• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2006 diprediksi akan berada pada kisaran sekitar 5.5-5.8 persen. Pertumbuhan ini telah mengalami peningkatan semenjak krisis ekonomi yang menghantam Indonesia pada tahun 1998.

Dalam kondisi perekonomian yang belum stabil, terjadi lonjakan harga minyak dunia pada bulan Agustus 2005. Harga minyak dunia pada saat itu mencapai 70 dolar per barel. Kondisi ini mendorong pemerintah untuk menaikkan harga BBM hingga mencapai lebih dari seratus persen. Kebijakan-kebijakan ini mendapat respon keras dari beberapa pihak termasuk kalangan industri. Akibat kenaikan ini terjadi trauma pasar sehingga menyebabkan kenaikan harga berbagai jenis barang dipasaran.

Beberapa kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang belum stabil ini menjadi salah satu faktor penyebab tingginya angka inflasi pada tahun 2005. Data inflasi tahunan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Inflasi tahunan Indonesia

Tahun Inflasi (%) 2000 9.35 2001 12.55 2002 10.03 2003 5.06 2004 6.40 2005 17.11 Sumber: Pusat Data dan Analisa Tempo (2005)

25 Thailand dan Philipina. Tingkat inflasi yang cukup tingggi ditandai dengan kenaikan harga-harga barang, kenaikan BBM, serta naiknya harga-harga barang termasuk gula sebagai salah satu bahan baku nata de coco. Di awal tahun 2005 harga gula dunia melonjak secara mengejutkan dan tertinggi selama 24 tahun terakhir. Harga gula di daerah meningkat secara drastis, harga beras berubah menjadi lebih tinggi akibat permainan pedagang. Kondisi ini akan memacu kenaikan harga barang yang lain dan akan menjadi tantangan bagi pertumbuhan perusahaan dan industri nasional termasuk PT. FITS Mandiri .

Kondisi ini akan menyebabkan biaya produksi semakin tinggi. karena terjadi kenaikan harga faktor penunjang produksi seperti bahan bakar, gula sebagai bahan baku nata de coco, listrik, dan kemungkinan kenaikan bahan baku lainnya akibat efek berantai. Sementara itu daya beli konsumen akan semakin menurun karena kenaikan harga barang tidak diimbangi dengan kenaikan pendapatan. Walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa krisis ekonomi tidak selalu identik dengan penurunan gaya hidup konsumtif.

Dalam kondisi seperti ini Industri Kecil (IK) harus mampu bertahan dan mencari peluang untuk terus berkembang. Tahun 1998, jumlah IK dan IRT di atas 2,5 juta unit, dan merupakan bagian terbesar (99,26%) dari keseluruhan jumlah unit usaha di sektor industri manufaktur. Pada tahun 2000 kelompok usaha ini masih merupakan bagian terbesar, walaupun persentasenya sedikit menurun menjadi 99,10 %.

Jumlah IK sendiri pada tahun 2000 tercatat 194 ribu unit lebih yang tersebar di semua subsektor manufaktur. Kelompok-kelompok industri yang menjadi konsentrasi IK adalah industri makanan, minuman dan tembakau, industri tekstil, pakaian jadi dan kulit, dan industri kayu dan barang dari kayu, bambu, rotan, rumput, dan sejenisnya(Menegkop dan KUKM, 2005). Hal ini menunjukkan bahwa ditengah rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi dan terpuruknya sektor moneter dan usaha semenjak tahun 1998, IK dan IRT menunjukkan kinerja dan kebertahanan yang signifikan. Data pertumbuhan UKM dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah usaha kecil dan menengah di Indonesia 1997 (juta) 1998 (juta) 1999 (juta) 2000 (juta) 2001 (juta) 2002 (juta) Usaha Kecil 39,7 36,8 37,9 38,7 39,9 41,3 Usaha Menengah 60,4 51,9 52,2 54,7 57,7 61,0 Sumber: Anonim (2006)

