• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerjemahan Teks Marpokat Haroan Boru dalam Perkawinan Adat Mandailing dari Bahasa Mandailing ke dalam Bahasa Inggris

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Penerjemahan Teks Marpokat Haroan Boru dalam Perkawinan Adat Mandailing dari Bahasa Mandailing ke dalam Bahasa Inggris"

Copied!
146
0
0

Teks penuh

(1)

PENERJEMAHAN TEKS MARPOKAT HAROAN BORU DALAM

PERKAWINAN ADAT MANDAILING DARI BAHASA

MANDAILING KE DALAM BAHASA INGGRIS

TESIS

Oleh

DIAN FAZDILAH NASUTION

097009007/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011

S

EK O L

A H

P A

S C

A S A R JA N

(2)

PENERJEMAHAN TEKS MARPOKAT HAROAN BORU DALAM

PERKAWINAN ADAT MANDAILING DARI BAHASA

MANDAILING KE DALAM BAHASA INGGRIS

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Linguistik pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

DIAN FAZDILAH NASUTION

097009007/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : PENERJEMAHAN TEKS MARPOKAT HAROAN

BORU DALAM PERKAWINAN ADAT

MANDAILING DARI BAHASA MANDAILING KE DALAM BAHASA INGGRIS

Nama Mahasiswa : Dian Fazdilah Nasution

Nomor Pokok : 097009007

Program Studi : Linguistik

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Syahron Lubis, M.A) (Dr. Muhizar Muchtar, M.S)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. T. Silvana Sinar, M.A, P.hD) (Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE)

(4)

Telah diuji pada Tanggal 23 Juni 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Syahron Lubis, M.A Anggota : 1. Dr. Muhizar Muchtar, M.S

(5)

PENERJEMAHAN TEKS MARPOKAT HAROAN BORU DALAM PERKAWINAN ADAT MANDAILING DARI BAHASA

MANDAILING KE DALAM BAHASA INGGRIS

ABSTRAK

Tesis ini berjudul “Penerjemahan Teks Marpokat Haroan Boru dalam Perkawinan Adat Mandailing dari Bahasa Mandailing ke dalam Bahasa Inggris”. Tesis ini bertujuan, pertama, untuk mengetahui proses dan hasil terjemahan dari teks percakapan marpokat haroan boru dalam perkawinan adat Mandailing. Kedua, untuk mengetahui dan menerapkan teknik terjemahan yang tepat pada teks yang terikat dengan budaya. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-kualitatif. Data penelitian ini adalah teks marpokat haroan boru ini tertulis dalam BM (bahasa Mandailing) dan berbentuk prosa (21 paragraf) dan pantun (2 pantun). Data yang terdiri dari percakapan antara suhut, dan dalihan na tolu dalam marpokat haroan boru dalam perkawinan adat Mandailing diambil dari buku yang ditulis oleh H. Pandapotan Nasution yang diterbitkan tahun 2005 oleh FORKALA Prov. Sumatera Utara sebagai sumber data. Penelitian ini menekankan pada penerjemahan makna bukan bentuk. Sebelum proses penerjemahan dilakukan, peneliti melakukan pendekatan terlebih dahulu untuk kedua bahasa (Mandailing dan Inggris) yaitu analisis kontrastif dan kajian lintas budaya, hal ini dilakukan untuk mengetahui sistem kelinguistikan dan budaya kedua bahasa. Ditemukan bahwa bahasa Mandailing dan bahasa Inggris memiliki lebih banyak perbedaan daripada persamaannya seperti sistem pronominal, struktur frasa, pola kalimat, komponen makna, polisemi, sinonim dan antonim, makna generik dan spesifik, metafora, idiom dan eufimisme. Juga ditemukan perbedaan yang luas pada budaya kedua bahasa meliputi agama dan kepercayaan, keluarga dan perkawinan, tipe masyarakat, ketimpangan gender, pemakaian bahasa dan sopan santun sosial. Teks ini menerapkan beberapa teknik penerjemahan diantaranya diantaranya teknik penambahan, pengurangan, penyetaraan struktural, generalisasi, penerjemahan makna, penerjemahan literal dan parfrasa. Penerjemahan teks ini melalui beberapa proses tahapan yaitu analisis struktur teks, transfer, penulisan draf pertama, analisis draf pertama dan penulisan draf ke dua, evaluasi draf kedua, penulisan draf ketiga, reevaluasi dan penulisan draf akhir.

(6)

TRANSLATION OF TEXT MARPOKAT HAROAN BORU IN MANDAILING CULTURE MARRIAGE FROM MANDAILING LANGUAGE

TO ENGLISH LANGUAGE

ABSTRACT

The title of this thesis is “Penerjemahan Teks Marpokat Haroan Boru dalam Perkawinan adat Mandailing dari Bahasa Mandailing ke dalam Bahasa Inggris”. This study is conducted for two main purposes. First, to know the process and the translation of text of Marpokat Haroan Boru in Mandailing culture. Second, to apply appropiate techniques for the cultural text. The data of the descriptive-kualitative study is a written text of Marpokat Haroan Boru ceremony in Mandailing language, comprising 22 paragraphs and 2 verses. The data is taken from Adat Budaya Mandailing written by H. Pandapotan Nasution published in 2005 by FORKALA Prov. Sumatera Utara. This study emphasizes translation based on meaning, not literally. Before translation is done, firstly the researcher approaches the text by Contrastive analysis and Cross cultural analysis. This is aimed at finding out the differences of lingustic system and cultural aspects of Mandailing and English. It has been found out that Mandailingnese and English have more differences in linguistic structure such as, system of pronoun, structure of phrase, sentences patterns, meaning components, polysemy, synonymy and antonymy, specific and generic meaning, metaphor, idiom and euphemism. It has also been found out that Mandailingnese society and English society differ greatly in some cultural aspects such as religion and belief, family and marriage, type of society, gender and social manners. In translating the text, some translation techniques such as addition, omission, paraphrase, generalization, meaning translation, literal translation are apllied. The translation process of this text goes through several stages, analyzing text structure, transferring the meaning, writing first draft, analyzing the first draft and writing the second draft, evaluating the second draft, writing the third draft, reevaluating and writing the final draft.

(7)

KATA PENGANTAR

Tesis ini berjudul Penerjemahan Teks Marpokat Haroan Boru dalam

Perkawinan Adat Mandailing dari Bahasa Mandailing ke dalam Bahasa Inggris

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Humaniora pada Program

Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penelitian sebagai

bahan rujukan penelitian teks selanjutnya khususnya yang berhubungan dengan

teks-teks dalam bahasa Mandailing. Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pakar dan

pendidik bahasa dalam hal memperkaya khasanah kepustakaan linguistik bahasa

Mandailing sebagai salah satu bahasa daerah di Indonesia. Serta dapat bermanfaat

bagi pihak-pihak tertentu sebagai bahan pertimbangan dalam rangka upaya

pembinaan dan pelestarian bahasa daerah.

Seandainya ada kesalahan maupun kekurangan dalam penulisan tesis ini,

penulis mengharapkan masukan maupun saran yang konstruktif dari pembaca demi

kesempurnaan tesis ini.

Medan, 23 Juni 2011

(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan

hidayahNya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Penulis menyadari tesis ini tidak

akan terwujud seperti ini tanpa bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Pada

kesempatan ini, dengan tulus dan sepenuh hati penulis menyampaikan ucapan terima

kasih yang sebesar-besarnya terutama kepada kedua orang tua penulis H. Drs. Ruslan

Nasution dan Hj. Hafni Mutiara yang telah mendukung dan mendoakan hingga

selesainya tesis ini.

Dalam penyelesaian tesis ini, penulis banyak mendapat bimbingan dan arahan

dari Pembimbing I, Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A dan Pembimbing II, Bapak Dr.

Muhizar Muchtar, M.S. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih, semoga jasa

baik tersebut menjadi amal ibadah sepanjang hayat.

Selanjutnya penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak

yang telah memberikan bantuan, baik moril maupun material dalam menyelesaikan

teisi ini, terutama kepada Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc,

(CTM), Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara. Bapak Prof. Dr. Ir. A.

Rahim Matondang, MSIE selaku Direktur Sekolah Pascasarjana. Ibu Prof. T. Silvana

Sinar, M.A, Ph.D dan Dr. Nurlela, M.Hum selaku Ketua dan Sekretaris Program

Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Selanjutnya kepada seluruh Dosen yang tidak bisa disebutkan satu persatu

(9)

duduk di bangku kuliah hingga selesai tesis ini, terima kasih atas ilmu dan

pengalaman yang telah diberikan semoga menjadi amal ibadah. Tak lupa penulis juga

mengucapkan terima kasih kepada seluruh staf administrasi Sekolah Pascasarjana

USU yang telah membantu dalam penyelesaian administrasi hingga penulis dapat

menyelesaikan tesis ini.

Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada rekan-rekan seperjuangan,

Mahasiswa/i Sekolah Pascasarjana angkatan 2009/2010, sungguh hari-hari yang

menyenangkan bersama dalam menuntut ilmu di sini. Semoga Allah tetap

mempersatukan kita dalam kasih sayang.

Akhir kata terima kasih penulis ucapkan untuk Adik-adikku tercinta Dewina

Nasution, S.Psi, Akhmad Bajora dan Fauziah Nami Nasution, terima kasih atas

dukungan dan kasih sayang kalian, semoga kita menjadi orang-orang yang sukses.

Teristimewa Angga Ikranegara, S.IP yang telah mendukung penulis dalam berbagai

keadaan untuk menyelesaikan studi dan tesis ini, semoga Allah meridhoi amal ibadah

kita.

Medan, 23 Juni 2011

Penulis,

(10)

RIWAYAT HIDUP

Data Pribadi

Nama : Dian Fazdilah Nasution

Tempat/Tgl Lahir : Medan, 10 Maret, 1987

Jenis kelamin : Perempuan

Hobi : Mendengarkan musik, jalan-jalan, membaca, renang

E-mail : dianfadh@yahoo.com

Prinsip hidup : Be Your Self being Confidence

Pendidikan Formal

2008 – 2011 Universitas Sumatera Utara (Magister Humaniora) Medan,

2004 – 2008 Universitas Sumatera Utara (Sastra Inggris), Medan

2001 – 2004 SMAN 1 Kota Langsa, NAD

1998 – 2001 SMPN 3 Kota Langsa, NAD

1992 – 1998 SDN 1 Kebun Baru, Kota Langsa, NAD

Seminar and Workshop

1. Seminar Hasil Penelitian “Penerjemahan teks Marpokat Haroan Boru

dalam perkawinan adat Mandaling dalam bahasa Mandailing ke dalam

(11)

2. International Seminar and Workshop “New method in teaching English

as a foreign language” (March, 2011).

3. International Seminar on Translation and Other Neighboring Linguistic

Disciplines (March, 2011).

4. International Conference on Translation and Multiculturalism “Found In

Translation” (July, 2010).

5. Seminar Nasional “Penerjemahan” (Mei, 2010).

6. Selection of Youth Exchange Program by Purna Caraka Muda Indonesia

(March, 2008).

7. International Seminar on Language Teaching and Translation in

(12)

DAFTAR ISI

2.2 Bahasa (Teks dan Konteks) Menurut Halliday………….. 16

(13)

BAB V. PENUTUP………. 118

5.1 Simpulan………. 118

5.2 Saran………... 120

(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Teks dan Konteks Sosial……… 17

2.2. Proses Penerjemahan………. 64

2.3. Proses Terjemahan………. 67

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Glosarium (Bahasa Indonesia)……….. 124

2. Glossary (English Version)……… 127

(16)

PENERJEMAHAN TEKS MARPOKAT HAROAN BORU DALAM PERKAWINAN ADAT MANDAILING DARI BAHASA

MANDAILING KE DALAM BAHASA INGGRIS

ABSTRAK

Tesis ini berjudul “Penerjemahan Teks Marpokat Haroan Boru dalam Perkawinan Adat Mandailing dari Bahasa Mandailing ke dalam Bahasa Inggris”. Tesis ini bertujuan, pertama, untuk mengetahui proses dan hasil terjemahan dari teks percakapan marpokat haroan boru dalam perkawinan adat Mandailing. Kedua, untuk mengetahui dan menerapkan teknik terjemahan yang tepat pada teks yang terikat dengan budaya. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-kualitatif. Data penelitian ini adalah teks marpokat haroan boru ini tertulis dalam BM (bahasa Mandailing) dan berbentuk prosa (21 paragraf) dan pantun (2 pantun). Data yang terdiri dari percakapan antara suhut, dan dalihan na tolu dalam marpokat haroan boru dalam perkawinan adat Mandailing diambil dari buku yang ditulis oleh H. Pandapotan Nasution yang diterbitkan tahun 2005 oleh FORKALA Prov. Sumatera Utara sebagai sumber data. Penelitian ini menekankan pada penerjemahan makna bukan bentuk. Sebelum proses penerjemahan dilakukan, peneliti melakukan pendekatan terlebih dahulu untuk kedua bahasa (Mandailing dan Inggris) yaitu analisis kontrastif dan kajian lintas budaya, hal ini dilakukan untuk mengetahui sistem kelinguistikan dan budaya kedua bahasa. Ditemukan bahwa bahasa Mandailing dan bahasa Inggris memiliki lebih banyak perbedaan daripada persamaannya seperti sistem pronominal, struktur frasa, pola kalimat, komponen makna, polisemi, sinonim dan antonim, makna generik dan spesifik, metafora, idiom dan eufimisme. Juga ditemukan perbedaan yang luas pada budaya kedua bahasa meliputi agama dan kepercayaan, keluarga dan perkawinan, tipe masyarakat, ketimpangan gender, pemakaian bahasa dan sopan santun sosial. Teks ini menerapkan beberapa teknik penerjemahan diantaranya diantaranya teknik penambahan, pengurangan, penyetaraan struktural, generalisasi, penerjemahan makna, penerjemahan literal dan parfrasa. Penerjemahan teks ini melalui beberapa proses tahapan yaitu analisis struktur teks, transfer, penulisan draf pertama, analisis draf pertama dan penulisan draf ke dua, evaluasi draf kedua, penulisan draf ketiga, reevaluasi dan penulisan draf akhir.

(17)

TRANSLATION OF TEXT MARPOKAT HAROAN BORU IN MANDAILING CULTURE MARRIAGE FROM MANDAILING LANGUAGE

TO ENGLISH LANGUAGE

ABSTRACT

The title of this thesis is “Penerjemahan Teks Marpokat Haroan Boru dalam Perkawinan adat Mandailing dari Bahasa Mandailing ke dalam Bahasa Inggris”. This study is conducted for two main purposes. First, to know the process and the translation of text of Marpokat Haroan Boru in Mandailing culture. Second, to apply appropiate techniques for the cultural text. The data of the descriptive-kualitative study is a written text of Marpokat Haroan Boru ceremony in Mandailing language, comprising 22 paragraphs and 2 verses. The data is taken from Adat Budaya Mandailing written by H. Pandapotan Nasution published in 2005 by FORKALA Prov. Sumatera Utara. This study emphasizes translation based on meaning, not literally. Before translation is done, firstly the researcher approaches the text by Contrastive analysis and Cross cultural analysis. This is aimed at finding out the differences of lingustic system and cultural aspects of Mandailing and English. It has been found out that Mandailingnese and English have more differences in linguistic structure such as, system of pronoun, structure of phrase, sentences patterns, meaning components, polysemy, synonymy and antonymy, specific and generic meaning, metaphor, idiom and euphemism. It has also been found out that Mandailingnese society and English society differ greatly in some cultural aspects such as religion and belief, family and marriage, type of society, gender and social manners. In translating the text, some translation techniques such as addition, omission, paraphrase, generalization, meaning translation, literal translation are apllied. The translation process of this text goes through several stages, analyzing text structure, transferring the meaning, writing first draft, analyzing the first draft and writing the second draft, evaluating the second draft, writing the third draft, reevaluating and writing the final draft.

(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Melihat perkembangan berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan,

terjemahan memegang peranan yang sangat penting dalam perkembangan ilmu

pengetahuan. Bagaimana tidak, bahasa yang digunakan oleh masyarakat di suatu

kelompok tertentu pastilah berbeda dengan kelompok masyarakat di belahan bumi

lainnya. Di sinilah peran penting terjemahan untuk mentransfer ilmu pengetahuan

tersebut ke berbagai bahasa di dunia, sehingga seluruh manusia di bumi ini

mengetahui dan memahami temuan ilmu pengetahuan tersebut. Penerjemahan sangat

penting untuk proses tukar menukar informasi dan hasil temuan. Tanpa

penerjemahan, para calon ilmuwan atau mungkin bahkan para ilmuwan akan

ketinggalan, tidak dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, apalagi mereka

kurang mampu membaca dalam bahasa asing. Oleh sebab itu Hatim & Munday

(2004) dalam bukunya Translation: an Advanced Resource Book mengatakan “begitu

besar pengaruh sebuah karya terjemahan terhadap kehidupan manusia”.

