PENERJEMAHAN TEKS MARPOKAT HAROAN BORU DALAM
PERKAWINAN ADAT MANDAILING DARI BAHASA
MANDAILING KE DALAM BAHASA INGGRIS
TESIS
Oleh
DIAN FAZDILAH NASUTION
097009007/LNG
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2011
S
EK O L
A H
P A
S C
A S A R JA N
PENERJEMAHAN TEKS MARPOKAT HAROAN BORU DALAM
PERKAWINAN ADAT MANDAILING DARI BAHASA
MANDAILING KE DALAM BAHASA INGGRIS
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Linguistik pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara
Oleh
DIAN FAZDILAH NASUTION
097009007/LNG
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : PENERJEMAHAN TEKS MARPOKAT HAROAN
BORU DALAM PERKAWINAN ADAT
MANDAILING DARI BAHASA MANDAILING KE DALAM BAHASA INGGRIS
Nama Mahasiswa : Dian Fazdilah Nasution
Nomor Pokok : 097009007
Program Studi : Linguistik
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Dr. Syahron Lubis, M.A) (Dr. Muhizar Muchtar, M.S)
Ketua Anggota
Ketua Program Studi Direktur
(Prof. T. Silvana Sinar, M.A, P.hD) (Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE)
Telah diuji pada Tanggal 23 Juni 2011
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Syahron Lubis, M.A Anggota : 1. Dr. Muhizar Muchtar, M.S
PENERJEMAHAN TEKS MARPOKAT HAROAN BORU DALAM PERKAWINAN ADAT MANDAILING DARI BAHASA
MANDAILING KE DALAM BAHASA INGGRIS
ABSTRAK
Tesis ini berjudul “Penerjemahan Teks Marpokat Haroan Boru dalam Perkawinan Adat Mandailing dari Bahasa Mandailing ke dalam Bahasa Inggris”. Tesis ini bertujuan, pertama, untuk mengetahui proses dan hasil terjemahan dari teks percakapan marpokat haroan boru dalam perkawinan adat Mandailing. Kedua, untuk mengetahui dan menerapkan teknik terjemahan yang tepat pada teks yang terikat dengan budaya. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-kualitatif. Data penelitian ini adalah teks marpokat haroan boru ini tertulis dalam BM (bahasa Mandailing) dan berbentuk prosa (21 paragraf) dan pantun (2 pantun). Data yang terdiri dari percakapan antara suhut, dan dalihan na tolu dalam marpokat haroan boru dalam perkawinan adat Mandailing diambil dari buku yang ditulis oleh H. Pandapotan Nasution yang diterbitkan tahun 2005 oleh FORKALA Prov. Sumatera Utara sebagai sumber data. Penelitian ini menekankan pada penerjemahan makna bukan bentuk. Sebelum proses penerjemahan dilakukan, peneliti melakukan pendekatan terlebih dahulu untuk kedua bahasa (Mandailing dan Inggris) yaitu analisis kontrastif dan kajian lintas budaya, hal ini dilakukan untuk mengetahui sistem kelinguistikan dan budaya kedua bahasa. Ditemukan bahwa bahasa Mandailing dan bahasa Inggris memiliki lebih banyak perbedaan daripada persamaannya seperti sistem pronominal, struktur frasa, pola kalimat, komponen makna, polisemi, sinonim dan antonim, makna generik dan spesifik, metafora, idiom dan eufimisme. Juga ditemukan perbedaan yang luas pada budaya kedua bahasa meliputi agama dan kepercayaan, keluarga dan perkawinan, tipe masyarakat, ketimpangan gender, pemakaian bahasa dan sopan santun sosial. Teks ini menerapkan beberapa teknik penerjemahan diantaranya diantaranya teknik penambahan, pengurangan, penyetaraan struktural, generalisasi, penerjemahan makna, penerjemahan literal dan parfrasa. Penerjemahan teks ini melalui beberapa proses tahapan yaitu analisis struktur teks, transfer, penulisan draf pertama, analisis draf pertama dan penulisan draf ke dua, evaluasi draf kedua, penulisan draf ketiga, reevaluasi dan penulisan draf akhir.
TRANSLATION OF TEXT MARPOKAT HAROAN BORU IN MANDAILING CULTURE MARRIAGE FROM MANDAILING LANGUAGE
TO ENGLISH LANGUAGE
ABSTRACT
The title of this thesis is “Penerjemahan Teks Marpokat Haroan Boru dalam Perkawinan adat Mandailing dari Bahasa Mandailing ke dalam Bahasa Inggris”. This study is conducted for two main purposes. First, to know the process and the translation of text of Marpokat Haroan Boru in Mandailing culture. Second, to apply appropiate techniques for the cultural text. The data of the descriptive-kualitative study is a written text of Marpokat Haroan Boru ceremony in Mandailing language, comprising 22 paragraphs and 2 verses. The data is taken from Adat Budaya Mandailing written by H. Pandapotan Nasution published in 2005 by FORKALA Prov. Sumatera Utara. This study emphasizes translation based on meaning, not literally. Before translation is done, firstly the researcher approaches the text by Contrastive analysis and Cross cultural analysis. This is aimed at finding out the differences of lingustic system and cultural aspects of Mandailing and English. It has been found out that Mandailingnese and English have more differences in linguistic structure such as, system of pronoun, structure of phrase, sentences patterns, meaning components, polysemy, synonymy and antonymy, specific and generic meaning, metaphor, idiom and euphemism. It has also been found out that Mandailingnese society and English society differ greatly in some cultural aspects such as religion and belief, family and marriage, type of society, gender and social manners. In translating the text, some translation techniques such as addition, omission, paraphrase, generalization, meaning translation, literal translation are apllied. The translation process of this text goes through several stages, analyzing text structure, transferring the meaning, writing first draft, analyzing the first draft and writing the second draft, evaluating the second draft, writing the third draft, reevaluating and writing the final draft.
KATA PENGANTAR
Tesis ini berjudul Penerjemahan Teks Marpokat Haroan Boru dalam
Perkawinan Adat Mandailing dari Bahasa Mandailing ke dalam Bahasa Inggris
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Humaniora pada Program
Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penelitian sebagai
bahan rujukan penelitian teks selanjutnya khususnya yang berhubungan dengan
teks-teks dalam bahasa Mandailing. Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pakar dan
pendidik bahasa dalam hal memperkaya khasanah kepustakaan linguistik bahasa
Mandailing sebagai salah satu bahasa daerah di Indonesia. Serta dapat bermanfaat
bagi pihak-pihak tertentu sebagai bahan pertimbangan dalam rangka upaya
pembinaan dan pelestarian bahasa daerah.
Seandainya ada kesalahan maupun kekurangan dalam penulisan tesis ini,
penulis mengharapkan masukan maupun saran yang konstruktif dari pembaca demi
kesempurnaan tesis ini.
Medan, 23 Juni 2011
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan
hidayahNya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Penulis menyadari tesis ini tidak
akan terwujud seperti ini tanpa bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Pada
kesempatan ini, dengan tulus dan sepenuh hati penulis menyampaikan ucapan terima
kasih yang sebesar-besarnya terutama kepada kedua orang tua penulis H. Drs. Ruslan
Nasution dan Hj. Hafni Mutiara yang telah mendukung dan mendoakan hingga
selesainya tesis ini.
Dalam penyelesaian tesis ini, penulis banyak mendapat bimbingan dan arahan
dari Pembimbing I, Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A dan Pembimbing II, Bapak Dr.
Muhizar Muchtar, M.S. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih, semoga jasa
baik tersebut menjadi amal ibadah sepanjang hayat.
Selanjutnya penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak
yang telah memberikan bantuan, baik moril maupun material dalam menyelesaikan
teisi ini, terutama kepada Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc,
(CTM), Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara. Bapak Prof. Dr. Ir. A.
Rahim Matondang, MSIE selaku Direktur Sekolah Pascasarjana. Ibu Prof. T. Silvana
Sinar, M.A, Ph.D dan Dr. Nurlela, M.Hum selaku Ketua dan Sekretaris Program
Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Selanjutnya kepada seluruh Dosen yang tidak bisa disebutkan satu persatu
duduk di bangku kuliah hingga selesai tesis ini, terima kasih atas ilmu dan
pengalaman yang telah diberikan semoga menjadi amal ibadah. Tak lupa penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada seluruh staf administrasi Sekolah Pascasarjana
USU yang telah membantu dalam penyelesaian administrasi hingga penulis dapat
menyelesaikan tesis ini.
Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada rekan-rekan seperjuangan,
Mahasiswa/i Sekolah Pascasarjana angkatan 2009/2010, sungguh hari-hari yang
menyenangkan bersama dalam menuntut ilmu di sini. Semoga Allah tetap
mempersatukan kita dalam kasih sayang.
Akhir kata terima kasih penulis ucapkan untuk Adik-adikku tercinta Dewina
Nasution, S.Psi, Akhmad Bajora dan Fauziah Nami Nasution, terima kasih atas
dukungan dan kasih sayang kalian, semoga kita menjadi orang-orang yang sukses.
Teristimewa Angga Ikranegara, S.IP yang telah mendukung penulis dalam berbagai
keadaan untuk menyelesaikan studi dan tesis ini, semoga Allah meridhoi amal ibadah
kita.
Medan, 23 Juni 2011
Penulis,
RIWAYAT HIDUP
Data Pribadi
Nama : Dian Fazdilah Nasution
Tempat/Tgl Lahir : Medan, 10 Maret, 1987
Jenis kelamin : Perempuan
Hobi : Mendengarkan musik, jalan-jalan, membaca, renang
E-mail : dianfadh@yahoo.com
Prinsip hidup : Be Your Self being Confidence
Pendidikan Formal
2008 – 2011 Universitas Sumatera Utara (Magister Humaniora) Medan,
2004 – 2008 Universitas Sumatera Utara (Sastra Inggris), Medan
2001 – 2004 SMAN 1 Kota Langsa, NAD
1998 – 2001 SMPN 3 Kota Langsa, NAD
1992 – 1998 SDN 1 Kebun Baru, Kota Langsa, NAD
Seminar and Workshop
1. Seminar Hasil Penelitian “Penerjemahan teks Marpokat Haroan Boru
dalam perkawinan adat Mandaling dalam bahasa Mandailing ke dalam
2. International Seminar and Workshop “New method in teaching English
as a foreign language” (March, 2011).
3. International Seminar on Translation and Other Neighboring Linguistic
Disciplines (March, 2011).
4. International Conference on Translation and Multiculturalism “Found In
Translation” (July, 2010).
5. Seminar Nasional “Penerjemahan” (Mei, 2010).
6. Selection of Youth Exchange Program by Purna Caraka Muda Indonesia
(March, 2008).
7. International Seminar on Language Teaching and Translation in
DAFTAR ISI
2.2 Bahasa (Teks dan Konteks) Menurut Halliday………….. 16
BAB V. PENUTUP………. 118
5.1 Simpulan………. 118
5.2 Saran………... 120
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.1. Teks dan Konteks Sosial……… 17
2.2. Proses Penerjemahan………. 64
2.3. Proses Terjemahan………. 67
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Glosarium (Bahasa Indonesia)……….. 124
2. Glossary (English Version)……… 127
PENERJEMAHAN TEKS MARPOKAT HAROAN BORU DALAM PERKAWINAN ADAT MANDAILING DARI BAHASA
MANDAILING KE DALAM BAHASA INGGRIS
ABSTRAK
Tesis ini berjudul “Penerjemahan Teks Marpokat Haroan Boru dalam Perkawinan Adat Mandailing dari Bahasa Mandailing ke dalam Bahasa Inggris”. Tesis ini bertujuan, pertama, untuk mengetahui proses dan hasil terjemahan dari teks percakapan marpokat haroan boru dalam perkawinan adat Mandailing. Kedua, untuk mengetahui dan menerapkan teknik terjemahan yang tepat pada teks yang terikat dengan budaya. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-kualitatif. Data penelitian ini adalah teks marpokat haroan boru ini tertulis dalam BM (bahasa Mandailing) dan berbentuk prosa (21 paragraf) dan pantun (2 pantun). Data yang terdiri dari percakapan antara suhut, dan dalihan na tolu dalam marpokat haroan boru dalam perkawinan adat Mandailing diambil dari buku yang ditulis oleh H. Pandapotan Nasution yang diterbitkan tahun 2005 oleh FORKALA Prov. Sumatera Utara sebagai sumber data. Penelitian ini menekankan pada penerjemahan makna bukan bentuk. Sebelum proses penerjemahan dilakukan, peneliti melakukan pendekatan terlebih dahulu untuk kedua bahasa (Mandailing dan Inggris) yaitu analisis kontrastif dan kajian lintas budaya, hal ini dilakukan untuk mengetahui sistem kelinguistikan dan budaya kedua bahasa. Ditemukan bahwa bahasa Mandailing dan bahasa Inggris memiliki lebih banyak perbedaan daripada persamaannya seperti sistem pronominal, struktur frasa, pola kalimat, komponen makna, polisemi, sinonim dan antonim, makna generik dan spesifik, metafora, idiom dan eufimisme. Juga ditemukan perbedaan yang luas pada budaya kedua bahasa meliputi agama dan kepercayaan, keluarga dan perkawinan, tipe masyarakat, ketimpangan gender, pemakaian bahasa dan sopan santun sosial. Teks ini menerapkan beberapa teknik penerjemahan diantaranya diantaranya teknik penambahan, pengurangan, penyetaraan struktural, generalisasi, penerjemahan makna, penerjemahan literal dan parfrasa. Penerjemahan teks ini melalui beberapa proses tahapan yaitu analisis struktur teks, transfer, penulisan draf pertama, analisis draf pertama dan penulisan draf ke dua, evaluasi draf kedua, penulisan draf ketiga, reevaluasi dan penulisan draf akhir.
TRANSLATION OF TEXT MARPOKAT HAROAN BORU IN MANDAILING CULTURE MARRIAGE FROM MANDAILING LANGUAGE
TO ENGLISH LANGUAGE
ABSTRACT
The title of this thesis is “Penerjemahan Teks Marpokat Haroan Boru dalam Perkawinan adat Mandailing dari Bahasa Mandailing ke dalam Bahasa Inggris”. This study is conducted for two main purposes. First, to know the process and the translation of text of Marpokat Haroan Boru in Mandailing culture. Second, to apply appropiate techniques for the cultural text. The data of the descriptive-kualitative study is a written text of Marpokat Haroan Boru ceremony in Mandailing language, comprising 22 paragraphs and 2 verses. The data is taken from Adat Budaya Mandailing written by H. Pandapotan Nasution published in 2005 by FORKALA Prov. Sumatera Utara. This study emphasizes translation based on meaning, not literally. Before translation is done, firstly the researcher approaches the text by Contrastive analysis and Cross cultural analysis. This is aimed at finding out the differences of lingustic system and cultural aspects of Mandailing and English. It has been found out that Mandailingnese and English have more differences in linguistic structure such as, system of pronoun, structure of phrase, sentences patterns, meaning components, polysemy, synonymy and antonymy, specific and generic meaning, metaphor, idiom and euphemism. It has also been found out that Mandailingnese society and English society differ greatly in some cultural aspects such as religion and belief, family and marriage, type of society, gender and social manners. In translating the text, some translation techniques such as addition, omission, paraphrase, generalization, meaning translation, literal translation are apllied. The translation process of this text goes through several stages, analyzing text structure, transferring the meaning, writing first draft, analyzing the first draft and writing the second draft, evaluating the second draft, writing the third draft, reevaluating and writing the final draft.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Melihat perkembangan berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan,
terjemahan memegang peranan yang sangat penting dalam perkembangan ilmu
pengetahuan. Bagaimana tidak, bahasa yang digunakan oleh masyarakat di suatu
kelompok tertentu pastilah berbeda dengan kelompok masyarakat di belahan bumi
lainnya. Di sinilah peran penting terjemahan untuk mentransfer ilmu pengetahuan
tersebut ke berbagai bahasa di dunia, sehingga seluruh manusia di bumi ini
mengetahui dan memahami temuan ilmu pengetahuan tersebut. Penerjemahan sangat
penting untuk proses tukar menukar informasi dan hasil temuan. Tanpa
penerjemahan, para calon ilmuwan atau mungkin bahkan para ilmuwan akan
ketinggalan, tidak dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, apalagi mereka
kurang mampu membaca dalam bahasa asing. Oleh sebab itu Hatim & Munday
(2004) dalam bukunya Translation: an Advanced Resource Book mengatakan “begitu
besar pengaruh sebuah karya terjemahan terhadap kehidupan manusia”.
