• Tidak ada hasil yang ditemukan

G. Metode Penelitian

6. Analisis Data

Analisis data yaitu merupakan suatu proses atau langkah-langkah dalam pengorganisasian dan mengurutkan bahan hukum yang dikumpulkan pada suatu pola kategori dan satuan untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan diatas. Jadi, bahan hukum yang diperoleh dari kepustakaan, bahan hukum primer seperti peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder seperti buku-buku teks, literatur, karya tulis ilmiah dan bahan hukum tersier seperti kamus, tulisan, dan lain- lain diuraikan dan dihubungkan begitu rupa sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna membahas dan menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.

BAB II

FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERJADINYA PERCERAIAN DILUAR PENGADILAN

A. Hakikat Talak Menurut Hukum Islam.

Apabila ditelusuri sumber hukum Islam, al-Quran (QS.al-Baqarah [2]:227- 237,Q.S.al-Nisa’[4]:19,34,35,128,130, Q.S.al-Ahzab[33]: 28,29,39, QS. Al Thalaq [65]:1,2,4,6,7) dan Sunnah shahih, yang mengatur tentang talak dan berbagai aspek hukum di dalamnya, maka dapat ditarik beberapa garis hukum tentang perceraian sebagai berikut:

1. Perceraian adalah dibolehkan dalam Islam sebagai jalan terakhir untuk menyelamatkan suami isteri dan anak-anak dalam kondisi rumah tangga yang tidak mungkin dipertahankan lagi.

2. Meskipun perceraian dibolehkan, namun perbuatan tersebut sangat dibenci oleh Allah SWT mengingat besarnya dampak negatif yang akan timbul akibat perceraian.

3. Meskipun perceraian dibolehkan dalam kondisi dharurat, namun perceraian harus dilakukan dengan cara-cara ihsan (baik). Makna ihsan mencakup asas keadilan, persamaan dan pemeliharaan hak dan kewajiban serta harus didasari oleh alasan atau alasan-alasan yang dibenarkan hukum.

4. Perceraian merupakan salah satu perbuatan hukum yang tidak boleh dilakukan semena-mena (serampangan) untuk menjaga sakralitas institusi perkawinan. Berdasarkan beberapa pokok pikiran tersebut, maka yang menjadi nilai-nilai mutlak dan tidak mungkin diubah dalam ajaran Islam tentang perceraian (nilai-nilai kategori Syari’ah) adalah kebolehan perceraian dalam kondisi tertentu, sedangkan tata cara pelaksanaannya secara “ihsan” adalah bersifat umum dan dinamis serta berkembang sesuai dengan tuntutan kemaslahatan masyarakat. Sebagai contoh, dalam hadis riwayat Ibnu Abbas r.a disebutkan bahwa talak pada masa Rasulullah SAW dan

Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq serta dua tahun masa kekhalifahan Umar ibn al- Khaththab, yang dijatuhkan tiga kali sekaligus dihitung satu, setelah itu di saat masyarakat mulai mempermain-mainkan talak, maka Khalifah Umar ibn al- Khaththab menetapkan talak yang dijatuhkan tiga kali sekaligus dihitung tiga.60

Ketetapan Umar tersebut secara zhahir terlihat bertentangan dengan ayat al- Quran (ath-thalaqu marrataini) yang menyatakan talak itu dua kali serta berbeda dengan praktek hukum pada masa Rasulullah dan Abu Bakar. Namun oleh karena substansi talak pada hakikatnya adalah untuk memelihara institusi perkawinan, maka Umar selaku penguasa pada waktu itu berani menetapkan hukum yang tidak sama dengan praktek pada zaman Rasul dan Abu Bakar.

Apabila dilihat dari segi rentang waktu terjadinya perubahan hukum di sekitar talak pada masa Umar tersebut kurang lebih hanya empat tahun setelah Rasulullah SAW wafat terjadi perubahan kondisi masyarakat sehingga Umar memandang perlu adanya perubahan hukum karena mempertahankan ketentuan yang lama dalam kondisi masyarakat yang suka mempermain-mainkan talak akan berakibat tidak tercapainya tujuan pensyari’atan talak sebagai proteksi untuk melindungi institusi perkawinan. Apalagi apabila dibandingkan dengan situasi dan kondisi masyarakat modern sekarang yang rentang waktunya sudah lebih kurang 14 abad yang silam tentu mengalami perubahan dan perkembangan yang jauh lebih besar dan sudah pasti menuntut kajian hukum yang lebih dalam pula untuk dapat menerapkan hukum sesuai dengan tuntutan perubahan.