Terjemahan bukan hanya sekedar menerjemahkan makna pada kata, kalimat,

frasa maupun paragraf dari bahasa sumber (BSur) ke dalam bahasa sasaran (BSar)

tetapi dalam prosesnya seorang penerjemah harus mampu mempertimbangkan faktor

budaya yang ada di dalam sebuah bahasa. Terjemahan merupakan kegiatan lintas

(19)

manusia. Seperti yang diungkapkan oleh Newmark (1988: 7): “Translation has been

instrumental in transmitting culture…ever since countries and languages have been

in contact with each other”. Berbagai contoh dapat dikemukakan mengenai budaya

yang mempengaruhi terjemahan. Orang Inggris akan menyebutkan Biscuits, Football,

Mummy, Rounders, and Sweets sherbet lemons sementara di Amerika mereka akan

menyebutnya Cookies, Soccer, Mommy, Baseball and Lemon Drops. Karena latar

belakang budaya, ada beberapa konsep budaya di Barat yang tidak dikenal di budaya

Timur atau sebaliknya. Misalnya tradisi masyarakat Batak yang menganjurkan

kepada pengantin baru agar mempunyai banyak anak diungkapkan dengan peribahasa

Maranak sappulu onom, Marboru sappulu pitu (beranak laki-laki 16 orang dan

beranak perempuan 17 orang), tidak dikenal di budaya Barat. Perlu diketahui bahwa

tidak semua bahasa dapat diterjemahkan dengan mudah seperti contoh di atas

terjemahan tradisi/budaya atau ungkapan sebaiknya diikuti oleh penjelasan singkat

keadaan sosial masyarakat tertentu, sehingga pembaca mudah memahaminya.

Menerjemahkan sebuah karya tidaklah mudah. Ini merupakan hal yang sulit

bagi seorang penerjemah. Menurut Muchtar (2010: 2) “Budaya penerjemah akan

mempengaruhi hasil translasi, khususnya struktur translasinya, itulah sebabnya

ditemukan bahwa suatu ide yang sama tidak akan terealisasikan ke dalam struktur,

khususnya tema yang sama dalam dalam bahasa yang berbeda”. Oleh sebab itulah

penerjemah dituntut untuk kreatif dalam mencari padanan kata yang memiliki makna

yang sama dengan BSurnya. Seorang penerjemah harus selalu memperdalam

(20)

perbendaharaan kata, padanan kata, kemiripan makna dll. Thatit Manon Andini

(2007: 4) mengatakan “As a means of communication, the translation should be

accurate, clear and natural and also should be there sameness in meaning,

paralellism in form”. Namun perlu diingat bahwa tidak ada terjemahan yang

sempurna, “ideal” atau “baik” (Newmark, 1988: 6).

Penerjemahan adalah sebuah proses pemindahan makna teks atau berita dari

BSur ke BSar dengan stilistika dan konteks bahasa yang digunakan. Banyak kegiatan

penerjemahan yang bisa dilakukan seperti menerjemahan buku-buku ilmu

pengetahuan, majalah, ensiklopedia, interpreting, kontrak jual beli, buku-buku

kedokteran, hukum dan brosur pariwisata, naskah-naskah tua/sejarah, dan kegiatan

lainnya. Melalui terjemahan kekayaan budaya Indonesia diperkenalkan kepada

bangsa-bangsa lain yang pada gilirannya mampu menarik minat wisatawan manca

negara untuk mengunjungi Indonesia. Sekali lagi dengan terjemahan mampu

meningkatkan perekonomian negara dan mendorong perkembangan sektor

pariwisata.

Indonesia dikenal sebagai negara multikultural dan multilingual karena

dikenal dengan kekayaan dan keberagaman budayanya yang tidak dimiliki

bangsa-bangsa lain. Sumatera Utara, salah satu provinsi terbesar di Indonesia. Terdiri dari

berbagai suku dan etnis yang masih mempertahankan budaya tradisional. Salah

satunya adalah suku Mandailing yang mendiami wilayah bagian Timur dari mulai

Tapanuli Selatan (Padang Sidempuan) hingga Mandailing Natal (Panyabungan).

(21)

kehidupan sehari-hari. Dalam masyarakat Mandailing ada beberapa peristiwa yang

selalu diikuti dengan upacara adat tradisional, antara lain: memasuki rumah baru,

kelahiran anak, perkawinan dan kematian. Acara-acara ini dibagi menjadi dua

kelompok, yaitu: upacara yang bersifat kegembiraan disebut dengan siriaon dan

upacara yang bersifat kemalangan disebut siluluton (Nasution, 2005: 441). Upacara

perkawinan dalam masyarakat Mandailing dilaksanakan dengan serangkaian upacara

adat baik di rumah pengantin wanita (boru na ni oli) maupun pengantin pria (bayo

pangoli). Perhelatan perkawinan adat Mandailing berlangsung dengan sederet

upacara adat yaitu Mangaririt boru (menyelidiki keadaan perempuan sebagai calon

isteri oleh pihak calon suami), Padamos hata (penentuan hari peminangan), Patobang

hata (upacara peminangan), Manulak sere (penyerahan kewajiban/syarat-syarat

perkawinan dari pihak calon suami), Upacara perkawinan, Mangalehan mangan

pamunan (memberi makan terakhir kepada calon isteri oleh orang tuanya sebelum

meninggalkan rumah orangtuanya), Horja pabuat boru (upacara pelepasan pengantin

wanita), Horja (perhelatan perkawinan di rumah pengantin pria), dan Mangupa

(upacara pemberian nasihat-nasihat perkawinan) (Nasution, 2005: 279-419).

Horja/Perhelatan perkawinan di rumah pengantin pria berlangsung dengan

sederet upacara adat yang tidak jauh berbeda dengan upacara adat perkawinan

di rumah pengantin wanita. Diawali dari Marpokat haroan boru (mufakat

menyambut pengantin wanita), Mangalo-alo boru (mengarak-arak pengantin keliling

kampung), Pataon raja-raja adat (undangan kepada raja-raja), Panaek gondang

(22)

puncak upacara adat Mata ni horja, yaitu sebuah perhelatan besar upacara

perkawinan di mana raja-raja dan dalihan na tolu akan manortor dan markobar

(Nasution, 2005: 357-372).

Seperti yang telah dijelaskan di atas ada beberapa tahap dalam perkawinan

adat Mandailing. Namun dalam penelitian ini peneliti hanya akan memfokuskan pada

tahap horja haroan boru, tepatnya pada saat marpokat haroan boru. Marpokat

haroan boru adalah upacara adat di rumah orangtua bayo pangoli, di sini keluarga

mengundang sanak famili beserta dalihan na tolu (kahanggi, mora, dan anakboru)

bermufakat untuk persiapan menjemput dan menerima boru na ni oli.

Teks marpokat haroan boru inilah sebagai kajiaan penelitian yang akan

peneliti terjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Teks ini sangat terikat dengan budaya

dan memiliki banyak ungkapan budaya yang menarik. Teks marpokat haroan boru

ini bisa dikatakan sebagai teks budaya. Teks budaya itu sendiri menurut Wikipedia

adalah naskah atau bahan tertulis yang mencerminkan suatu cara hidup yang dimiliki

oleh sekelompok masyarakat atau orang yang berkembang dan diwariskan dari

generasi ke generasi, terbentuk dari banyak unsur yang rumit, diantaranya sistem

agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya

seni. Tidak mudah menerjemahkan teks yang terikat dengan budaya, perlu kesabaran,

ketelitian, kepiawaian dan waktu luang untuk menerjemahkannya. Dengan

diterjemahkannya teks ini kedalam bahasa Inggris, sebagai bahasa internasional

(23)

dan dipahami oleh seluruh pembaca di dunia bukan hanya penutur asli Mandailing,

sehingga mereka memahami sedikit bahagian budaya dari suku Mandailing.

Meskipun terjemahan/penerjemahan telah banyak memberi manfaat bagi manusia,

pada kenyataannya di Indonesia khususnya Sumatera Utara terjemahan belum

diminati sebanyak kajian-kajian interdisipliner lain. Padahal keberadaan kajian

terjemahan mampu memberikan kontribusi yang besar terhadap percepatan kemajuan

suatu negara dan kelancaran komunikasi lintas budaya (Lubis, 2009: 2).

1.2 Batasan dan Rumusan Masalah

Penelitian ini dibatasi hanya pada teks percakapan marpokat haroan boru

(bermufakat menerima kedatangan pengantin wanita di rumah pengantin pria) dalam

perkawinan adat Mandailing yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

Berdasarkan batasan di atas, masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai

berikut:

1. Bagaimanakah proses penerjemahan teks marpokat haroan boru dalam bahasa

Mandailing ke dalam bahasa Inggris?

2. Teknik penerjemahan apa yang diterapkan untuk menerjemahkan teks tersebut?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini menelaah masalah yang muncul dalam proses penerjemahan

(24)

1. Untuk mengetahui proses dan hasil terjemahan dari teks percakapan marpokat

haroan boru dalam perkawinan adat Mandailing.

