• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

G. Metode Penelitian

5. Analisis Data

Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal ke dalam kategori-kategori atas dasar pengertian-pengertian dari sistem hukum tersebut. Data yang telah dikumpulkan selanjutnya akan dianalisis dengan analisis data kualitatif, yaitu:

41 Edy Ikhsan, Mahmul Siregar, Metode Penelitian Dan Penulisan Hukum Sebagai Bahan Ajar, (Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara), 2009, hlm. 24

a. Mengumpulkan bahan hukum, berupa inventarisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan prinsip tanggung jawab produk (product liability) atas penarikan unit kendaraan bermasalah oleh pelaku usaha.

b. Memilah-milah bahan hukum yang sudah dikumpulkan dan selanjutnya melakukan sistematisasi bahan hukum sesuai dengan permasalahan.

c. Menganalisis bahan hukum dengan membaca dan menafsirkannya untuk menemukan kaiedah, asas dan konsep yang terkandung di dalam bahan hukum tersebut.

d. Menemukan hubungan konsep, asas dan kaidah tersebut dengan menggunakan teori sebagai pisau analisis.42

Penarikan kesimpulan untuk menjawab permasalahan dilakukan dengan menggunakan logika berfikir deduktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan hubungan-hubungan konsep, asas dan kaidah yang terkait sehingga memperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penulisan yang dirumuskan.43

42Soejono Soekonto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 225

43Lexi J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Rosda Karya, 2008), hlm. 48

31

A. Peranan Orang Tua/Wali Dalam Melaksanakan Pengurusan Harta Anak Dibawah Umur Berdasarkan Ketentuan Hukum Islam

Perwalian dalam istilah bahasa adalah wali yang berarti menolong yang mencintai.44Perwalian secara etimologi atau bahasa, memiliki beberapa arti, diantaranya adalah kata perwalian berasal dari kata wali, dan jamak dari awliya.Kata ini berasal dari bahasa arab yang berarti teman, klien, sanak atau pelindung. Dalam literatur fiqih perwalian disebut dengan al-walayah(orang yang mengurus atau yang mengusai sesuatu), seperti kata dalalah yang juga bisa disebut dengan ad-dilalah.Secara etimologis, perwalian memiliki beberapa arti, di antaranya adalah cinta (al-mahabbah) dan pertolongan (an-nashrah) dan juga berarti kekuasaan atau otoritasseperti dalam ungkapan al-wali, yakni orang yang mempunyai kekuasaan.Hakikat dari al-walayah adalah tawalliy al-amr, (mengurus atau menguasai sesuatu).45

Perwalian dalam istilah fiqih disebut wilayah, yang berarti penguasaan dan perlindungan, jadi arti dari perwalian menurut fiqih ialah penguasaan penuh yang diberikan oleh agama kepada seseorang untuk menguasai dan melindungi orang atau

44 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawir, (Jogjakarta: Pondok Pesantren Al Munawir, 1984), hlm. 1960

45 Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 134-135

barang, dimana orang yang diberi kekuasaan perwalian disebut wali.46 Untuk memperjelas tentang pengertian perwalian, maka penulis memaparkan beberapa arti antara lain:

a. Perwalian yang berasal dari kata wali mempunyai arti “orang lain selaku pengganti orang tua yang menurut hukum diwajibkan mewakili anak yang belum dewasa atau belum akil baligh dan melakukan perbuatan hukum.”47

b. Dalam kamus praktis, “wali berarti orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi kewajiban mengurus anak yatim serta hartanya sebelum anak itu dewasa atau pengasuh pengantin perempuan pada waktu nikah (yaitu orang yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki).”48

c. Amin Suma mengatakan “perwalian ialah kekuasaan atau otoritas (yang dimiliki) seseorang untuk secara langsung melakukan suatu tindakan sendiri tanpa harus bergantung (terikat) atas izin orang lain.49

d. Sayyid sabiq mengatakan, “wali adalah suatu ketentuan hukum yang dapat dipaksakan pada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya, selanjutnya menurut beliau wali ada yang khusus dan ada yang umum, yang khusus adalah yang berkaitan dengan manusia dan harta bendanya.”50

46Soemiyati, Hukum Perkawinan Dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 1986), hlm. 41

47 Soedaryo Soimin, Hukum Orang Dan Keluarga, Perspektif Hukum Perdata Barat BW, Hukum Islam Dan Hukum Adat, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm. 60

48Hartono, Kamus Praktis Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hlm. 176

49Muhammad Amin Suma, Op. Cit., hlm. 134.

50Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah 7, ( Bandung: Al Ma’arif, 1980), hlm. 7

e. Ali Afandi menyatakan bahwa perwalian adalah “pengawasan pribadi dan pengurusan terhadap harta kekayaan seorang anak yang belum dewasa jika anak itu tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, jadi dengan demikian anak yang orang tuanya telah bercerai atau salah satu dari mereka atau semuanya meninggal dunia, ia berada dibawah perwalian.”51

Pada intinya perwalian adalah pengawasan atas orang sebagaimana di atur dalam undang-undang, dan pengelolaan barang-barang dari anak yang belum dewasa (pupil).52 Demikian juga dengan penguasaan dan perlindungan terhadap seseorang sebagai wali, orang tersebut mempunyai hubungan hukum dengan orang yang dikuasai dan dilindungi, anak-anaknya atau orang lain selain orang tua yang telah disahkan oleh hukum untuk bertindak sebagai wali,oleh karena itu perwalian tersebut adalah suatu kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan suatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua atau orang tuanya masih hidup tetapi tidak cakap melakukan perbuatan hukum.

Orang tua membacakan syahadat ketika anaknya baru lahir, menamainya dengan nama baik, menyunatkannya apabila anaknya laki-laki dan mengajarkan membaca al-qur’an secara benar. Orang tua mendidik anaknya supaya berbakti kepada keluarga dan masyarakat, membetulkan apabila ia melakukan kesalahan serta menasihati dan memberinya contoh yang baik. Syariat menegaskan supaya anak

51Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hlm. 156

52Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, (Jakarta: Rajawali Pers, 1997), hlm. 150

menghormati dan mematuhi orang tua serta orang yang lebih tua darinya, dan membantu mereka.53

Mengasuh dan merawat anak hukumnya wajib, sama seperti wajibnya orang tua memberikan nafkah yang layak kepadanya dimana semua ini harus dilaksanakan demi kemaslahatan dan keberlangsungan hidup anak. Islam dalam hubungannya dengan hak anak untuk mendapatkan pengasuhan dan perawatan, menuntut agar setiap orang yang berkewajiban memenuhi tugas ini agar melakukannya dengan ikhlas serta sepenuh hati.

Menurut Kompilasi Hukum Islam, anak adalah orang yang belum genap berusia 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah menikah dan karenanya belum mampu untuk berdiri sendiri.54Ketentuan ini berlaku sepanjang anak tidak mempunyai cacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan, oleh karena itu segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh anak diwakili oleh kedua orang tuanya, baik didalam maupun diluar pengadilan.Dalam hal kedua orang tuanya tidak mampu menunaikan kewajiban tersebut, maka pengadilan agama dapat menunjuk seseorang kerabat terdekat untuk melaksanakannya.

Menurut ketentuan hukum syari’ah, ada beberapapersyaratan yang harus dipenuhi agar seseorangdapat dijadikan wali bagi anak-anak yang belumatau tidak cakap bertindak secara hukum. Syaratyang dimaksud di antaranya adalah

1. Orang yang telah cukup umur dan berakalserta cakap bertindak hukum.

53 Ismail R. Al-Faruqi, Altar Budaya Islam, Menjelajah Kazanah Peradaban Gemilang, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 185

54Pasal 98 Kompilasi Hukum Islam

2. Agama wali harus sama dengan agamaanaknya.

3. Memiliki sifat adil

4. Mempunyai kemauan untuk bertindak dan memelihara amanah.

Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 107-112 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang mengatur tentang perwalian dapat disimpulkan bahwa perwalian didefinisikan sebagai kewenangan untuk melaksanakan perbuatan hukum demi kepentingan, atau atas nama anak yang orang tuanya telah meninggal atau tidak mampu melakukan perbuatan hukum. Sementara itu, perwalian dalam pengertian fiqh Islam terbagi tiga, yakni perwalian jiwa (diri pribadi), perwalian harta, dan perwalian jiwa dan harta.

