• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkawinan Dengan Perempuan Yang Diceraikan Diluar Pengadilan (Studi Kecamatan Ulee Kareng Banda Aceh)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perkawinan Dengan Perempuan Yang Diceraikan Diluar Pengadilan (Studi Kecamatan Ulee Kareng Banda Aceh)"

Copied!
140
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

AIYA ERNITA

117011048/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

AIYA ERNITA

117011048/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Program Studi : MAGISTER KENOTARIATAN

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD)

Pembimbing Pembimbing

(Dr.Utary Maharani Barus,SH,MHum) (Dr.Idha Aprilyana Sembiring,SH, MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD Anggota : 1. Dr. Utary Maharani Barus, SH, MHum

(5)

Nama : AIYA ERNITA

Nim : 117011048

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : PERKAWINAN DENGAN PEREMPUAN YANG

DICERAIKAN DILUAR PENGADILAN (STUDI KECAMATAN ULEE KARENG BANDA ACEH)

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

(6)

yang timbul dalam suatu rumah tangga yang tanpa disadari dapat menyebabkan terjadinya perceraian perceraian juga banyak terjadi dimasyarakat Aceh, khususnya dalam penelitian ini adalah pada masyarakat Ulee Kareng, Kota Banda Aceh. Dalam praktek perceraian dimasyarakat Ulee Kareng ini sering/kerap dilakukan di luar pengadilan sehingga hal ini menjadi perbuatan yang bertentangan dengan Unadang-undang Perkawinan di Indonesia yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Hal inilah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai analisis faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perceraian di luar Pengadilan, keabsahan Perkawinan selanjutnya setelah perceraian diluar Pengadilan dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif dan akibat hukum perceraian yang dilakukan diluar pengadilan menurut ketentuan hukum Islam dan hukum positif di Indonesia.

Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris, yaitu cara atau prosedur yang digunakan untuk memecahkan masalah penelitian dengan meneliti data sekunder terlebih dahulu untuk kemudian dilanjutkan dengan meneliti data primer yang ada di lapangan. Aspek yuridis dapat dilakukan dengan meneliti peraturan-peraturan hukum yang terkait, Jadi pendekatan yuridis empiris merupakan suatu penelitian yang meneliti peraturan-peraturan hukum tentang perkawinan dengan perempuan yang bercerai diluar pengadilan, yang kemudian dihubungkan dengan data dan perilaku yang hidup di tengah-tengah masyarakat langsung.

Faktor yang menjadi penyebab terjadinya perceraian di luar Pengadilan adalah faktor ekonomi, faktor sosial dan kebiasaan masyarakat setempat serta faktor agama. Keabsahan perkawinan selanjutnya yang dilakukan perempuan yang diceraikan diluar pengadilan dalam perspektif hukum Islam dan hukum Positif memiliki dua status hukum yang berbeda sesuai dengan konteks hukum Islam yang berlaku di Indonesia. Dalam lingkup hukum Islam asal (fiqih), status perceraian yang dilakukan masyarakat di luar Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah tidak bertentangan dengan hukum fiqih sehingga tetap dianggap sah dan perbuatan yang diakibatkan dari perceraian tersebut (perkawinan yang baru maupun anak yang dihasilkan dari perkawinan yang baru pasca perceraian) tetap sah. Sedangkan dalam konteks hukum Islam yang ada di Indonesia yaitu Kompilasi Hukum Islam (KHI), perceraian yang dilakukan di luar Pengadilan/Mahkamah Syar’iyah dianggap tidak sah karena tidak sesuai dengan ketentuan perceraian yang diatur dalam KHI dalam Pasal 115 dan Pasal 142. Akibat hukum perceraian yang dilakukan diluar pengadilan antara lain dapat menimbulkan madlarat, karena tidak adanya kepastian hukum, talak yang dilakukan diluar pengadilanadalah ikatan perkawinan antara suami isteri tersebut belum putus secara hukum, atau dengan kata lain suami isteri tersebut masih sah tercatat sebagai suami isteri.

(7)

God. However, as human beings, they must have many problems in their married life which, without their awareness, causes a divorce. This condition occurs in the Acehnese, particularly in this research, in the people of Ulee Kareng Subdistrict, Banda Aceh. In practice, the divorcing process in Ulee Kareng often done outside the court so that it is contrary to the Law on Marriage in Indonesia; namely, Law No. 1/1974 and to the Compilation of the Islamic Law. The objective of the research was to analyze some factors which caused the incidence of divorce outside the Court, the validity of the next marriage after the divorce without the Court’s Ruling in the Islamic legal perspective and in positive law, and legal consequence of divorce without the Court’s Ruling according to the Islamic law and to positive law in Indonesia.

The research used judicial normative approach, a procedure which was used to solve the problems of the research by analyzing secondary data and was followed by analyzing primary data in the field. Judicial aspect was done by analyzing the related legal provisions. Therefore, judicial empirical is a study on legal provisions, laws, and regulations on marriage with a woman who has been divorced without the Court’s Ruling and which is related to the data and behavior in the society.

Some factors which cause the incidence of divorce without the Court’s Ruling are economic factor, social factor, local tradition, and religious factor. The validity of the next marriage done by a woman who has been divorced without the Court’s Ruling in the legal Islamic perspective and in positive law has two different legal statuses according to the context of the Islamic law in Indonesia. In the scope of the origin of Islamic law (figh), the status of divorce without the Religious Court’s/Mahkamah Syariah’s Ruling is not contrary to Figh so that it is considered valid, and any action caused by the divorce (a new marriage and the children who are born from the new marriage) is valid. On the other hand, in the context of the Islamic law in Indonesia, the Compilation of the Islamic Law (KHI), a divorce without the Religious Court’s/Mahkamah Syariah’s Ruling is invalid because it is not in accordance with the provision on marriage as it is stipulated in Article 115 and Article 142 of KHI. The legal consequence of a divorce without the Court’s Ruling is that it can cause mudlarat (harmful) since there is no legal certainty, the wedlock between husband and wife is not broken off since the divorce is without the Court’s Ruling; in other words, their marriage is still valid.