2. Untuk mengetahui dan menerapkan teknik terjemahan yang tepat pada teks

budaya.

1.4 Manfaat Penelitian

Teoritis:

1. Memperkaya khasanah penerjemahan dan terjemahan teks budaya.

2. Membuktikan teori yang menyatakan bahwa penerjemahan teks budaya selalu

menghadapi banyak masalah.

Praktis:

1. Melengkapi tugas akhir (tesis) pada Sekolah Pascasarjana Program Linguistik

konsentrasi Terjemahan.

2. Menambah pengalaman penulis sebagai Mahasiswa Magister Program

Linguistik konsentrasi Terjemahan.

3. Memperkenalkan dan mempopulerkan salah satu teks masyarakat Mandailing

kepada khalayak luas termasuk untuk tujuan peningkatan daya tarik

wisatawan mancanegara terhadap budaya Indonesia.

4. Melestarikan teks budaya Mandailing yang mulai terkikis oleh perkembangan

zaman dan pengaruh budaya lain.

5. Memperoleh terjemahan teks marpokat haroan boru budaya Mandailing

(25)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Kajian pustaka dimaksudkan untuk memberikan gambaran atau batasan

tentang teori-teori yang dipakai sebagai landasan teori. Teori yang melandasi kajian

terjemahan bahasa Mandailing-Inggris ini tidaklah bersifat tunggal tetapi plural dan

bersifat eklektik. Ekletik bermaksud kajian ini menganut berbagai konsep acuan dan

didasarkan atas berbagai teori sepanjang konsep dan teori tersebut memiliki relevansi

terhadap substansi kajian. Pluralitas teori yang diterapkan tidak bisa dihindari

mengingat hakikat terjemahan sebagai suatu bidang ilmu dan kompleksitas fenomena

itu sendiri. Terjemahan adalah bidang ilmu terapan (linguistik terapan) yang

kajiannya melibatkan dua bahasa sehingga terjemahan tidak bisa dilepaskan dari

konsep-konsep kebahasaan dan teori linguistik secara mikro maupun linguistik

bandingan (analisis kontrastif). Pada hakikatnya terjemahan merupakan sebuah

makna yang dikomunikasikan dalam BSur ke dalam BSar sesuai dengan makna yang

terkandung di dalam BSur.

Sebelum memaparkan teori-teori yang relevan dengan penelitian ini. Terlebih

dahulu peneliti telah melakukan kajian pustaka untuk mengetahui apakah sebelumnya

penelitian ini sudah pernah dilakukan sebelumnya dan membantu menguatkan teori

yang akan digunakan dalam penelitian ini. Disertasi “Penerjemahan Teks Mangupa

dari Bahasa Mandailing ke dalam Bahasa Inggris” (2009) ditulis oleh Dr. Syahron

(26)

Inggris. Dalam prosesnya peneliti menemukan beberapa temuan-temuan penting

dimana dikatakan bahwa bahasa Mandailing dan bahasa Inggris memiliki lebih

banyak perbedaan daripada persamaan dalam struktur bahasa seperti afiksasi,

pemajemukan, reduplikasi, pemenggalan kata, sistem pronominal, struktur frasa,

pola-pola kalimat, komponen makna, polisemi, sinonim dan antonim, makna generik

dan spesifik, metafora, idiom, dan eufimisme. Dan juga ditemukan beberapa

perbedaan yang cukup luas dalam sejumlah aspek kultural seperti agama dan

kepercayaan, keluarga dan perkawinan, tipe masyarakat, ketimpangan gender

pemakaian bahasa, dan sopan santun sosial. Hal ini menyebabkan sejumlah istilah

dan ungkapan budaya Mandailing tidak memiliki padanan dalam bahasa Inggris oleh

karena itu kata-kata tersebut harus dipinjam (tidak diterjemahkan) dengan

memberikan penjelasan makna pada glosarium. Sejumlah teknik penerjemahan telah

digunakan untuk menghasilkan terjemahan yang baik diantaranya; transcreation,

transformasi, penambahan, penghilangan, pengubahan, penciptaan, parafrase,

restrukturisasi, generalisasi, modulasi, spesifikasi, dan penerjemahan harfiah.

“Kesepadanan dan Pergeseran dalam Teks Terjemahan Fiksi Halilian dari

Bahasa Angkola ke dalam Bahasa Indonesia” (2010) oleh Rosmawaty,

mendeskripsikan tipe kesepadanan makna dan jenis pergeseran makna. Disini

ditemukan bahwa akibat adanya kesenjangan bahasa dan budaya, dalam proses

pemadanan secara bersamaan terjadi penyesuaian beberapa pergeseran dari sistem

linguistik dan sistem kultural (Angkola) ke sistem linguistik dan sistem

(27)

teori-teori yang digunakan juga mendekati. Selain itu objek penelitian juga sama (bahasa

Mandailing), sehingga peneliti menggunakannya sebagai konsep acuan kajian pustaka

yang relevan.

Penelitian ini menggunakan landasan teori yang relevan dengan

penerjemahan/terjemahan. Terjemahan tidak terlepas dari budaya, di mana budaya

sangat mempengaruhi hasil dari sebuah terjemahan. Teks tradisional budaya

Mandailing yaitu marpokat haroan boru sangat kental dengan budaya dan adat.

Sehingga diperlukan sebuah kajian budaya yang relevan dengan terjemahan untuk

mendapatkan hasil terjemahan yang baik. Oleh sebab itu penelitian ini meletakkan

relevansi budaya terhadap terjemahan sebagai landasan teori yang utama. Kemudian

diikuti oleh landasan teori lainnya yang mendukung proses terjemahan teks budaya

tradisional ini. Analisis struktur teks (register, genre, dan ideologi), analisis

kontrastif, kajian lintas budaya adalah landasan teori yang akan digunakan

selanjutnya untuk membantu proses terjemahan teks budaya tradisional ini.

Penguasaan terhadap sistem bahasa sumber dan bahasa sasaran dan

penguasaan terhadap ciri linguistik dan teksual kedua bahasa tersebut tidak selalu bisa

menjamin seseorang dapat menghasikan terjemahan yang berkualitas. Melainkan dia

harus mengetahui cara-cara mengatasi kesulitan-kesulitan masalah yang timbul

(Silalahi, 2009: 81). Namun tetap dibutuhkan penguasaan terhadap keduanya.

Analisis struktur teks dilakukan untuk mengetahui jenis teks, ciri-ciri leksikal

teks, konteks budaya dan ideologi yang mendasari terjadinya teks tersebut. Analisis

(28)

(bahasa Mandailing) berbeda atau sama dengan sistem kelinguistikan BSar (bahasa

Inggris). Setelah perbedaan dan persamaan struktur kedua bahasa teridentifikasi

prosedur penerjemahan yang akan digunakan dapat dipersiapkan. Sedangkan kajian

lintas budaya dilakukan untuk mengetahui sejauh mana berbagai istilah dan ungkapan

terikat budaya dalam BSur dapat atau tidak dapat ditransfer ke dalam BSar yang

dilatarbelakangi budaya lain.

2.1 Bahasa, Budaya dalam Terjemahan

Budaya dibangun dari kesamaan faktor-faktor pembentuk yang disebut

dengan komponen kebudayaan. Bahasa merupakan salah satu komponen budaya yang

sangat penting. Bahasa merupakan mediasi pikiran, perasaan dan perbuatan. Bahasa

menerjemahkan nilai dan norma, skema kognitif manusia, persepsi, sikap dan

kepercayaan manusia tentang dunia para pendukungnya (Liliweri, 2001: 120).

Bassnett (1998: 13-14) menggambarkan hubungan antara bahasa dan budaya sebagai

dua hal yang tidak bisa dipisahkan serta menyatakan bahwa bahasa merupakan “the

heart within the body of culture” sehingga kelestarian ke dua aspek tersebut saling

tergantung satu sama lainnya.

Gagasan yang menyatakan bahwa kandungan budaya tercermin dalam bahasa

sudah lama dan sudah banyak diutarakan oleh para pakar seperti Sapir, Boas dan

Bloomfield (dalam Yadnya, 2006: 8). Edward Sapir, misalnya, menyatakan bahwa

kandungan setiap budaya tidak saja terungkap dalam bahasanya. Boas menunjukkan

(29)

dan adat, antara bahasa dan perilaku etnis serta bahasa dan perubahan-perubahan

yang terjadi dalam budaya. Bahkan Bloomfield menekankan bahwa sedemikian kuat

hubungan budaya itu terhadap bahasa sehingga kekayaan atau kemiskinan suatu

budaya tercermin dalam bahasanya. Sama halnya dengan penampilan fisik seseorang

(orang yang satu berbeda dengan orang yang lainnya), begitu juga halnya dengan

kebudayaan. Dalam masyarakat yang berbeda orang tidak saja berbicara dengan

bahasa dan dialek yang berbeda tetapi mereka juga menggunakan bahasa tersebut

dengan cara yang amat berbeda. Perbedaan cara bertutur inilah, mencerminkan

nilai-nilai budaya yang berbeda atau paling sedikit tataran nilai-nilai yang berbeda. Pernyataan

ini sangat sesuai dengan definisi kebudayaan yang diberikan Newmark (1988: 94)

yakni the way of life and its manifestations that are peculiar to a community that

uses a particular language as its means of expression”, yang mengisyaratkan bahwa

masing-masing grup bahasa (language group) memiliki fitur spesifik sendiri secara

budaya.