Pada umumnya tanggung jawab orang tua terhadap anak dalam hukum syari’at diatur adalah ibu yang memelihara anaknya ketika bercerai dan jika ibu sudah tidak ada, diserahkan kepada pemelihara yang lebih dekat dengan urutan sebagai berikut:

a. Ibunya ibu (nenek dari ibu) b. Ibunya ayah (nenek dari ayah) c. Ibunya nenek

d. Seterusnya dengan mendahulukan perempuan baru laki-laki (kalau sudah tidak ada yang perempuan) seperti bibi.55

Menurut hukum syari’at orang-orang yang berhak ditunjuk menjadi wali anak dibawah umur terdiri dari:

55Martiman, Hukum Perkawinan Di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo, 1997 ), hlm. 72

a. Jika anak tersebut sudah dapat memilih atau sudah tidak lagi membutuhkan pelayanan perempuan, maka orang yang ditunjuk menjadi wali untuknya diambil dari keluarganya sesuai dengan urutan tertib hukum waris, yaitu siapa yang berhak mendapat warisan terlebih dahulu.

b. Jika anak tersebut belum dapat memilih, para ahli fiqih berpendapat bahwa kerabat ibu lebih didahulukan dari kerabat ayah dan urutannya sebagai berikut:

1) Nenek dari pihak ibu 2) Kakek dari pihak ibu

3) Saudara perempuan sekandung dari anak tersebut 4) Saudara perempuan se ibu

5) Saudara perempuan se ayah 6) Kemenakan perempuan sekandung 7) Kemenakan perempuan ibu se ibu 8) Saudara perempuan ibu sekandung 9) Saudara perempuan ibu se ibu 10) Saudara perempuan ibu se ayah 11) Kemenakan perempuan ibu se ayah

12) Anak perempuan saudara laki-laki sekandung 13) Anak perempuan saudara laki-laki se ibu 14) Anak perempuan saudara laki-laki se ayah 15) Bibi dari ibu sekandung

16) Bibi dari ibu se ibu 17) Bibi dari ibu se ayah

Urutan perwalian tersebut merupakan urutan-urutan yang dapat ditunjuk oleh hakim pengadilan agama untuk menjadi wali bagi seorang anak, apabila ternyata orang tua si anak sebelum meninggal tidak menunjuk wali untuk anaknya.Penunjukan tersebut diambil dari salah seorang diantara mereka mulai dari kerabat terdekat menurut garis keturunannya.56

56Bahder Johan Nasution & Sri Warjiati, Hukum Perdata Islam, (Bandung: Mandar Maju, 1997), hlm. 45-46

B. Perwalian Pengurusan Diri Dan Harta Anak Dalam Ketentuan Hukum Islam Dan KUH Perdata Dalam Rangka Melindung Hak Anak

Perwalian diatur dalam ketentuan hukum Islam dan KUH Perdata.Islam masuk ke wilayah nusantara terjadi pada kepemimpinan dinasti ummayah, dimana pada zaman dahulu Indonesia dikenal sebagai daerah terkenal akan hasil rempah-rempahnya, sehingga banyak sekali para pedagang dan saudagar dari seluruh dunia datang ke kepulauan Indonesia untuk berdagang. Hal tersebut juga menarik pedagang asal Arab, Gujarat, dan Persia, sambil berdagang para pedagang muslim sembari berdakwah untuk mengenalkan ajaran Islam kepada para penduduk.KUHPerdata berlaku di Indonesia pada 1Mei 1848 sampai saat ini KUHPerdata ini masih belaku menurut Pasal 11 Aturan Peralihan UUD 1945, segala badan negara dan peraturan yang ada masih berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD 1945.

Berlakunya KUHPerdata ini berdasarkan asas konkordansi ataun asas keselarasan, yakni asas persamaan berlakunya hukum yang dasar hukumnya diatur dalam Pasal 131 ayat (2) IS.