Demikian juga dengan industri nata de coco. Industri nata yang sebagian besar ditopang oleh IK juga menunjukkan peningkatan produksi yang signifikan setiap tahunnya. Total produksi nata de coco di Indonesia pada tahun 1994 – 1999 dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Total produksi nasional nata de coco tahun 1994-1999

Tahun Jumlah Produksi (ton) Pertumbuhan (%)

1994 44.00 0.00 1995 48.00 9.09 1996 3340.00 6858.33 1997 4101.00 22.78 1998 6476.46 57.92 1999 11297.42 74.44

Sumber: Anonim didalam Hidayat (2003)

Dari Tabel 3 terlihat bahwa produksi nata de coco terus meningkat semenjak tahun 1996 hingga tahun 1999. Meskipun tahun 1998 Indonesia dilanda krisis moneter, namun produksi nata de coco justru mengalami pertumbuhan sebesar 57.92 persen. Peningkatan ini terus berlanjut pada tahun 1999 hingga mencapai 74.44 persen. Dari Tabel 2 juga terlihat bahwa IK terus tumbuh semenjak tahun 1998 hingga tahun 2002. Ini menunjukkan bahwa pengembangan industri kecil masih cukup potensial.

27 2. Kondisi sosial

Kondisi sosial merupakan salah satu aspek yang harus menjadi pertimbangan dalam pemasaran industri minuman. Peningkatan jumlah penduduk dan perubahan perilaku masyarakat merupakan potensi yang cukup besar untuk dimanfaatkan. Jumlah penduduk Indonesia masih akan meningkat terus dengan laju pertumbuhan yang semakin melambat. Pada tahun 1980 penduduk Indonesia berjumlah 147,49 juta jiwa, meningkat menjadi 179,38 juta jiwa pada tahun 1990. Penduduk Indonesia pada tahun 2010 diproyeksikan sekitar 235 juta jiwa.

Pada tahun 2004 jumlah penduduk Indonesia mencapai 203,8 juta jiwa. Dari jumlah penduduk yang sebesar itu, penduduk yang tinggal dipulau Jawa sebesar 127.8 juta jiwa atau sebesar 59.27 persen. Sedangkan penduduk yang tinggal di wilayah Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta adalah 55.8 juta jiwa atau sebesar 25.88 persen dari penduduk Indonesia. (Anonim, 2006). Profil penduduk Jawa Barat dapat dilihat pada Lampiran 1 Jumlah penduduk Indonesia terutama konsentrasi penduduk yang tinggi di pulau Jawa merupakan pangsa pasar dan sumber daya yang potensial untuk pengembangan bisnis termasuk nata de coco. Potensi jumlah penduduk ini dapat dilihat pada Tabel 4.

Jumlah angkatan kerja Ferbruari 2005 mencapai 105.8 orang, jumlah ini bertambah sebanyak 1.8 juta orang dibandingkan dengan Agustus 2004 sebesar 104.0 juta orang. Sedangkan tingkat pengangguran mencapai 10.3 persen. (www.tempointeraktif.com).

Tingginya angka pengangguran dan tingkat kemiskinan salah satunya disebabkan fenomena yang muncul pada masa krisis yaitu pertumbuhan ekonomi ditopang oleh pertumbuhan konsumsi.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini lebih ditopang oleh pertumbuhan konsumsi bukan pertumbuhan sektor produktif. Di satu sisi ini menunjukkan kelemahan sektor riil Indonesia, tapi juga menunjukkan adanya perubahan pola konsumsi masyarakat menjadi lebih konsumtif.

Tabel 4. Sebaran penduduk Indonesia tahun 2004

Wilayah Jumlah penduduk

(juta jiwa)

Persentase

Jawa Barat, Banten, DKI Jakarta.