Suatu konsep dalam bahasa tertentu belum tentu dimiliki oleh bahasa lain

seperti misalnya konsep namora natoras dalam bahasa Mandailing tidak akan

ditemukan dalam bahasa Inggris. Selain itu tidak jarang konsep yang sama dalam satu

bahasa memiliki linguistic sign yang berbeda seperti misalnya konsep “sepak bola”

dalam bahasa Inggris (British) football tetapi dalam bahasa Inggris (Amerika) soccer.

Kenyataan lain juga menunjukkan bahwa konsep yang sama dimiliki oleh dua bahasa

belum tentu dinyatakan dengan satu konsep atau dibedakan misalnya konsep rice

(30)

beberapa alternatif “padi”, “gabah” atau “beras” dalam ranah budaya (bidang

pertanian) dan “nasi” dalam bidang makanan. Contoh lain yang sering dikemukakan

sebagai ilustrasi dalam Semantik adalah konsep “salju” yang tidak dikenal di Arab

tetapi sangat dikenal dalam bahasa Eskimo. Contoh lain “Nafasnya berbau jengkol”

di mana “berbau jengkol” diterjemahkan garlic smell. Sudah pasti di dalam kamus

manapun tidak diketemukan “jengkol” = garlic atau sebaliknya garlic = “jengkol”.

Dari sisi ini mungkin bisa dikatakan nyeleweng namun bagaimana kalau jengkol

diterjemahkan secara akurat sebagai a kind of bean atau lebih tepat lagi, dengan

istilah Latin Pithecolobium. Hal ini bisa menimbulkan pertanyaan apakah amanat

yang dikandung oleh kata “jengkol” itu sampai dengan terjemahan yang tepat dengan

istilah bahasa Latin tersebut. Tentu saja makna ‘bau sekali’ pada kata bahasa

Indonesia tersebut tidak tersampaikan dengan pemadanan melalui kata bahasa Latin

itu.

Fishman (dalam Yadnya, 2006: 9) menyatakan bahwa hubungan bahasa

dengan budaya bisa dilihat dalam tiga perspektif, yakni (1) sebagai bagian dari

budaya, (2) sebagai indeks budaya, dan (3) sebagai simbolik budaya. Sebagai bagian

dari budaya bahasa merupakan pengejawantahan prilaku manusia. Misalnya upacara,

ritual, nyanyian, cerita, doa merupakan tindak tutur atau peristiwa wicara. Semua

yang ingin terlibat dan memahami budaya tersebut harus menguasai bahasa karena

dengan itu barulah mereka bisa berpartisipasi dan mengalami budaya tersebut.

Sebagai indeks budaya bahasa juga mengungkapkan cara berfikir dan menata

(31)

sebagai simbolik budaya bahasa menunjukkan identitas budaya etnis. Karena bahasa

merupakan bagian dari kebudayaan, maka, di satu sisi, penerjemahan tidak saja bisa

dipahami sebagai pengalihan bentuk dan makna dan, di sisi lain, penerjemahan bisa

juga dipahami sebagai proses berbahasa. Dalam pengertian ini penerjemah

menggunakan bahasa tersebut untuk tujuan komunikasi (tulis) yakni mendeskripsikan

ihwal budaya yang mencakup apa yang dilakukan manusia, apa yang diketahuinya,

dan benda-benda yang dibuat dan digunakan sebagai manifestasi budaya.

Konsekuensinya adalah penerjemahan tidak saja dapat mengalami hambatan

kebahasaan tetapi juga segi budaya. Oleh karena itu penerjemahan tidaklah

semata-mata masalah mencari kata atau ungkapan lain yang memiliki makna yang sama

tetapi menemukan cara yang sesuai untuk menyatakan sesuatu dalam bahasa lain.

Pada akhirnya menjadikan kajian terjemahan tidak bisa dilepaskan dari pendekatan

kebahasaan dan budaya. Implikasi budaya dalam terjemahan bisa muncul dalam

berbagai bentuk berkisar dari lexical content dan sintaksis sampai ideologi dan

pandangan hidup (way of life) dalam budaya tertentu. Oleh karena itu penerjemah

harus menentukan tingkat kepentingan yang diberikan pada aspek-aspek budaya

tertentu dan sampai sejauhmana aspek-aspek tersebut perlu atau diinginkan untuk

diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran.

Salah satu definisi kebudayaan paling populer diajukan oleh Tylor (dalam

Croft, 1980: 531) yang menyatakan budaya sebagai seluruh buatan manusia yang

mencakup ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, nilai-nilai moral, adat, dan

(32)

masyarakat. Hal senada diajukan oleh Pusch (1981: 3), yang menyatakan bahwa

kebudayaan meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk nilai-nilai,

kepercayaan, standar estetika, ekspresi linguistik, pola-pola berpikir, norma-norma

bertingkah laku, dan gaya berkomunikasi. Khusus dalam konteks ilmu bahasa dan

penerjemahan, Newmark (1988: 94) mendefinisikan budaya sebagai cara hidup dan

manifestasinya yang khas pada setiap komunitas yang menggunakan sebuah bahasa

yang unik sebagai media ekspresi. Definisi ini mengindikasikan bahwa setiap

kelompok masyarakat yang memiliki bahasa tersendiri pasti memiliki kebudayaan

tersendiri pula. Senada dengan Newmark, berbagai pakar ilmu bahasa dan

penerjemahan lain juga menekankan hubungan erat antara bahasa dan budaya. Brown

(1987: 123) menegaskan “A language is a part of a culture and a culture is a part of

a language; the two are intricately interwoven such that one can not separate the two

without losing the significance of either language or culture. Lotman (dalam James,

2002) mengatakan "No language can exist unless it is steeped in the context of

culture; and no culture can exist which does not have at its centre, the structure of

natural language".

Definisi-definisi dan konsep budaya di atas memperlihatkan bahwa

pemahaman interkultural tidak terpisahkan dari aktivitas penerjemahan. Selama

melakukan aktivitasnya, penerjemah tidak hanya berhadapan dengan

perbedaan-perbedaan morfologis, sintaksis, semantis tetapi juga perbedaan-perbedaan-perbedaan-perbedaan kultural

antara BSur dan BSar. Bahkan, Nida (1964: 130) menyatakan perbedaan kultural

(33)

dengan perbedaan struktur bahasa. Sehubungan dengan itu, dapat disimpulkan bahwa

dalam penerjemahan, pemahaman interkultural sama pentingnya dengan penguasaan

kedua bahasa yang digunakan.

2.2 Bahasa (Teks dan Konteks) Menurut Halliday

Sehubungan dengan penggunaan teori linguistik untuk mendukung

pelaksanaan penerjemahan ini, teori linguistik yang sesuai dengan penerjemahan

adalah teori Linguistik Fungsional Sistemik (LFS). Makna sebuah teks akan dapat

dipahami lebih mudah dan jelas bila ketiga konteks (situasi) register, genre (budaya),

dan ideologi dalam teks tersebut dipahami. Teori LFS ini sangat sesuai dan dapat

diaplikasikan untuk menganalisis keragaman makna yang terkandung dalam sebuah

teks.

Berdasarkan pengalaman Malinowski, seorang antropolog Inggris di Trobian

Island, Pasifik Barat (1923) meyakinkan sejumlah linguis bahwa bahasa adalah teks

yang terikat kepada konteks. Malinowski menghadapi masalah ketika ia

menerjemahkan peristiwa sosial verbal upacara adat penduduk Melanesia itu ke

dalam bahasa Inggris untuk dipahami oleh pembaca berbahas dan berbudaya Inggris.

Dia mencoba penerjemahan bebas dan hasilnya dapat dipahami pembaca tetapi dia

gagal membuat pembaca memahami berbagai nilai budaya dan sosial yang melatari

teks tersebut. Kemudian dia mencoba penerjemahan harfiah dan hasilnya adalah

sebuah terjemahan lengkap dengan nilai sosial dan budayanya namun sayangnya teks

(34)

terjemahan yang yang disertai komentar. Komentar tersebut dibuat untuk

menghadirkan imaji situasi teks tersebut dengan cara “menjembatani” teks tersebut

dengan lingkungannya baik lingkungan verbal maupun non-verbal. Dia menyebut

lingkungan teks ini konteks situasi. Sejak itu dia percaya bahwa sebuah teks tidak

akan dapat dipahami dengan baik bila konteks itu sendiri tidak dipahami (Hatim dan

Mason, 1990: 36-37).