Perwalian terhadap diri pribadi anak adalah dalam bentuk mengurus kepentingan diri sianak, mulai dari mengasuh, memelihara, serta memberi pendidikan dan bimbingan agama.Pengaturan ini juga mencakup dalam segala hal yang merupakan kebutuhan si anak.Semua pembiayaan hidup tersebut adalah menjadi tanggung jawab si wali. Sementara itu, perwalian terhadap harta bendanya adalah dalam bentuk mengelola harta benda si anak secara baik, termasuk mencatat sejumlah hartanya ketika dimulai perwalian, mencatat perubahan-perubahan hartanya selama

perwalian, serta menyerahkan kembali kepada anak apabila telah selesai masa perwaliannya karena si anak telah dewasa dan mampu mengurus diri sendiri.57

Hukum Islamdan KUH Perdata mengenal berbagai jenis atau macam perwalian. Menurut hukum Islam perwalian terbagi dalam tiga kelompok, dimana paraulama mengelompokan perwalian sebagai berikut:

1. Perwalian terhadap jiwa (al-walayah ‘alan-nafs).

2. Perwalian terhadap harta (al-walayah ‘alal-mal).

3. Perwalian terhadap jiwa dan harta (al-walayah ‘alan-nafsi wal-mali ma‘an).

Dedi Junaedi mengelompokkan perwalian dibagi kedalam dua kategoriyaitu sebagai berikut:

a. Perwalian umum biasanya mencakup kepentingan bersama (bangsa atau rakyat) seperti waliyul amri (dalam arti gubernur) dan sebagainya, sedangkan perwalian khusus adalah perwalian terhadap jiwa dan harta seseorang, seperti terhadap anak yatim.58

b. Perwalian khusus yaitu meliputi perwalian terhadap diri pribadi anak tersebutdan perwalian terhadap harta bendanya.

Para ulama madzhab sepakat bahwa wali dan orang yang menerima wasiat untuk menjadi wali dipersyaratkan harus baligh, mengerti, dan seagama, bahkan banyak diantara mereka yang mensyaratkan bahwa wali itu harus adil, sekalipun ayah dan kakek.Perwalian ditetapkan untuk membantu ketidakmampuan orang yang menjadi objek perwalian dalam mengekspresikan dirinya.59Oleh karena itu, dasar diadakannya perwalian adalah karena agar tidak terjadi kekosongan (vacuum), karena

57Ibid., hlm. 104-105

58Dedi Junaedi, Bimbingan Perkawinan, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2000), hlm. 104

59Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab (Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali), (Jakarta: Lentera, 2001), hlm. 696

kekosongan orang tua telah dicabut terhadap anak atau anak-anak yang masih membutuhkannya.

Landasan hukum perwalian menurut syari’at dimana dalam menetapkan hukum dan ketentuan mengenai perwalian, merujuk kepada al-qur’an mengenai pentingnya pemeliharaan terhadap harta, terutama pemeliharaan terhadap harta anak yatim yang telah ditinggalkan oleh orang tuanya. Allah berfirman:

“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah dewasa) harta mereka, janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk, dan jangalah kamu makan harta mereka bersama hartamu, sungguh (tindakan menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar.”60

Ayat ini menjadi suatu landasan dalam memelihara harta anak yatim yang telah ditinggalkan orang tuanya atau ahli warisnya, dimana dalam ayat tersebut secara jelas menyatakan mengenai pemeliharaan dan perlindungan terhadap harta sampai mereka telah cakap dalam pengelolaannya (dewasa).Artinya jika anak-anak yatim tersebut belum cakap hukum, maka pengelolaan harta tersebut harus dijaga dan dipelihara oleh walinya. Selain adanya perintah untuk menjaga anak yatim tersebut, baik dalam konteks penjagaan jiwa dan perkembangan mereka, juga penjagaan terhadap harta mereka dan allah sangat murka jika orang yang kemudian menjadi wali tidak dapat menjaga dan memelihara harta tersebut.