55.8 27.3

Jawa Tengah dan DIY 35.6 17.5

Jawa Timur 36.4 17.9

Pulau Sumatra 44.5 21.8

Pulau Kalimantan 11.6 5.7

Pulau Sulawesi 17.6 8.6

Irian Jaya 2..3 1.2

Total penduduk Indonesia 203.8 -

Sumber: Anonim (2006)

Tingginya angka pengangguran dan tingkat kemiskinan salah satunya disebabkan fenomena yang muncul pada masa krisis yaitu pertumbuhan ekonomi ditopang oleh pertumbuhan konsumsi.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini lebih ditopang oleh pertumbuhan konsumsi bukan pertumbuhan sektor produktif. Di satu sisi ini menunjukkan kelemahan sektor riil Indonesia, tapi juga menunjukkan adanya perubahan pola konsumsi masyarakat menjadi lebih konsumtif.

Perubahan pola konsumsi ditandai dengan perubahan gaya hidup masyarakat menuju masyarakat yang dianggap lebih modern. Terjadi perubahan pola konsumsi dari kebutuhan-kebutuhan primer kepada pemenuhan kebutuhan tersier sebagai gaya hidup maupun “trend”. Perubahan ini terjadi begitu cepat di masyarakat perkotaan, dan mulai masuk kedalam wilayah pedesaan akibat derasnya arus informasi melalui media elektronik. Perubahan ini tidak hanya terjadi akibat semakin meningkatnya pendidikan masyarakat, namun juga pengaruh dari lingkungan yang lebih dominan.

Perubahan pola konsumsi inipun terjadi pada sudut pandang masyarakat terhadap makanan dan minuman. Semula makanan digunakan

29 untuk memenuhi kebutuhan energi dan sekedar penghilang rasa lapar. Tapi saat ini makanan dianggap sebagai makanan kesehatan, gaya, trend, atau bahkan menunjukkan status sosial. Begitu juga dengan minuman ringan yang bukan merupakan kebutuhan pokok manusia, tetapi saat ini menjadi sesuatu yang begitu dekat dengan masyarakat terutama masyarakat perkotaan.

Besarnya jumlah penduduk Indonesia terutama wilayah Jawa Barat dan perubahan gaya hidup ini menjadi peluang bagi PT. FITS Mandiri untuk mendapatkan pangsa pasar yang lebih luas. Adalah penting untuk menyesuaikan produk dengan nilai-nilai budaya yang dianut oleh para pelanggan dan juga penting bagi pada pemasar untuk terus-menerus memantau perubahan-perubahan nilai yang dapat mempengaruhi perusahaan.

3. Kondisi politik

Faktor-faktor politik, pemerintah, dan hukum dapat mencerminkan peluang atau ancaman kunci untuk organisasi kecil dan besar (David, 2002). Persaingan global mengutamakan kebutuhan untuk ramalan politik, pemerintah dan legal yang akurat.

Sebelum kehadiran WTO (World Trade Organization) dan berbagai perjanjian regional yang lainnya, Indonesia telah mengubah strategi pembangunannya lebih berorientasi keluar dari pada kedalam. Melalui GATT (General Agreement on Trade and Tariffs), Indonesia telah berkomitmen untuk terlibat dalam liberalisasi perdagangan dan investasi. Kesepakatan ini berisi pemberlakuan penghapusan proteksi non tarif bagi produk-produk impor. Apabila hambatan tarif ini dapat dilakukan maka akan merangsang peningkatan ekspor dan mengurangi biaya produksi.

Sejalan dengan GATT, Indonesia juga ikut menandatangani perjanjian kerjasama regional seperti APEC (Asia Pasific Economic Cooperation) dan AFTA (Asean Free Trading Area). APEC menargetkan untuk membuka dan membebaskan investasi di wilayah Asia-Pasifik pada tahun 2020. Dampak AFTA sudah akan dimulai tahun 2006 ini. ASEAN

telah mengidentifikasi tujuh sektor priorotas untuk liberalisasi penuh pada tahun 2010. Sedangkan liberalisasi penuh untuk semua sektor pelayanan Asia Tenggara ditargetkan pada tahun 2015.