Larson (1984: 3) menyatakan bahwa penerjemahan semata-mata

memperhatikan ketepatan makna tetapi lebih dari itu, seorang penerjemah harus

memperhatikan situasi komunikasi dan konteks budaya kedua bahasa tersebut.

Dari contoh di atas, teks tidak terlepas dari konteks. Konteks itu sendiri

“mengelilingi” teks atau teks itu berupa wadah untuk teks berfungsi. Konteks terdiri

dari tiga lapisan yaitu konteks situasi (register), konteks budaya (genre) dan konteks

ideologi.

Gambar 2.1. Teks dan Konteks Sosial

Ideologi

Budaya

Situasi

(35)

Gambar menunjukkan bahwa konteks yang paling dekat dengan bahasa atau

yang paling konkrit adalah konteks situasi, diikuti oleh konteks budaya dan konteks

ideologi. Ketiga konteks ini mengitari teks secara bertingkat atau berstrata. Konteks

yang paling konkrit adalah konteks situasi, konteks budaya dan konteks ideologi

meskipun tidak sekonkrit konteks situasi tetapi tetap berfungsi menentukan bentuk

dan makna teks. Dengan kata lain makna sebuah teks akan dipahami dengan

pertama-tama memahami konteks situasi, kemudian memahami konteks budaya dan

pemahaman terhadap budaya ditentukan ideologi.

Sebuah teks berfungsi dalam konteks situasi. Dengan kata lain setiap teks

dibentuk oleh konteks situasi. Seorang penutur bisa berbicara ringkas atau panjang

lebar dengan cara memaksa atau membujuk, tegas atau ragu-ragu, kasar atau halus,

dengan bahasa umum atau teknis dan lain-lain, masing-masing pilihan ditentukan

oleh konteks situasi. Konteks situasi terdiri atas tiga unsur yakni: field atau apa yang

sedang dibicarakan; dalam situasi atau peristiwa apa partisipan terlibat, tenor atau

siapa sedang berbicara atau siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut termasuk apa

peran dan status mereka, mode atau bagaimana pembicaraan itu dilakukan, misalkan

secara lisan atau tulisan.

Konteks budaya adalah kegiatan sosial yang bertahap dan berorientasi tujuan

(Martin, 1986: 11-43). Teks merupakan produk interaksi verbal yang melibatkan dua

partisipan yang memiliki tugas yang berbeda: penutur versus pendengar, atau penulis

versus pembaca. Konteks budaya menetapkan langkah yang harus dilalui untuk

(36)

teks (generic/semantic structure). Berdasarkan tujuan sosialnya, teks dapat

dikelompokkan ke dalam berbagai jenis seperti narasi, laporan, diskusi, argumentasi

yang masing-masing memiliki struktur tertentu (Saragih, 2005: 199).

Ideologi menurut Simpson (1993) merupakan sebuah terminologi yang

mengacu kepada cara di mana apa yang kita katakan dan pikirkan berinteraksi dengan

masyarakat. Oleh karena itu, ideologi berasal dari asumsi, kepercayaan dan sistem

nilai yang dimiliki bersama oleh kelompok masyarakat. Saragih (2005: 204) secara

gamblang membatasi ideologi sebagai konstruksi atau konsep sosial yang

menyatakan apa yang seharusnya dilakukan atau tidak seharusnya dilakukan seorang

sebagai anggota masyarakat. Dengan pengertian ideologi mencakup sistem nilai

(yang dimiliki secara sadar atau tidak sadar), sudut pandang atau perspektif yang

dianut oleh sebuah masyarakat.

Sejumlah faktor seperti kelas sosial, jenis kelamin, etnisitas dan generasi

berperan menentukan ideologi. Berdasarkan pada pengertian ideologi yang

dikemukakan oleh Simpson, ideologi menentukan bagaimana seseorang sebagai

anggota masyarakat bertindak dan melakukan tindak verbal dengan anggota

masyarakat lainnya sebagai penganut nilai-nilai yang sama. Dengan demikian

hubungan teks dengan ideologi adalah teks merupakan realisasi ideologi dan ideologi

(37)

2.3 Analisis Kontrastif

Istilah analisis kontrastif atau contrastive analysis yang secara umum

diartikan dengan analisis yang memperlihatkan perbedaan dan persamaan. Secara

teoritis analisis kontrastif bertujuan untuk menemukan atau membuktikan persamaan

maupun perbedaan dalam berbagai bentuk, karakteristik dan aspek kebahasaan antara

bahasa-bahasa yang dibandingkan, sementara secara praktis kajian ini bertujuan

untuk menemukan prinsip-prinsip kebahasaan yang bermanfaat untuk diterapkan

untuk keperluan pengajaran, pembelajaran dan penerjemahan.

Analisis kontrastif dalam penerjemahan adalah aktivitas atau kegiatan yang

mencoba membandingkan struktur BSur dengan struktur BSar. Perbedaan dan

persamaan dua bahasa yang dihasilkan dapat digunakan sebagai dasar dalam

menemukan persamaan dan perbedaan tersebut yang pada akhirnya membantu

penerjemah dalam proses penerjemahan. Hal ini dikarenakan seorang penerjemah

harus menguasai bahasa dan tata bahasa dari BSur maupun BSar.

Krisdalaksana (1993: 13) mengatakan “Analisis kontrastif adalah metode

sinkronis dalam analisis bahasa untuk menunjukkan persamaan dan perbedaan antara

bahasa-bahasa atau dialek-dialek untuk mencari prinsip yang dapat diterapkan dalam

masalah praktis, seperti pengajaran bahasa dan terjemahan”. James (1986: 3)

menambahkan “Analisis kontrastif adalah suatu upaya yang bertujuan untuk

menghasilkan dua tipologi yang bernilai terbalik (yaitu kontrastif, bukan komparatif

dan berlandaskan asumsi bahwa bahasa-bahasa dapat dibandingkan (maksudnya

(38)

(1996: 102) menyatakan analisis kontrastif merupakan “Lingusitics subdiscipline

concerned with the synchronic, comparative study of two or more language varieties.

Generally both differences and similarities are studied, although emphasis is usually

placed on differences thought to lead to inference (i.e. negative transfer, the faulty

application of structure form one’s native language to the second language. Dan

Lubis (2009: 23) menjelaskan “Analisis kontrastif suatu upaya untuk

membandingkan dua bahasa secara sinkronis yang bertujuan untuk mendeskripsikan

perbedaan dan persamaan kedua bahasa dalam berbagai aspek”.

Secara keseluruhan uraian pengertian di atas menunjukkan bahwa analisis

kontrastif bertujuan untuk memperoleh dan menghasilkan perbedaan-perbedaan

sistem atau struktur antara dua bahasa, dan hasil yang diperoleh dapat dimanfaatkan

untuk keperluan dalam pengajaran dan penerjemahan. Namun perlu ditekankan

bahwa analisis kontrastif biasanya lebih terfokus pada pencarian perbedaan yang

dapat menyebabkan terjadinya interferensi dari BSur ke BSar. Temuan tentang

perbedaan dan persamaan di antara kedua bahasa digunakan untuk membantu

pengajaran bahasa asing dan juga penerjemahan. Analisis kontrastif (Hoey dan

Houghton, 1998) dapat memberikan penjelasan tentang kesulitan yang mungkin

dihadapi dalam penerjemahan. Berikut analisis kontrastif antara bahasa Mandailing

dengan bahasa Inggris (Lubis, 2009: 198-216).

2.3.1. Pronomina Persona

Kedua bahasa memiliki pronomina pertama tunggal yaitu I dalam BI dan au

(39)

pronomina ketiga tunggal yaitu he, she, it dalam BI dan ia dalam BM. Kedua bahasa

juga memiliki pronomina kedua jamak you dalam BI dan hamu dalam BM dan

pronomina ketiga jamak yaitu they dalam BI dan halai dalam BM.

Sistem pronominal kedua bahasa memiliki banyak perbedaan, sebagai berikut:

1. Pronomina ketiga tunggal dalam BI dibedakan berdasarkan gender, he untuk

gender maskulin dan she untuk gender femnine dan it untuk non-manusia.

2. Pronomina kedua tunggal dan jamak you dalam BI memiliki bentuk yang

sama sedangkan dalam BM dibedakan yaitu ho dan hamu.

3. Pronomina kedua jamak homu dalam BM dapat digunakan sebagai pronomina

kedua tunggal bentuk honorifik.