Terjemahan bukan hanya sekedar menerjemahkan makna pada kata, kalimat,
frasa maupun paragraf dari bahasa sumber (BSur) ke dalam bahasa sasaran (BSar)
tetapi dalam prosesnya seorang penerjemah harus mampu mempertimbangkan faktor
budaya yang ada di dalam sebuah bahasa. Terjemahan merupakan kegiatan lintas
manusia. Seperti yang diungkapkan oleh Newmark (1988: 7): “Translation has been
instrumental in transmitting culture…ever since countries and languages have been
in contact with each other”. Berbagai contoh dapat dikemukakan mengenai budaya
yang mempengaruhi terjemahan. Orang Inggris akan menyebutkan Biscuits, Football,
Mummy, Rounders, and Sweets sherbet lemons sementara di Amerika mereka akan
menyebutnya Cookies, Soccer, Mommy, Baseball and Lemon Drops. Karena latar
belakang budaya, ada beberapa konsep budaya di Barat yang tidak dikenal di budaya
Timur atau sebaliknya. Misalnya tradisi masyarakat Batak yang menganjurkan
kepada pengantin baru agar mempunyai banyak anak diungkapkan dengan peribahasa
Maranak sappulu onom, Marboru sappulu pitu (beranak laki-laki 16 orang dan
beranak perempuan 17 orang), tidak dikenal di budaya Barat. Perlu diketahui bahwa
tidak semua bahasa dapat diterjemahkan dengan mudah seperti contoh di atas
terjemahan tradisi/budaya atau ungkapan sebaiknya diikuti oleh penjelasan singkat
keadaan sosial masyarakat tertentu, sehingga pembaca mudah memahaminya.
Menerjemahkan sebuah karya tidaklah mudah. Ini merupakan hal yang sulit
bagi seorang penerjemah. Menurut Muchtar (2010: 2) “Budaya penerjemah akan
mempengaruhi hasil translasi, khususnya struktur translasinya, itulah sebabnya
ditemukan bahwa suatu ide yang sama tidak akan terealisasikan ke dalam struktur,
khususnya tema yang sama dalam dalam bahasa yang berbeda”. Oleh sebab itulah
penerjemah dituntut untuk kreatif dalam mencari padanan kata yang memiliki makna
yang sama dengan BSurnya. Seorang penerjemah harus selalu memperdalam
perbendaharaan kata, padanan kata, kemiripan makna dll. Thatit Manon Andini
(2007: 4) mengatakan “As a means of communication, the translation should be
accurate, clear and natural and also should be there sameness in meaning,
paralellism in form”. Namun perlu diingat bahwa tidak ada terjemahan yang
sempurna, “ideal” atau “baik” (Newmark, 1988: 6).
Penerjemahan adalah sebuah proses pemindahan makna teks atau berita dari
BSur ke BSar dengan stilistika dan konteks bahasa yang digunakan. Banyak kegiatan
penerjemahan yang bisa dilakukan seperti menerjemahan buku-buku ilmu
pengetahuan, majalah, ensiklopedia, interpreting, kontrak jual beli, buku-buku
kedokteran, hukum dan brosur pariwisata, naskah-naskah tua/sejarah, dan kegiatan
lainnya. Melalui terjemahan kekayaan budaya Indonesia diperkenalkan kepada
bangsa-bangsa lain yang pada gilirannya mampu menarik minat wisatawan manca
negara untuk mengunjungi Indonesia. Sekali lagi dengan terjemahan mampu
meningkatkan perekonomian negara dan mendorong perkembangan sektor
pariwisata.
Indonesia dikenal sebagai negara multikultural dan multilingual karena
dikenal dengan kekayaan dan keberagaman budayanya yang tidak dimiliki
bangsa-bangsa lain. Sumatera Utara, salah satu provinsi terbesar di Indonesia. Terdiri dari
berbagai suku dan etnis yang masih mempertahankan budaya tradisional. Salah
satunya adalah suku Mandailing yang mendiami wilayah bagian Timur dari mulai
Tapanuli Selatan (Padang Sidempuan) hingga Mandailing Natal (Panyabungan).
kehidupan sehari-hari. Dalam masyarakat Mandailing ada beberapa peristiwa yang
selalu diikuti dengan upacara adat tradisional, antara lain: memasuki rumah baru,
kelahiran anak, perkawinan dan kematian. Acara-acara ini dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu: upacara yang bersifat kegembiraan disebut dengan siriaon dan
upacara yang bersifat kemalangan disebut siluluton (Nasution, 2005: 441). Upacara
perkawinan dalam masyarakat Mandailing dilaksanakan dengan serangkaian upacara
adat baik di rumah pengantin wanita (boru na ni oli) maupun pengantin pria (bayo
pangoli). Perhelatan perkawinan adat Mandailing berlangsung dengan sederet
upacara adat yaitu Mangaririt boru (menyelidiki keadaan perempuan sebagai calon
isteri oleh pihak calon suami), Padamos hata (penentuan hari peminangan), Patobang
hata (upacara peminangan), Manulak sere (penyerahan kewajiban/syarat-syarat
perkawinan dari pihak calon suami), Upacara perkawinan, Mangalehan mangan
pamunan (memberi makan terakhir kepada calon isteri oleh orang tuanya sebelum
meninggalkan rumah orangtuanya), Horja pabuat boru (upacara pelepasan pengantin
wanita), Horja (perhelatan perkawinan di rumah pengantin pria), dan Mangupa
(upacara pemberian nasihat-nasihat perkawinan) (Nasution, 2005: 279-419).
Horja/Perhelatan perkawinan di rumah pengantin pria berlangsung dengan
sederet upacara adat yang tidak jauh berbeda dengan upacara adat perkawinan
di rumah pengantin wanita. Diawali dari Marpokat haroan boru (mufakat
menyambut pengantin wanita), Mangalo-alo boru (mengarak-arak pengantin keliling
kampung), Pataon raja-raja adat (undangan kepada raja-raja), Panaek gondang
puncak upacara adat Mata ni horja, yaitu sebuah perhelatan besar upacara
perkawinan di mana raja-raja dan dalihan na tolu akan manortor dan markobar
(Nasution, 2005: 357-372).
Seperti yang telah dijelaskan di atas ada beberapa tahap dalam perkawinan
adat Mandailing. Namun dalam penelitian ini peneliti hanya akan memfokuskan pada
tahap horja haroan boru, tepatnya pada saat marpokat haroan boru. Marpokat
haroan boru adalah upacara adat di rumah orangtua bayo pangoli, di sini keluarga
mengundang sanak famili beserta dalihan na tolu (kahanggi, mora, dan anakboru)
bermufakat untuk persiapan menjemput dan menerima boru na ni oli.
Teks marpokat haroan boru inilah sebagai kajiaan penelitian yang akan
peneliti terjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Teks ini sangat terikat dengan budaya
dan memiliki banyak ungkapan budaya yang menarik. Teks marpokat haroan boru
ini bisa dikatakan sebagai teks budaya. Teks budaya itu sendiri menurut Wikipedia
adalah naskah atau bahan tertulis yang mencerminkan suatu cara hidup yang dimiliki
oleh sekelompok masyarakat atau orang yang berkembang dan diwariskan dari
generasi ke generasi, terbentuk dari banyak unsur yang rumit, diantaranya sistem
agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya
seni. Tidak mudah menerjemahkan teks yang terikat dengan budaya, perlu kesabaran,
ketelitian, kepiawaian dan waktu luang untuk menerjemahkannya. Dengan
diterjemahkannya teks ini kedalam bahasa Inggris, sebagai bahasa internasional
dan dipahami oleh seluruh pembaca di dunia bukan hanya penutur asli Mandailing,
sehingga mereka memahami sedikit bahagian budaya dari suku Mandailing.
Meskipun terjemahan/penerjemahan telah banyak memberi manfaat bagi manusia,
pada kenyataannya di Indonesia khususnya Sumatera Utara terjemahan belum
diminati sebanyak kajian-kajian interdisipliner lain. Padahal keberadaan kajian
terjemahan mampu memberikan kontribusi yang besar terhadap percepatan kemajuan
suatu negara dan kelancaran komunikasi lintas budaya (Lubis, 2009: 2).
1.2 Batasan dan Rumusan Masalah
Penelitian ini dibatasi hanya pada teks percakapan marpokat haroan boru
(bermufakat menerima kedatangan pengantin wanita di rumah pengantin pria) dalam
perkawinan adat Mandailing yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
Berdasarkan batasan di atas, masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah proses penerjemahan teks marpokat haroan boru dalam bahasa
Mandailing ke dalam bahasa Inggris?