Pada masa lalu, sebagian ulama berpendapat bahwa hak talak merupakan hak mutlak suami sehingga suami dapat menggunakan haknya tersebut kapan, dimana dan dengan alasan apapun. Akibat dari persepsi tersebut banyak terjadi perceraian yang merugikan pihak perempuan dan anak-anak selaku pihak yang paling banyak menderita akibat putusnya perkawinan.

Apabila kembali dikaji kembali dasar-dasar hukum Al-Quran dan Sunnah yang menempatkan hak talak pada suami, ternyata tidak ada suatu ayat atau hadis yang secara tegas mengungkapkan hal itu. Pemberian hak talak kepada suami adalah berbentuk fikih atau pemahaman dari tekstual ayat dan praktek pada masa Nabi. Namun apabila dicermati lebih jauh, praktek talak pada masa Nabi dan para sabahat pun tidak terlepas dari peran dan fungsi penguasa dalam menentukannya. Seperti campur tangan Nabi SAW yang memerintahkan Ibn Umar untuk kembali kepada isterinya yang dijatuhkan talak disaat haid, marahnya Nabi ketika seorang laki-laki menjatuhkan talak tiga sekaligus, campur tangan Umar ibn al-Khaththab untuk menetapkan talak tiga sekaligus dijatuhkan tiga, tindakan Umar yang memukul punggung seorang laki-laki yang menjatuhkan talak terhadp isterinya secara semena- mena.

Menurut ketentuan Hukum Islam yang berlaku di Indonesia pada saat ini bahwa, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama, setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Tahun 1991.

Adapun dasar dari ketentuan tersebut berdasarkan kajian terhadap isi kandungan, makna dan tujuan (maqashid) dari seluruh ayat al-Quran dan hadis-hadis Rasulullah SAW yang berkaitan dengan masalah perceraian, yang intisarinya dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Bahwa menurut ajaran Islam yang bersumber dari ayat al-Quran dan Hadis Nabi SAW., ikatan perkawinan adalah suatu ikatan yang sangat sakral (suci) dan sangat kokoh (mitsaqan ghalizan). Ikatan perkawinan disebut Allah SWT sebagai ikatan yang sangat kuat (mitsaqan ghalizan)sebagaimana tersebut dalam surat An-Nisa’ [4] ayat 21 yang artinya:

Artinya: “...Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”.(Q.S An-Nisa:21).

Ikatan perkawinan disebut sebagai ikatan yang sangat kuat karena di dalam ikatan perkawinan tersebut tersimpul hak dan kewajiban yang sangat banyak dan mulia, tujuannya untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah (Pasal 2 KHI). Dalam al-Quran Allah SWT hanya tiga kali menyebutkan kalimatmitsqan ghalizanmasing-masing:

1. Ketika menyebutkan ikatan perkawinan (surat An-Nisa’[4] ayat 21)

2. Ketika menyebutkan perjanjian antara Nabi Musa dengan kaumnya (surat an Nisa[4] ayat 154)

3. Ketika menyebutkan perjanjian yang diikatkan oleh para Nabi untuk menyampaikan ajaran agama kepada umat (surat al-Ahzab[33] ayat 7).

Oleh karena ikatan perkawinan adalah sesuatu yang sangat kuat, maka ikatan perkawinan menurut ajaran Islam tidak mungkin diputuskan melalui perceraian, kecuali dalam kondisi yang tidak dapat dihindarkan (darurat) saja.

b. Bahwa oleh karena perceraian adalah jalan yang boleh ditempuh untuk menyelesaikan kemelut rumah tangga dalam kondisi “darurat” saja, maka perceraian haruslah merupakan jalan (alternatif) terakhir yang dapat ditempuh untuk menyelamatkan suami isteri dan keturunan mereka, di saat perpecahan rumah tangga suami isteri tersebut tidak mungkin lagi dipertahankan. Apabila rumah tangga mereka tetap dipertahankan dalam kondisi yang demikian, besar kemungkinan akan timbul kemudaratan dan kerusakan (mafsadat) yang lebih besar, baik terhadap kedua belah pihak maupun terhadap anak-anak mereka. Sementara kaidah fikih menyatakan: “Menolak kemudharatan lebih utama daripada mengambil manfaat”.

