VARIASI EKSPERENSIAL TEKS TRANSLASIONAL
MANGUPA BAHASA MANDAILING – INGGRIS
TESIS
Oleh
SUSI MASNIARI NASUTION
127009041/LNG
117009008/LN
TESIS
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
VARIASI EKSPERENSIAL TEKS TRANSLASIONAL
MANGUPA BAHASA MANDAILING - INGGRIS
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Linguistik pada Program Pascasarjana
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara
Oleh:
SUSI MASNIARI NASUTION
127009041/LNG
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : VARIASI EKSPERENSIAL TEKS TRANSLASIONAL MANGUPA BAHASA MANDAILING – INGGRIS
Nama Mahasiswa : Susi Masniari Nasution Nomor Pokok : 127009041
Program Studi : Linguistik
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Dr. Syahron Lubis, M.A.)
Ketua Anggota
(Asruddin B. Tou, M.A., Ph.D.)
Ketua Program Studi Dekan
(Prof.T. Silvana Sinar, M.A.,Ph.D.) (Dr. Syahron Lubis, M.A.)
Telah diuji pada Tanggal: 21 Juni 2014
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Syahron Lubis, M.A.
Anggota : 1. Asruddin B. Tou, M.A., Ph.D. 2. Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D.
3. Dr. Muhizar Muchtar, M.S.
PERNYATAAN
Judul Tesis
VARIASI EKSPERENSIAL TEKS TRANSLASIONAL
MANGUPA BAHASA MANDAILING – INGGRIS
Dengan ini Penulis menyatakan bahwa tesis ini disusun sebagai syarat
untuk memperoleh gelar Magister dari Program Studi Linguistik Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Sumatera Utara adalah benar hasil karya penulis sendiri.
Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian
teertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan tesis ini, telah penulis
cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan penulisan
ilmiah.
Apabila dikemudian hari ditemukan seluruh atau sebagian tesis ini bukan
hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu,
penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang
dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Medan, Juni 2014 Penulis,
VARIASI EKPERENSIAL TEKS TRANSLASIONAL MANGUPA BAHASA MANDAILING - INGGRIS
ABSTRAK
Penelitian ini memiliki tiga tujuan utama. Pertama, untuk mendeskripsikan variasi eksperensial teks translasional yang direalisasikan oleh dan di dalam teks
Mangupa bahasa Mandailing – Inggris. Kedua, mengungkapkan makna variasi
eksperensial teks translasional tersebut dalam konteksnya sebagai perealisasi tindak translasional (tindak komunikasi semiotik translasional). Ketiga, mendeskripsikan faktor kontekstual yang mendorong terjadinya variasi eksperensial. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian ini berasal dari teks translasional bahasa Mandailing dengan Inggris oleh Syahron Lubis (2009), teks Mangupa yang terdiri 22 paragraf dan 37 pantun kemudian direalisasikan ke dalam bentuk satuan-satuan klausa menjadi 98 data klausa yang terdiri88 teks dan 10 pantun Mangupa. Analisis data didasarkan teori linguistik sistemik fungsional. Berdasarkan analisis data diperoleh hasil bahwa 1) 61,22% data menunjukkan variasi keluasan makna pengalaman antara T1 dan T2 pada teks Mangupa adalah rendah, 2) makna variasi eksperensial rendah teks translasional tersebut dalam konteksnya sebagai perealisasi tindak translasional (tindak komunikasi semiotik translasional) adalah suatu makna pengalaman yang direalisasikan dalam kategori aktivitas/ proses, variasi ini dikelompokkan berdasarkan kategori proses dari klausa – klausa dalam data, kategori proses ini mengalami variasi realisasi terutama dalam T2 yang disebabkan jarak budaya dan perbedaan sistem bahasa, 3) Faktor kontekstual yang mendorong variasi eksperensial rendah adalah perbedaan sistem bahasa dan budaya yang selanjutnya menyebabkan bergesernya makna yang diterjemahkan kadang-kadang tidak sepadan/sesuai dengan makna asli teks sumbernya (T1) seperti terdapat perubahan struktural maupun perubahan lainnya.
THE EXPERIENTIAL VARIATION OF MANGUPA TRANSLATIONAL TEXT OF MANDAILING – INGGRIS
ABSTRACT
There are three objectives of this study. First, to describe the experiential variation of translational text fo and in Mangupa in Mandailing language into English. Second, to express the meaning of the experiential variation in context as the realization of the act of translational semiotic. Third, to describe the contextual factors suporting the experiential variation. The research methode used is descriptive qualitative method. The data taken from the translated text of Mangupa from Mandailing into English by Syahron Lubis. The data analysed are clauses consisting of 22 paragraphs and 37 traditional poetry. It classified into 98 clauses consisting of 88 texts and 10 traditional poetry. The theory used are systemic functional linguistics and translational approach. The result of study are : there are 61,22% experiential variation expressed low variation; the experiential variation realized by process, the cultural gap and difference of language system; contextual factors supporting the experiential variation caused by the shift occured in the translation process such as the structural shift.
Keywords: experiential variation, systemic functional linguistics, translational, mangupa.
THE SIMPLICITY IS THE BEST WAY TO GET A
SUCCESS
Tesis ini saya persembahkan kepada yang tersayang :
Papa dan Mama
Almarhum. H. Zulkifli Nasution
Almarhumah. Hj. Arbaiah Nasution
Suami dan Anak – anak
Zulham Effendi Sipahutar, SP
Muhammad Hafiz Al- Farizi Sipahutar
Muhammad Revy Al- Furqan Sipahutar
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan suatu limpahan karunia yang tidak terhingga atas rezky, kesehatan, kebahagiaan juga kesempatan yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
Penulis merasa tanpa adanya dukungan moral maupun spritual dari beberapa pihak tentunya tesis ini tidak akan selesai dengan lebih baik dan jauh dari kesempurnaan. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis ingin sekali menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar – besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&h, m.Sc, (CTM), Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Dr. Syahron Lubis ,M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
4. Ibu Prof. T. Silvana Sinar, M.A,PhD selaku Ketua Program Studi Magister Linguistik di Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan segudang ilmu dan motivasi kepada para mahasiswa serta kontribusi yang besar terhadap kemajuan di bidang pendidikan, pembangunan sarana dan prasarana yang memadai.
5. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A, selaku Ketua Komisi (Pembimbing I) yang sangat berantusias telah memberikan dukungan, semangat, masukan baik kritikan maupun saran hingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.
6. Bapak Asruddin Barori Tou,M.A.,Ph.D, selaku Ketua Komisi (Pembimbing II) yang telah memberikan bimbingan, arahan, pandangan maupun saran terhadap kelengkapan isi tulisan tesis ini.
7. Bapak Prof. Amrin Saragjh, M.A.,Ph.D., Dr. Muhizar Muchtar,M.S., dan Ibu Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D., selaku penguji tesis ini yang telah banyak memberikan dukungan penuh baik ide – ide yang cemerlang, masukan, saran dan kritikan hingga tercapainya penulisan tesis ini.
8. Ibu Dr. Nurlela M. Hum., selaku Sekretaris Program Studi S2 Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bantuan dalam urusan administrasi sehingga dapat berjalan dengan baik dan lancar.
Utara yang telah memberikan ketulusan hati ilmu yang sangat bermanfaat baik berupa ide, pandangan, saran, dan kritikan yang baik demi menunjang proses kesempurnaan tesis ini.
10.Seluruh dosen pengajar di Program Studi S2 Linguistik Konsentrasi Terjemahan di Universitas Sumatera Utara tanpa kecuali sebagai motor penggerak dunia yang berdasarkan pada Tri Dharma Perguruan Tinggi, baik dalam memberikan ilmu pengetahuan yang sangat berguna dalam pengembangan ilmu pengetahuan secara keseluruhan maupun yang menyangkut terjemahan, dan tidak lupa juga kepada seluruh staf pegawai pada Program Studi Magister Linguistik maupun karyawan perpustakaan di Universitas Sumatera Utara yang telah mengabdikan diri dengan tulus dalam pelayanan administrasi kepada penulis hingga tercapainya tesis ini. 11.Seluruh teman seangkatan S2 Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara yang saling memberikan semangat dan motivasi hingga terwujudnya tesis ini.
12.Kepada kedua orang tua Almarhum H. Zulkifli Nasution dan Almarhumah Hj. Arbaiah Nasution yang pertama sekali memberikan pendidikan dasar dan membentuk pribadi akhlak yang mulia kepada penulis serta segala bantuan moral dan material semoga jasa – jasa mereka mendapat ganjaran yang setinggi – tingginya dari Allah SWT.
