• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA TEORI

2.3 Translasi

Translasi adalah istilah lain dari penerjemahan. Ada beberapa fenomena translasi(onal) baik secara intrinsik, teramati, dan terukur. Dari berbagai referensi dalam kajian translasi baik yang tersurat maupun tersirat pemakaian dan pengertian translasi (translation), Munday mengartikan translasi adalah peralihan

bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dalam bentuk teks tulis ...as changing of an original written text in the original verbal language into a written text in a different verbal language. (Munday, 2001:5).

Berdasarkan definisi translasi tersebut, terlihat adanya kesepakatan bahwa translasi adalah suatu pekerjaan yang menyangkut keterkaitan antara dua bahasa atau lebih (multy-language) yang menekankan suatu kesamaan, yakni adanya ekuivalensi. Dalam penerjemahan, yang kemudian terjadi adalah transfer makna dari bahasa sumber (source language) ke bahasa sasaran (target language) dengan keakuratan pesan, keterbacaan, dan keberterimaan produk ( Nababan 2008).

Selain memperlakukan translasi sebagai proses Tou (2008), Savory (1968:13), Nida dan Taber (1969:12), Newmark (1988:32), Hurtmann dan Stork (1972;713), Wilss (1982:112), Larson (1984:3), dan Papegaajj dan Schubert (1988:11) juga berpandangan bahwa translasi berkaitan dengan bahasa (sandi

semiotik verbal atau kebahasaan), bukan dengan nonbahasa (sandi semiotik nonverbal atau nonkebahasaan). Dalam hal ini translasi secara hakiki dipandang sebagai persoalan fenomena kebahasaan. (Savory menggunakan ungkapan “verbal expressions” untuk mempresentasikan bahasa). Sebagian pengkaji translasi memaknai translasi dalam arti ini dan berdalil bahwa kajian/ teori translasi apapun harus mengacu pada kajian/teori bahasa.

Nida dan Taber (1982:12) mendefinisikan penerjemahan “Reproducing in

the receptor language that natural equivalent of the source language massage,

first in term of meaning and second in term of style”. Artinya, penerjemahan

adalah mengungkapkan kembali pesan yang terkandung dalam BSu ke dalam BSa dengan menggunakan padanan yang wajar dan terdekat baik dari segi makna maupun gaya bahasa. Oleh karena itu, suatu hasil terjemahan ideal mampu dipahami dengan mudah dan terasa seperti TSa bukan hasil terjemahan karena penggunaan gaya bahasa yang equivalen (sepadan) dengan gaya Bsa. Untuk mendapatkan equivalensi makna antara BSu dan BSa, Nida menawarkan teknik

penambahan atau pengurangan informasi yang kemudian dikenal dengan istilah

gain and loss in translation.

Dari ungkapan Nida di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa

pertama, menurut Nida, penambahan informasi dalam penerjemahan diperlukan

ketika adanya ambiguitas makna pada BSa, jika tidak diberikan informasi tambahan dikhawatirkan akan menimbulkan kesalahpahaman pembaca dalam memaknai TSu. Kedua, Penambahan informasi juga dibutuhkan mengingat

yang disebabkan oleh perbedaan signifikan gramatika kedua bahasa. Ketiga,

amplikasi (penjelasan) yang juga merupakan penambahan informasi diperlukan untuk mengungkapkan makna implicit TSu menjadi makna eksplicit. Akan tetapi, disisi lain pengurangan dalam penerjemahan juga terkadang diperlukan untuk menghindari pemborosan dan kekakuan bahasa.

Menerjemahkan dua bahasa atau lebih yang perbedaanya tergolong signifikan, tentulah bukan hal yang mudah. Apalagi tidak ada kesepadanan yang mendekati seratus persen persis sama. Oleh karena itu, padanan tidak hanya berada pada tataran formal saja tetapi juga pada tataran informal yang mengkaji makna yang tersembunyi di balik TSu.

Bell (1991: 6) menyatakan penerjemahan sebagai peralihan (replacement)

presentasi satu teks dalam satu bahasa dengan satu representasi teks yang

sepadan dalam bahasa yang kedua. Strauss (1998) menyebut kesepadan ini

dengan” an accurate and readable rendition,” Artinya , tujuan utama

penerjemahan adalah menghadirkan suatu pesan secara akurat kepada pembaca bahasa sasaran.Ia mengutip Herbert M. Wofl yang menyatakan bahwa tujuan

penerjemahan yang baik adalah “ to provide an accurate , and readable rendition

of the original that will capture as much of the meaning as possible,” Artinya,

tujuan utama penerjemahan adalah memberikan teks terjemahan yang akurat dan mudah terbaca seperti aslinya dengan menyampaikan makna yang ada secara maksimal Pembaca sasaran menjadi tolak ukur keberhasilan kegiatan penerjemahan. Teks terjemahan harus menghadirkan makna secara utuh dengan bentuk kebahasaan yang mudah dipahami oleh pembaca sasaran. Untuk itu,

seorang penerjemah harus memahami betul makna yang terkandung dalam teks asli dan memahami cara untuk menyampaikan makna itu untuk pembaca sasaran.