(8)

limpahan rahmat dan karuniaNya, kasih sayang dan anugrah berupa kesehatan, kekuatan dan semangat yang telah membawa berkah, sehingga dapat terselesaikannya penulisan tesis yang berjudul “PERKAWINAN DENGAN PEREMPUAN YANG DICERAIKAN DILUAR PENGADILAN” (Studi diwilayah Kecamatan Ulee Kareng Kota Banda Aceh), Kemudian Selawat dan Salam tak lupa Penulis Sanjungkan keharibaan Nabi Muhammad S.A.W, keluarga, para sahabat, serta para pengikutnya. Dan dengan harapan agar hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi upaya pengembangan ilmu hukum di Indonesia pada umumnya.

Penulisan tesis ini adalah untuk memenuhi sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Terima kasih diucapkan khususnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(9)

4. Ibu Dr. Utary Maharany Barus, S.H., M. Hum, selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan, masukan dan saran, dengan penuh seksama dalam penulisan tesis ini.

5. Ibu Dr. Idha Aprilyana Sembiring, S.H., M.Hum, selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan, masukan dan saran, dalam penulisan tesis ini.

6. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin Lubis, S.H., MS. CN, selaku Dosen Penguji dan Ketua Program Pascasarjana Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku Dosen Penguji dan Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan.

8. Seluruh dosen/pengajar mata kuliah pada Program Studi Magister Kenotariatan Program Pacasarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Rekan-rekan Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara angkatan 2011 khususnya Group B yang senantiasa memberikan dukungan moril dan material untuk kelancaran penyelesaian studi ini.

(10)

Hanya Allah yang dapat membalas segala kebaikan dan jasa-jasa yang diberikan mereka semua. Dengan penuh kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak atas segala kekurangan yang penulis sadari sepenuhnya terdapat dalam tesis ini guna perbaikan dikemudian hari.

Disadari bahwa penulisan tesis ini masih banyak kekurangan dan karenanya atas segala kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan untuk kesempurnaan penulisan tesis dan kemanfaatan tesis ini bagi perkembangan ilmu pengetahuan di masa mendatang. Semoga tesis ini bermanfaat terutama bagi penulis dan pembaca guna mengembangkan Ilmu Kenotariatan pada masa yang akan datang.

Medan, Pebruari 2014 Penulis

(11)

1. Nama : Aiya Ernita

2. Tempat, Tanggal Lahir : Banda Aceh, 25 Maret 1987 3. Jenis Kelamin : Perempuan

4. Status : Menikah

5. Agama : Islam

6. Alamat : Jl. Hasan Saleh Lr. Manunggal No. 50, Neusu Jaya, Banda Aceh

II. KELUARGA

1. Nama Ayah : Drs. H. M. Rafendi, SH, M.Hum 2. Nama Ibu : Hj. Rosmiati

3. Nama Suami : M. Adriansyah, AMd 4. Nama Saudara : Oktifa Deviana

Andriansyah

III. PENDIDIKAN

1. Min : Min Mesjid Raya

Tahun 1993-1999

2. SMP : SMP Negeri 3 Banda Aceh

Tahun 1999-2002

3. SMA : SMA Negeri 3 Banda Aceh

Tahun 2002-2005

4. Perguruan Tinggi (S1) : Universitas Muhammadiyah Banda Aceh Tahun 2006-2010

5. Perguruan Tinggi (S2) : Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara

(12)

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR ISTILAH ... ix

DAFTAR SINGKATAN ... x

DAFTAR TABEL ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 18

C. Tujuan Penelitian ... 18

D. Manfaat Penelitian ... 19

E. Keaslian Penelitian ... ……… 19

F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 20

1. Kerangka Teori ... 20

2. Konsepsi ... 27

G. Metode Penelitian... 29

1. Pendekatan Masalah Penelitian ... 30

2. Lokasi Penelitian ... 30

3. Teknik Pengumpulan Data ... 31

4. Spesifikasi Penelitian ... 32

5. Alat Pengumpulan Data ... 32

(13)

C. Praktek Cerai di Luar Pengadilan Agama/Mahkamah

Syar’iyah di Kecamatan Ulee Kareng Kota Banda Aceh ... 51

D. Penyebab Perceraian diluar Pengadilan di kecamatan Ulee kareng Kota Banda Aceh ... 54

BAB III KEABSAHAN PERKAWINAN SELANJUTNYA YANG DILAKUKAN PEREMPUAN YANG DICERAIKAN SUAMINYA DILUAR PENGADILAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF... 65

A. Keabsahan Perkawinan dalam Perspektif Hukum Islam (Fiqih) dan Hukum Positif (UU dan KHI) di Indonesia... 65

B. Pendapat Tokoh Masyarakat Ulee Kareng Banda Aceh terhadap Fenomena Cerai di Luar Pengadilan ... 82

C. Manfaat Pencatatan Nikah dan Pencatatan Perceraian ... 85

D. Keabsahan Perkawinan selanjutnya dari Perempuan yang diceraikan di luar Pengadilan ... 94

BAB IV AKIBAT HUKUM PERCERAIAN YANG DILAKUKAN DI LUAR PENGADILAN MENURUT KETENTUAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF INDONESIA ... 97