13.Yang terakhir adalah yang teramat sayang dan sangat memberi arti bagi semangat hidup adalah suami yang tercinta, Zulham Effendi Sipahutar,SP atas segala bantuan moral dan material juga penghargaan yang luar biasa atas keizinan dan dukungan serta memberikan motivasi yang tinggi, begitu juga dengan ketiga anak tersayang Muhammad Hafiz Al – Farizi Sipahutar, Muhammad Revy Al – Furqan Sipahutar, dan Finanda Reysha Al – Farah Sipahutar atas motivasi , doa dan pengertian yang cukup besar yang diberikan demi prestasi akademik semoga Allah senantiasa memberkahi dan meridhoi kita semua. Amin ya rabbal alamin.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak memiliki kekurangan dan jauh dari sempurna. Namun penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat kepada seluruh pembaca. Semoga kiranya Allah SWT meridhoi.
Medan, April 2014
Penulis,
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I
DATA PRIBADI
Nama : Susi Masniari Nasution,SS
Tempat/tgl. Lahir : Medan, 07 Juni 1972
Alamat : Komp. Villa Permata Indah Blok G No. 16
Jl. Pertahanan , Medan – Patumbak
Pekerjaan : 1. Sebagai Dosen Tetap di Akademi
Pariwisata Medan Hotel School-Medan.
2.Sebagai Staf Pengajar di L.Kursus
Profesional IHT - Medan.
Alamat Kantor : Jln. A.H. Nasution Komp.Griya Milala
Mas Blok No.1-3 Medan/ Jln. Sunggal
No. 70 C - Medan.
Alamat Pos-El
Telp. Rumah/ Hp : 085358707505/ 082273098531
Status : Menikah
Nama Suami : Zulham Effendi Sipahutar,SP
Nama Anak : 1. Muhammad Hafiz Al-Farizi
2. Muhammad Revy Al-Furqan
II
RIWAYAT PENDIDIKAN
1. Pascasarjana (S2) : Linguistik-USU/ Konsentrasi
Kajian Terjemahan (2012)
2. Sarjana (S1) : Fakultas Sastra Inggris UISU Medan (1991)
3. SLTA : SMA NEGERI I - Stabat /
Kab.Langkat
4. SLTP : SMP NEGERI I – Tj. Selamat/ Kec.Pad.Tualang
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL... i
ABSTRAK... ii
ABSTRACT... iii
KATA PENGANTAR... iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP... vi
DAFTAR ISI... viii
DAFTAR SINGKATAN... xiii
DAFTAR TABEL... xiv
DAFTAR FIGURA... xv
DAFTAR LAMPIRAN... xvi
BAB I PENDAHULUAN... 1
1.1Latar belakang... 1
1.2 Identifikasi Masalah... 10
1.3Pembatasan Masalah... 11
1.4Rumusan Masalah... 12
1.5Tujuan Penelitian... 12
1.6Manfaat Penelitian... 13
1.7Manfaat Teoretis... 13
1.8Manfaat Praktis... 14
1.9 Klarifikasi Makna Istilah... 15
BAB II KERANGKA TEORI... 19
2.1Pendahuluan... 19
2.2Teori Linguistik Systemic Functional (LSF)... 21
2.3Translasi... 24
2.5Variasi Makna Teks : Sekilas Konsepsi Translasi Berbasis
Translatic... 34
2.6Penerjemahan Teks Mangupa... 36
2.7Tiga Metafungsi Bahasa (Halliday 1985, 1994, dan 2004) 40 2.8Makna Pengalaman : sebuah Cabang dari Makna Ideasional 46 2.9Klausa... 54
2.10 Kajian Penelitian Terdahulu... 81
2.11 Kerangka Pikir... 85
2.12 Konstruk Analisis... 88
BAB III METODE PENELITIAN... 93
3.1Pendekatan... 93
3.2Data dan Sumber Data... 94
3.3Teknik Pengumpulan dan Analisis Data... 95
3.4Teknik Analisis Data... 96
BAB IV ANALISIS, PEMBAHASAN, DAN TEMUAN... 101
4. 1 Analisis... 101
4.1.1 Variasi Eksperensial Teks Translasional direalisasikan oleh dan di dalam teks Mangupa bahasa Mandailing – Inggris... 103
4.1.2 Makna Variasi Eksperensial Teks Translasional Dalam Konteksnya Sebagai Perealisasi Tindak Translasional (Tindak Komunikasi Semiotik Translasional )... 105
4.1.3 Faktor Kontekstual Pendorong Terjadinya Variasi Eksperensial ... 107
4.2 Pembahasan ... 109
4.2.1 Variasi Eksperensial Teks Translasional Direalisasikan Oleh Dan Didalam Teks Mangupa Mandailing – Inggris.. 109
4.2.3 Faktor Kontekstual Yang Mendorong Terjadinya
Variasi Eksperensial... 181
4.3 Temuan ... 182
4.3.1 Variasi Eksperensial Teks Translasional Direalisasikan Oleh dan Didalam Teks Mangupa Bahasa Mandailing- Inggris... 182
4.3.2 Makna Variasi Eksperensial Teks Translasional Tersebut Dalam Konteksnya Sebagai Perealisasi Tindak Translasional (Tindak Komunikasi Semiotik Translasional)... 183
4.3.3 Faktor Kontekstual Yang Mendorong Terjadinya Variasi Eksperensial ... 184
BAB V SIMPULAN DAN SARAN... 185
5.1Simpulan... 188
5.2 Keterbatasan Penelitian... 184
5.3 Saran... 188
DAFTAR PUSTAKA... 191
LAMPIRAN – LAMPIRAN... 192
DATA PENELITIAN... 193
Analisis Data : VARIASI EKSPERENSIAL TEKS TRANSLASIONAL
DAFTAR SINGKATAN
T1 : Teks 1 Bahasa Mandailing
T2 : Teks 2 Bahasa Inggris
At. : attribute
Att. : Attributive
Act. : actor
Rel. : Relasional
Phen. : phenomenon
Cir. : circumstance
Exis : existential
Exist : existent
Say. : sayer
Sen :senser
KST : Komunikasi Semiotik Translasi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.12 Parameter Penilaian Variasi KMP... 88
Tabel 4.2.2 (1) Keluasan Makna PengalamanVariasi Proses
T1 : T2... 178
Tabel 4.2.2 (2) Variasi Keluasan Makna Pengalaman Teks
dan Pantun Mangupa Bahasa Mandailing- Inggris... ... 179
Tabel 4.2.2 (3) Kategori Variasi Keluasan Makna Pengalaman
DAFTAR FIGURA
Gambar 2.3 9 Kebenaran (fakta atau substansi masalah)... 30
Gambar 2.7 Perangkat Pilihan Dalam Klausa... 45
Gambar 2.8 Lingkaran Kategori Proses (Halliday, 1994:108)... 50
Gambar 2.9 Sirkumstan Dalam Bahasa Inggris (Adaptasi dari
Halliday)... 81
Gambar 2.12 Konstruk Analisis Terapan Penelitian... 92
DAFTAR LAMPIRAN
VARIASI EKPERENSIAL TEKS TRANSLASIONAL MANGUPA BAHASA MANDAILING - INGGRIS
ABSTRAK
Penelitian ini memiliki tiga tujuan utama. Pertama, untuk mendeskripsikan variasi eksperensial teks translasional yang direalisasikan oleh dan di dalam teks
Mangupa bahasa Mandailing – Inggris. Kedua, mengungkapkan makna variasi
eksperensial teks translasional tersebut dalam konteksnya sebagai perealisasi tindak translasional (tindak komunikasi semiotik translasional). Ketiga, mendeskripsikan faktor kontekstual yang mendorong terjadinya variasi eksperensial. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian ini berasal dari teks translasional bahasa Mandailing dengan Inggris oleh Syahron Lubis (2009), teks Mangupa yang terdiri 22 paragraf dan 37 pantun kemudian direalisasikan ke dalam bentuk satuan-satuan klausa menjadi 98 data klausa yang terdiri88 teks dan 10 pantun Mangupa. Analisis data didasarkan teori linguistik sistemik fungsional. Berdasarkan analisis data diperoleh hasil bahwa 1) 61,22% data menunjukkan variasi keluasan makna pengalaman antara T1 dan T2 pada teks Mangupa adalah rendah, 2) makna variasi eksperensial rendah teks translasional tersebut dalam konteksnya sebagai perealisasi tindak translasional (tindak komunikasi semiotik translasional) adalah suatu makna pengalaman yang direalisasikan dalam kategori aktivitas/ proses, variasi ini dikelompokkan berdasarkan kategori proses dari klausa – klausa dalam data, kategori proses ini mengalami variasi realisasi terutama dalam T2 yang disebabkan jarak budaya dan perbedaan sistem bahasa, 3) Faktor kontekstual yang mendorong variasi eksperensial rendah adalah perbedaan sistem bahasa dan budaya yang selanjutnya menyebabkan bergesernya makna yang diterjemahkan kadang-kadang tidak sepadan/sesuai dengan makna asli teks sumbernya (T1) seperti terdapat perubahan struktural maupun perubahan lainnya.