Selain dalam konteks al-qur’an dan hadist sebagai landasan ketentuan mengenai perwalian. Dalam konteks sistem hukum, landasan tersebut juga telah diadopsi dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam), landasan hukum terhadap perwalian

60Firman Allah Dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa Ayat 2

tersebut, diatur dalam bab mengenai perwalian. Pada Pasal 107 ayat (1-4) dinyatakan bahwa:

(1) Perwalian hanya terhadap anak yang belum berumur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

(2) Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaan.

(3) Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut, dan

(4) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikir sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik, atau badan hukum.

Dalam sistem hukum Islam, wali memiliki tanggung jawab yang bertujuan untuk memelihara akan kesejahteraan dari pada yang diperwalikan, termasuk dalam pemeliharaan harta benda yang dipertinggalkan. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 110 KHI, yaitu:

(1) Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah perwaliannya dengan sebaik-baiknya dan berkewajiban memberikan bimbingan agama, pendidikan dan ketrampilan lainnya untuk masa depan orang yang berada dibawah perwaliannya.

(2) Wali dilarang mengikat, membebani dan mengasingkan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang berada di bawah perwaliannya atau merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari.

(3) Wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya, dan mengganti kerugian yang timbul akibat kesalahan dan kelalainnya

(4) Dengan tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam Pasal 51 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, pertanggungjawaban wali tersebut ayat (3) harus dibuktikan dengan pembukuan yang ditutup tiap tahun sekali.

Ketentuan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyatakan bahwa:

(1) Wali wajib mengurus anak yang berada dibawah kekuasaannya dan harta bendanya sebaik baiknya dengan menghormati agama kepercayaan anak itu.

(2) Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua peru bahan-perubahan harta benda anak tersebut.

(3) Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada dibawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan kesalahan dan kelalaiannya.

Pasal 52 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan memuat ketentuan mengenai larangan bagi wali, dimana didalam melaksanakan perwalian wali tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum melakukan perkawinan kecuali apabila kepentingan anak tersebut memaksa. Ketentuan tersebut di atas menjadi landasan hukum yang mengikat terhadap kedudukan dan wewenangan seorang wali dalam menjaga dan atau memelihara baik jiwa dan harta anak yatim.

Menurut KUH Perdata, perwalian terhadap anak, dilakukan baik itu secara orang-perorangan maupun yayasan dan lembaga lainnya, ini merupakan akibat dari adanya kebutuhan yang mengkehendaki adanya perwalian yang ditunjuk oleh pengadilan maupun yang dengan sendirinya dapat terjadi berdasarkan ketentuan hukumnya.Ketentuan hukum perdata mengenai perwalian diatur dalam Pasal 331 sampai dengan Pasal 418 KUH Perdata.Sedangkan arti dari perwalian itu sendiri menurut hukum perdata adalah penguasaan terhadap pribadi dan pengurus harta kekayaan seorang anak yang belum dewasa, jika anak itu tidak berada di bawah kekuasaan orang tua.Dengan demikian anak yang orang tuanya telah bercerai atau jika salah satu dari mereka atau semua (keduanya) telah meninggal dunia, berada di

bawah perwalian.Terhadap anak luar kawin, karena tidak ada kekuasaan orang tua, maka anak tersebut selalu di bawah perwalian.

Ada tiga jenis perwalian yang diatur dalam ketentuan hukum perdata yaitu sebagai berikut:

1) Perwalian menurut undang-undang yang diatur dalam Pasal 345 KUH Perdata dimana jika salah satu orang tua meninggal dunia, maka perwalian demi hukum, dilakukan oleh orang tua yang masih hidup terhadap anak yang belum dewasa.

2) Perwalian dengan wasiat yang diatur dalam Pasal 355 KUH Perdata dimana setiap orang tua yang melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian, berhak mengangkat seorang wali bagi anaknya, jika perwalian itu berakhir pada waktu ia meninggal dunia atau berakhir dengan penetapan hakim.

3) Perwalian yang diangkat oleh hakim yang diatur dalam Pasal 359 KUH Perdata, dimana dalam hal tidak ada wali menurut undang-undang atau wali dengan wasiat, oleh hakim dapat ditetapkan atau diangkat seorang wali dari Balai Harta Peninggalan (BHP), baik sebelum maupun sesudah pengangkatan itu dapat melakukan tindakan-tindakan seperlunya guna mengurus diri dan harta kekayaan anak yang belum dewasa sampai perwalian itu mulai berlaku.