4. Pronomina persona dalam BI berubah bentuk sesuai fungsinya. Pronomina

pertama tunggal I dalam fungsi subjektif berubah menjadi me dalam fungsi

objektif, menjadi my sebagai ajektiva posesif, dan berubah menjadi my dalam

fungsi posesif. Pronomina tunggal dan jamak kedua you tidak berubah dalam

fungsi objektif, menjadi your sebagal ajektiva posesif dan menjadi yours

dalam fungsi posesif. Pronomina tunggal ketiga he dalam fungsi subjectif

berubah menjadi him dalam fungsi objektif, menjadi his sebagai ajektiva

posesif dan menjadi his dalam fungsi posesif. Pronomina ketiga tunggal she

dalam fungsi subjektif berubah menjadi her dalam fungsi objektif, menjadi

her sebagai ajektiva posesif dan menjadi hers dalam fungsi posesif.

Pronomina it dalam fungsi subjektif tidak berubah dalam fungsi objektif,

(40)

Pronomina pertama we dalam fungsi subjektif berubah menjadi us dalam

fungsi objektif, dan berubah menjadi urs dalam fungsi posesif. Pronomina

ketiga jamak they dalam fungsi subjektif, berubah menjadi them dalam fungsi

objektif, menjadi their sebagai ajetiva posesif dan berubah menjadi theirs

dalam fungsi posesif.

5. Pronomina dalam BM tidak mengalami perubahan bentuk dalam ketiga fungsi

tersebut.

2.3.2 Frasa

Kedua bahasa memiliki konstruksi frasa meskipun dalam jenis dan struktur

yang tidak sama.

1. Pewatas dalam frasa nomina BI berada sebelum inti (the good day) sedangkan

dalam BM pewatas berada setelah inti (ari na dengan).

2. Dalam BM partikel na muncul di antara inti dan pewatas (ari na denggan).

3. Struktur frasa verbal dalam BI lebih kompleks karena sebuah frasa verbal BI

dapat didahului satu atau lebih kata bantu (is being done), sedangkan frasa

verbal BM, karena BM tidak memiliki kata bantu, strukturnya lebih

sederhana. Sebuah frasa verbal BM pada umumnya hanya terdiri dari verba

dan partikel negatif (ulang malua, ulang pasili-sili) atau dengan kata tugas

(muda sorang, hatiha markuik, laho marpira).

4. Dalam struktur frasa ajektiva BI pewatas mendahului inti (very interesting, so

easy) sedangkan dalam BM pewatas berada setelah inti (tajom bariba, bontar

(41)

5. Frasa ajektiva BM pada umumnya terdiri dari ajektiva sebagai inti dan

didahului partikel na (na martua, na uli, na landit). Dalam BI ajektiva tidak

didahului partikel.

6. Bila sebuah ajektiva memerlukan pewatas “sangat” maka ajektiva tersebut

didahului partikel na dan diakhiri partikel an (na denggan an, na landit an).

7. Ajekltiva dapat diulang dalam BM untuk menghasilkan makna “frekuensi”

(jeges-jeges, pintar-pintar), untuk menghasilkan makna “pengurangan”

(lambat-lambat, asok-asok).

8. Dalam BI adverbia cara umumnya dibentuk dengan menambahkan sufiks -ly

kepada ajektiva seperti slow + -ly → slowly. Jadi sebuah frasa adverbial cara

dapat dibentuk dengan menambahkan adverbia kualitatif kepada adverbia cara

seperti very quickly. Dalam BM sebuah ajektiva dapat berfungsi sebagai

adverbial tanpa mengubah bentuk. Sebagai contoh, Babiat binatang na gogo

“Harimau adalah hewan yang kuat”. Gogo dalam kalimat tersebut adalah

ajektiva. Bila digunakan sebagai adverbia cara, tidak terjadi perubahan bentuk

namun posisinya dalam kalimat berubah; berada di dekat verba (gogo mangan

atau mangan gogo) atau berada sebelum pronominal/subjek seperti dalarn

(gogo hamu mancari, ikhlas roha manjagit). Jadi sebuah frasa adverbial

dalam BM dapat dibentuk dengan menambahkan sebuah adverbia kualitatif

kepada adverbia seperti dalam tar lambat (ia ro), atau dengan menambahkan

partikel na di depan adverbia dan menambahkan an pada akhir adverbia

(42)

Hampir semua struktur frasa preporsional BI sama dengan struktur frasa

preposisional BM kecuali struktur frasa yang mengacu kepada pelaku. Dalam

BI frasa preposisional yang mengacu kepada pelaku menggunakan preposisi

by sebagai inti seperti dalam by my fasther, by his uncle tetapi dalam BM

tidak ditemukau preposisi yang bermakna pelaku. Jadi misalnya, kalimat BI

This shirt was bought by my uncle, dalam BM akan menjadi Baju on itabusi

udangku. Jadi tidak ada preposisi yang bermakna “oleh” dalam BM.

2.3.3 Kalimat

Berdasarkan fungsinya, kalimat pada umumnya dibedakan menjadi kalimat

deklaratif, kalimat imperatif, kalimat interogatif dan kalimat eksklamatif. Kedua BI

dan BM memiliki keempat jenis kalimat tersebut namun karena teks yang digunakan

sebagai data merupakan genre eksplanatif, tidak ditemukan kalimat interogatif dan

ka1imat eksklamatif. Perbedaan dalam pola atau struktur kalimat BI dan BM adalah

sebagai berikut:

1. Ciri utama urutan kata dalam kalimat BI adalah subjek (S) – verba (V) – objek

(O) seperti Father drinks coffee. Dalam BM urutan kata bisa berpola SVO

seperti dalam Horbo simaradang tua (S) na mamolus (V) ombun manyorop

(O) “Kerbau yang bertuah menempuh embun tebal” dan dapat berpola VSK.

Seperti dalam Habangma on (V) langkupa (S) na songgop tu Gunung Tua

(K).

2. Kalimat yang berpola subjek-predikat dalam BI dapat dibentuk dengan subjek

(43)

nomina/ajektiva/adverbial (She is a student/beautiful/here). Dalam BM

kalimat yang sama juga memiliki pola subjek-verba (Au ro tingon luai ni

Mandailing) tetapi karena BM tidak memiliki verba bantu, maka urutan kata

dalam kalimat untuk pola yang kedua hanya subjek +

nomina/ajektiva/adverbial seperti dalam Halaklahi (N) si suan bulu (N): Ari

(N) na lupa (A), Dongdong (N) di Barangtoru (K).

3. BM tidak memiliki kalimat yang berpola S-P-OTL-OL seperti dalam BI (Size

gave me a glass of water). Jadi tidak ada kalimat seperti Ia mangalehen au

sagalas aek, tetapi Ia mangalehen sagalas aek baen di au, yang berpola

subjek-verba-objek-keterangan.

2.3.4 Komponen Makna

Tidak mudah membandingkan komponen makna yang dimiliki

masing-masing kata secara lengkap dalam dua bahasa karena jumlah kata yang sangat banyak

yang dimiliki oleh setiap bahasa. Bila ini dilakukan untuk setiap kata tentu akan

memerlukan waktu yang sangat banyak. Namun karena penerjemahan adalah upaya

pengalihan makna dari BSur ke dalam BSar pemahaman tentang komponen makna

yang dimiliki oleh sebuah kata perlu agar tidak terjadi pengalihan makna yang salah

atau kurang tepat. Ciri universal yang dimiliki oleh kata adalah terdapatnya lebih dari

satu komponen makna.

Seperti diuraikan sebelumnya, membandingkan komponen makna dua kata

(44)

meskipun jumlah kata yang dijumpai dalam sebuah teks bukan seluruh kosa kata

yang dimiliki bahasa tersebut.

Dalam kajian ini dibandingkan sejumlah istilah kekerabatan yang ditemukan

dalam teks marpokat haroan boru. Dalam teks tersebut ditemukan istilah-istilah

kekerabatan seperti dalihan na tolu, suhut, kahanggi, anakboru, mora, namora

natoras. Istilah-istilah tersebut tidak memiliki padanan dalam BI karena semuanya

merupakan istilah budaya. Kata amang dalam BM dapat dipadankan dengan kata

father dalam BI. Contoh lain dalam BM komponen makna utama kata amang dan

father tentu serupa. Namun dalam BM kata amang tidak hanya mengacu kepada

“suami ibu” tetapi meluas kepada anak laki-laki seorang ayah/ibu sebab dalam

budaya Mandailing anak laki-laki dianggap adik dan ayah kita. Oleh karena itu orang

Mandailing boleh memanggil anak laki-lakinya amang karena dalam hubungan

kekerabatan anak laki-laki setara dengan ayah kita. Demikian pula kata inang, Anak

perempuan kita boleh dipanggil inang, karena anak perempuan kita dianggap adik ibu

kita sendiri. Dalam BI kata father dapat juga mengacu kepada pastor di dalam gereja.