THE EXPERIENTIAL VARIATION OF MANGUPA TRANSLATIONAL TEXT OF MANDAILING – INGGRIS
ABSTRACT
There are three objectives of this study. First, to describe the experiential variation of translational text fo and in Mangupa in Mandailing language into English. Second, to express the meaning of the experiential variation in context as the realization of the act of translational semiotic. Third, to describe the contextual factors suporting the experiential variation. The research methode used is descriptive qualitative method. The data taken from the translated text of Mangupa from Mandailing into English by Syahron Lubis. The data analysed are clauses consisting of 22 paragraphs and 37 traditional poetry. It classified into 98 clauses consisting of 88 texts and 10 traditional poetry. The theory used are systemic functional linguistics and translational approach. The result of study are : there are 61,22% experiential variation expressed low variation; the experiential variation realized by process, the cultural gap and difference of language system; contextual factors supporting the experiential variation caused by the shift occured in the translation process such as the structural shift.
Keywords: experiential variation, systemic functional linguistics, translational, mangupa.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Terjemahan sebagai sarana komunikasi lintas budaya (inter-cultural
communication) telah ada sejak dahulu dikenal dan dipraktekan manusia. Konon
Christoper Colombus ketika ia berlayar dari Spanyol untuk menemukan benua
Amerika pada abad XV membawa seorang penerjemah untuk menerjemahkan
bahasa etnis daerah setempat (Moentaha, 2006:viii). Bronislaw Malinowski,
seorang antropolog berkebangsaan Inggris yang sedang mengadakan penelitian di
Trobriand Islands. Pasific Selatan pada tahun 1923 ingin agar masyarakat Inggris
memahami hasil penelitiannya. Upaya yang dilakukannya ialah menerjemahkan
hasil penelitian itu ke dalam bahasa Inggris (BI) (Katan, 1999).
Terjemahan juga sebagai “jembatan” yang menghubungkan dua
masyarakat yang saling tidak memahami sejak dari masa silam hingga kini telah
banyak berperan dalam berbagai bidang seperti agama, budaya, sastra, seni,
politik, teknologi, dan ilmu pengetahuan. Berbagai negara seperti Jepang,
Malaysia dan Cina telah banyak melakukan penerjemahan untuk mentransfer ilmu
pengetahuan dan teknologi dari negara-negara maju yang pada gilirannya dapat
meningkatkan perekonomian dan kemakmuran negara – negara tersebut
Indonesia yang didiami oleh ratusan sukubangsa menjadikan negara
tersebut negara yang multikultural dan multilingual. Indonesia terkenal dengan
kekayaan dan keragaman budaya khas yang dimilki bangsa-bangsa lain. Namun
sayang sekali budaya yang khas, beragam dan indah tersebut belum banyak
dikenal dunia luar karena hambatan kebahasaan. Dalam era globalisasi,
ketergantungan suatu negara kepada negara lain semakin tinggi, tidak cukup bila
ilmu dan teknologi saja yang kita serap dari negara-negara maju melalui sarana
penerjemahan. Kini saatnya (mungkin juga sudah tertinggal bila dibandingkan
dengan negara-negara lain) kekayaan budaya Indonesia diperkenalkan kepada
bangsa-bangsa lain melalui terjemahan agar negara ini lebih dikenal dan menarik
perhatian bangsa-bangsa lain yang pada gilirannya akan menarik minat wisatawan
manca negara untuk mengunjungi Indonesia.
Mandailing adalah sebuah daerah di Sumatera Utara yang memiliki dan
mempertahankan budaya tradisional. Salah satu aspek budaya tradional
Mandailing yang spesifik adalah pelaksanaan perkawinan. Perhelatan perkawinan
tradisional Mandailing menempuh sederet upacara adat yaitu mangaririt boru
(menyelidiki keadaan perempuan sebagai calon isteri oleh pihak calon suami),
manulak sere (penyerahan kewajiban/ syarat – syarat perkawinan dari pihak calon
suami), mangelehen mangan pamunan (memberi makan terakhir kepada calon
isteri oleh orang tuanya sebelum meninggalkan rumah orang tuanya), upacara
pernikahan, horja pabuat boru (upacara pelepasan mempelai wanita), horja
(parhelatan perkawnan di rumah mempelai laki-laki) dan mangupa (upacara
Mangupa sebagai puncak atau upacara terakhir dalam perkawinan
Mandailing merupakan upacara yang sangat menarik. Mangupa dihadiri oleh
perangkat dalihan na tolu (kahanggi, mora, dan anak boru) dan nasihat – nasihat
perkawinan pada saat itu disampaikan oleh seorang datu pangupa.
Teks Mangupa merupakan teks adat pada suku Mandailing sebagai
ungkapan rasa syukur ataupun berupa kata – kata nasihat dari petuah – petuah
adat yang ditujukan kepada seseorang yang baru saja sembuh dari sakit yang
begitu berkepanjangan yang bertujuan untuk mengembalikan semangat (tondi)
pada orang sakit tersebut. Teks ini adalah sebagai makna syukur mengungkapkan
kebahagiaan untuk keberkatan dalam acara perkawinan adat, wisuda, dan juga
acara penting lainnya. Acara tradisi Mangupa ini sampai sekarang masih saja
tetap dilakukan oleh masyarakat Mandailing di Sumatera Utara.
Penerjemahan Mangupa dilakukan oleh Lubis pada tahun 2009. Hasil
penerjemahan ini sukar dicari padanannya di dalam bahasa Inggris disebabkan
adanya kesenjangan unsur - unsur kebahasaan dan budaya di antara kedua bahasa
ini. Sekilas baca, perbedaan konteks selalu mewarnai dalam pengalihan bahasa
teks Mangupa, hal ini merupakan variasi – variasi yang tidak terhindarkan.
Kemungkinan prosedur adaptasi harus dilakukan oleh penerjemah dengan
mengubah sama sekali wujud kebahasaan yang tersurat dalam bahasa sumber.
Kesulitan mengalihkan pesan dari suatu bahasa (bahasa sumber/BSu) ke
dalam bahasa yang lain (bahasa sasaran/BSa) merupakan upaya mengganti teks
bahasa sumber dengan teks yang sepadan dalam bahasa sasaran. Aktivitas ini
berwujud pesan/makna penerjemahan yang setara dalam bahasa sasaran. Aktivitas
ini merupakan satu bentuk komunikasi yang melibatkan sistim semiotik, yang
beroperasi dalam kontek sosial.
Penerjemahan melibatkan bahasa, yang mencakup segala tanda atau wujud
representasi makna, kaidah – kaidah yang terdapat dalam bahasa sumber
kemudian dimodifikasi menjadi rambu, simbol, dan sinyal demi tercapainya suatu
kesepadanan makna dalam bahasa sasaran.
Berdasarkan pandangan para pakar dan praktisi terjemahan seperti Halliday
(1956:82), Malinowski (1965:11-12), Catford (1965:20), Nida dan Taber
(1969:12). Newmark (1981:7) dan Larson (1984:3) mempunyai kesamaan
pandangan bahwa mendefinisikan penerjemahan (antarbahasa) adalah proses
pengalihan makna teks sumber ke dalam teks sasaran secara akurat, dapat
dipahami dan berterima bagi pemabaca terjemahan tersebut. Penerjemahan yang
dimaksud dalam definisi ini adalah penerjemahan dari satu bahasa ke bahasa lain,
bukan dalam bahasa yang sama (intralingual) dan bukan pula penerjemahan antar
semiotika (intersemiotic translation). Penerjemahan secara akurat adalah hasil
upaya penerjemah untuk menerjemahkan teks sumber secara jujur ; tidak
menyimpang dari makna teks sumber ke makna lain; tidak menambah dan
mengurangi makna teks sumber kecuali diharuskan oleh perbedaan sistem
linguistik kedua bahasa atau untuk memenuhi tuntunan estetika bahasa.
Terjemahan dapat dipahami apabila pembaca dengan mudah dapat memahami
hasil terjemahan dan tidak merasa sedang membaca teks asing. Dengan kata lain
bahasa (stilistika) dan konteks terjemahan sudah tepat dan secara kultural dapat
dipahami dan diterima oleh pembaca seperti yang disampaikan Larson (1984:3)
bahwa “ Translation consists of transferring the meaning of the source language
into the receptor language. This is done by going from the first language to the
second language by way of semantic structure. It is meaning which is being
transferred and must be held constant. Only the form changes.” Penerjemahan
merupakan upaya pengalihan atau transfer makna (meaning/content) sebuah teks
/berita (bukan kata demi kata) dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran yang
sesuai dengan stilistika dan konteks bahasa itu digunakan.