Apabila kondisi rumah tangga masih dalam keadaan biasa dan belum sampai ke tahap dharurat, maka perceraian sangat dilarang mengingat besarnya dampak atau akibat yang akan diderita oleh kedua belah pihak, terutama oleh anak-anak mereka setelah perceraian.

c. Meskipun perceraian hanya dibolehkan dalam kondisi darurat, namun perceraian merupakan jalan keluar yang sangat dibenci oleh Allah SWT, sesuai dengan Sabda Rasulullah SAW. yang artinya:

Artinya: “Perbuatan halal yang sangat dimurkai oleh Allah adalah thalaq (perceraian)”(HR. Abu Daud).

Perceraian merupakan jalan keluar yang sangat dibenci Allah SWT karena dapat menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan masing-masing suami isteri, apalagi bagi anak-anak mereka.

d. Mengingat perceraian merupakan “jalan terakhir”, maka perceraian tidak boleh dilakukan secara “sewenang-wenang”, “serampangan” atau “sesuka hati”. Perceraian wajib dilakukan secara “baik” yang dalam bahasa al-Quran disebut dengan secara “ma’ruf” , sebagaimana ditegaskan Allah SWT dalam surat Ath- Thalaq ayat 2 yang artinya:

Artinya: ….“(apabila kamu ingin bersatu kembali) maka penganglah para isteri itu secara baik, namun apabila kamu ingin bercerai, ceraikanlah para isteri itu secara baik pula”. Persaksikanlah dengan dua orang saksi di antara kamu, dan tegakkanlah kesaksian itu karena Allah…(QS. At-Thalaq:2)

Sebagaimana tuntutan Allah SWT dimana perceraian harus dilakukan secara ma’ruf atau ihsan (baik) tersebut, maka perceraian harus diatur pelaksanaanya agar tidak dilakukan secara sewenang-wenang. Apabila pintu perceraian dibuka secara luas, maka suami isteri yang sedang bertengkar dalam rumah tangga akan sangat mudah melakukan perceraian itu, akibatnya rumah tangga akan menjadi kacau. Apabila kehidupan rumah tangga menjadi kacau, dampaknya sudah pasti akan sangat buruk terhadap kehidupan bermasyarakat secara umum, termasuk bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab, baiknya kehidupan suatu bangsa apabila masyarakatnya baik, baiknya kehidupan masyarakat apabila keluarga-keluarga sudah baik. Sebaliknya jika kehidupan keluarga kacau balau, maka masyarakat juga akan menjadi kacau, halmana pasti tidak dikehendaki oleh ajaran Islam. Dalam konteks inilah, maka secara siyasah syar’iyah, persoalan talak perlu diatur pelaksanaannya oleh negara.

Apabila direnungkan secara filosofi, bahwa pertengkaran dan perselisihan dalam suatu rumah tangga adalah sesuatu hal yang lumrah dan mungkin terjadi serta bersifat alami. Hal itu sangat mungkin terjadi karena suami dan isteri adalah dua insan yang memang berbeda, baik dari segi latar belakang pendidikan, keluarga, lingkungan sosial, karakter dan sifat masing-masing, maupun perbedaan status sosial dan lain sebagainya. Perbedaan-perbedaan itulah yang secara alami menyebabkan suami isteri memiliki pola pikir berbeda, akibatnya suami isteri akan sering berbeda pandangan dalam menyelesaikan suatu masalah, termasuk dalam hal menempuh “cara” untuk menyelesaikan masalah tersebut. Perbedaan-perbedaan latar belakang kehidupan itu juga sering menimbulkan perbedaan harapan dan cita-cita. Kondisi yang memang sudah tercipta secara alami tersebut kemudian disatukan dalam sebuah ikatan yang kokoh disebut dengan rumah tangga, dalam perbedaan-perbedaan itu tentu saja besar kemungkinan akan menimbulkan pergesekan-pergesekan kepentingan, sehingga berwujud dalam bentuk perselisihan dan pertengkaran.