2. Teknik penerjemahan apa yang diterapkan untuk menerjemahkan teks tersebut?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini menelaah masalah yang muncul dalam proses penerjemahan
1. Untuk mengetahui proses dan hasil terjemahan dari teks percakapan marpokat
haroan boru dalam perkawinan adat Mandailing.
2. Untuk mengetahui dan menerapkan teknik terjemahan yang tepat pada teks
budaya.
1.4 Manfaat Penelitian
Teoritis:
1. Memperkaya khasanah penerjemahan dan terjemahan teks budaya.
2. Membuktikan teori yang menyatakan bahwa penerjemahan teks budaya selalu
menghadapi banyak masalah.
Praktis:
1. Melengkapi tugas akhir (tesis) pada Sekolah Pascasarjana Program Linguistik
konsentrasi Terjemahan.
2. Menambah pengalaman penulis sebagai Mahasiswa Magister Program
Linguistik konsentrasi Terjemahan.
3. Memperkenalkan dan mempopulerkan salah satu teks masyarakat Mandailing
kepada khalayak luas termasuk untuk tujuan peningkatan daya tarik
wisatawan mancanegara terhadap budaya Indonesia.
4. Melestarikan teks budaya Mandailing yang mulai terkikis oleh perkembangan
zaman dan pengaruh budaya lain.
5. Memperoleh terjemahan teks marpokat haroan boru budaya Mandailing
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Kajian pustaka dimaksudkan untuk memberikan gambaran atau batasan
tentang teori-teori yang dipakai sebagai landasan teori. Teori yang melandasi kajian
terjemahan bahasa Mandailing-Inggris ini tidaklah bersifat tunggal tetapi plural dan
bersifat eklektik. Ekletik bermaksud kajian ini menganut berbagai konsep acuan dan
didasarkan atas berbagai teori sepanjang konsep dan teori tersebut memiliki relevansi
terhadap substansi kajian. Pluralitas teori yang diterapkan tidak bisa dihindari
mengingat hakikat terjemahan sebagai suatu bidang ilmu dan kompleksitas fenomena
itu sendiri. Terjemahan adalah bidang ilmu terapan (linguistik terapan) yang
kajiannya melibatkan dua bahasa sehingga terjemahan tidak bisa dilepaskan dari
konsep-konsep kebahasaan dan teori linguistik secara mikro maupun linguistik
bandingan (analisis kontrastif). Pada hakikatnya terjemahan merupakan sebuah
makna yang dikomunikasikan dalam BSur ke dalam BSar sesuai dengan makna yang
terkandung di dalam BSur.
Sebelum memaparkan teori-teori yang relevan dengan penelitian ini. Terlebih
dahulu peneliti telah melakukan kajian pustaka untuk mengetahui apakah sebelumnya
penelitian ini sudah pernah dilakukan sebelumnya dan membantu menguatkan teori
yang akan digunakan dalam penelitian ini. Disertasi “Penerjemahan Teks Mangupa
dari Bahasa Mandailing ke dalam Bahasa Inggris” (2009) ditulis oleh Dr. Syahron
Inggris. Dalam prosesnya peneliti menemukan beberapa temuan-temuan penting
dimana dikatakan bahwa bahasa Mandailing dan bahasa Inggris memiliki lebih
banyak perbedaan daripada persamaan dalam struktur bahasa seperti afiksasi,
pemajemukan, reduplikasi, pemenggalan kata, sistem pronominal, struktur frasa,
pola-pola kalimat, komponen makna, polisemi, sinonim dan antonim, makna generik
dan spesifik, metafora, idiom, dan eufimisme. Dan juga ditemukan beberapa
perbedaan yang cukup luas dalam sejumlah aspek kultural seperti agama dan
kepercayaan, keluarga dan perkawinan, tipe masyarakat, ketimpangan gender
pemakaian bahasa, dan sopan santun sosial. Hal ini menyebabkan sejumlah istilah
dan ungkapan budaya Mandailing tidak memiliki padanan dalam bahasa Inggris oleh
karena itu kata-kata tersebut harus dipinjam (tidak diterjemahkan) dengan
memberikan penjelasan makna pada glosarium. Sejumlah teknik penerjemahan telah
digunakan untuk menghasilkan terjemahan yang baik diantaranya; transcreation,
transformasi, penambahan, penghilangan, pengubahan, penciptaan, parafrase,
restrukturisasi, generalisasi, modulasi, spesifikasi, dan penerjemahan harfiah.
“Kesepadanan dan Pergeseran dalam Teks Terjemahan Fiksi Halilian dari
Bahasa Angkola ke dalam Bahasa Indonesia” (2010) oleh Rosmawaty,
mendeskripsikan tipe kesepadanan makna dan jenis pergeseran makna. Disini
ditemukan bahwa akibat adanya kesenjangan bahasa dan budaya, dalam proses
pemadanan secara bersamaan terjadi penyesuaian beberapa pergeseran dari sistem
linguistik dan sistem kultural (Angkola) ke sistem linguistik dan sistem
teori-teori yang digunakan juga mendekati. Selain itu objek penelitian juga sama (bahasa
Mandailing), sehingga peneliti menggunakannya sebagai konsep acuan kajian pustaka
yang relevan.
Penelitian ini menggunakan landasan teori yang relevan dengan
penerjemahan/terjemahan. Terjemahan tidak terlepas dari budaya, di mana budaya
sangat mempengaruhi hasil dari sebuah terjemahan. Teks tradisional budaya
Mandailing yaitu marpokat haroan boru sangat kental dengan budaya dan adat.
Sehingga diperlukan sebuah kajian budaya yang relevan dengan terjemahan untuk
mendapatkan hasil terjemahan yang baik. Oleh sebab itu penelitian ini meletakkan
relevansi budaya terhadap terjemahan sebagai landasan teori yang utama. Kemudian
diikuti oleh landasan teori lainnya yang mendukung proses terjemahan teks budaya
tradisional ini. Analisis struktur teks (register, genre, dan ideologi), analisis
kontrastif, kajian lintas budaya adalah landasan teori yang akan digunakan
selanjutnya untuk membantu proses terjemahan teks budaya tradisional ini.
Penguasaan terhadap sistem bahasa sumber dan bahasa sasaran dan
penguasaan terhadap ciri linguistik dan teksual kedua bahasa tersebut tidak selalu bisa
menjamin seseorang dapat menghasikan terjemahan yang berkualitas. Melainkan dia
harus mengetahui cara-cara mengatasi kesulitan-kesulitan masalah yang timbul
(Silalahi, 2009: 81). Namun tetap dibutuhkan penguasaan terhadap keduanya.
Analisis struktur teks dilakukan untuk mengetahui jenis teks, ciri-ciri leksikal
teks, konteks budaya dan ideologi yang mendasari terjadinya teks tersebut. Analisis
(bahasa Mandailing) berbeda atau sama dengan sistem kelinguistikan BSar (bahasa
Inggris). Setelah perbedaan dan persamaan struktur kedua bahasa teridentifikasi
prosedur penerjemahan yang akan digunakan dapat dipersiapkan. Sedangkan kajian
lintas budaya dilakukan untuk mengetahui sejauh mana berbagai istilah dan ungkapan
terikat budaya dalam BSur dapat atau tidak dapat ditransfer ke dalam BSar yang
dilatarbelakangi budaya lain.
2.1 Bahasa, Budaya dalam Terjemahan
Budaya dibangun dari kesamaan faktor-faktor pembentuk yang disebut
dengan komponen kebudayaan. Bahasa merupakan salah satu komponen budaya yang
sangat penting. Bahasa merupakan mediasi pikiran, perasaan dan perbuatan. Bahasa
menerjemahkan nilai dan norma, skema kognitif manusia, persepsi, sikap dan
kepercayaan manusia tentang dunia para pendukungnya (Liliweri, 2001: 120).
Bassnett (1998: 13-14) menggambarkan hubungan antara bahasa dan budaya sebagai
dua hal yang tidak bisa dipisahkan serta menyatakan bahwa bahasa merupakan “the
heart within the body of culture” sehingga kelestarian ke dua aspek tersebut saling
tergantung satu sama lainnya.