Larson (1984) menegaskan berkali – kali bahwa maknalah yang ditransfer
bukan bentuk. Ini didasarkan pada fakta bahwa tidak ada dua bahasa memiliki
bentuk yang sama. Bahasa berbeda dalam keberadaan jenis kata, dalam struktur
sintaktis dan lain-lain. Struktur makna bahasa lebih universal daripada struktur
gramatika (Larson, 1984:26) Jadi di dalam “kepala” dua penutur bahasa yang
berbeda (bahasa Inggris dan bahasa Indonesia) misalnya ada sebuah ide atau
pikiran yang sama untuk mengetahui “ keadaan diri lawan bicaranya”. Penutur
bahasa Inggris mengatakan How are you? Yang secara harafiah berarti
‘bagaimana keberadaan anda” sedangkan penutur bahasa Indonesia menyebutkan
Apa khabar ? yang secara harafiah berarti ‘berita apa yang anda miliki?’ Jadi
dengan jelas terlihat bahwa makna yang sama disampaikan dengan bentuk yang
berbeda.
Penerjemahan merupakan kegiatan mengalihkan pesan dari BSu ke dalam
tentunya akan memperioritaskan kesepadanan makna (equivalence) dan tidak
hanya terpaku pada kesejajaran formal semata (formal correspondence). Hal ini
disebabkan adakalanya kesepadanan formal tidak mampu mentransfer pesan TSu
ke dalam TSa dengan baik dan berterima (Hoed, 2006a:3).
Pengalihan/transfer makna (meaning/content) sebuah teks/berita (bukan
kata demi kata) dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran yang sesuai dengan
stilistika dan konteks bahasa itu digunakan.
Suatu hal yang perlu diperhatikan dalam penerjemahan, perbedaan budaya
di antara kedua teks Mandailing dan Inggris dengan sejumlah istilah dan
ungkapan budaya Mandailing yang tidak memiliki padanan dalam bahasa Inggris,
oleh karena itu diperlukan kata – kata pinjaman (tidak diterjemahkan) untuk
memberikan penjelasan makna pada glosarium, dan beberapa kata memiliki
padanan tetapi nuansa budaya yang melekat pada kata – kata tersebut tidak di
transfer ke dalam bahasa Inggris dan maknanya juga harus dijelaskan pada
glosarium.
Sejalan dengan uraian diatas, penelitian ini mengkaji hasil terjemahan teks
Mangupa yang unik dan kaya akan khas budaya dari suku Mandailing.
Keunikannya dinilai dari makna istilah nasihat yang disampaikan oleh pemberi
petuah – petuah agama, keluarga, teman, ataupun lainnya pada prosesi adat
perkawinan. Ciri khas yang tampak pada acara Mangupa adalah adanya leksikon
bahasa Mandailing pada makanan, yang terdiri atas beberapa macam/ jenis yang
setiap jenisnya mengandung makna tersendiri. Kemudian adanya sekapur sirih
tangan, dan gelas berisi aek sitio – tio, serta ayam dan ikan yang ditutupi
beberapa lembar daun pisang. Makna yang tersirat dibalik Mangupa inilah yang
menjadi objek yang menarik untuk diteliti.
Pendekatan teori Linguistik Sistemik Fungsional (LSF) Halliday (1994)
digunakan dalam penelitian ini untuk landasan teori dalam mengindentifikasi
variasi penerjemahan yang melibatkan dua bahasa yang berbeda ini (Mandailing –
Inggris). Secara langsung, variasi menggambarkan ciri – ciri khas dari kedua
bahasa itu dari persfektif variasi ekperensial. Teori LSF selama ini hanya
difungsikan untuk mendeskripsikan satu teks bahasa Inggris, dan sepanjang
pengetahuan penulis, belum pernah dingkat sebagai persfektif untuk memotret
wujud dua bahasa yaitu lokal bahasa Mandailing dan hasil terjemahannya dalam
bahasa Inggris. Jadi hasil kajian ini menjadi penelitian bahasa Mandailing –
Inggris dari sudut pandang LSF.
Dalam persfektif LSF, teks Mangupa adalah bahasa dengan sistem
semiotik yang memaparkan pengalaman, untuk memaparkan pengalaman manusia
terdapat unsur – unsur yang penting yaitu proses, partisipan, dan sirkumstan.
Proses merupakan kegiatan yang menjadi inti suatu pengalaman, partisipan
adalah orang atau benda yang melakukan kegiatan dalam klausa atau ujaran,
sedangkan sirkumstan adalah rentang, lokasi, atau cara, sebab, lingkungan,
penyerta, peran, masalah, dan sudut pandang yang memberi keterangan pada
kegiatan inti dalam klausa atau ujaran.
T1 Songon on ma ikhlas
ni roha muyu
Manjagit Pangupa on
Pa 1 Po Pa 2
T2 You May accept this pangupa
Pa 1 Po Pa 2
Seikhlas inilah hati kalian menerima pangupa ini
- Keterangan
-Po : Proses
: -Pa : Partisipan 1
-Si : Sirkumstan
Data di atas memperlihatkan variasi perwujudan dari makna yang
sebenarnya sama, T1 hadir dengan tiga elemen (Pa1, Po,Pa2), sementara T2
muncul dengan empat elemen (Pa1,Po,Pa2,Si) , hal ini terdapat adanya
penambahan pada posisi T2 pada teks tersebut. Fenomena perwujudan variatif
yang seperti ini akan dikaji secara mendalam. Selain itu, keluasan makna juga
dilihat berdasarkan perubahan kategori proses yang digunakan dalam kedua teks,
sebagaimana contoh berikut, yang memperlihatkan predikat dengan verba yang
berbeda makna satu sama lain, T2 “manjagit” sementara T2”accept”. Perbedaan
predikat tersebut menunjukkan adanya perubahan wujud makna yang
diungkapkan oleh T1 dan T2. Sebagai sumber data primer contoh 2 :
T1 Di son pira manuk na nihobolan
T2 This Is a boiled egg for safe and sound
Pa Po Pa Si
- Inilah telur ayam rebus pelindung jiwa dan raga
Perubahan di atas memperlihatkan satu ruang terbuka bagi penerjemah
untuk mengungkapkan makna yang ia tangkap dari teks sumber, tanpa harus
selalu terpaku pada teks sumber sebagi rujukan yang ‘mutlak’harus ditaati.
Penerjemah dengan penguasaan bahasa sasaran yang memadai dituntun untuk
mengungkapkan makna itu sejalan dengan kaidah dan sifat yang berlaku dalam
bahasa sasaran.
Fenomena ini menjadi fakta yang menarik untuk dikaji melalui penelitian
penerjemahan, dengan perspektif yang berbeda –perspektif yang tidak melihat
teks sumber sebagai determinan yang paling dominan dalam penciptaan makna
teks terjemahan. Selain itu, kajian ini juga melibatkan bahasa lokal, bahasa
Mandailing –satu bahasa yang masih kurang pengkajian, apalagi bila dihubungkan
dengan kajian penerjemahan secara khusus. Kajian penerjemahan umumnya
mengkaji bahasa – bahasa utama (bahasa nasional dan bahasa asing), dengan
berbagai aspeknya. Dengan demikian, kajian bahasa lokal dari aspek
penerjemahan ini dapat menjadi jalan masuk untuk mengangkat variasi kelokalan
dalam pengkajian ilmiah, terutama pengkajian terjemahan dan linguistik.
Dengan pendekatan teori Linguistik Sistemik Fungsional (LSF) Halliday
(1994), kajian penerjemahan yang melibatkan dua bahasa yang berbeda ini
(Mandailing – Inggris) secara tidak langsung akan menggambarkan ciri – ciri khas
difungsikan untuk mendeskripsikan bahasa Inggris karena belum pernah diangkat
sebagai persfektif untuk memotret wujud bahasa Indonesia, terlebih lagi untuk
mengakaji bahasa lokal, khususnya bahasa Mandailing. Jadi, hasil kajian ini
secara tidak langsung menjadi deskripsi awal bahasa Indonesia dan bahasa
Mandailing dari sudut pandang LSF. Dengan alasan – alasan tersebut kajian ini
dikatakan layak untuk dilakukan.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan pada deskripsi di atas, teridentifikasi permasalahan
permasalahan sebagai berikut:
1. Terdapat variasi realisasi makna antara T1 dengan T2 terutama pada
makna ideasional.
2. Variasi makna ideasional tersebut salah satu terlihat dari perubahan
makna pengalaman.
3. Variasi realisasi makna pengalaman tersebut terjadi baik pada
keluasan, kedalaman, maupun ketinggian.
4. Variasi keluasan makna pengalaman tampak dari penambahan dan
pengurangan unsur makna pada tingkat kalimat.
5. Variasi keluasan makna pengalaman juga teridentifikasi dari
perubahan jenis proses pada tingkat kalimat.
6. Variasi keluasan makna pengalaman, berdasarkan asumsi dan
terjemahan. Yang artinya kemunculan variasi itu akan menimbulkan
berkurangnya derajat kesepadanan.
1.3 Pembatasan Masalah
Penelitian ini dibatasi pada variasi eksperensial teks translasional
Mangupa bahasa Mandailing – Inggris dan secara spesifik teks Mangupa, sebagai
salah satu teks budaya Mandailing, dipiih sebagai objek penelitian.