Dengan demikian, teks asli memiliki otoritas mutlak yang maknanya harus dihadirkan secara utuh dalam teks sasaran. Pandangan diatas agak berbeda dengan dengan persfektif kaum fungsionalis yang lebih mengedepankan tujuan dari penerjemahan. Menurut mereka teks terjemahan yang tidak sejalan dengan tujuan yang diinginkan oleh pemangku kepentingan yang terlibat dinyatakan sebagai produk terjemahan yang gagal.

Nord (1997: 89-90) memberikan persyaratan pokok yang harus dipenuhi penerjemah untuk dapat menghasilkan ekuivalen antara teks sumber dan teks sasaran. Persyaratan tersebut meliputi :

1) Penafsiran penerjemah harus sama dengan “maksud” pengarang.

2) Penerjemahan harus dapat mengungkapkan maksud pengarang dengan sedemikian rupa hingga teks sasaran dapat mencapai fungsi yang sama dalam budaya sasaran sebagaimana pencapaian teks asli dalam budaya sumber.

3) Pembaca sasaran harus memahami dunia teks terjemahan sebagaimana pembaca teks sumber memahami dunia teks asli.

4) Efek yang ditimbulkan oleh teks sasaran terhadap pembaca sasaran harus sepadan dengan efek yang diakibatkan oleh teks asli terhadap pembacanya.

Dari persyaratan di atas, tampak lebih jelas lagi “titik idealis” dari pandangan Nord. Kriteria dan persyaratan itu agaknya dapat diberlakukan dalam semua jenis pekerjaan penerjemahan, bukan hanya dalam penerjemahan teks

Mangupa saja. Tetapi kriteria dan persyaratan “ kesempurnaan” karya terjemahan

yang diungkapkan Nord di atas tentu saja tidak harus dipenuhi secara mutlak oleh praktisi penerjemahan. Tentunya, ada perioritas yang mesti dipentingkan dan elemen suplemen yang dapat dikesmpingkan untuk sementara dalam penerjemahan teks mangupa. Tindakan semacam ini tidaklah mengurangi

“pemenuhan fungsi” seorang penerjemah sebagai satu tahap awal untuk mencapai pemenuhan tugas “secara maksimal”.

Didalam penerjemahan, seorang penerjemah harus memahami makna teks secara keseluruhan dan menghadirkannya dalam bahasa lain secara utuh pula.” Keutuhan” dalam hal ini tentu saja tidak akan tercapai secara mutlak karena “ pemindahan makna dari teks sumber ke teks sasaran selalu menimbulkan

translation loss”, sebagaimana ungkapan Harvey dan Higgins (1992-24),” the

transfer of meaning from ST (source text) to TT (target text) is necessarily subject

to a certain degree of translation loss; that is, a TT will always lack certain

culturally relevant features that are present in the ST.” Pandangan ini

dimaksudkan agar penerjemah tidak bekerja keras untuk membela padanan sempurna yang tidak realistis, melainkan menerima situasi tersebut yang memang kadang tidak terhindahkan, dan berupaya meminimalkan derajat kehilangan itu.

Penerjemah tidak akan mungkin menghadirkan makna teks secara sempurna disebabkan adanya kesenjangan elemen – elemen kebahasaan dan budaya diantara

bahasa – bahasa yang ada. Terkadang prosedur adaptasi harus dilakukan, dengan mengubah sama sekali kebahasaan yang tersurat dalam bahasa sumber. Langkah ini merupakan pilihan jalan yang harus ditempuh ketika seorang penerjemah berhadapan dengan situasi atau konsep yang diusung dalam pesan bahasa sumber yang sama sekali tidak dikenal dalam budaya yang menjadi konteks bahasa sasaran (Hatim dan Munday, 2004; 151). Ia kemudian mengkreasikan satu situasi yang dianggap sebagai padanan. Karena itulah prosedur ini disebut sebagai padanan. Karena itulah prosedur ini disebut sebagai padanan situasional. Hal ini dapat kita lihat pada judul film, novel, atau buku – buku.

Damono (2008; 04) menyatakan bahwa penerjemahan memiliki spektrum yang luas dan menempatkan penerjemah pada dua kutub opsi yang sangat berbeda satu sama lain. Di satu sisi, penerjemah dapat memilih untuk berupaya menghasilkan karya yang sama persis dengan aslinya. Di sisi lain, penerjemah dapat menjadi kegiatan kreatif yang dinamis.

Sebagai pedoman dalam pemadanan dan pengubahan, kita dapat memanfaatkan konsep dinamika penerjemahan oleh Newmark (1988). Menurut beliau, sebuah teks yang akan diterjemahkan dapat ditarik ke sepuluh arah dalam analisis, sebelum dialihkan, Newmark (1988: 4) menggambarkan proses penerjemahan suatu bahasa seperti berikut :

1 Penulis teks 5 Hubungan dalam Bahasa Sasaran

2 Norma Bahasa Sumber 6 Norma Bahasa Sasaran

3 Budaya Bahasa Sumber 7 Budaya Bahasa Sasaran

4 Latar dan Tradisi Bahasa Sumber 8 Latar dan Tradisi Bahasa Sasaran

9 Penerjemah ( Newmark, 1988 :4)

Gambar : 2. 3

9 Kebenaran (fakta atau substansi masalah)

Baca selengkapnya

Dokumen terkait