Gagasan yang menyatakan bahwa kandungan budaya tercermin dalam bahasa
sudah lama dan sudah banyak diutarakan oleh para pakar seperti Sapir, Boas dan
Bloomfield (dalam Yadnya, 2006: 8). Edward Sapir, misalnya, menyatakan bahwa
kandungan setiap budaya tidak saja terungkap dalam bahasanya. Boas menunjukkan
dan adat, antara bahasa dan perilaku etnis serta bahasa dan perubahan-perubahan
yang terjadi dalam budaya. Bahkan Bloomfield menekankan bahwa sedemikian kuat
hubungan budaya itu terhadap bahasa sehingga kekayaan atau kemiskinan suatu
budaya tercermin dalam bahasanya. Sama halnya dengan penampilan fisik seseorang
(orang yang satu berbeda dengan orang yang lainnya), begitu juga halnya dengan
kebudayaan. Dalam masyarakat yang berbeda orang tidak saja berbicara dengan
bahasa dan dialek yang berbeda tetapi mereka juga menggunakan bahasa tersebut
dengan cara yang amat berbeda. Perbedaan cara bertutur inilah, mencerminkan
nilai-nilai budaya yang berbeda atau paling sedikit tataran nilai-nilai yang berbeda. Pernyataan
ini sangat sesuai dengan definisi kebudayaan yang diberikan Newmark (1988: 94)
yakni “the way of life and its manifestations that are peculiar to a community that
uses a particular language as its means of expression”, yang mengisyaratkan bahwa
masing-masing grup bahasa (language group) memiliki fitur spesifik sendiri secara
budaya.
Suatu konsep dalam bahasa tertentu belum tentu dimiliki oleh bahasa lain
seperti misalnya konsep namora natoras dalam bahasa Mandailing tidak akan
ditemukan dalam bahasa Inggris. Selain itu tidak jarang konsep yang sama dalam satu
bahasa memiliki linguistic sign yang berbeda seperti misalnya konsep “sepak bola”
dalam bahasa Inggris (British) football tetapi dalam bahasa Inggris (Amerika) soccer.
Kenyataan lain juga menunjukkan bahwa konsep yang sama dimiliki oleh dua bahasa
belum tentu dinyatakan dengan satu konsep atau dibedakan misalnya konsep rice
beberapa alternatif “padi”, “gabah” atau “beras” dalam ranah budaya (bidang
pertanian) dan “nasi” dalam bidang makanan. Contoh lain yang sering dikemukakan
sebagai ilustrasi dalam Semantik adalah konsep “salju” yang tidak dikenal di Arab
tetapi sangat dikenal dalam bahasa Eskimo. Contoh lain “Nafasnya berbau jengkol”
di mana “berbau jengkol” diterjemahkan garlic smell. Sudah pasti di dalam kamus
manapun tidak diketemukan “jengkol” = garlic atau sebaliknya garlic = “jengkol”.
Dari sisi ini mungkin bisa dikatakan nyeleweng namun bagaimana kalau jengkol
diterjemahkan secara akurat sebagai a kind of bean atau lebih tepat lagi, dengan
istilah Latin Pithecolobium. Hal ini bisa menimbulkan pertanyaan apakah amanat
yang dikandung oleh kata “jengkol” itu sampai dengan terjemahan yang tepat dengan
istilah bahasa Latin tersebut. Tentu saja makna ‘bau sekali’ pada kata bahasa
Indonesia tersebut tidak tersampaikan dengan pemadanan melalui kata bahasa Latin
itu.
Fishman (dalam Yadnya, 2006: 9) menyatakan bahwa hubungan bahasa
dengan budaya bisa dilihat dalam tiga perspektif, yakni (1) sebagai bagian dari
budaya, (2) sebagai indeks budaya, dan (3) sebagai simbolik budaya. Sebagai bagian
dari budaya bahasa merupakan pengejawantahan prilaku manusia. Misalnya upacara,
ritual, nyanyian, cerita, doa merupakan tindak tutur atau peristiwa wicara. Semua
yang ingin terlibat dan memahami budaya tersebut harus menguasai bahasa karena
dengan itu barulah mereka bisa berpartisipasi dan mengalami budaya tersebut.
Sebagai indeks budaya bahasa juga mengungkapkan cara berfikir dan menata
sebagai simbolik budaya bahasa menunjukkan identitas budaya etnis. Karena bahasa
merupakan bagian dari kebudayaan, maka, di satu sisi, penerjemahan tidak saja bisa
dipahami sebagai pengalihan bentuk dan makna dan, di sisi lain, penerjemahan bisa
juga dipahami sebagai proses berbahasa. Dalam pengertian ini penerjemah
menggunakan bahasa tersebut untuk tujuan komunikasi (tulis) yakni mendeskripsikan
ihwal budaya yang mencakup apa yang dilakukan manusia, apa yang diketahuinya,
dan benda-benda yang dibuat dan digunakan sebagai manifestasi budaya.
Konsekuensinya adalah penerjemahan tidak saja dapat mengalami hambatan
kebahasaan tetapi juga segi budaya. Oleh karena itu penerjemahan tidaklah
semata-mata masalah mencari kata atau ungkapan lain yang memiliki makna yang sama
tetapi menemukan cara yang sesuai untuk menyatakan sesuatu dalam bahasa lain.
Pada akhirnya menjadikan kajian terjemahan tidak bisa dilepaskan dari pendekatan
kebahasaan dan budaya. Implikasi budaya dalam terjemahan bisa muncul dalam
berbagai bentuk berkisar dari lexical content dan sintaksis sampai ideologi dan
pandangan hidup (way of life) dalam budaya tertentu. Oleh karena itu penerjemah
harus menentukan tingkat kepentingan yang diberikan pada aspek-aspek budaya
tertentu dan sampai sejauhmana aspek-aspek tersebut perlu atau diinginkan untuk
diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran.
Salah satu definisi kebudayaan paling populer diajukan oleh Tylor (dalam
Croft, 1980: 531) yang menyatakan budaya sebagai seluruh buatan manusia yang
mencakup ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, nilai-nilai moral, adat, dan
masyarakat. Hal senada diajukan oleh Pusch (1981: 3), yang menyatakan bahwa
kebudayaan meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk nilai-nilai,
kepercayaan, standar estetika, ekspresi linguistik, pola-pola berpikir, norma-norma
bertingkah laku, dan gaya berkomunikasi. Khusus dalam konteks ilmu bahasa dan
penerjemahan, Newmark (1988: 94) mendefinisikan budaya sebagai cara hidup dan
manifestasinya yang khas pada setiap komunitas yang menggunakan sebuah bahasa
yang unik sebagai media ekspresi. Definisi ini mengindikasikan bahwa setiap
kelompok masyarakat yang memiliki bahasa tersendiri pasti memiliki kebudayaan
tersendiri pula. Senada dengan Newmark, berbagai pakar ilmu bahasa dan
penerjemahan lain juga menekankan hubungan erat antara bahasa dan budaya. Brown
(1987: 123) menegaskan “A language is a part of a culture and a culture is a part of
a language; the two are intricately interwoven such that one can not separate the two
without losing the significance of either language or culture”. Lotman (dalam James,
2002) mengatakan "No language can exist unless it is steeped in the context of
culture; and no culture can exist which does not have at its centre, the structure of
natural language".
Definisi-definisi dan konsep budaya di atas memperlihatkan bahwa
pemahaman interkultural tidak terpisahkan dari aktivitas penerjemahan. Selama
melakukan aktivitasnya, penerjemah tidak hanya berhadapan dengan
perbedaan-perbedaan morfologis, sintaksis, semantis tetapi juga perbedaan-perbedaan-perbedaan-perbedaan kultural
antara BSur dan BSar. Bahkan, Nida (1964: 130) menyatakan perbedaan kultural
dengan perbedaan struktur bahasa. Sehubungan dengan itu, dapat disimpulkan bahwa
dalam penerjemahan, pemahaman interkultural sama pentingnya dengan penguasaan
kedua bahasa yang digunakan.
2.2 Bahasa (Teks dan Konteks) Menurut Halliday
Sehubungan dengan penggunaan teori linguistik untuk mendukung
pelaksanaan penerjemahan ini, teori linguistik yang sesuai dengan penerjemahan
adalah teori Linguistik Fungsional Sistemik (LFS). Makna sebuah teks akan dapat
dipahami lebih mudah dan jelas bila ketiga konteks (situasi) register, genre (budaya),
dan ideologi dalam teks tersebut dipahami. Teori LFS ini sangat sesuai dan dapat
diaplikasikan untuk menganalisis keragaman makna yang terkandung dalam sebuah
teks.