Fokus utama dalam penelitian ini adalah variasi keluasan makna
pengalaman dengan rincian topik sebagai berikut :
1. Variasi keluasan makna pengalaman antara T1 dengan T2.
2. Wujud variasi keluasan makna pengalaman.
3. Pengaruh variasi keluasan makna pengalaman terhadap kesepadanan
makna.
1.4 Rumusan Masalah
Berdasarkan landasan pemikiran yang disajikan pada bagian
sebelumnya, kajian ini memfokuskan pada rumusan masalah berikut :
1. Bagaimanakah variasi eksperensial teks translasional direalisasikan
2. Apakah makna variasi eksperensial teks translasional tersebut dalam
konteksnya sebagai perealisasi tindak translasional (tindak komunikasi
semiotik translasional)?
3. Faktor kontekstual apakah yang mendorong terjadinya variasi
eksperensial tersebut ?
1.5 Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah mengetahui variasi eksperensial setiap
klausa dari teks Mangupa oleh H. Pandapotan Nasution dan terjemahannya dalam
bahasa Inggris oleh Syahron Lubis. Sebagai tujuan khusus dilakukannya
penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi, menjelaskan, dan membahas
terhadap beberapa hal di bawah ini:
1. Mendeskripsikan variasi eksperensial teks translasional yang direalisasikan
oleh dan didalam teks Mangupa bahasa Mandailing – Inggris.
2. Mengungkapkan makna variasi eksperensial teks translasional tersebut
dalam konteksnya sebagai perealisasi tindak translational (tindak
komunikasi semiotik translasional).
3. Mendeskripsikan faktor kontekstual yang mendorong terjadinya variasi
1.6 Manfaat Penelitian
Sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai, penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat baik pada tataran teoretis maupun praktis. Secara teori,
diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap dua perkembangan disiplin ilmu,
yaitu penerjemahan dan linguistik. Secara praktis, penelitian ini diharapkan
memberikan manfaat kepada berbagai kalangan yaitu mahasiswa jurusan bahasa
Inggris, guru, dan dosen bahasa Inggris, penerjemah, dan para peneliti.
1.7 Manfaat Teoretis
Hasil kajian ini diharapkan memberikan manfaat bagi pemahaman teori –
teori mengenai teori LSF Halliday dan aplikasinya dalam pengkajian
penerjemahan. Dalam hal ini, hanya satu metafungsi bahasa saja, yakni makna
ideasional, khususnya keluasan makna pengalaman, yang diberikan cukup
mendalam untuk diterapkan sebagai alat untuk mempertajam dalam mengkaji
penerjemahan. Hasil kajian ini berwujud teori variasi keluasan makna pengalaman
dan implikasinya bagi kesepadanan makna dalam penerjemahan. Selain itu, hasil
kajian juga memperlihatkan kajian bahasa lokal dengan teori LSF, sekaligus
mengenalkan pengkajian penerjemahan yang melibatkan bahasa – bahasa lokal—
satu fakta ilmiah yang sangat jarang ditemukan. Secara tidak langsung , hasil
kajian ini memperlihatkan keunikan – keunikan sistem bahasa dari bahasa
1.8 Manfaat Praktis
Pada tataran praktis, hasil kajian ini dapat digunakan sebagai bahan
pengajaran kuliah penerjemahan. Selain itu, hasil kajian juga merupakan sumber
acuan yang dapat dijadikan rambu – rambu tambahan bagi praktisi penerjemahan
dalam melakukan pekerjaannya, terutama ketika mereka berhadapan dengan teks
– teks, misalnya pada teks Mangupa. Pengkajian bahasa lokal diharapkan makin
mengenalkan local genius kepada pengkaji bahasa, pemilik bahasa lokal, dan
pemerhati budaya, sehingga mereka makin giat mengkaji, terus mencintai dan
melestarikan nilai – nilai kelokalan, disamping itu kita juga dapat
mempromosikan nilai – nilai budaya kita yang tinggi kepada dunia luar. Untuk
Guru dan Dosen, hasil kajian ini dapat digunakan sebagai bahan pengajaran kuliah
penerjemahan. Hasil penelitian ini dapat memberikan wawasan kepada guru dan
dosen tentang analisis variasi ekpsperensial yang bermanfaat untuk pengajaran
tata bahasa, analisis wacana, linguistik, dan translasi. Dengan mengkaji berbagai
macam variasi, dosen atau guru akan mempermudah pemahaman siswa/
mahasiswa untuk mengimplementasikan pelajaran dan mata kuliah terkait.
1.9 Klarifikasi Istilah
Ada beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini. Untuk dapat
memperjelas istilah yang digunakan dan untuk lebih memudahkan pembaca
memahami maksud istilah tersebut, berikut ini diberikan penjelasan tentang istilah
1. Bahasa Inggris adalah bahasa Inggris baku yang digunakan oleh penutur bahasa Inggris di Kerajaan Inggris atau yang dikenal dengan British
English.
2. Bahasa Mandailing adalah bahasa etnis yang digunakan oleh kelompok etnis Mandailing yang menetap di Mandailing, Kabupaten Mandailing
Natal.
3. Budaya Inggris adalah budaya masyarakat Inggris yang menetap di Kerajaan Inggris.
4. Budaya Mandailing adalah budaya masyarakat Mandailing yang menetap di daerah Mandailing.
5. Translasi adalah istilah lain dari penerjemahan.
6. Penerjemahan adalah proses/pekerjaan pengalihan makna teks sumber ke dalam teks sasaran dalam dua bahasa yang berbeda.
7. Terjemahan adalah produk penerjemahan (teks yang merupakan hasil penerjemahan).
8. Padanan adalah kata atau unsur lain dalam teks sasaran yang maknanya dianggap setara dengan makna kata atau unsur lain dalam teks sumber.
9. Klausa adalah Satuan sintaksis berupa runtunan kata – kata berkonstruksi predikatif, artinya di dalam konstruksi terdapat komponen, berupa kata
atau frase yang berfungsi sebagai predikat dan yang lain berfungsi sebagai
10.Struktur adalah istilah yang tidak terbatas pada bentuk formal bahasa seperti kalimat, frasa kata dan morfem tetapi juga aspek makna/ semantik
bahasa.
11.Teks Sumber (Tsur) adalah teks yang akan atau sedang diterjemahkan. Dalam penerjemahan ini Tsar adalah teks hasil penerjemahan berbahasa
Inggris.
12.Teks Sasaran (Tsar) adalah Teks yang menjadi target/ tujuan penerjemahan. Dalam penerjemahan ini Tsar adalah teks hasil
penerjemahan berbahasa Inggris.
13.Bahasa Sumber (Bsur) adalah bahasa yang digunakan dalam Tsur. Dalam penerjemahan ini bahasa sumber adalah bahasa Mandailing yang
digunakan di daerah Mandailing.
14.Bahasa Sasaran (Bsar) adalah bahasa yang digunakan dalam Tsar. Dalam penerjemahan ini bahasa sasaran adalah bahasa Inggris yang
digunakan di Inggris.
15.Variasi Eksperensial adalah suatu perubahan pada unsur kategori proses yang merupakan hasil dari realisasi pengalaman – pengalaman manusia
yang diwujudkan dalam bentuk klausa per klausa. Dengan kata lain,
variasi di sini adalah suatu proses perubahan pada unsur – unsur proses
dari klausa teks bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran (T1 ke T2).
Proses perubahan itu terjadi pada unsur – unsur proses dalam setiap klausa
seperti misalnya material, mental dan relasional, partisipan, verbal, serta
16.Eksperensial (Experiential) adalah pengalaman, dalam hal ini eksperensial merupakan representasi pengalaman – pengalaman manusia,
baik realitas luaran maupun dalaman diri manusia dari dalam diri manusia
itu sendiri maupun dari luar yang diwujudkan dalam bentuk klausa per
klausa. Dengan kata lain, variasi eksperensial di sini adalah suatu proses
perubahan pada unsur proses utama (proses material, mental, dan
relasional) maupun proses tambahan lainnya (tingkah laku, verbal, dan
wujud atau ekistensial).
17.Mangupa. Istilah Mangupa sebutan yang lebih sering dikenal adalah upa – upa yang merupakan salah satu puncak atau acara terakhir pada upacara
adat perkawinan suku Mandailing yang sangat menarik dan unik.