Hasil pertemuan WTO (World Trade Organization) pada tanggal 13-18 Desember 2005 memutuskan penghapusan segala bentuk subsidi pertanian, agar komoditas pertanian negara berkembang bisa bersaing dengan produk pertanian negara maju di pasar internasional. Kebijakan- kebijakan liberalisasi ini banyak menguntungkan negara-negara maju, dan sebaliknya apabila negara-negara berkembang tidak memiliki kesiapan maka akan terlindas oleh roda perekonomian global.

Indonesia sebagai salah satu negara yang terikat dengan perjanijan ini dinilai belum siap dan akan kalah bersaing dengan pasar global. Menurut Bank Dunia yang akan tampil sebagai pemenang utama dalam perdagangan internasional adalah Vietnam, Thailand, Korea Selatan, dan Taiwan (Kompas, 2005). Hal ini harus menjadi perhatian tidak hanya untuk pemerintah tetapi juga bagi industri termasuk UKM, karena kualitas produk harus sesuai dengan standard internasional.

Bagi banyak UKM, khususnya UKM di negara-negara berkembang tidak terkecuali Indonesia, keharusan memenuhi standarisasi internasional seperti di atas dalam periode jangka pendek bisa merupakan suatu rintangan baru bagi produk-produk mereka. Tidak hanya bagi pasar dunia, tetapi apabila produk-produk luar negeri telah membanjiri pasar domestik, maka barang yang tidak mampu bersaing akan kalah. Hal ini telah terlihat dari membanjirnya produk-produk China di Indonesia saat ini, mulai tekstil, barang elektronik, hingga mainan anak-anak.

Selain masalah perdagangan bebas tersebut diatas, dua masalah eksternal yang oleh banyak pengusaha kecil dan menengah dianggap paling serius adalah keterbatasan akses ke bank dan distorsi pasar (output maupun input) yang disebabkan oleh kebijaksanaan-kebijaksanaan atau peraturan- peraturan pemerintah yang tidak kondusif, yang disengaja maupun tidak disengaja lebih menguntungkan pengusaha besar, termasuk investor asing (PMA) (Menegkop dan KUKM, 2005)

31 Selain itu kurang mendukungnya iklim usaha karena permasalahan kebijakan, termasuk regulasi, birokrasi dan retribusi yang berlebihan dan praktik persaingan usaha yang tidak sehat, menyebabkan beban biaya transaksi yang besar kepada UKM.

Kondisi politik pasca pemilu langsung relatif stabil jika dibandingkan dengan pemerintahan periode-periode sebelumnya. Ancaman keamanan seperti isu terorisme dan peledakan bom cukup berpengaruh pada iklim investasi. Namun isu keamanan dan kondisi politik bukan satu- satunya faktor yang mempengaruhi iklim investasi. Hal ini juga dipengaruhi kondisi politik dunia, dan kondisi ekonomi.

4. Kondisi teknologi

Kemajuan teknologi secara dramatik dapat mempengaruhi produk, jasa, pasar, pemasok, distributor, pesaing, pelanggan, proses manufaktur, praktek pemasaran, dan posisi bersaing. Kemajuan teknologi dapat menciptakan keunggulan bersaing yang lebih berdaya guna ketimbang keunggulan yang sudah ada (David, 2002)

Teknologi yang digunakan dalam pengolahan nata de coco tergolong sederhana. Kebanyakan proses yang dilakukan secara manual. Perkembangan teknologi pengolahan nata de coco tidak terlalu signifikan. Untuk pembuatan nata de coco lembaran banyak dilakukan oleh Industri Kecil ataupun Industri Rumah Tangga tanpa menggunakan teknologi yang tinggi. Namun untuk produksi nata dalam kemasan dan secara massal, penggunaan mesin akan sangat membantu meningkatkan efisiensi dan mutu nata de coco yang seragam. Walaupun menggunakan mesin, tetapi penanganan produksi tetap banyak yang dilakukan secara manual.