A. Analisis Perkawinan pada sebagian Kalangan Masyarakat Ulee Kareng Kota Banda Aceh ... 97

B. Tinjauan Hukum Islam terhadap Proses Perceraian Di Luar Pengadilan Pada Masyarakat Ulee Kareng Kota Banda Aceh... 104

C. Akibat Perceraian di Luar Pengadilan ... 112

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 115

A. Kesimpulan ... 115

B. Saran... 116

(14)

Fasakh : membatalkan atau merusakkan

Fitrah : suci

Iddah : masa tunggu

Li’an : menuduh isteri berbuat zina atau mengingkari anak dalam kandungan isteri

Ma’ruf : baik

Muamalat duniawiyat : hubungan antar manusia

Munakahat : perkawinan

Mitsaqan-ghalizhan : ikatan yang kokoh

Nusyuz : meninggalkan kewajiban bersuami isteri

Mafsadat : kemudharatan atau kerusakan

Poligami : memiliki isteri lebih dari satu orang

Siyasah syar’iyah : suatu bidang ilmu yang mempelajari hal ihwal pengaturan urusan masyarakat dan negara dengan segala bentuk hukum

(15)

SWT : Subhanahu wa ta’ala UU : Undang-undang Q.S : Qur’an Surah

(16)
(17)

yang timbul dalam suatu rumah tangga yang tanpa disadari dapat menyebabkan terjadinya perceraian perceraian juga banyak terjadi dimasyarakat Aceh, khususnya dalam penelitian ini adalah pada masyarakat Ulee Kareng, Kota Banda Aceh. Dalam praktek perceraian dimasyarakat Ulee Kareng ini sering/kerap dilakukan di luar pengadilan sehingga hal ini menjadi perbuatan yang bertentangan dengan Unadang-undang Perkawinan di Indonesia yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Hal inilah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai analisis faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perceraian di luar Pengadilan, keabsahan Perkawinan selanjutnya setelah perceraian diluar Pengadilan dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif dan akibat hukum perceraian yang dilakukan diluar pengadilan menurut ketentuan hukum Islam dan hukum positif di Indonesia.

Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris, yaitu cara atau prosedur yang digunakan untuk memecahkan masalah penelitian dengan meneliti data sekunder terlebih dahulu untuk kemudian dilanjutkan dengan meneliti data primer yang ada di lapangan. Aspek yuridis dapat dilakukan dengan meneliti peraturan-peraturan hukum yang terkait, Jadi pendekatan yuridis empiris merupakan suatu penelitian yang meneliti peraturan-peraturan hukum tentang perkawinan dengan perempuan yang bercerai diluar pengadilan, yang kemudian dihubungkan dengan data dan perilaku yang hidup di tengah-tengah masyarakat langsung.

Faktor yang menjadi penyebab terjadinya perceraian di luar Pengadilan adalah faktor ekonomi, faktor sosial dan kebiasaan masyarakat setempat serta faktor agama. Keabsahan perkawinan selanjutnya yang dilakukan perempuan yang diceraikan diluar pengadilan dalam perspektif hukum Islam dan hukum Positif memiliki dua status hukum yang berbeda sesuai dengan konteks hukum Islam yang berlaku di Indonesia. Dalam lingkup hukum Islam asal (fiqih), status perceraian yang dilakukan masyarakat di luar Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah tidak bertentangan dengan hukum fiqih sehingga tetap dianggap sah dan perbuatan yang diakibatkan dari perceraian tersebut (perkawinan yang baru maupun anak yang dihasilkan dari perkawinan yang baru pasca perceraian) tetap sah. Sedangkan dalam konteks hukum Islam yang ada di Indonesia yaitu Kompilasi Hukum Islam (KHI), perceraian yang dilakukan di luar Pengadilan/Mahkamah Syar’iyah dianggap tidak sah karena tidak sesuai dengan ketentuan perceraian yang diatur dalam KHI dalam Pasal 115 dan Pasal 142. Akibat hukum perceraian yang dilakukan diluar pengadilan antara lain dapat menimbulkan madlarat, karena tidak adanya kepastian hukum, talak yang dilakukan diluar pengadilanadalah ikatan perkawinan antara suami isteri tersebut belum putus secara hukum, atau dengan kata lain suami isteri tersebut masih sah tercatat sebagai suami isteri.

(18)

God. However, as human beings, they must have many problems in their married life which, without their awareness, causes a divorce. This condition occurs in the Acehnese, particularly in this research, in the people of Ulee Kareng Subdistrict, Banda Aceh. In practice, the divorcing process in Ulee Kareng often done outside the court so that it is contrary to the Law on Marriage in Indonesia; namely, Law No. 1/1974 and to the Compilation of the Islamic Law. The objective of the research was to analyze some factors which caused the incidence of divorce outside the Court, the validity of the next marriage after the divorce without the Court’s Ruling in the Islamic legal perspective and in positive law, and legal consequence of divorce without the Court’s Ruling according to the Islamic law and to positive law in Indonesia.

The research used judicial normative approach, a procedure which was used to solve the problems of the research by analyzing secondary data and was followed by analyzing primary data in the field. Judicial aspect was done by analyzing the related legal provisions. Therefore, judicial empirical is a study on legal provisions, laws, and regulations on marriage with a woman who has been divorced without the Court’s Ruling and which is related to the data and behavior in the society.