Mangupa adalah suatu manifestasi, suatu pernyataan kegembiraan serta
kebanggaan hati terhadap yang diupa dengan jalan memberikan mereka
sajian berupa makanan menurut ketentuan adat sambil menyampaikan
pasu – pasu (doa restu) dan nasehat – nasehat sebagai pedoman hidup
mereka serta kata – kata untuk menguatkan tondi mereka. Sasaran utama
dalam mangupa adalah tondi (semangat). Tondi artinya roh atau jiwa. 18.Teks Mangupa adalah sebuah teks lisan yang diucapkan pada upacara
perkawinan tradisional masyarakat Mandailing di daerah Mandailing yang
mengandung nasihat, anjuran, doa kepada sang Pencipta serta harapan
yang baik bagi kedua mempelai yang diupa-upa dalam kehidupan
19.Pangupa adalah sejumlah benda seperti nasi, kepala kerbau, ayam, ikan, telur, ayam, garam dan lain – lain yang digunakan dalam upacara
mangupa yang memiliki makna tertentu dan melambangkan harapan
yang diinginkan dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat di
BAB II
KERANGKA TEORI
2.1 Pendahuluan
Pendahuluan (Translation Studies) merupakan sebuah disiplin ilmu yang
multidisipliner. Penerjemahan berkaitan dengan/dan memrlukan kontribusi
berbagai subdisiplin ilmu linguistik seperti semantik, sosiolinguistik, pragmatik,
analisis wacana, kontrastif linguistik, kognitif linguistik, dan dengan disiplin lain
seperti filsafat, rekayasa bahasa (language engineering), studi kebudayaan dan
kesusasteraan (Hatim dan Munday, 2004:8). Oleh karena itu penelitian ini tidak
dapat didasarkan pada satu teori saja akan tetapi pada sejumlah teori (eclectic)
yang saling terkait dan mendukung.
Bahasa adalah bagian dari budaya. Ketika seorang penutur menggunakan
bahasa sebagai sarana interaksi dengan penutur lain, sebagai sarana penyampai
pikiran, gagasan, dan perasaan, ciri-ciri budaya penutur selalu terrefleksi dalam
bahasanya. Oleh karena itu penelaahan bahasa apapun tidak akan memadai tanpa
melihat budaya yang melatarbelakangi bahasa tersebut.
Bahasa digunakan dalam konteks. Bentuk dan makna bahasa yang sedang
digunakan ditentukan oleh konteks. Sebagai contoh, dalam konteks yang tidak
formal bahasa yang dipakai pun bahasa tidak resmi dan sebaliknya bila
tentang relevansi bahasa dengan konteks: konteks situasi, konteks budaya dan
konteks ideologi juga perlu dilakukan untuk membantu upaya penerjemahan.
Penerjemahan sebagai sebuah disiplin, yang merupakan sub-disiplin
linguistik terapan (applied linguistic) tentu saja memiliki teori, metode, dan
teknik. Teori, metode dan teknik apa yang akan diterapkan penerjemah dalam
menerjemahkan sebuah teks ditentukan oleh tujuan penerjemahan yang telah
ditetapkan perlu pula dilakukan sebelum penerjemahan dimulai.
2.2 Teori Linguistik Systemic Fungsional (LSF)
Teori – teori yang dipilih sebagai pemandu dalam pengkajian ini meliputi
teori konsep penerjemahan, penerjemahan teks Mangupa, ekuivalensi dalam
penerjemahan, konseptual translastic, tiga metafungsi Halliday, makna
pengalaman dan sekilas tentang klausa. Setiap teori tersebut akan disajikan pada
bagian – bagian berikut.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah LSFyang dikemukakan
oleh Halliday. Penggunaan LSF dalam bahasa Indonesia didasarkan pada rujukan
teks berbahasa Indonesia Sinar (2003, 2008, 2010) dalam bukunya” Teori dan
Analisis Wacana: Pendekatan Sistemik Fungsional” dan Saragih (2006; 2007)
dalam bukunya “Bahasa dalam konteks Sosial : Pendekatan Linguistik
LSF dikembangkan oleh M.A.K. Halliday, pakar linguistik dunia dari
Inggris ( yang kini tinggal di Australia), dengan bahasa Inggris sebagai bahasa
kajian. J.R. Martin, pakar linguistik dari Kanada mengembangkan dan
memperkaya teori LSF dengan teori lanjutan, seperti teori genre dengan bahasa
kajian bahasa Inggris. Selain bahasa Inggris, teori LSF telah diterapkan ke
berbagai bahasa dalam mengkaji (suatu) aspek kebahasaan dalam berbagai
bentuk, seperti maklah, tesis, dan disertasi. Aplikasi seperti itu telah dilakukan
dalam bahasa Arab, Hindi, Jepang, Latin, Mandarin, Persia, Portugis , Prancis,
Rusia, Spanyol, Swedia, Tagalog, dan Yunani. Sejumlah penelitian mengenai
bahasa Indonesia berdasarkan teori LSF juga telah dilakukan. Namun, buku
mengenai teori LSF secara utuh atau keseluruhan dalam dan dengan bahasa
percontohan bahasa Indonesia belum dilakukan.
Aliran LSF yang diperkenalkan oleh Prof. M.A.K. Halliday dari
Universitas Sydney, Australia, teorinya ini muncul dari gabungan teori
antropologi Malinowski dan linguist J.R. Firth di Eropa yang sekaligus
merupakan dosen Halliday di Universitas London. Halliday mengembangkan dua
teori tersebut dengan menghubungkan bahasa dan konteks. Menurut Halliday
(1978), bahasa adalah sistem arti, sistem bentuk, dan ekspresi. Hubungan arti dan
ekspresinya adalah semantik yang direalisasikan dengan tata bahasa, Selanjutnya,
tata bahasa diekspresikan fonologi (dalam bahasa lisan) atau grafologi (dalam
bahasa tulisan). Hubungan antara arti dan bentuk adalah alamiah dan berkonstrual
dengan konteks sosial. Dengan kata lain, konteks sosial menentukan dan
unit semantik yang fungsional dalam konteks sosial. Jadi teks bukanlah
merupakan unit tata bahasa (seperti kata, frasa, klausa, paragraf, dan naskah).
Dengan demikian, dalam satu konteks soal tertentu hanya teks tertentu saja yang
dapat dihasilkan. Sebaliknya, dalam teks tertentu hanya konteks sosial tertentu
yang dapat dirujuk. Konteks pemakaian bahasa dibatasi sebagai sesuatu yang
berada di luar teks atau pemakaian bahasa.
Dengan pengertian fungsional, konteks linguistik mengacu pada unit
linguistik yang mendampingi satu unit yang sedang dibicarakan. Contoh pada
klausa: Carrisa ingin . berangkat nanti malam. Unit Carissa ingin....nanti malam
merupakan konteks bagi unit berangkat ketika seseorang membicarakan kata
berangkat itu. Konteks linguistik adalah konteks internal karena berada di dalam
dan merupakan bagian dari teks yang dibicarakan.
Sedangkan konteks sosial adalah pemakaian bahasa dinterpretasikan
berdasarkan konteks atau segala unsur yang terjadi di luar teks. Dengan kata lain,
konteks sosial memotivasi pengguna atau pemakaian bahasa menggunakan
struktur tertentu. Konteks sosial yang mempengaruhi bahasa terdiri dari atas
situasi (register), budaya (culture), dan ideologi (ideology) (Martin, 1985).
Konteks situasi mengacu pada kondisi dan lingkungan yang mendampingi
atau sedang berlangsung ketika penggunaan bahasa berlangsung atau ketika
interaksi antar pemakai bahasa terjadi. Menurut Halliday dan Hasan (1985)
konteks situasi terdiri dari tiga unsur, yaitu medan (field), pelibat (tenor), dan
yakni apa---what yang dibicarakan dalam interaksi, (2) pelibat, yakni siapa----who
yang terkait atau terlibat dalam interaksi, dan (3) sarana, yakni bagaimana----how
interkasi dilakukan.
Konteks budaya dibatasi sebagai aktivias sosial bertahap untuk mencapai
suatu tujuan. Konteks budaya meliputi tiga hal yaitu (1) batasan kemungkinan tiga
unsur konteks situasi, (2) tahap yang harus dilalui dalam satu interaksi sosial, dan
(3) tujuan yang akan dicapai dalam interaksi sosial.
Konteks ideologi mengacu kepada konstruksi atau konsep sosial yang
menetapkan apa yang seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan oleh seorang
dala satu interkasi sosial. Dengan batasan ini, ideologi merupakan konsep atau
gambar ideal yang diinginkan dan diidamkan oleh anggota masyarakat dalam satu
komunitas yang terdiri atas apa yang diinginkan atau yang tidak diinginkan terjadi
(Saragih, 2006:6).
Bila melihat dari segi relevansinya dengan penelitian ini adalah bahwa
teori fungsional ini berpijak pada konteks sosial dalam penganalisaan bahasa, tata
bahasa yang berdasarkan LSF relevan untuk semua bidang yang terkait dengan
pemakaian bahasa. Dalam berbagai bidang kegiatan, bidang, dan disiplin ilmu,
bahasa memegang peran penting. Karena tujuan pemakaian bahasa menentukan
tata bahasa tertentu. Peran LSF adalah mengeksplorasi dan mendeskripsi tata
bahasa itu. Walaupun pemakaian bahasa sangat luas, kerelevanan tata bahasa
berdasarkan LSF secara spesifik menurut Halliday (1994:xxix) mencakup
hakiki persamaan atau perbedaan sejumlah bahasa, c) Memahami perubahan
bahasa dalam kurun tertentu, d) memahami perkembangan bahasa dan
perkembangan bahasa manusia umunya, dsb.