Menurut Pasal 331 KUH Perdata, dalam setiap perwalian hanya ada seorang wali, kecuali yang ditentukan dalam Pasal 351 dan 361 KUH Perdata. Dengan kata lain kedudukan dan wewenang perwalian tidak dapat dibagi-bagi dan harus diserahkan kepada satu wali. Asas tidak dapat dibagi-bagi ini mempunyai kekecualian, yakni:

a) Jika perwalian itu dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang hidup terlama, maka kalau ia kawin lagi suaminya menjadi wali peserta.61

b) Jika sampai ditunjuk pelaksana pengurusan yang mengurus barang-barang orang yang belum dewasa di luar negeri.62

Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa landasan hukum tentang perwalian dalam hukum perdata terdapat dalam Pasal 330 KUH Perdata. Secara umum, dalam KUH Perdata terdapat beberapa asas mengenai perwalian, yaitu:

1. Asas tak dapat dibagi-bagi (ondeelbaarheid) dimana pada tiap-tiap perwalian hanya ada satu wali, hal ini tercantum dalam Pasal 331 KUH Perdata. Asas tak dapat dibagi-bagi ini mempunyai pengecualian dalam dua hal, yaitu dalam Pasal 351 KUH Perdata disebutkan bahwa jika perwalian itu dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang hidup paling lama (langs tlevendeouder), maka kalau ia kawin lagi suaminya menjadi medevoogd atau wali serta. Pasal 361 KUH Perdata, dinyatakan bahwa jika sampai ditunjuk pelaksanaan pengurusan (bewindvoerder) yang mengurus barang-barang minderjarige diluar Indonesia 2. Asas persetujuan dari keluarga dimana asas persetujuan keluarga merupakan asas

dimana keluarga harus dimintai persetujuan tentang perwalian. Jika keluarga tidak ada maka tidak diperlukan persetujuan pihak keluarga itu, sedang pihak keluarga kalau tidak datang sesudah diadakan panggilan dapat dituntut berdasarkan Pasal 524 KUH Perdata. Dalam KUHPerdata, juga mengatur tentang

61Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

62Pasal 361 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

perwalian bagi seorang perempun, dimana dalam pasal tersebut dikatakan mengenai wewenang wali “perempuan bersuami tidak boleh menerima perwalian tanpa bantuan dan izin tertulis dari suaminya.” Namun jika suami tidak memberika izin, maka bantuan dari pendamping (bijstand) itu dapat digantikan dengan kekuasaan dari hakim. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 332 b ayat 2 KUH Perdata “apabila si suami telah memberikan bantuan atau izin atau apabila ia kawin dengan perempuan itu setelah perwalian bermula, sepertipun apabila si perempuan tadi menurut Pasal 112 atau Pasal 114 dengan kuasa dari hakim telah menerima perwalian tersebut, maka si wali perempuan bersuami atau tidak bersuami, berhak melakukan segala tindakan-tindakan perdata berkenaan dengan perwalian itu tanpa pemberian kuasa atau bantuan ataupun juga dan atau tindakan-tindakan itupun bertanggung jawab pula.”

Selain perwalian dalam bentuk perorangan, KUH Perdata juga mengatur tentang perwalian yang dilakukan oleh badan hukum. Dalam Pasal 355 ayat 2 KUH Perdata dinyatakan bahwa “badan hukum tidak dapat diangkat sebagai wali, tetapi berkaitan dengan hal tersebut, sebuah perwalian yang dilaksanakan oleh badan

Selain perwalian dalam bentuk perorangan, KUH Perdata juga mengatur tentang perwalian yang dilakukan oleh badan hukum. Dalam Pasal 355 ayat 2 KUH Perdata dinyatakan bahwa “badan hukum tidak dapat diangkat sebagai wali, tetapi berkaitan dengan hal tersebut, sebuah perwalian yang dilaksanakan oleh badan