Berdasarkan pengalaman Malinowski, seorang antropolog Inggris di Trobian
Island, Pasifik Barat (1923) meyakinkan sejumlah linguis bahwa bahasa adalah teks
yang terikat kepada konteks. Malinowski menghadapi masalah ketika ia
menerjemahkan peristiwa sosial verbal upacara adat penduduk Melanesia itu ke
dalam bahasa Inggris untuk dipahami oleh pembaca berbahas dan berbudaya Inggris.
Dia mencoba penerjemahan bebas dan hasilnya dapat dipahami pembaca tetapi dia
gagal membuat pembaca memahami berbagai nilai budaya dan sosial yang melatari
teks tersebut. Kemudian dia mencoba penerjemahan harfiah dan hasilnya adalah
sebuah terjemahan lengkap dengan nilai sosial dan budayanya namun sayangnya teks
terjemahan yang yang disertai komentar. Komentar tersebut dibuat untuk
menghadirkan imaji situasi teks tersebut dengan cara “menjembatani” teks tersebut
dengan lingkungannya baik lingkungan verbal maupun non-verbal. Dia menyebut
lingkungan teks ini konteks situasi. Sejak itu dia percaya bahwa sebuah teks tidak
akan dapat dipahami dengan baik bila konteks itu sendiri tidak dipahami (Hatim dan
Mason, 1990: 36-37).
Larson (1984: 3) menyatakan bahwa penerjemahan semata-mata
memperhatikan ketepatan makna tetapi lebih dari itu, seorang penerjemah harus
memperhatikan situasi komunikasi dan konteks budaya kedua bahasa tersebut.
Dari contoh di atas, teks tidak terlepas dari konteks. Konteks itu sendiri
“mengelilingi” teks atau teks itu berupa wadah untuk teks berfungsi. Konteks terdiri
dari tiga lapisan yaitu konteks situasi (register), konteks budaya (genre) dan konteks
ideologi.
Gambar 2.1. Teks dan Konteks Sosial
Ideologi
Budaya
Situasi
Gambar menunjukkan bahwa konteks yang paling dekat dengan bahasa atau
yang paling konkrit adalah konteks situasi, diikuti oleh konteks budaya dan konteks
ideologi. Ketiga konteks ini mengitari teks secara bertingkat atau berstrata. Konteks
yang paling konkrit adalah konteks situasi, konteks budaya dan konteks ideologi
meskipun tidak sekonkrit konteks situasi tetapi tetap berfungsi menentukan bentuk
dan makna teks. Dengan kata lain makna sebuah teks akan dipahami dengan
pertama-tama memahami konteks situasi, kemudian memahami konteks budaya dan
pemahaman terhadap budaya ditentukan ideologi.
Sebuah teks berfungsi dalam konteks situasi. Dengan kata lain setiap teks
dibentuk oleh konteks situasi. Seorang penutur bisa berbicara ringkas atau panjang
lebar dengan cara memaksa atau membujuk, tegas atau ragu-ragu, kasar atau halus,
dengan bahasa umum atau teknis dan lain-lain, masing-masing pilihan ditentukan
oleh konteks situasi. Konteks situasi terdiri atas tiga unsur yakni: field atau apa yang
sedang dibicarakan; dalam situasi atau peristiwa apa partisipan terlibat, tenor atau
siapa sedang berbicara atau siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut termasuk apa
peran dan status mereka, mode atau bagaimana pembicaraan itu dilakukan, misalkan
secara lisan atau tulisan.
Konteks budaya adalah kegiatan sosial yang bertahap dan berorientasi tujuan
(Martin, 1986: 11-43). Teks merupakan produk interaksi verbal yang melibatkan dua
partisipan yang memiliki tugas yang berbeda: penutur versus pendengar, atau penulis
versus pembaca. Konteks budaya menetapkan langkah yang harus dilalui untuk
teks (generic/semantic structure). Berdasarkan tujuan sosialnya, teks dapat
dikelompokkan ke dalam berbagai jenis seperti narasi, laporan, diskusi, argumentasi
yang masing-masing memiliki struktur tertentu (Saragih, 2005: 199).
Ideologi menurut Simpson (1993) merupakan sebuah terminologi yang
mengacu kepada cara di mana apa yang kita katakan dan pikirkan berinteraksi dengan
masyarakat. Oleh karena itu, ideologi berasal dari asumsi, kepercayaan dan sistem
nilai yang dimiliki bersama oleh kelompok masyarakat. Saragih (2005: 204) secara
gamblang membatasi ideologi sebagai konstruksi atau konsep sosial yang
menyatakan apa yang seharusnya dilakukan atau tidak seharusnya dilakukan seorang
sebagai anggota masyarakat. Dengan pengertian ideologi mencakup sistem nilai
(yang dimiliki secara sadar atau tidak sadar), sudut pandang atau perspektif yang
dianut oleh sebuah masyarakat.
Sejumlah faktor seperti kelas sosial, jenis kelamin, etnisitas dan generasi
berperan menentukan ideologi. Berdasarkan pada pengertian ideologi yang
dikemukakan oleh Simpson, ideologi menentukan bagaimana seseorang sebagai
anggota masyarakat bertindak dan melakukan tindak verbal dengan anggota
masyarakat lainnya sebagai penganut nilai-nilai yang sama. Dengan demikian
hubungan teks dengan ideologi adalah teks merupakan realisasi ideologi dan ideologi
2.3 Analisis Kontrastif
Istilah analisis kontrastif atau contrastive analysis yang secara umum
diartikan dengan analisis yang memperlihatkan perbedaan dan persamaan. Secara
teoritis analisis kontrastif bertujuan untuk menemukan atau membuktikan persamaan
maupun perbedaan dalam berbagai bentuk, karakteristik dan aspek kebahasaan antara
bahasa-bahasa yang dibandingkan, sementara secara praktis kajian ini bertujuan
untuk menemukan prinsip-prinsip kebahasaan yang bermanfaat untuk diterapkan
untuk keperluan pengajaran, pembelajaran dan penerjemahan.
Analisis kontrastif dalam penerjemahan adalah aktivitas atau kegiatan yang
mencoba membandingkan struktur BSur dengan struktur BSar. Perbedaan dan
persamaan dua bahasa yang dihasilkan dapat digunakan sebagai dasar dalam
menemukan persamaan dan perbedaan tersebut yang pada akhirnya membantu
penerjemah dalam proses penerjemahan. Hal ini dikarenakan seorang penerjemah
harus menguasai bahasa dan tata bahasa dari BSur maupun BSar.
Krisdalaksana (1993: 13) mengatakan “Analisis kontrastif adalah metode
sinkronis dalam analisis bahasa untuk menunjukkan persamaan dan perbedaan antara
bahasa-bahasa atau dialek-dialek untuk mencari prinsip yang dapat diterapkan dalam
masalah praktis, seperti pengajaran bahasa dan terjemahan”. James (1986: 3)
menambahkan “Analisis kontrastif adalah suatu upaya yang bertujuan untuk
menghasilkan dua tipologi yang bernilai terbalik (yaitu kontrastif, bukan komparatif
dan berlandaskan asumsi bahwa bahasa-bahasa dapat dibandingkan (maksudnya
(1996: 102) menyatakan analisis kontrastif merupakan “Lingusitics subdiscipline
concerned with the synchronic, comparative study of two or more language varieties.
Generally both differences and similarities are studied, although emphasis is usually
placed on differences thought to lead to inference (i.e. negative transfer, the faulty
application of structure form one’s native language to the second language”. Dan
Lubis (2009: 23) menjelaskan “Analisis kontrastif suatu upaya untuk
membandingkan dua bahasa secara sinkronis yang bertujuan untuk mendeskripsikan
perbedaan dan persamaan kedua bahasa dalam berbagai aspek”.
Secara keseluruhan uraian pengertian di atas menunjukkan bahwa analisis
kontrastif bertujuan untuk memperoleh dan menghasilkan perbedaan-perbedaan
sistem atau struktur antara dua bahasa, dan hasil yang diperoleh dapat dimanfaatkan
untuk keperluan dalam pengajaran dan penerjemahan. Namun perlu ditekankan
bahwa analisis kontrastif biasanya lebih terfokus pada pencarian perbedaan yang
dapat menyebabkan terjadinya interferensi dari BSur ke BSar. Temuan tentang
perbedaan dan persamaan di antara kedua bahasa digunakan untuk membantu
pengajaran bahasa asing dan juga penerjemahan. Analisis kontrastif (Hoey dan
Houghton, 1998) dapat memberikan penjelasan tentang kesulitan yang mungkin
dihadapi dalam penerjemahan. Berikut analisis kontrastif antara bahasa Mandailing
dengan bahasa Inggris (Lubis, 2009: 198-216).