Dengan demikian komponen makna kata father dan amang dalam kedua bahasa

tersebut tidak sama sedangkan komponen makna kata inang dalam BM lebih luas

daripada mother yang menjadi padanannya dalam BI. Coba kita lihat lagi sejumlah

nama benda berikut dalam BM, dan sejauh mana kata-kata tersebut memiliki padanan

(45)

amak lampisan

padanannya dalam BI karena benda-benda tersebut berkaitan dengan budaya dan

geografi. Sebagai contoh, amak dapat dipadankan dengan dengan mat, tetapi amak

lampisan adalah produk budaya Mandailing yaitu tikar yang dibuat berlapis sebagai

tempat duduk dalam acara-acara tertentu. Kata-kata pada kolom sebelah kanan,

kecuali kata indahan, tentu saja memiliki komponen makna yang sama dalam BI.

Kata sira berpadanan dengan salt, manuk dengan chicken, aek na lan dengan (fresh)

water, horbo dengan buffalo, anduri dengan window dan pinggan pasu dengan big

plate. Kata indahan biasanya dipadankan dengan kata rice dalam BI namun kata rice

(46)

masa pemakaian kata tersebut, makna primer tadi berkembang menjadi makna-makna

yang lain. Jadi polisemi ditemukan dalam kosakata setiap bahasa walaupun

keragaman makna itu berbeda dari satu bahasa ke bahasa lain.

BI dan BM dalam banyak hal adalah dua bahasa yang sangat berbeda.

Misalnya dalam hal usia, BI jauh lebih tua daripada BM, jumlah penutur BI tidak

sebanding dengan jumlah penutur BM, status BI tidak setara dengan BM dan lain-

lain.

BI adalah bahasa yang telah berusia lebih dari satu milenium dan digunakan

di seluruh dunia dengan status yang berbeda. Berdasarkan usianya yang sangat

panjang tersebut, wajarlah sebuah kata dalam BI memiliki banyak makna. Sebagai

contoh kata take memiliki 41 macam makna kata, kata make dan run masing-masing

memiliki 22 macam makna yang berbeda. Contoh lain empat verba yang dalam BM

yakni mambaen “membuat”, manjalahi mencari, jongjong ‘berdiri’, dan tubu

‘tumbuh’ dan dipadankan dengan kata BI yakni masing-masing make, find, stand, dan

grow dan dibandingkan berapa makna skunder yang dimiliki masing-masing kata

tersebut. Kata make dalam BI yang menjadi padanan kata mambaen memiliki 22

macam makna sedangkan BM hanya memiliki sebuah makna skunder yaitu

‘mengerjakan sawah’. Kata manjalahi yang menjadi padanan kata find dalam BI

hanya memiliki sebuah makna sekunder yaitu ‘mencari nafkah’ sedangkan dalam BI

terdapat 18 makna sekunder yang berbeda menurut kamus The Random House

Dictioriary of the English Language edisi ke 2 tahun 1987. Kata jonjong yang

(47)

yaitu “mendirikan rumah” seperti dalam pajonjong bagas “mendirikan rumah” dan

“menegakkan/mempertahankan adat” seperti dalam pajonjong adat “menegakkan

adapt/tradisi” sedangkan dalam BI terdapat sebanyak 41 buah makna sekunder. Kata

tubu “tumbuh” yang menjadi padanan kata grow dalam BM hanya memiliki dua buah

makna sekunder yaitu “anak lahir” dan “sesuatu, seperti bisul, tumbuh pada bagian

tertentu tubuh” sedangkan dalam BI terdapat 13 buah makna sekunder.

Untuk perbandingan terakhir mari kita ambil kata ajektiva bontar yang

menjadi padanan kata white dalam BI. Dalam BM kata ini hanya memiliki sebuah

makna sekunder yaitu ‘ikhlas’ sedangkan dalam BI terdapat 18 macam makna

sekunder.

2.3.6 Sinonimi dan Antonimi

Ciri universal lain kosakata bahasa ialah bahwa pengguna bahasa memiliki

lebih dari satu cara untuk mengungkapkan konsep atau makna yang sama. Ungkapan

yang berbeda untuk konsep yang sama secara teknis disebut sinonim. Konsep “besar”

dalam BI dapat diungkapkan dengan menggunakan ungkapan-ungkapan lain seperti

large, great, huge, enormous dan lain-lain. Dalam BM “sehat” dapat diungkapkan

dengan menggunakan sekurang-kurangnya tiga ungkapan yaitu hiras, torkis, horas.

Antonim sebuah kata yang dapat ditemukan dalam kata-kata tertentu di setiap

bahasa meskipun tidak setiap kata memiliki antonim. Dalam BI kata deep “dalam”

dianggap antonim dengan kata shallow, kata far “jauh” dianggap antonim dengan

close ‘dekat’. Kata godang “besar” dalam BM dianggap antonim dengan kata menek

(48)

demikian keberadaan sinonim dan antonim tidak hanya ditemukan dalam BI tetapi

juga dalam BM.

Sejumlah kata yang bersinonim tentu saja tidak selalu berasal dari bahasa

yang sedang dibicarakan. Misalnya kata royal “berkaitan dengan raja” yang menjadi

sinonim kata kingly dalam BI berasal dari bahasa Perancis, kata Fiannce “pacar” yang

merupakan sinonim kata boy/girl friend juga berasal dari bahasa Perancis. BI sebagai

bahasa yang telah berusia ribuan tahun dan telah bergaul dengan banyak bahasa lain

bukan saja dengan bahasa-bahasa yang berasal dari rumpun yang sama tetapi juga

dengan bahasa-bahasa tidak serumpun. Jumlah sinonim yang dimiliki kata-kata BI

jauh lebih banyak dari sinonim kata BM. Kita ambil kata house “rumah” dalam BI.

Kata house memiliki sekurang-kurangnya enam sinonim seperti home, dwelling,

abode, habitation, building sedangkan dalam BM hanya terdapat bagas dan inganan

yang bermakna sama dengan house, ini menunjukkan bahwa budaya orang Inggris

dalam hal perumahan jauh lebih kaya daripada budaya orang Mandailing. Mari kita

ambil lagi sebuah kata yang berkaitan dengan “hidup” dalam BI. Terdapat

sekurang-kurangnya enam kata seperti live, abide, reside, dwell, exist, survive (Urdang, 1978:

190). Sedangkan dalam BM hanya terdapat dua kata yakni ngolu/mangolu dan

marhosa. Kata beautiful “cantik” dalam BI memiliki antonim paling tidak empat kata

yaitu ugly, homely, unattractive, dan plain (Urdang, 1978: 30). Dalam BM kata deges

“cantik” memiliki sebuah antonim saja yaitu jat ‘buruk’. Kata happy “gembira”

Gambar

Gambar 2.1. Teks dan Konteks Sosial
Gambar 2.2. Proses Penerjemahan (Suryawininata, 1987: 80)
Gambar 2.3. Proses Terjemahan (Bell, 1991 :2)
Gambar 3.1. Prosedur Penerjemahan (Lubis, 2009: 55)

Referensi

Dokumen terkait

Tindak tutur perlokusi yang digunakan dalam mangupa-ngupa pada upacara. perkawinan adat

Penulis tesis ini memerikan keterkaitan antara peran penutur dan ragam bahasa dalam upacara adat perkawinan masyarakat Batak Toba.. Prinsipnya, kebiasaan kegiatan adat

NAHORAS BONA SIMARMATA. ANALISIS TEKNIK PENERJEMAHAN DAN KUALITAS TERJEMAHAN ISTILAH-ISTILAH BUDAYA DARI BAHASA INGGRIS KE DALAM BAHASA BATAK TOBA YANG TERDAPAT

Dari penelitian terhadap informasi implisit dalam bentuk elipsis dan bahasa figuratif ditemukan beberapa jenis prosedur penerjemahan yang dapat mengalihkan pesan bahasa sumber

KESALAHAN MAKNA LEKSIKAL PADA TERJEMAHAN TEKS BAHASA INDONESIA KE DALAM BAHASA

Dari penelitian terhadap informasi implisit dalam bentuk elipsis dan bahasa figuratif ditemukan beberapa jenis prosedur penerjemahan yang dapat mengalihkan pesan bahasa sumber

Penelitian ini memaparkan unsur kesepadanan tindak tutur tidak langsung dari teks terjemahan novel A Thousand Splendid Suns dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia

Jenis-jenis Teks Dalam Bahasa Inggris Narrative, Report, Descriptive, Procedure Dalam Bahasa Inggris terdapat macam-macam jenis teks, di bawah ini adalah beberapa jenis teks yang