Some factors which cause the incidence of divorce without the Court’s Ruling are economic factor, social factor, local tradition, and religious factor. The validity of the next marriage done by a woman who has been divorced without the Court’s Ruling in the legal Islamic perspective and in positive law has two different legal statuses according to the context of the Islamic law in Indonesia. In the scope of the origin of Islamic law (figh), the status of divorce without the Religious Court’s/Mahkamah Syariah’s Ruling is not contrary to Figh so that it is considered valid, and any action caused by the divorce (a new marriage and the children who are born from the new marriage) is valid. On the other hand, in the context of the Islamic law in Indonesia, the Compilation of the Islamic Law (KHI), a divorce without the Religious Court’s/Mahkamah Syariah’s Ruling is invalid because it is not in accordance with the provision on marriage as it is stipulated in Article 115 and Article 142 of KHI. The legal consequence of a divorce without the Court’s Ruling is that it can cause mudlarat (harmful) since there is no legal certainty, the wedlock between husband and wife is not broken off since the divorce is without the Court’s Ruling; in other words, their marriage is still valid.

(19)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Agama Islam adalah agama samawi yang terakhir diturunkan kepada Nabi akhir zaman yaitu Nabi Muhammad SAW. Ia melengkapi dan menyempurnakan agama-agama samawi yang diturunkan sebelumnya yang bertujuan untuk menjadi pedoman hidup umat manusia di dunia dan akhirat dalam mencapai tujuan kebahagiaan yang hakiki lahir dan batin.

Dalam rumah tangga berkumpul dua insan yang berlainan jenis (suami istri), mereka saling berhubungan agar mendapat keturunan sebagai penerus generasi. Insan-insan yang berada dalam rumah tangga itulah yang disebut “keluarga”. Keluarga merupakan unit terkecil dari suatu bangsa, keluarga yang dicita-citakan dalam ikatan perkawinan yang sah adalah keluarga sejahtera dan bahagia yang selalu mendapat ridha dari Tuhan Yang Maha Esa.1

Perkawinan merupakan suatu cara yang ditetapkan Allah SWT sebagai jalan bagi manusia untuk berkembang biak demi kelestarian hidupnya. Melaksanakan perkawinan yang sah baik menurut hukum agama dan hukum positif, maka keturunannya akan mengenal orang tua dan nenek moyangnya, kehidupannya adalam bermasyarakat pun akan tenang dan damai, sebab keturunannya jelas dan tidak ada anggota masyarakat yang mencurigakan nasab keturunannya. Dalam kamus umum

1 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cetakan I, (Jakarta :

(20)

bahasa Indonesia kata kawin diartikan dengan perjodohan laki-laki dengan perempuan yang menjadi suami isteri atau berarti nikah diartikan dengan perkawinan.2 Sehubungan dengan pengertian ini, M.Yahya Harahap memberi Perincian Perkawinan dari Undang-undang No.1 Tahun 1974 Sebagai berikut :

1. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri;

2. Ikatan lahir batin ditujukan untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera;

3. Dasar ikatan lahir batin dan tujuan bahagia serta kekal itu harus berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.3

Sedangkan menurut A.Ridwan Halim, Perkawinan pada dasarnya adalah : a. Hubungan atau ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita ;

b. Pada waktu yang sama sebagai suami isteri (asas monogami) ;

c. Bertujuan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang sejahtera, d. Berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.4

Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ada beberapa pengertian perkawinan menurut para ahli, yaitu antara lain :

a. Menurut Sulaiman Rasyid bahwa perkawinan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta bertolong-tolongan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya bukan muhrim.5

b. Menurut Sajuti Thalib bahwa perkawinan ialah suatu perjanjian yang suci, kuat, dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun-menyantun, kasih-mengasihi, tentram, dan bahagia;6

2Wjs Peorwardamita,Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka 2006), hal 95 3M.Yahya Harahap,Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2003). hal. 11.

4Abdul Ridwan Halim, Hukum Perdata dalam Tanya jawab, (Jakarta : Ghalia Indonesia,

2002), hal . 35

5

Sudarsono,Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta : Rineka Cipta, 2005), hal. 36.

(21)

c. Menurut Rawahul Abu Daud bahwa nikah itu artinya hubungan seksual (setubuh) yang mendasarkan pada Hadist Rasul yang berbunyi : “Dikutuki Allah yang menikah (setubuh) dengan tangannya (onani)”.7

d. Menurut Ibrahim Hosen, nikah menurut asli dapat juga berarti aqad, dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita, sedangkan menurut arti lain ialah bersetubuh (Syafi’i).8

Menurut Hukum Islam yang dimaksud dengan perkawinan adalah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta bertolong-tolongan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya bukan muhrim. “Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spritual dan materil”.9

Perkawinan secara Islam dilaksanakan menurut ketentuan-ketentuan hukum Islam yaitu melaksanakan ikatan persetujuan (akad) antara seorang pria dengan seorang wanita atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak, yang dilakukan oleh wali pihak wanita menurut ketentuan-ketentuan yang sudah diatur oleh agama. Perkawinan itu bagi yang bersangkutan yaitu suami istri, bagi masyarakat pada umumnya merupakan suatu hal yang penting, karena menentukan mulai saat kapan terjadinya suatu perkawinan sebagai suatu perbuatan hukum yang mengandung segala akibat hukumnya.

7Yunus Mahmud, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Cetakan ke 6 (Jakarta : Al Hidayah,

2000), hal. 1.

8

Ali Hosien Hakeem,Membela Perempuan, (Jakarta : Al-Huda, 2005), hal. 255

9Hasballah Thaib dan Marahalim Harahap,Hukum Keluarga Dalam Syariat Islam,(Medan:

(22)

Sebuah perkawinan, menurut kedua tata aturan di atas, akan dianggap sah manakala dilaksanakan dan dicatat oleh pegawai pemerintah yang membidangi perkawinan. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa: “Tiap-tiap perkawinan dicatata menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku”, sementara dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan dalam Pasal 5 :

1. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat.

2. Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatatan Nikah sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1946 jo. Undang-undang No. 32 Tahun 1954.