2.3.1. Pronomina Persona
Kedua bahasa memiliki pronomina pertama tunggal yaitu I dalam BI dan au
pronomina ketiga tunggal yaitu he, she, it dalam BI dan ia dalam BM. Kedua bahasa
juga memiliki pronomina kedua jamak you dalam BI dan hamu dalam BM dan
pronomina ketiga jamak yaitu they dalam BI dan halai dalam BM.
Sistem pronominal kedua bahasa memiliki banyak perbedaan, sebagai berikut:
1. Pronomina ketiga tunggal dalam BI dibedakan berdasarkan gender, he untuk
gender maskulin dan she untuk gender femnine dan it untuk non-manusia.
2. Pronomina kedua tunggal dan jamak you dalam BI memiliki bentuk yang
sama sedangkan dalam BM dibedakan yaitu ho dan hamu.
3. Pronomina kedua jamak homu dalam BM dapat digunakan sebagai pronomina
kedua tunggal bentuk honorifik.
4. Pronomina persona dalam BI berubah bentuk sesuai fungsinya. Pronomina
pertama tunggal I dalam fungsi subjektif berubah menjadi me dalam fungsi
objektif, menjadi my sebagai ajektiva posesif, dan berubah menjadi my dalam
fungsi posesif. Pronomina tunggal dan jamak kedua you tidak berubah dalam
fungsi objektif, menjadi your sebagal ajektiva posesif dan menjadi yours
dalam fungsi posesif. Pronomina tunggal ketiga he dalam fungsi subjectif
berubah menjadi him dalam fungsi objektif, menjadi his sebagai ajektiva
posesif dan menjadi his dalam fungsi posesif. Pronomina ketiga tunggal she
dalam fungsi subjektif berubah menjadi her dalam fungsi objektif, menjadi
her sebagai ajektiva posesif dan menjadi hers dalam fungsi posesif.
Pronomina it dalam fungsi subjektif tidak berubah dalam fungsi objektif,
Pronomina pertama we dalam fungsi subjektif berubah menjadi us dalam
fungsi objektif, dan berubah menjadi urs dalam fungsi posesif. Pronomina
ketiga jamak they dalam fungsi subjektif, berubah menjadi them dalam fungsi
objektif, menjadi their sebagai ajetiva posesif dan berubah menjadi theirs
dalam fungsi posesif.
5. Pronomina dalam BM tidak mengalami perubahan bentuk dalam ketiga fungsi
tersebut.
2.3.2 Frasa
Kedua bahasa memiliki konstruksi frasa meskipun dalam jenis dan struktur
yang tidak sama.
1. Pewatas dalam frasa nomina BI berada sebelum inti (the good day) sedangkan
dalam BM pewatas berada setelah inti (ari na dengan).
2. Dalam BM partikel na muncul di antara inti dan pewatas (ari na denggan).
3. Struktur frasa verbal dalam BI lebih kompleks karena sebuah frasa verbal BI
dapat didahului satu atau lebih kata bantu (is being done), sedangkan frasa
verbal BM, karena BM tidak memiliki kata bantu, strukturnya lebih
sederhana. Sebuah frasa verbal BM pada umumnya hanya terdiri dari verba
dan partikel negatif (ulang malua, ulang pasili-sili) atau dengan kata tugas
(muda sorang, hatiha markuik, laho marpira).
4. Dalam struktur frasa ajektiva BI pewatas mendahului inti (very interesting, so
easy) sedangkan dalam BM pewatas berada setelah inti (tajom bariba, bontar
5. Frasa ajektiva BM pada umumnya terdiri dari ajektiva sebagai inti dan
didahului partikel na (na martua, na uli, na landit). Dalam BI ajektiva tidak
didahului partikel.
6. Bila sebuah ajektiva memerlukan pewatas “sangat” maka ajektiva tersebut
didahului partikel na dan diakhiri partikel an (na denggan an, na landit an).
7. Ajekltiva dapat diulang dalam BM untuk menghasilkan makna “frekuensi”
(jeges-jeges, pintar-pintar), untuk menghasilkan makna “pengurangan”
(lambat-lambat, asok-asok).
8. Dalam BI adverbia cara umumnya dibentuk dengan menambahkan sufiks -ly
kepada ajektiva seperti slow + -ly → slowly. Jadi sebuah frasa adverbial cara
dapat dibentuk dengan menambahkan adverbia kualitatif kepada adverbia cara
seperti very quickly. Dalam BM sebuah ajektiva dapat berfungsi sebagai
adverbial tanpa mengubah bentuk. Sebagai contoh, Babiat binatang na gogo
“Harimau adalah hewan yang kuat”. Gogo dalam kalimat tersebut adalah
ajektiva. Bila digunakan sebagai adverbia cara, tidak terjadi perubahan bentuk
namun posisinya dalam kalimat berubah; berada di dekat verba (gogo mangan
atau mangan gogo) atau berada sebelum pronominal/subjek seperti dalarn
(gogo hamu mancari, ikhlas roha manjagit). Jadi sebuah frasa adverbial
dalam BM dapat dibentuk dengan menambahkan sebuah adverbia kualitatif
kepada adverbia seperti dalam tar lambat (ia ro), atau dengan menambahkan
partikel na di depan adverbia dan menambahkan an pada akhir adverbia
Hampir semua struktur frasa preporsional BI sama dengan struktur frasa
preposisional BM kecuali struktur frasa yang mengacu kepada pelaku. Dalam
BI frasa preposisional yang mengacu kepada pelaku menggunakan preposisi
by sebagai inti seperti dalam by my fasther, by his uncle tetapi dalam BM
tidak ditemukau preposisi yang bermakna pelaku. Jadi misalnya, kalimat BI
This shirt was bought by my uncle, dalam BM akan menjadi Baju on itabusi
udangku. Jadi tidak ada preposisi yang bermakna “oleh” dalam BM.
2.3.3 Kalimat
Berdasarkan fungsinya, kalimat pada umumnya dibedakan menjadi kalimat
deklaratif, kalimat imperatif, kalimat interogatif dan kalimat eksklamatif. Kedua BI
dan BM memiliki keempat jenis kalimat tersebut namun karena teks yang digunakan
sebagai data merupakan genre eksplanatif, tidak ditemukan kalimat interogatif dan
ka1imat eksklamatif. Perbedaan dalam pola atau struktur kalimat BI dan BM adalah
sebagai berikut:
1. Ciri utama urutan kata dalam kalimat BI adalah subjek (S) – verba (V) – objek
(O) seperti Father drinks coffee. Dalam BM urutan kata bisa berpola SVO
seperti dalam Horbo simaradang tua (S) na mamolus (V) ombun manyorop
(O) “Kerbau yang bertuah menempuh embun tebal” dan dapat berpola VSK.
Seperti dalam Habangma on (V) langkupa (S) na songgop tu Gunung Tua
(K).
2. Kalimat yang berpola subjek-predikat dalam BI dapat dibentuk dengan subjek
nomina/ajektiva/adverbial (She is a student/beautiful/here). Dalam BM
kalimat yang sama juga memiliki pola subjek-verba (Au ro tingon luai ni
Mandailing) tetapi karena BM tidak memiliki verba bantu, maka urutan kata
dalam kalimat untuk pola yang kedua hanya subjek +
nomina/ajektiva/adverbial seperti dalam Halaklahi (N) si suan bulu (N): Ari
(N) na lupa (A), Dongdong (N) di Barangtoru (K).
3. BM tidak memiliki kalimat yang berpola S-P-OTL-OL seperti dalam BI (Size
gave me a glass of water). Jadi tidak ada kalimat seperti Ia mangalehen au
sagalas aek, tetapi Ia mangalehen sagalas aek baen di au, yang berpola
subjek-verba-objek-keterangan.
2.3.4 Komponen Makna
Tidak mudah membandingkan komponen makna yang dimiliki
masing-masing kata secara lengkap dalam dua bahasa karena jumlah kata yang sangat banyak
yang dimiliki oleh setiap bahasa. Bila ini dilakukan untuk setiap kata tentu akan
memerlukan waktu yang sangat banyak. Namun karena penerjemahan adalah upaya
pengalihan makna dari BSur ke dalam BSar pemahaman tentang komponen makna
yang dimiliki oleh sebuah kata perlu agar tidak terjadi pengalihan makna yang salah
atau kurang tepat. Ciri universal yang dimiliki oleh kata adalah terdapatnya lebih dari
satu komponen makna.