2.3 Translasi
Translasi adalah istilah lain dari penerjemahan. Ada beberapa fenomena
translasi(onal) baik secara intrinsik, teramati, dan terukur. Dari berbagai referensi
dalam kajian translasi baik yang tersurat maupun tersirat pemakaian dan
pengertian translasi (translation), Munday mengartikan translasi adalah peralihan
bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dalam bentuk teks tulis ...as changing of
an original written text in the original verbal language into a written text in a
different verbal language. (Munday, 2001:5).
Berdasarkan definisi translasi tersebut, terlihat adanya kesepakatan bahwa
translasi adalah suatu pekerjaan yang menyangkut keterkaitan antara dua bahasa
atau lebih (multy-language) yang menekankan suatu kesamaan, yakni adanya
ekuivalensi. Dalam penerjemahan, yang kemudian terjadi adalah transfer makna
dari bahasa sumber (source language) ke bahasa sasaran (target language) dengan
keakuratan pesan, keterbacaan, dan keberterimaan produk ( Nababan 2008).
Selain memperlakukan translasi sebagai proses Tou (2008), Savory
(1968:13), Nida dan Taber (1969:12), Newmark (1988:32), Hurtmann dan Stork
(1972;713), Wilss (1982:112), Larson (1984:3), dan Papegaajj dan Schubert
semiotik verbal atau kebahasaan), bukan dengan nonbahasa (sandi semiotik
nonverbal atau nonkebahasaan). Dalam hal ini translasi secara hakiki dipandang
sebagai persoalan fenomena kebahasaan. (Savory menggunakan ungkapan “verbal
expressions” untuk mempresentasikan bahasa). Sebagian pengkaji translasi
memaknai translasi dalam arti ini dan berdalil bahwa kajian/ teori translasi apapun
harus mengacu pada kajian/teori bahasa.
Nida dan Taber (1982:12) mendefinisikan penerjemahan “Reproducing in
the receptor language that natural equivalent of the source language massage,
first in term of meaning and second in term of style”. Artinya, penerjemahan
adalah mengungkapkan kembali pesan yang terkandung dalam BSu ke dalam BSa
dengan menggunakan padanan yang wajar dan terdekat baik dari segi makna
maupun gaya bahasa. Oleh karena itu, suatu hasil terjemahan ideal mampu
dipahami dengan mudah dan terasa seperti TSa bukan hasil terjemahan karena
penggunaan gaya bahasa yang equivalen (sepadan) dengan gaya Bsa. Untuk
mendapatkan equivalensi makna antara BSu dan BSa, Nida menawarkan teknik
penambahan atau pengurangan informasi yang kemudian dikenal dengan istilah
gain and loss in translation.
Dari ungkapan Nida di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa
pertama, menurut Nida, penambahan informasi dalam penerjemahan diperlukan
ketika adanya ambiguitas makna pada BSa, jika tidak diberikan informasi
tambahan dikhawatirkan akan menimbulkan kesalahpahaman pembaca dalam
memaknai TSu. Kedua, Penambahan informasi juga dibutuhkan mengingat
yang disebabkan oleh perbedaan signifikan gramatika kedua bahasa. Ketiga,
amplikasi (penjelasan) yang juga merupakan penambahan informasi diperlukan
untuk mengungkapkan makna implicit TSu menjadi makna eksplicit. Akan tetapi,
disisi lain pengurangan dalam penerjemahan juga terkadang diperlukan untuk
menghindari pemborosan dan kekakuan bahasa.
Menerjemahkan dua bahasa atau lebih yang perbedaanya tergolong
signifikan, tentulah bukan hal yang mudah. Apalagi tidak ada kesepadanan yang
mendekati seratus persen persis sama. Oleh karena itu, padanan tidak hanya
berada pada tataran formal saja tetapi juga pada tataran informal yang mengkaji
makna yang tersembunyi di balik TSu.
Bell (1991: 6) menyatakan penerjemahan sebagai peralihan (replacement)
presentasi satu teks dalam satu bahasa dengan satu representasi teks yang
sepadan dalam bahasa yang kedua. Strauss (1998) menyebut kesepadan ini
dengan” an accurate and readable rendition,” Artinya , tujuan utama
penerjemahan adalah menghadirkan suatu pesan secara akurat kepada pembaca
bahasa sasaran.Ia mengutip Herbert M. Wofl yang menyatakan bahwa tujuan
penerjemahan yang baik adalah “ to provide an accurate , and readable rendition
of the original that will capture as much of the meaning as possible,” Artinya,
tujuan utama penerjemahan adalah memberikan teks terjemahan yang akurat dan
mudah terbaca seperti aslinya dengan menyampaikan makna yang ada secara
maksimal Pembaca sasaran menjadi tolak ukur keberhasilan kegiatan
penerjemahan. Teks terjemahan harus menghadirkan makna secara utuh dengan
seorang penerjemah harus memahami betul makna yang terkandung dalam teks
asli dan memahami cara untuk menyampaikan makna itu untuk pembaca sasaran.
Dengan demikian, teks asli memiliki otoritas mutlak yang maknanya harus
dihadirkan secara utuh dalam teks sasaran. Pandangan diatas agak berbeda dengan
dengan persfektif kaum fungsionalis yang lebih mengedepankan tujuan dari
penerjemahan. Menurut mereka teks terjemahan yang tidak sejalan dengan tujuan
yang diinginkan oleh pemangku kepentingan yang terlibat dinyatakan sebagai
produk terjemahan yang gagal.
Nord (1997: 89-90) memberikan persyaratan pokok yang harus dipenuhi
penerjemah untuk dapat menghasilkan ekuivalen antara teks sumber dan teks
sasaran. Persyaratan tersebut meliputi :
1) Penafsiran penerjemah harus sama dengan “maksud” pengarang.
2) Penerjemahan harus dapat mengungkapkan maksud pengarang dengan
sedemikian rupa hingga teks sasaran dapat mencapai fungsi yang sama
dalam budaya sasaran sebagaimana pencapaian teks asli dalam budaya
sumber.
3) Pembaca sasaran harus memahami dunia teks terjemahan sebagaimana
pembaca teks sumber memahami dunia teks asli.
4) Efek yang ditimbulkan oleh teks sasaran terhadap pembaca sasaran harus
sepadan dengan efek yang diakibatkan oleh teks asli terhadap
Dari persyaratan di atas, tampak lebih jelas lagi “titik idealis” dari
pandangan Nord. Kriteria dan persyaratan itu agaknya dapat diberlakukan dalam
semua jenis pekerjaan penerjemahan, bukan hanya dalam penerjemahan teks
Mangupa saja. Tetapi kriteria dan persyaratan “ kesempurnaan” karya terjemahan
yang diungkapkan Nord di atas tentu saja tidak harus dipenuhi secara mutlak oleh
praktisi penerjemahan. Tentunya, ada perioritas yang mesti dipentingkan dan
elemen suplemen yang dapat dikesmpingkan untuk sementara dalam
penerjemahan teks mangupa. Tindakan semacam ini tidaklah mengurangi
“pemenuhan fungsi” seorang penerjemah sebagai satu tahap awal untuk mencapai
pemenuhan tugas “secara maksimal”.
Didalam penerjemahan, seorang penerjemah harus memahami makna teks
secara keseluruhan dan menghadirkannya dalam bahasa lain secara utuh pula.”
Keutuhan” dalam hal ini tentu saja tidak akan tercapai secara mutlak karena “
pemindahan makna dari teks sumber ke teks sasaran selalu menimbulkan
“translation loss”, sebagaimana ungkapan Harvey dan Higgins (1992-24),” the
transfer of meaning from ST (source text) to TT (target text) is necessarily subject
to a certain degree of translation loss; that is, a TT will always lack certain
culturally relevant features that are present in the ST.” Pandangan ini
dimaksudkan agar penerjemah tidak bekerja keras untuk membela padanan
sempurna yang tidak realistis, melainkan menerima situasi tersebut yang memang
kadang tidak terhindahkan, dan berupaya meminimalkan derajat kehilangan itu.
Penerjemah tidak akan mungkin menghadirkan makna teks secara sempurna
bahasa – bahasa yang ada. Terkadang prosedur adaptasi harus dilakukan, dengan
mengubah sama sekali kebahasaan yang tersurat dalam bahasa sumber. Langkah
ini merupakan pilihan jalan yang harus ditempuh ketika seorang penerjemah
berhadapan dengan situasi atau konsep yang diusung dalam pesan bahasa sumber
yang sama sekali tidak dikenal dalam budaya yang menjadi konteks bahasa
sasaran (Hatim dan Munday, 2004; 151). Ia kemudian mengkreasikan satu situasi
yang dianggap sebagai padanan. Karena itulah prosedur ini disebut sebagai
padanan. Karena itulah prosedur ini disebut sebagai padanan situasional. Hal ini
dapat kita lihat pada judul film, novel, atau buku – buku.