5. Pemasok.

Menurut Porter (1993) pemasok merupakan salah satu dari lima faktor yang menentukan kemampulabaan industri selain dari pendatang baru, ancaman produk substitusi, pesaing industri dan pembeli. Kekuatan kolektif dari kelima faktor persaingan ini menentukan kemampuan

perusahaan dalam suatu industri untuk memperoleh, secara rata-rata, tingkat pengembalian investasi yang melebihi biaya modalnya.

PT. FITS Mandiri mencari beberapa pemasok untuk memenuhi kebutuhan bahan baku, bahan pembantu dan bahan lain. Daftar pemasok dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Daftar pemasok PT. FITS Mandiri

Bahan pasokan Pemasok

Cup Starindo Jaya Packaging

Lid Plasindo jaya Lestari Nata CV. Agrindo Suprafood

Flavour Island Sun Indonesia Asam Sitrat Behn Meyer Kimia

Box Wirajaya Packindo

Sumber: PT. FITS Mandiri (2006)

PT. FITS Mandiri belum memiliki kontrak perjanjian dalam jangka waktu tertentu dengan pemasok. Sistem kemitraan yang digunakan hingga saat ini adalah pembelian sesuai kebutuhan perusahaan. Kebijakan ini dilakukan karena produksi nata dalam jumlah yang relatif masih sedikit dan belum kontinyu. Karena selain memproduksi nata, PT. FITS Mandiri juga memproduksi minuman ringan lainnya, dan masih terikat dengan kebijakan maklun. Namun apabila terjadi kenaikan produksi nata de coco, pemasok telah siap untuk memasok bahan baku secara kontinyu. Untuk menghilangkan ketergantungan dan menghindari kondisi yang tidak diinginkan apabila terjadi kenaikan produksi, perusahaan dapat mencari pemasok bahan baku lebih dari satu pemasok.

33 6. Produk substitusi dan pesaing

Subsitusi adalah proses dimana satu produk atau jasa menggantikan yang lain dalam melakukan satu atau beberapa fungsi tertentu bagi pembeli. Substitusi merupakan satu dari lima faktor bersaing yang menentukan kemampulabaan suatu industri, karena ancaman substitusi menyebabkan industri menetapkan batas harga tertinggi yang dapat dilakukan (Porter, 1993)

Hasil penelitian Arisandy (2005) menunjukkan bahwa persepsi konsumen mengenai nata de coco adalah sebagai minuman ringan biasa. Nata de coco sebagai salah satu minuman ringan memiliki banyak produk substitusi. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya minuman ringan yang ada di kios, supermarket maupun tempat penjualan lainnya. Contoh produk substitusi nata de coco adalah jeli, nata de aloe, kopi dalam kemasan, jus buah, sari asem, dan berbagai macam minuman ringan lainnya yang memiliki fungsi sama dalam persepsi konsumen. Dari hasil diskusi dengan agen, nampak bahwa antara produk substitusi tidak ada yang mendominasi produk lain dalam penjualan. Hal ini disebabkan konsumen memiliki selera yang berbeda sesuai dengan karakteristik konsumen dalam pembelian produk.

Banyaknya produk substitusi ini mempengaruhi siklus hidup produk nata de coco secara keseluruhan. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Arisandy (2005) bahwa seluruh responden menyatakan frekuensi mereka dalam mengkonsumsi nata de coco adalah tidak tentu dan tidak terencana. Ini menunjukkan keterikatan konsumen terhadap produk nata de coco cukup lemah. Banyaknya pilihan minuman ringan itu memberikan keleluasaan bagi konsumen untuk memilih sesuai kondisi.

Selain harus berhadapan dengan produk substitusi, nata de coco juga menghadapi persaingan dengan produk sejenis. Cukup banyak merek yang beredar dipasaran. Namun seperti halnya produk substitusi, tidak ada satu merek yang mendominasi pasar pada wilayah yang luas. Peluang ini dapat dimanfaatkan oleh perusahaan untuk mampu menjadi penguasa lokal.

Sebagian dari produsen nata de coco di Kota Bogor dapat dilihat pada Lampiran 2.

B. ANALISISLINGKUNGAN INTERNAL

Dokumen terkait