Apabila masing-masing suami dan isteri memahami hakikat perkawinan tersebut, maka besar kemungkinan kedua suami isteri itu akan saling menerima setiap perbedaan itu, baik berupa kelebihan maupun kelemahan masing-masing secara ikhlas. Karena perbedaan-perbedaan itu tercipta bukanlah atas kehendak masing-masing untuk menciptakannya, melainkan kehendak Allah SWT lah yang paling menentukan tentang siapa orangtua yang melahirkan kita, dimana

lingkungan tempat kita tinggal, keluarga dan masyarakat kita sehingga sejak kecil hingga dewasa membentuk sifat dan karakter kita masing-masing.

Meskipun perselisihan dan pertengkaran dalam kehidupan rumah tangga adalah sesuatu hal yang tidak mungkin dihindarkan. Namun tidak berarti semua perselisihan dan pertengkaran dalam rumah tangga itu harus diakhiri dengan jalan perceraian. Hanya perselisihan dan pertengkaran yang sangat memuncak dan besar kemungkinan akan menimbulkan kemudaratan saja yang boleh diselesaikan dengan perceraian dan itupun harus dilakukan secara baik (ma’ruf) agar tidak menimbulkan akibat yang sangat buruk bagi kedua belah pihak, apalagi bagi anak-anak mereka.

Mengingat besarnya dampak negatif yang akan muncul dari suatu perceraian itu, maka masalah “perceraian” menurut pendapat ulama dan pakar hukum Islam untuk masa sekarang ini tidak lagi semata-mata merupakan urusan pribadi seorang suami atau isteri, melainkan telah menjadi urusan pemerintah/negara (publik) untuk mengaturnya.

Pemerintah selaku pihak yang wajib mengayomi dan melindungi warga negaranya mempunyai kewajiban untuk mengatur tertibnya rumah tangga setiap warga negaranya agar terjamin ketertiban kehidupan masyarakat, yang pada gilirannya akan mewujudkan ketertiban hidup berbangsa dan bernegara.

Pemerintah Indonesia selaku “Ulil Amri” yang wajib ditaati setelah kewajiban mentaati Allah dan Rasul-Nya bagi seluruh umat Islam di Indonesia, telah mengeluarkan ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam bahwa perceraian hanya

dapat terjadi di depan pengadilan setelah pengadilan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Kebijakan yang diambil oleh pemerintah untuk mengatur masalah perceraian dalam kehidupan masyarakat tersebut telah sejalan dengan kaidah hukum yang menyatakan:“Kebijakan pemerintah untuk rakyatnya adalah mengacu kepada kemaslahatan”.

Oleh karena ketentuan yang ditetapkan pemerintah itu bertujuan untuk kemashlahatan umum, maka ketetapan pemerintah tersebut sangat patut dan wajib didukung oleh semua masyarakat, terutama masyarakat Islam karena telah sejalan dengan maksud dan tujuan hukum Islam itu sendiri. Dari kacamata al- Quran, sepanjang ketentuan yang dibuat pemerintah bertujuan untuk kemashalahatan hidup masyarakat, maka ketentuan tersebut wajib ditaati sebagai perwujudan dari kewajiban mengikuti perintah Allah dan Rasulnya.

e. Untuk menghindari agar perceraian tidak dijatuhkan secara sewenang-wenang dan sesuka hati, maka pihak yang patut dan layak menilai kondisi “darurat” tersebut bukanlah suami atau isteri yang sedang terlibat pertikaian itu, karena dikhawatirkan mereka akan salah dalam menilai (subjektifivitas), apalagi mereka adalah pihak-pihak yang sedang bertikai.

Suami atau isteri yang sedang bertikai atau berselisih cendrung menilai suatu masalah secara emosional dan kurang pertimbangan. Dalam keadaan bertengkar setiap suami isteri cendrung melihat sisi buruk dari masing-masing pasangannya sehingga mudah untuk terjerumus dalam perceraian. Sementara Rasulullah SAW telah menyatakan dalam sebuah hadis yang artinya: “Perceraian tidak sah

apabila dijatuhkan dalam keadaan marah, dendam dan penuh kebencian”

(Hadis). Bahkan, dalam ajaran Islam perceraian tidak boleh dilakukan hanya atas dasar pemufakatan kedua belah pihak suami isteri karena kemufakatan untuk bercerai adalah kemufakatan yang bertentangan dengan kehendak hukum Islam itu sendiri. Oleh karena perceraian adalah sesuatu yang dimurkai Allah SWT, maka permufakatan bercerai adalah permufakatan untuk mencari kemurkaan Allah SWT.

