• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA TEORI

2.4 Ekuivalensi dalam Penerjemahan

Ekuivalensi lazim digunakan sebagai parameter yang digunakan dalam menilai kualitas sebuah teks terjemahan. Ekuivalensi atau padanan mengacu pada kesetaraan pesan/makna antara teks sumber dan teks sasaran. Beberapa ahli menagajukan konsep yang beragam mengenai ekuivalensi tersebut akan dibahas

satu per satu pada bagian ini. Konsep pertama datang dari Catford dengan gagasan ‘kesetaraan formal’ dan ‘padanan tekstualnya’.

Catford (1965:20) memandang pekerjaan penerjemah hanyalah sekedar ‘mengganti’ makna dari satu bahasa (bahasa sumber) dengan makna pada bahasa yang lain (bahasa sasaran), yang dapat berfungsi sepadan pada situasi yang berlaku. Menurutnya, target tersebut dapat dilakukan dengan persamaan formal (formal corresspondence) atau padanan tekstual (tekstual equivalence). Artinya ekuivalensi dalam penerjemahan merujuk pada persamaan makna antara teks sumber dan teks sasaran yang harus dapat berfungsi pada situasi yang serupa (Catford,1965: 27).

Persamaan bentuk merupakan bentuk representasi dari makna teks sumber yang teramat patuh pada bentuk lingual dalam bahasa sumber. Kategori bentuk dari TL sama persis dengan SL (misalnya kata kerja SL diterjemahkan dengan verba dalam TL. Padanan ini merupakan bentuk kepatuhan secara menyeluruh baik secara maknawi maupun lingual. Sebaliknya padanan tekstual tidak terlalu takluk pada bentuk, tetapi lebih kepada ekspresi yang dianggap sepadan dalam situasi tertentu. Catford (1965: 49) menyebut padanan tekstual ini dengan kriteria,

interchangeable in a given situation”. Artinya, kedua bentuk lingual sebuah teks

(dalam SL dan TL) secara umum dapat saling menggantikan dalam situasi tertentu sebagai konteks. Kategori padanan yang mengingatkan kita pada prosedur adaptasi yang menghasilkan “ situated equivalence” (Hatim dan Munday : 2004).

Teks terjemahan diciptakan dalam bingkai kondisi yang berlainan dengan bentuk – bentuk tulisan yang lebih bebas. Penerjemah harus berhadapan dan mengatasi sejumlah masalah yang tidak didapati dalam penulisan teks secara umum. Bingkai pembatas itu terkait dengan keharusan untuk menyelaraskan kode bahasa, nilai budaya , dunia dan persepsi tentangnya, gaya dan estetika, dan sebagainya (Hatim dan Munday, 2004:46).

Koller (dalam Hatim, 2001:27) memandang padanan sebagai proses yang dibatasi oleh pengaruh perbedaan bahasa, non –bahasa serta lingkungan/situasi antara SL/TL dan juga peran kondisi sejarah – budaya yang menjadi konteks penciptaan teks dan terjemahannya sekaligus kondisi ketika dua teks itu sampai ke pembaca. Relasi – relasi yang sepadan (equivalen) bersifat relatif terhadap ‘ikatan ganda’, pertama pada teks sumber, dan kedua pada situasi komunikasi bagi pihak penerima. Satuan – satuan linguistik-tekstual dikatakan sepadan apabila sejalan dengan unsur – unsur teks sumber dilihat dari ‘kerangka - kerangka padanan’.

Sejalan dengan konsep tersebut, Koller dalam (Hatim, 2001:28) merumuskan ”kerangka padanan” dan menyatakan bahwa padanan terjemahan

dapat dicapai melalui salah satu tataran berikut :

a) Kata- kata BSu dan BSa memilki fitur ortografis dan fonologis yang serupa (padanan formal).

b) Kata – kata BSu dan BSa mengacu pada entitas atau konsep yang sama (padanan referensial/ denotatif).

c) Kata – kata BSu dan BSa mengandung asosiasi yang sama atau mirip dalam pikiran para penutur kedua bahasa itu (padanan konotatif)

d) Kata – kata BSu dan BSa digunakan dalam konteks yang sama atau serupa pada masing – masing bahasa (padanan tekstual – normatif).

e) Kata – kata BSu dan BSa memiliki efek yang sama terhadap masing – masing pembaca dalam kedua bahasa itu (padanan pragmatik/dinamik).

2.5 Variasi Makna Teks : sekilas Konsepsi Translasi berbasis Translatics

Teks dimaknai oleh Halliday dan Hasan (1985,Tou:1992:14) sebagai kumpulan makna – makna yang diungkapkan/dikodekkan dalam kata – kata dan

struktur. Ia adalah suatu proses dan hasil dari makna sosial dalam konteks situasi tertentu (ibid:15). Fenomena tersebut digambarkan secara rinci demikian.

