Amerika, Australia sebagai bahasa kedua seperti India, Malaysia, Singapura dan lain-lain dan selebihnya BI digunakan sebagai bahasa media cetak, media elektronik, bahasa perdagangan dunia dan banyak

fungsi lainnya. Sebaliknya BM yang pada umumnya digunakan sebagai bahasa etnis lisan, dipakai hanya di daerah Mandailing dan oleh keluarga-keluarga yang merantau ke luar Mandailing yang pemakaiannyapun umumnya terbatas di dalam rumah saja.

BI, karena digunakan di wilayah yang luas, memiliki dialek geografis dan dialek sosial. BI yang digunakan di kota London dan sekitarnya berbeda dari BI yang digunakan di daerah-daerah di luar London. Demikian pula dengan ragam sosial. BI memiliki ragam resmi atau baku dan ragam tidak resmi atau bahasa sehari-hari

(colloquial). Pada prinsipnya BM tidak memiliki ragam atau variasi

geografis/regional maupun ragam sosial. BM digunakan di wilayah yang tidak terlalu luas dan tidak ada batas-batas atau perintang-perintang seperti gunung, laut ataupun hutan yang dapat menghambat sebaran pemakaian bahasa tersebut. Seandainya dua orang penutur yang berasal dari dua tempat yang berbeda, katakanlah satu dari Kecamatan Siabu dan satu lagi dari Kecamatan Muara Sipongi, dua daerah yang berada di dua ujung wilayah, menggunakan BM, mereka tidak akan mendapat hambatan komunikasi kecuali dalam pemakaian beberapa istilah. Pada dasarnya dalam masyarakat modern Mandailing tidak ada kelas sosial. Meskipun Abdullah (1990) mengatakan bahwa masyarakat Mandailing secara sosial dibagi menjadi tiga kelas: na mora-mora (keluarga raja), halak na bahat (orang kebanyakan) dan hatoban (budak). Dewasa ini kelas sosial makin tidak jelas karena era kerajaanpun telah berakhir (label na mora-mora mulai kabur). Dahulu pesta perkawinan dengan mengadakan acara hiburan seperti manortor, manabuh gordang sambilan, serta mengadakan upacara adat resmi hanya terbatas bagi keluarga na mora-mora saja.

Kini, sepanjang orang sanggup memenuhi beban ekonomi maupun adat tentu saja tidak ringan, orang kebanyakanpun boleh mengadakan pesta besar seperti itu. Dengan demikian ketiadaan kelas sosial tersebut memungkinkan setiap orang secara bebas dapat berbicara dan bergaul dengan siapa saja sehingga tidak ada ragam sosial, ragam yang berkaitan dengan status sosial penutur seperti ekonomi, pendidikan dan asal usul keturunan. Perbedaan ragam yang jelas dewasa ini adalah ragam sehari-hari dan ragam adat, ragam yang digunakan dalam upacara adat. Ragam ini berbeda dari ragam sehari-hari terutama dalam kosakata. Kosakata bahasa adat menggunakan banyak kata-kata klasik.

2.4.7 Sopan Santun

Sopan santun atau tata krama berinteraksi antara sesama anggota masyarakat di dalam kedua masyarakat tersebut ditentukan oleh tipe masyarakat dan kontak dengan masyarakat asing. Tipe masyarakat Inggris sebagai masyarakat barat adalah tipe individualistik yang selalu menginginkan kesetaraan dengan orang lain dan kebebasan pribadi. Sementara masyarakat Mandailing, sebagai masyarakat Timur yang bertipe kolektif, komunal dan hirarkis melihat dirinya selalu berada pada posisi yang berbeda dengan orang lain. Pada suatu saat dia bisa berada pada posisi yang setara, lebih rendah, dan lebih tinggi dari orang lain. Dengan para anggota kahangginya, (orang yang semarga dengannya) dia merasa berada pada posisi yang setara (meskipun faktor usia dapat menentukan jarak di antara mereka tetapi jarak mereka tetap lebih dekat daripada dengan anggota dari mora atau anakborunya dia memposisikan diri di atasnya). Hubungan yang terbentuk karena ikatan perkawinan

ini menentukan bagaimana seseorang bertindak verbal maupun non-verbal dengan orang lain. Dalam masyarakat Inggris tentu tidak ada hubungan seperti ini. Seseorang bisa saja akrab dengan mertuanya (hampir tidak ada jarak), tetapi dalam masyarakat Mandailing, hubungan hirarkis di antara satu orang dengan orang lain sangat jelas. Seorang adik dipandang tidak sopan menyebut nama abang/kakaknya apa lagi nama orang lain yang jarak hirarkinya lebih jauh, misalnya paman/makcik meskipun sebaya dengan dia. Dalam masyarakat Inggris, memang menyebutkan/memanggil nama orang yang setara dengan orangtuanya seperti paman dan makcik masih dianggap janggal tetapi menyebut nama abang/kakak itu lumrah, bahkan memanggil nama teman yang usianya jauh lebih tuapun dianggap wajar-wajar saja.

Masyarakat Inggris sangat mengahargai kebebasan pribadi (privacy) dan tidak suka hal-hal yang bersifat pribadi dicampuri orang lain. Menanyakan usia, status perkawinan, jumlah penghasilan, agama dan lain-lain yang sifatnya pribadi dipandang sebagai mencampuri urusan pribadi yang dalam masyarakat Mandailing merupakan hal yang wajar.

Orang Inggris memiliki pola-pola bertutur formal dengan orang asing (orang yang belum dikenal) seperti menggunakan excuse me ketika bertanya, I’m sorry ketika merasa telah melakukan kesalahan dan banyak mengucapkan thank you bila merasa telah mendapat bantuan/perhatian dari orang lain dan menyebutkan gelar dan nama keluarga seseorang seperti Mr. Mrs. Miss. Sebaliknya orang Mandailing tidak memiliki pola-pola bertutur formal dengan orang asing (mungkin karena masyarakatnya, masyarakat monokultural) kecuali sedang markobar (menggunakan

bahasa adat). Tetapi bila menyapa orang asing (orang yang belum dikenal), istilah hubungan kekerabatan yang dipakai seperti angkang, uda, amang, inang, ompung. Orang yang pintar menggunakan istilah kekerabatan dianggap orang yang memiliki sopan santun yang baik.

Sebagai masyarakat muslim yang religius, masyarakat Mandailing memandang perbuatan yang berkaitan dengan seksualitas sesuatu yang dianggap sangat tabu, bahkan membicarakannyapun dianggap tidak sopan.

Dokumen terkait