Damono (2008; 04) menyatakan bahwa penerjemahan memiliki spektrum
yang luas dan menempatkan penerjemah pada dua kutub opsi yang sangat berbeda
satu sama lain. Di satu sisi, penerjemah dapat memilih untuk berupaya
menghasilkan karya yang sama persis dengan aslinya. Di sisi lain, penerjemah
dapat menjadi kegiatan kreatif yang dinamis.
Sebagai pedoman dalam pemadanan dan pengubahan, kita dapat
memanfaatkan konsep dinamika penerjemahan oleh Newmark (1988). Menurut
beliau, sebuah teks yang akan diterjemahkan dapat ditarik ke sepuluh arah dalam
analisis, sebelum dialihkan, Newmark (1988: 4) menggambarkan proses
1 Penulis teks 5 Hubungan dalam Bahasa
Sasaran
2 Norma Bahasa Sumber 6 Norma Bahasa Sasaran
3 Budaya Bahasa Sumber 7 Budaya Bahasa Sasaran
4 Latar dan Tradisi Bahasa Sumber 8 Latar dan Tradisi Bahasa
Sasaran
9 Penerjemah ( Newmark, 1988 :4)
Gambar : 2. 3
9 Kebenaran (fakta atau substansi masalah)
2.4 Ekuivalensi dalam Penerjemahan
Ekuivalensi lazim digunakan sebagai parameter yang digunakan dalam
menilai kualitas sebuah teks terjemahan. Ekuivalensi atau padanan mengacu pada
kesetaraan pesan/makna antara teks sumber dan teks sasaran. Beberapa ahli
menagajukan konsep yang beragam mengenai ekuivalensi tersebut akan dibahas
satu per satu pada bagian ini. Konsep pertama datang dari Catford dengan gagasan
‘kesetaraan formal’ dan ‘padanan tekstualnya’.
Catford (1965:20) memandang pekerjaan penerjemah hanyalah sekedar
‘mengganti’ makna dari satu bahasa (bahasa sumber) dengan makna pada bahasa
yang lain (bahasa sasaran), yang dapat berfungsi sepadan pada situasi yang
berlaku. Menurutnya, target tersebut dapat dilakukan dengan persamaan formal
(formal corresspondence) atau padanan tekstual (tekstual equivalence). Artinya
ekuivalensi dalam penerjemahan merujuk pada persamaan makna antara teks
sumber dan teks sasaran yang harus dapat berfungsi pada situasi yang serupa
(Catford,1965: 27).
Persamaan bentuk merupakan bentuk representasi dari makna teks sumber
yang teramat patuh pada bentuk lingual dalam bahasa sumber. Kategori bentuk
dari TL sama persis dengan SL (misalnya kata kerja SL diterjemahkan dengan
verba dalam TL. Padanan ini merupakan bentuk kepatuhan secara menyeluruh
baik secara maknawi maupun lingual. Sebaliknya padanan tekstual tidak terlalu
takluk pada bentuk, tetapi lebih kepada ekspresi yang dianggap sepadan dalam
situasi tertentu. Catford (1965: 49) menyebut padanan tekstual ini dengan kriteria,
“ interchangeable in a given situation”. Artinya, kedua bentuk lingual sebuah teks
(dalam SL dan TL) secara umum dapat saling menggantikan dalam situasi tertentu
sebagai konteks. Kategori padanan yang mengingatkan kita pada prosedur
Teks terjemahan diciptakan dalam bingkai kondisi yang berlainan dengan
bentuk – bentuk tulisan yang lebih bebas. Penerjemah harus berhadapan dan
mengatasi sejumlah masalah yang tidak didapati dalam penulisan teks secara
umum. Bingkai pembatas itu terkait dengan keharusan untuk menyelaraskan kode
bahasa, nilai budaya , dunia dan persepsi tentangnya, gaya dan estetika, dan
sebagainya (Hatim dan Munday, 2004:46).
Koller (dalam Hatim, 2001:27) memandang padanan sebagai proses yang
dibatasi oleh pengaruh perbedaan bahasa, non –bahasa serta lingkungan/situasi
antara SL/TL dan juga peran kondisi sejarah – budaya yang menjadi konteks
penciptaan teks dan terjemahannya sekaligus kondisi ketika dua teks itu sampai ke
pembaca. Relasi – relasi yang sepadan (equivalen) bersifat relatif terhadap ‘ikatan
ganda’, pertama pada teks sumber, dan kedua pada situasi komunikasi bagi pihak
penerima. Satuan – satuan linguistik-tekstual dikatakan sepadan apabila sejalan
dengan unsur – unsur teks sumber dilihat dari ‘kerangka - kerangka padanan’.
Sejalan dengan konsep tersebut, Koller dalam (Hatim, 2001:28)
merumuskan ”kerangka padanan” dan menyatakan bahwa padanan terjemahan
dapat dicapai melalui salah satu tataran berikut :
a) Kata- kata BSu dan BSa memilki fitur ortografis dan fonologis yang
serupa (padanan formal).
b) Kata – kata BSu dan BSa mengacu pada entitas atau konsep yang sama
c) Kata – kata BSu dan BSa mengandung asosiasi yang sama atau mirip
dalam pikiran para penutur kedua bahasa itu (padanan konotatif)
d) Kata – kata BSu dan BSa digunakan dalam konteks yang sama atau serupa
pada masing – masing bahasa (padanan tekstual – normatif).
e) Kata – kata BSu dan BSa memiliki efek yang sama terhadap masing –
masing pembaca dalam kedua bahasa itu (padanan pragmatik/dinamik).
2.5 Variasi Makna Teks : sekilas Konsepsi Translasi berbasis Translatics
Teks dimaknai oleh Halliday dan Hasan (1985,Tou:1992:14) sebagai
kumpulan makna – makna yang diungkapkan/dikodekkan dalam kata – kata dan
struktur. Ia adalah suatu proses dan hasil dari makna sosial dalam konteks situasi
tertentu (ibid:15). Fenomena tersebut digambarkan secara rinci demikian.
“Konteks situasi, tempat teks itu terbentang, dipadatkan dalam teks, bukan dengan cara berangsur – angsur, bukan pula dengan cara mekanis yang ekstrim, tetapi
melalui sesuatu hubungan yang sistematis antara lingkungan sosial di satu pihak,
dengan organisasi bahasa yang berfungsi di lain pihak (1985: 15-16)”.
Dari pengertian di atas, teks selalu hadir dalam variabel – variabel yang
menentukan bentuk kehadirannya. Teks selalu ditentukan oleh konteks situasi
yang berujud medan, pelibat, dan sarana, serta situasi sosial sebagai konteks
budaya yang lebih besar lagi. Teks dalam hal ini merangkul teks sebagai teks yang
ditulis oleh seorang pengarang dengan panduan pemikirannya, dan juga teks
Dalam perspektif yang demikian, Tou (2008:28) merangkum variabel –
variabel yang menentukan wujudiah teks, yang meliputi semiotika konotatif
(religi, ideologi, budaya, dan situasi) dan semiotika denotatif (wujud ekspresi baik
verbal/nonverbal). Dengan banyaknya variabel – variabel yang mengikat
kehadiran teks, amat sulit dua teks dapat hadir dengan makna yang sepadan tanpa
mengalami transformasi apapun, terlepas dari berapapun besaran derajad
skalanya, variasi atau perubahan akan menjadi keniscayaan yang tidak
terhindarkan dalam praktik pengugkapan makna melalui sistem semiotika.
Adanya sifat plastis dari makna pesan verbal, proses penerjemahan
menjadi sangat relatif terhadap berbagai variabel yang melingkupi teks bahasa
sumber dan juga faktor yang mengelilingi teks sasaran, termasuk pembaca tujuan
yang dicanangkan sebagai target dalam proses tersebut. Keplastisan atau potensi
perubahan dalam proses penerjemahan juga diungkapkan oleh Al-Zoubi dan Al-
Hassnawi (2003:1) yang melihat perubahan itu sebagai “peralihan/
perubahan”(shift). Mereka berpandangan bahwa dalam praktiknya, penerjemah
berhadapan dengan “a plethora of linguistic, stylistics and even cultural
problems”. Dengan permasalahan (variabel) kebahasaan, stilistika, dan juga
budaya, tindak penerjemahan selalu berada dalam kontinum kemungkinan yang
akan menyebabkan sejumlah peralihan (shift) nilai – nilai linguistik, estetik dan
intelektual dari teks sumber. Mereka kemudian mendefinisikan apa itu”peralihan”
(shift) sebagai:
All the mandatory actions of the translator (those dictated by the structural