Seperti diuraikan sebelumnya, membandingkan komponen makna dua kata
meskipun jumlah kata yang dijumpai dalam sebuah teks bukan seluruh kosa kata
yang dimiliki bahasa tersebut.
Dalam kajian ini dibandingkan sejumlah istilah kekerabatan yang ditemukan
dalam teks marpokat haroan boru. Dalam teks tersebut ditemukan istilah-istilah
kekerabatan seperti dalihan na tolu, suhut, kahanggi, anakboru, mora, namora
natoras. Istilah-istilah tersebut tidak memiliki padanan dalam BI karena semuanya
merupakan istilah budaya. Kata amang dalam BM dapat dipadankan dengan kata
father dalam BI. Contoh lain dalam BM komponen makna utama kata amang dan
father tentu serupa. Namun dalam BM kata amang tidak hanya mengacu kepada
“suami ibu” tetapi meluas kepada anak laki-laki seorang ayah/ibu sebab dalam
budaya Mandailing anak laki-laki dianggap adik dan ayah kita. Oleh karena itu orang
Mandailing boleh memanggil anak laki-lakinya amang karena dalam hubungan
kekerabatan anak laki-laki setara dengan ayah kita. Demikian pula kata inang, Anak
perempuan kita boleh dipanggil inang, karena anak perempuan kita dianggap adik ibu
kita sendiri. Dalam BI kata father dapat juga mengacu kepada pastor di dalam gereja.
Dengan demikian komponen makna kata father dan amang dalam kedua bahasa
tersebut tidak sama sedangkan komponen makna kata inang dalam BM lebih luas
daripada mother yang menjadi padanannya dalam BI. Coba kita lihat lagi sejumlah
nama benda berikut dalam BM, dan sejauh mana kata-kata tersebut memiliki padanan
amak lampisan
padanannya dalam BI karena benda-benda tersebut berkaitan dengan budaya dan
geografi. Sebagai contoh, amak dapat dipadankan dengan dengan mat, tetapi amak
lampisan adalah produk budaya Mandailing yaitu tikar yang dibuat berlapis sebagai
tempat duduk dalam acara-acara tertentu. Kata-kata pada kolom sebelah kanan,
kecuali kata indahan, tentu saja memiliki komponen makna yang sama dalam BI.
Kata sira berpadanan dengan salt, manuk dengan chicken, aek na lan dengan (fresh)
water, horbo dengan buffalo, anduri dengan window dan pinggan pasu dengan big
plate. Kata indahan biasanya dipadankan dengan kata rice dalam BI namun kata rice
masa pemakaian kata tersebut, makna primer tadi berkembang menjadi makna-makna
yang lain. Jadi polisemi ditemukan dalam kosakata setiap bahasa walaupun
keragaman makna itu berbeda dari satu bahasa ke bahasa lain.
BI dan BM dalam banyak hal adalah dua bahasa yang sangat berbeda.
Misalnya dalam hal usia, BI jauh lebih tua daripada BM, jumlah penutur BI tidak
sebanding dengan jumlah penutur BM, status BI tidak setara dengan BM dan lain-
lain.
BI adalah bahasa yang telah berusia lebih dari satu milenium dan digunakan
di seluruh dunia dengan status yang berbeda. Berdasarkan usianya yang sangat
panjang tersebut, wajarlah sebuah kata dalam BI memiliki banyak makna. Sebagai
contoh kata take memiliki 41 macam makna kata, kata make dan run masing-masing
memiliki 22 macam makna yang berbeda. Contoh lain empat verba yang dalam BM
yakni mambaen “membuat”, manjalahi ‘mencari, jongjong ‘berdiri’, dan tubu
‘tumbuh’ dan dipadankan dengan kata BI yakni masing-masing make, find, stand, dan
grow dan dibandingkan berapa makna skunder yang dimiliki masing-masing kata
tersebut. Kata make dalam BI yang menjadi padanan kata mambaen memiliki 22
macam makna sedangkan BM hanya memiliki sebuah makna skunder yaitu
‘mengerjakan sawah’. Kata manjalahi yang menjadi padanan kata find dalam BI
hanya memiliki sebuah makna sekunder yaitu ‘mencari nafkah’ sedangkan dalam BI
terdapat 18 makna sekunder yang berbeda menurut kamus The Random House
Dictioriary of the English Language edisi ke 2 tahun 1987. Kata jonjong yang
yaitu “mendirikan rumah” seperti dalam pajonjong bagas “mendirikan rumah” dan
“menegakkan/mempertahankan adat” seperti dalam pajonjong adat “menegakkan
adapt/tradisi” sedangkan dalam BI terdapat sebanyak 41 buah makna sekunder. Kata
tubu “tumbuh” yang menjadi padanan kata grow dalam BM hanya memiliki dua buah
makna sekunder yaitu “anak lahir” dan “sesuatu, seperti bisul, tumbuh pada bagian
tertentu tubuh” sedangkan dalam BI terdapat 13 buah makna sekunder.
Untuk perbandingan terakhir mari kita ambil kata ajektiva bontar yang
menjadi padanan kata white dalam BI. Dalam BM kata ini hanya memiliki sebuah
makna sekunder yaitu ‘ikhlas’ sedangkan dalam BI terdapat 18 macam makna
sekunder.
2.3.6 Sinonimi dan Antonimi
Ciri universal lain kosakata bahasa ialah bahwa pengguna bahasa memiliki
lebih dari satu cara untuk mengungkapkan konsep atau makna yang sama. Ungkapan
yang berbeda untuk konsep yang sama secara teknis disebut sinonim. Konsep “besar”
dalam BI dapat diungkapkan dengan menggunakan ungkapan-ungkapan lain seperti
large, great, huge, enormous dan lain-lain. Dalam BM “sehat” dapat diungkapkan
dengan menggunakan sekurang-kurangnya tiga ungkapan yaitu hiras, torkis, horas.
Antonim sebuah kata yang dapat ditemukan dalam kata-kata tertentu di setiap
bahasa meskipun tidak setiap kata memiliki antonim. Dalam BI kata deep “dalam”
dianggap antonim dengan kata shallow, kata far “jauh” dianggap antonim dengan
close ‘dekat’. Kata godang “besar” dalam BM dianggap antonim dengan kata menek
demikian keberadaan sinonim dan antonim tidak hanya ditemukan dalam BI tetapi
juga dalam BM.
Sejumlah kata yang bersinonim tentu saja tidak selalu berasal dari bahasa
yang sedang dibicarakan. Misalnya kata royal “berkaitan dengan raja” yang menjadi
sinonim kata kingly dalam BI berasal dari bahasa Perancis, kata Fiannce “pacar” yang
merupakan sinonim kata boy/girl friend juga berasal dari bahasa Perancis. BI sebagai
bahasa yang telah berusia ribuan tahun dan telah bergaul dengan banyak bahasa lain
bukan saja dengan bahasa-bahasa yang berasal dari rumpun yang sama tetapi juga
dengan bahasa-bahasa tidak serumpun. Jumlah sinonim yang dimiliki kata-kata BI
jauh lebih banyak dari sinonim kata BM. Kita ambil kata house “rumah” dalam BI.
Kata house memiliki sekurang-kurangnya enam sinonim seperti home, dwelling,
abode, habitation, building sedangkan dalam BM hanya terdapat bagas dan inganan
yang bermakna sama dengan house, ini menunjukkan bahwa budaya orang Inggris
dalam hal perumahan jauh lebih kaya daripada budaya orang Mandailing. Mari kita
ambil lagi sebuah kata yang berkaitan dengan “hidup” dalam BI. Terdapat
sekurang-kurangnya enam kata seperti live, abide, reside, dwell, exist, survive (Urdang, 1978:
190). Sedangkan dalam BM hanya terdapat dua kata yakni ngolu/mangolu dan
marhosa. Kata beautiful “cantik” dalam BI memiliki antonim paling tidak empat kata
yaitu ugly, homely, unattractive, dan plain (Urdang, 1978: 30). Dalam BM kata deges
“cantik” memiliki sebuah antonim saja yaitu jat ‘buruk’. Kata happy “gembira”