Pencatatan perkawinan dalam pasal-pasal tersebut di atas bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui perundang-undangan untuk melindungi martabat dan kesucian perkawinan, dan lebih khusus lagi untuk melindungi kaum wanita dalam kehidupan rumah tangga.10Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan Akta Nikah,

(23)

yang masing-masing suami-isteri mendapat salinannya, sehingga apabila terjadi perselisihan atau percekcokan di antara mereka sebagai akibat dari ketidak konsistenan salah satu pihak untuk mewujudkan tujuan perkawinan membentuk keluarga sakinah, maka yang lain dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing, karena dengan akta tersebut suami-isteri memiliki bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan.

Di antara sekian masalah yang menyangkut hubungan antar manusia atau dalam perspektif Agama Islam dikenal dengan istilahmuamalat duniawiyat, masalah perkawinan (munakahat) dengan segala persoalan yang berada di sekitarnya mendapatkan perhatiannya yang istimewa.11

Persoalan Perkawinan dengan perempuan (wanita) yang di ceraikan diluar Pengadilan, Undang-undang No 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan Jo. Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 Tentang pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974, memberikan pengertian dari talak ialah putusnya perkawinan atas kehendak suami karena alasan tertentu dan kehendaknya itu dinyatakan dengan ucapan tertentu. Tidak dapat dikatakan dengan lisan dan juga dengan tulisan, sebab kekuatan penyampaian baik melalui ucapan maupun tulisan adalah sama.12 Perbedaannya adalah jika talak disampaikan dengan ucapan, maka talak itu diketahui setelah ucapan talak disampaikan suami. Penyampaian talak dengan lisan diketahui setelah tulisan tersebut terbaca, pendapat ini disepekati oleh mayoritas ulama.

11Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta,

Kencana, 2004), hal. 206.

(24)

Berdasarkan nash-nash, baik al-Qur'an maupun as-Sunnah, Islam sangat menganjurkan perkawinan kaum Muslimin yang mampu untuk melangsungkan perkawinan. Namun demikian, kalau dilihat dari segi kondisi orang yang melaksanakan serta tujuan melaksanakannya, maka melakukan perkawinan itu dapat dikenakan hukum wajib, sunnah, haram, makruh, ataupun mubah.

1. Melakukan perkawinan yang hukumnya wajib

Bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk kawin dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina seandainya tidak kawin maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah wajib. Hal ini didasarkan pada pemikiran hukum bahwa setiap muslim wajib menjaga diri untuk tidak berbuat yang terlarang. Jika penjagaan diri itu harus dengan melakukan perkawinan, sedang menjaga diri itu wajib, maka hukum melakukan perkawinan itu pun wajib.

2. Melakukan perkawinan yang hukumnya sunnah

Orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk melangsungkan perkawinan, tetapi kalau tidak kain tidak dikhawatirkan akan berbuat zina, maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah sunnah.

3. Melakukan perkawinan yang hukumnya haram

Bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga sehingga apabila melangsungkan perkawinan akan terlantarkan dirinya dan istrinya, maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah haram. Sesuai dengan firman Allah yang dikutip dalam surat al-Baqarah ayat 195 melarang orang melakukan hal yang akan mendatangkan kerusakan.

Yang artinya: “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”. (QS. al-Baqarah (2):195)

4. Melakukan perkawinan yang hukumnya makruh

(25)

memungkinkan dirinya terjerumus dalam perbuatan zina sekiranya tidak kawin. Dan orang tersebut tidak mempnyai kerajinan yang kuat untuk dapat memenuhi kewajiban suami istri dengan baik.

5. Melakukan perkawinan yang hukumnya mubah

Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak akan menelantarkan istri. Perkawinan orang tersebut hanya didasarkan untuk memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan menjaga kehormatan agamanya dan membina keluarga sejahtera.13

Pada prinsipnya, kehidupan rumah tangga harus didasari oleh mawaddah, rahmah dan cinta kasih, yaitu bahwa suami istri harus memerankan peran masing-masing, yang satu dengan yang lainnya saling melengkapi. Di samping itu harus juga diwujudkan keseragaman, keeratan, kelembutan dan saling pengertian satu dengan yang lain sehingga rumah tangga menjadi hal yang sangat menyenangkan, penuh kebahagiaan, kenikmatan dan melahirkan generasi yang baik yang merasakan kebahagiaan yang dirasakan oleh orang tua mereka.

Karena itu “ikatan antara suami istri” adalah ikatan paling suci dan paling kokoh. Dan tidak ada sesuatu dalil yang lebih jelas menunjukkan tentang sifat kesuciannya yang demikian agung itu, lain dari pada Allah sendiri, yang menamakan ikatan perjanjian antara suami istri dengan “mitsaqan-ghalizhan” (Perjanjian yang kokoh).

Talak Menurut aturan Islam, diibaratkan seperti pembedahan yang menyakitkan, manusia yang sehat akalnya harus menahan sakit akibat lukanya, dia

13

(26)

bahkan sanggup diamputasi untuk menyelamatkan bagian tubuh lainnya sehingga tidak terkena luka atau infeksi yang lebih parah. Jika perselisihan antara suami dan istri tidak juga reda dan rujuk (berdamai kembali) tidak dapat ditempuh, maka talak adalah jalan “yang menyakitkan” yang harus dijalani. Jadi talak adalah hak prerogatif suami yang bisa dijatuhkan kapanpun dan dimanapun bahkan tanpa alasan sekalipun. Oleh karena itu apabila suami belum menjatuhkan talak di luar Pengadilan Agama, maka talak yang dijatuhkan di depan Hakim Agama itu dihitung talak yang pertama dan sejak itu pula dihitung 'iddahnya. Jika suami telah menjatuhkan talak di luar Pengadilan Agama, maka talak yang dijatuhkan di depan Hakim Agama itu merupakan talak yang kedua dan seterusnya jika masih dalam waktu 'iddah raj'iyyah.14