Oleh sebab itu, pihak yang patut dan layak menilai kondisi rumah tangga apakah sudah sampai ke tahap darurat atau belum, haruslah pihak yang netral (independen), yaitu pihak yang mampu berlaku adil, yang tidak memiliki kepentingan apa-apa terhadap salah satu pihak, baik kepada suami ataupun isteri, pihak ini hanya berpihak kepada kemashlahatan rumah tangga mereka, baik terhadap suami, isteri dan anak-anak mereka. Dalam hal ini, pemerintah telah menetapkan bahwa pihak yang layak menilai kondisi darurat itu adalah Pengadilan Agama (bagi umat Islam) di Indonesia. Pengadilan Agama secara hukum bertugas dan berwenang menyelesaikan sengketa-sengketa umat Islam termasuk di dalamnya masalah perceraian. Pengadilan Agama (dalam hal ini Hakim) akan memeriksa apakah perceraian tersebut telah beralasan hukum. Penilaian itu wajib berdasarkan alat-alat bukti yang dapat dipertanggungjawabkan di depan persidangan.

Dalam rangkaian sejarah umat Islam, turut campurnya pemerintah dalam mengatur kehidupan masing-masing pribadi masyarakatnya bukanlah sesuatu hal

yang baru. Pada masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a, beliau pernah mengambil kebijakan untuk memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat, padahal tidak ada satu ayat atau hadispun yang memerintahkan untuk memerangi orang yang tidak membayar zakat. Kewajiban membayar zakat sebenarnya adalah urusan masing-masing peribadi kepada Allah SWT., namun ketika hal itu bertujuan untuk memelihara kepentingan umum, maka pemerintah dapat mengaturnya agar kemashlatan umum masyarakat dapat terwujud.

Demikian pula halnya dengan masalah perceraian. Ayat-ayat al-Quran dan Hadis-hadis yang berkaitan dengan perceraian tidak akan pernah diubah dan berubah sampai kapanpun, namun teknis pelaksanaannya dapat saja berubah sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat. Kalau pada masa lalu, para pakar hukum Islam berpendapat bahwa hak talak adalah hak mutlak suami yang dapat dijatuhkan kapan, dimana dan dengan cara apapun, maka pendapat tersebut untuk situasi dan kondisi pada saat ini dirasakan kurang tepat karena akan menimbulkan perceraian-perceraian secara sewenang-wenang dan sesuka hati dari pihak suami. Apabila pendapat ini dipakai untuk situasi dan kondisi saat ini, maka pihak wanita (isteri) dan anak-anak akan terzalimi, padahal Islam adalah agama yang menyelamatkan dan agama yang mementingkan keadilan bagi siapapun. Kepentingan suami dan isteri harus dipelihara secara adil dan seimbang, demikian juga kepentingan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Oleh sebab itu para pakar hukum Islam di Indonesia setelah mempertimbangkan berbagai segi dan mempertimbangkan kokohnya ikatan

perkawinan dan tujuan perceraian akhirnya menetapkan bahwa perceraian harus diatur oleh negara agar terlaksana secarama’ruf (baik). Pengaturan negara dalam masalah perceraian itu semata-mata bertujuan untuk menyelamatkan kehidupan keluarga dan masyarakat secara umum, sejalan dengan tujuan Syari’at Islam.

Berdasarkan uraian tersebut, maka perceraian suami isteri yang dilakukan di luar pengadilan, dari kaca mata hukum Islam yang berlaku saat ini di Indonesia dipandang tidak sah dan tidak berkekuatan hukum. Perceraian seperti itu tidak dapat dibuktikan secara sah dengan akta cerai. Apabila suami isteri telah berpisah akibat melakukan perceraian di luar pengadilan, maka dari kaca mata hukum Islam yang berlaku saat ini di Indonesia dipandang masih terikat suami isteri.

Sebagaimana telah ditegaskan di atas, bahwa perkawinan adalah ikatan yang sangat kokoh (mitsaqan ghalizan) yang tidak dapat diputuskan kecuali dengan cara-cara yang dibenarkan hukum Islam Islam.

Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 113 disebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena: (1) kematian, (2) perceraian, dan (3) atas putusan pengadilan. Yang dimaksud dengan putusnya ikatan perkawinan karena kematian adalah berakirnya ikatan suami isteri disebabkan wafatnya salah seorang dari mereka. Adapun yang dimaksud dengan putusnya perkawinan karena perceraian adalah berakhirnya ikatan perkawinan karena perceraian yang dilangsungkan di pengadilan. Perceraian yang dilaksanakan di pengadilan ini adakalanya berbentuk cerai talak, yaitu perceraian yang dilaksanakan oleh suami di depan sidang pengadilan, atau berbentuk cerai gugat yaitu cerai yang dijatuhkan oleh

pengadilan karena adanya gugatan dari pihak isteri. Sedangkan yang dimaksud dengan putusan pengadilan adalah putusnya ikatan perkawinan yang didasarkan atas putusan pengadilan selain cerai talak dan cerai gugat, seperti pembatalan perkawinan (fasakh).

Oleh karena perceraian yang diakui secara hukum adalah yang dilakukan di depan sidang pengadilan, maka perceraian yang dilakukan secara liar atau di luar pengadilan, dinilai tidak memiliki kekuatan hukum. Oleh sebab itu, perceraian yang demikian tidak memiliki pengaruh apa-apa terhadap perkawinan. Antara suami isteri tersebut secara hukum masih terikat dalam sebuah perkawinan, keduanya dapat hidup bersama sebagai suami isteri karena hak dan kewajiban masing-masing masih tetap berjalan sampai adanya putusan pengadilan yang menceraikan mereka.

Memang dalam kitab-kitab fikih pada masa lalu ada pendapat yang menyatakan bahwa perceraian itu merupakan hak suami secara mutlak yang boleh dijatuhkan kapan, dimanapun dan dengan cara apapun dikehendakinya. Pendapat ini berlandaskan kepada ketentuan umum ayat al-Quran dan hadis Nabi SAW. di antaranya yang artinya : “Tiga perkara yang tidak boleh dipermain- mainkan, yakni nikah, talak dan rujuk”(HR. an-Nasa’i).

Setelah dilakukan pen-takhrij-an (penelitan) terhadap sanad hadis di atas, para pakar hadis menilai bahwa hadis di atas hanya memiliki kualitas paling tinggi hasan gharib (hadis yang dikuatkan oleh hadis yang lain). Bahkan, Ibnu Majjah menilai hadis ini sebagai hadis mungkar. Apabila dilihat dari segi teks (matan)

hadis, terlihat bahwa makna yang dikehendaki oleh hadis itu adalah tiga hal yang tidak boleh dipermain-mainkan, yaitu nikah, talak dan rujuk. Sementara selama ini, sebagian ulama dan masyarakat memahami makna hadis itu secara tekstual, yaitu tiga perkara yang apabila dilakukan main-main atau sungguh-sungguh hukumnya adalah sungguh-sungguh, yaitu nikah, talak dan rujuk. Namun anehnya pemahaman masyarakat secara tektual itu dibatasi pada talak saja, tidak untuk nikah dan rujuk. Padahal teks hadis itu secara jelas dan terang menyatakan tiga perbuatan, yaitu nikah, talak dan rujuk tanpa ada perbedaan. Semestinya apabila talak yang dijatuhkan main-main itu dianggap sah, maka nikah secara main-main seharusnya juga dianggap sah, demikian pula rujuk yang dilakukan main-main semestinya juga dianggap sah. Tetapi para ulama menyatakan bahwa nikah dan rujuk itu harus memenuhi rukun dan syarat tertentu yang tidak boleh dilanggar supaya perkawinan menjadi sah. Terlihat bahwa pemahaman terhadap hadis seperti demikian tidak konsisten dan tidak tepat.

Perubahan hukum dalam tataran fikih merupakan sebuah kemutlakan agar hukum tersebut dapat diterapkan sesuai dengan perubahan zaman. Sedangkan hukum dalam kategori syariah merupakan hukum yang bersifat tetap dan abadi sepanjang zaman serta tidak terpengaruh oleh situasi dan kondisi apapun. Adanya perubahan hukum menghendaki perubahan paradigma berpikir masyarakat Islam sebagai habitat hukum Islam tersebut, termasuk di bidang hukum perkawinan, khususnya perceraian. Perceraian tidak lagi merupakan hak mutlak suami, namun sudah menjadi bagian dari hak masyarakat umum sehingga perlu diatur

Dokumen terkait