Konteks situasi, tempat teks itu terbentang, dipadatkan dalam teks, bukan dengan cara berangsur – angsur, bukan pula dengan cara mekanis yang ekstrim, tetapi melalui sesuatu hubungan yang sistematis antara lingkungan sosial di satu pihak, dengan organisasi bahasa yang berfungsi di lain pihak (1985: 15-16)”.

Dari pengertian di atas, teks selalu hadir dalam variabel – variabel yang menentukan bentuk kehadirannya. Teks selalu ditentukan oleh konteks situasi yang berujud medan, pelibat, dan sarana, serta situasi sosial sebagai konteks budaya yang lebih besar lagi. Teks dalam hal ini merangkul teks sebagai teks yang ditulis oleh seorang pengarang dengan panduan pemikirannya, dan juga teks terjemahan yang kreasinya dipandu oleh teks sumber sebagai acuan.

Dalam perspektif yang demikian, Tou (2008:28) merangkum variabel – variabel yang menentukan wujudiah teks, yang meliputi semiotika konotatif (religi, ideologi, budaya, dan situasi) dan semiotika denotatif (wujud ekspresi baik verbal/nonverbal). Dengan banyaknya variabel – variabel yang mengikat kehadiran teks, amat sulit dua teks dapat hadir dengan makna yang sepadan tanpa mengalami transformasi apapun, terlepas dari berapapun besaran derajad skalanya, variasi atau perubahan akan menjadi keniscayaan yang tidak terhindarkan dalam praktik pengugkapan makna melalui sistem semiotika.

Adanya sifat plastis dari makna pesan verbal, proses penerjemahan menjadi sangat relatif terhadap berbagai variabel yang melingkupi teks bahasa sumber dan juga faktor yang mengelilingi teks sasaran, termasuk pembaca tujuan yang dicanangkan sebagai target dalam proses tersebut. Keplastisan atau potensi perubahan dalam proses penerjemahan juga diungkapkan oleh Al-Zoubi dan Al- Hassnawi (2003:1) yang melihat perubahan itu sebagai “peralihan/ perubahan”(shift). Mereka berpandangan bahwa dalam praktiknya, penerjemah berhadapan dengan “a plethora of linguistic, stylistics and even cultural problems”. Dengan permasalahan (variabel) kebahasaan, stilistika, dan juga budaya, tindak penerjemahan selalu berada dalam kontinum kemungkinan yang akan menyebabkan sejumlah peralihan (shift) nilai – nilai linguistik, estetik dan intelektual dari teks sumber. Mereka kemudian mendefinisikan apa itu”peralihan” (shift) sebagai:

All the mandatory actions of the translator (those dictated by the structural

optional ones (those dictated by the his personal and stylistic preferences) to

which he resorts conciously for the purpose of natural and communicative

renditionof an SL text into another language (Al-Zoubi & Al-Hassnawi,2003:1).

Mereka memandang peralihan sebagai “mandatory actions” (tindakan wajib) yang dilakukan oleh penerjemah untuk mencapai tujuan penerjemahan yang luwes dan komunikatif dikarenakan oleh perbedaan sistem bahasa dan karena pilihan pribadi dan stilistika penerjemah.

Dengan mengacu pada kerelativan teks seperti di atas, kajian ini akan bertumpu pada konsep “variasi” yang bermaksud dilawankan dengan konsep padanan (equivalence) yang selama ini selalu menjadi wacana dominan dalam

kajian penerjemahan, meskipun pada kenyataannya padanan sendiri masih ‘kontroversial’ , yang antara lain dibuktikan dengan berbagai sebutan padanan seperti ekuivalen dinamik, ekuivalen situasi, ekuivalen komunikasi, ekuivalen

semantik dan sebagainya. Sebutan padanan yang sangat variatif itu sebenarnya

sebuah klaim tidak langsung terhadap konsep lawannya, yakni variasi. Apabila dikaitkan dengan kerangka kesepadanan Koller yang membagi kerangka padanan

menjadi lima, setiap padanan yang dapat dicapai pada satu kerangka,kemungkinan besar membuka variasi pada keempat kerangka yang lain. Misalnya, ketika pencipta teks 2 mewujudkan padanan formal dari teks satu, maka sangat mungkin bahwa padanan itu tidak sepadan (bervariasi) pada aspek referensial, konotatif, tekstual-normatif, dan pada aspek pragmatiknya. Demikian halnya, dengan pencapaian sebuah padanan lain, yang cendrung akan mengorbankan keempat padanan yang lain lagi, atau bervariasi pada keempat aspek lainnya.

Dokumen terkait