Talak secara bahasa (etimologi) dalam istilah hukum Islam disebut dengan “At-Talak” yang bermakna meninggalkan atau memisahkan,15 ada juga yang memberikan makna lepas dari ikatannya,16 secara umum talak diartikan sebagai perceraian dalam Hukum Islam antara suami dan istri atas kehendak suami.17

Talak/perceraian dalam istilah ahli fiqh disebut “talak” atau “furqah” adapun arti dari pada talak ialah membuka ikatan membatalkan perjanjian, sedangkan furqah artinya bercerai. kedua kata itu dipakai oleh para ahli fiqih sebagai satu istilah yang berarti bercerai antara suami isteri. Maka talak dapat berarti :

14Ibid, hal. 128

15Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdor,Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta Multi

Karya Grafika, 2003), hal. 1237.

16

Ahmad Warson Munawir,Kamus Al-Munawir, (SurabayaPustaka Progesif, 1997), hal 861

17Abdul Aziz Dahlan,Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5, Cet ke 3( Jakarta : Ihtiar Baru Van

(27)

a. Menghilangkan ikatan perkawinan atau rnengurangi keterikatannya dengan menggunakan ucapan tertentu.

b. Melepaskan ikatan perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri.

c. Melepaskan ikatan perkawinan dengan ucapan talak atau yang sepadan dengan itu.

Menurut Syekh Muhamad bin Qosim Al Ghozy dalam sebuah kitabnya yang berjudul Fathul Qorieb memberikan pengertian talak sebagai nama bagi suatu pelepasan tali pernikahan,18 pendapat ini hampir sama dengan pendapat yang dikemukakan oleh Syekh Zainudin ibnu Syekh Abdul Aziz dalam kitabnya Fathul Mu’in, dalam kitab tersebut talak diartikan sebagai cara melepaskan ikatan akad

nikah denganlafadztertentu.19

Imam Madzhab, Imam Syafi’I berpendapat bahwa talak ialah melepaskan

akadnikah denganlafadz talakatau yang semakna dengan itu, sedangkan Hanafi dan Hambali memberikan pengertian talak sebagai suatu pelepasan ikatan perkawinan secara langsung atau untuk masa yang akan datang dengan lafal khusus, pendapat lain yang memberikan pengertian talak secara lebih umum dikemukakan oleh Imam Maliki yang mengartikan talaksebagai suatu sifat hukum khusus yang menyebabkan gugurnya kehalalan hubungan suami istri.20 Kata talak berasal dari bahasa Arab artinya menurut bahasa melepaskan ikatan. Adapun talak menurut istilah syariat

18Syekh Muhamad bin Qosim Al Ghozy, Fathul Qorieb, Jilid 2, (Jakarta : Alih Bahasa

Ahmad Sunarto, Al Hidayah, 1992), hal 63.

19

Syekh Zainudin ibnu Syekh Abdul Aziz,Fathul Mu’in, (Surabaya : Alih Bahasa, Ali As’ad, Al Hidayah, 2000), hal. 135.

(28)

Islam ialah melepaskan atau membatalkan ikatan pernikahan dengan lafadz tertentu yang mengandung arti menceraikan.21

Dasar hukum talakadalah Putusnya perkawinan yang diatur dalam;

1. Pasal 38 sampai dengan Pasal 41 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

2. Pasal 14 sampai dengan Pasal 36 PP Nomor 9 Tahun 1975, Pasal 199 KUH Perdata.

3. Pasal 113 sampai dengan Pasal 128 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam

Pengaturan tentang hal ini juga ditemui dalam Al Qur'an maupun dalam Hadist. Dasar hukum perceraian/talak dalam Al Qur'an ayat 232 Surah Al Baqarah disebutkan pula mengenai perceraian, yang artinya:“Dan apabila kamu mentalak istri-istri mu lalu mereka sampai kepada waktu yang mereka tunggu, maka janganlah

kamu (hai para wali) menghambat mereka dari menikahi kembali bekas-bekas suami

mereka (yang telah menceraikannya) apabila mereka telah ridlomeridloi di antara

mereka secara ma’ruf”.

Asbabul nuzulayat ini adalah mengenai kejadian yang dialami oleh sahabat Nabi yang bernama Ma’qil. Pada suatu ketika saudara perempuan Ma’qil bercerai dari suaminya, setelah habis masaiddahnya mereka inginrujukkembali, Ma’qil melarang saudara perempuannya tersebut, maka turunlah ayat tersebut.22

Alasan-alasan terjadinya talak disebut Dalam Pasal 39 UU No 1 Tahun 1974 dan Pasal 110 komplikasi hukum Islam disebutkan tentang alasan-alasan yang

21 Op Cit, hal. 197.

(29)

diajukan oleh suami atau istri untuk menjatuhkan talak atau gugatan perceraian ke pengadilan. Alasan-alasan itu adalah sebagai berikut :

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan.

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-berturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

3. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.

6. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

7. Suami melanggar Ta’lik Talak.

8. Peralihan Agama atau murtad yang menyebabkan ketidakrukunan dalam rumah tangga

(30)

hanya dapat keputusan hakim (perceraian di bawah tangan), walaupun UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan KHI tidak membenarkannya.23

Fasakh ialah membatalkan atau pembubaran akad nikah disebabkan oleh kecacatan yang berlaku pada waktu akad atau kecacatan yang mendatang selepas berlakunya akad nikah yang menghalang kekalnya perkahwinan, fasakh tidak boleh dirujuk semula. Jika ingin bersatu semula hendaklah dengan akad yang baru.24 talak

adalah salah satu perbuatan hukum berupa pemutusan hubungan perkawinan dari pihak suami terhadap pihak istri.25

Hal ini dapat kita lihat dalam Hadist Nabi yaitu “Perbuatan halal tetapi yang paling dibenci oleh Allah SWT adalah perceraian.” Pelaksanaan perceraian itu harus berdasarkan pada suatu alasan yang kuat; karena ini merupakan jalan terakhir yang ditempuh oleh suami istri;

Suatu perkawinan dapat putus dikarenakan beberapa sebab berikut : a. Kematian salah satu pihak

b. Perceraian baik atas tuntutan suami maupun istri c. Karena putusan pengadilan.

Walapun pada dasarnya hukum Islam tidak menentukan, bahwa perceraian itu harus dilakukan di depan pengadilan. Namun oleh karena ketentuan ini lebih banyak

23

Ibid, hal. 141.

24Nazaruddin, Peranan Janda dalam Pandangan Masyarakat dan Kosekuensinya terhadap Nafkah Anak, Jurnal Ilmiah Hukum Perkawinan, (Lhokseumawe, Unimal, 2012), hal. 10

(31)

mendatangkan kebaikan maka sudah sepantasnya apabila orang Islam wajib mengikuti ketentuan ini.26

Dengan demikian perceraian yang sah menurut Hukum Perkawinan adalah perceraian yang dilakukan di Mahkamah Syar’iyah. Lembaga tahkim ini bertugas menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara orang Islam. Perkawinan dengan Perempuan yang diceraikan diluar Pengadilan hal ini sangat merugikan pihak perempuan, karena perceraian dengan mantan suaminya tersebut tidak dapat memberikan kepastian hukum terdapat perempuan itu sendiri dan anak-anaknya. Hak-hak perempuan dan anak yang ditinggalkan pun tidak terjamin secara hukum. dan bagi laki-laki yang menikahi perempuan yang diceraikan diluar Pengadilan. Oleh karena itu, perlu adanya campur tangan pemerintah yang sepenuhnya diserahkan kepada pangadilan guna mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.

Putusnya perkawinan karena perceraian, diatur dalam Pasal 39 sampai dengan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 14 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Jika suatu rumah tangga mengalami perceraian pasti akan menimbulkan akibat yang merugikan semua pihak tanpa terkecuali, terlebih lagi jika di dalam rumah tangga tersebut telah mendapatkan keturunan anak-anak yang masih kecil, sehingga karenanya tidak jarang terjadi anak yang tidak berdosa ikut menjadi korban, kehidupan dan pendidikan mereka menjadi terlantar.

(32)

Khusus di Kota Banda Aceh, yang terdiri dari 9 Kecamatan dan 91 Gampong (Desa), untuk melihat ada atau tidaknya perceraian yang dilakukan di luar pengadilan, dalam hal ini ditemukan informasi langsung dari Masyarakat, pada Kecamatan Ulee Kareng ada sebagian masyarakat yang masih melaksanakan perceraian tidak sesuai aturan hukum, yaitu melaksanakan proses perceraian di luar sidang pengadilan, menjadi pertanyaan, berapa persentase perceraian di luar pengadilan yang di laksanakan di kecamatan Ulee Kareng, dan faktor penyebab terjadinya perceraian di luar pengadilan serta bagaimana pandangan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam jika terjadi perceraian di luar pengadilan, untuk menjawab hal ini dalam penulisan tesis kedepan penulis akan, menggunakan metode penelitian deskriptif analitis, yang ditempuh dengan cara penelitian lapangan dengan proses wawancara, angket serta penelitian kepustakaan.

Menurut tokoh masyarakat dalam Kecamatan Ulee Kareng yang melaksanakan perceraian tidak di depan pengadilan, hampir mencapai 25 persen dari total pelaksanaan perceraian. Hal ini terjadi karena masih rendahnya pendidikan masyarakat, kurangnya kesadaran masyarakat dalam menaati hukum, juga karena masyarakat masih awam terhadap proses perceraian di pengadilan, yang menurut mereka sangat berbelit-belit dan menghabiskan waktu yang sangat lama serta dana yang dikeluarkan sangat banyak.27

27Hasil wawancara dengan Muhammad, Tokoh Agama Masyarakat Bidang Hukum

(33)

Persoalan yang muncul adalah bahwa masih banyak terjadi kasus-kasus perceraian di luar pengadilan, perceraian hanya cukup dilakukan melalui seorang aparat Desa yang bisa mengurus Perceraian warganya atau melalui tokoh dan pemuka agama setempat. Muhammad memberikan sebuah gambaran contoh perceraian di luar pengadilan yang terjadi dalam masyarakat kecamatan Ulee Kareng, Pasangan yang bercerai Iskandar Zulkarnain (nama samaran), umur 36 tahun, Jenis kelamin laki-laki, kebangsaan Indonesia, agama Islam, Perkerjaan Tukang, tempat tinggal Desa Ilie Ulee Kareng, menceraikan istrinya Nurma (nama Samaran), umur 30 tahun, Jenis kelamin perempuan, kebangsaan Indonesia, agama Islam, Pekerjaan Ibu Rumah Tangga. Di kecamatan Ulee Kareng Kota Banda Aceh mayoritas masyarakat beragama Islam, memiliki sifat dan semangat kekeluargaan yang cukup tinggi sehingga jika sengketa dalam rumah tangga selalu diselesaikan secara kekeluargaan.28 Perceraian yang dilakukan oleh masyarakat Ulee Kareng Banda Aceh tidak dilakukan di depan sidang pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Muhammad salah satu tokoh agama sekaligus merangkap sebagai penghulu di kecamatan Ulee Kareng bahwa perceraian yang dilakukan oleh masyarakat Ulee Kareng hanya dilakukan dirumah dengan cara seorang laki-laki mengatakan kepada istrinya “aku pulang engkau kepada orang tuamu atau aku ceraikan engkau sekarang dan pada saat itu jatuhlah talak atau cerai”. Perceraian di kecamatan Ulee Kareng hanya dilakukan oleh tokoh masyarakat terutama tokoh adat

28Hasil wawancara dengan Muhammad, Tokoh Agama Masyarakat Bidang Hukum

(34)

dan tokoh agama saja sekaligus mereka menfasilitasi akan terjadinya perceraian. Dalam hal perceraian ini tokoh masyarakat memandang sah perceraian tersebut walau tidak dilakukan di depan pengadilan.29

Realita membuktikan bahwa pengakuan keabsahan perceraian (talak) di luar pengadilan justru menyuburkan perceraian secara sepihak oleh suami. Isteri yang berada dalam posisi yang lemah tidak mempunyai daya tawar yang sebanding Dalam hal ini, tampak kembali ke pemahaman fikih klasik, bahwa suami mempunyai hak mutlak untuk menjatuhkan talak kapan pun dan di mana pun, bahkan tanpa seorang saksi pun. Hal itu berbeda dengan Hukum Islam (peraturan perundangan) di Indonesia, bahwa cerai talak yang asalnya dalam fikih klasik sifat perkaranya mirip

volunter ditingkatkan menjadi gugat contentiosa dengan ketentuan: suami sebagai pemohon yang berkedudukan sebagai "penggugat" dan isteri sebagai termohon yang berposisi sebagai "tergugat" dan proses pemeriksaannya berdasar atas asas audi et alteram partem.

Dengan model dan sistem pembaharuan Hukum Islam di Indonesia seperti ini, maka kepentingan kedua belah pihak, terutama isteri dan anak, bisa lebih terlindungi. Sehingga, perceraian di luar pengadilan apalagi lewat SMS diharapkan tidak terjadi lagi karena umat sudah tercerahkan. Sebagai bahan masukan awal telah dilakukan wawancara Via Telepon dengan Hanifah, Panitera, Mahkmah Syar’iyah Kota Banda Aceh, Menurut Panitera Mahkamah Syar’iyah Kota Banda Aceh, akibat yang

29Hasil wawancara dengan Muhammad, Tokoh Agama Masyarakat Bidang Hukum

(35)

ditimbulkan disebabkan perceraian diluar pengadilan yaitu tidak adanya legalitas hukum terhadap perceraian yang dilaksanakan, istri tidak bisa mendapatkan dan menuntuk haknya pasca terjadinya perceraian dan anak-anak yang menjadi korban perceraian menjadi terlantar.30 Dengan demikian diharapkan kepada masyarakat untuk sadar dan taat hukum dengan melaksanakan perceraiannya di depan sidang pengadilan. Kepada aparatur gampong dan tokoh masyarakat untuk selalu mengawasi masyarakatnya dalam melaksanakan proses perceraian, dan kepada Mahkamah Syar’iyah untuk mengadakan penyuluhan hukum tentang proses perceraian di pengadilan agar tidak ada lagi masyarakat yang melaksanakan proses perceraian di luar pengadilan.

Oleh karena itu kalau ada orang yang membolehkan perceraian di luar Pengadilan itu hanya pendapat orang yang picik, orang yang hanya menuruti keinginan hawa nafsunya saja, dalam fikirannya hanya terlintas bagaimana cara mendapatkan perempuan-perempuan cantik dan lebih muda, diceraikan bila sudah bosan diganti dengan yang baru begitu seterusnya, Perceraian seperti inilah yang akan membawa kemadharatan bagi perempuan ataupun anak-anak, serta tidak dikehendaki

oleh syari฀ah. hukum itu membawa kepada kemaslahatan, maka aturan /hukum itu

harus dijadikan sebagai pegangan, dengan kriteria;

1. Tidak bertentangan dengan maqashid al-syari฀ah yang dharuriyyah, hajiyyat dan tahsiniyat,

2. Rasional, dalam arti bisa diterima oleh orang cerdikiawan-cendikiawan (ahl al-dzikr),

30Hanifah, Panitera, Mahkmah Syar;iyah Kota Banda Aceh,Wawancara Via Telepon, tanggal

(36)

3. Menghilangkanraf฀ al haraj“.31

Alasan mengkaji permasalahan ini adalah untuk menunjukkan besarnya pengaruh hukum figh tradisional di Aceh, sehingga banyak timbul tidak adanya kesatuan masyarakat muslim untuk tunduk dan patuh pada Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, hal inilah yang mendorong untuk dilakukan penelitian terkait dengan adanya perempuan yang diceraikan diluar pengadilan oleh laki-laki.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang merupakan permasalahan yang menarik untuk dikaji lebih lanjut adalah :

1. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perceraian di luar Pengadilan ?

2. Bagaimana keabsahan perkawinan selanjutnya yang dilakukan perempuan yang diceraikan suaminya di luar pengadilan dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif ?

3. Bagaimana akibat hukum perceraian yang dilakukan diluar pengadilan menurut ketentuan hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :

31Asy-Syathibi.Al-Muwafaqat fi Ushulisy Syari฀ah. (Al-Maktabah al-Tijariyah Mesir, 2007)

(37)

1. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perceraian di luar Pengadilan.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis keabsahan perkawinan selanjutnya yang dilakukan perempuan yang diceraikan suaminya di luar pengadilan dalam perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum perceraian yang dilakukan diluar pengadilan menurut ketentuan hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis.

yaitu Sebagai bahan untuk menambah khasanah keilmuan bagi para akademisi dan dunia pendidikan pada umumya, khususnya di bidang Hukum Perkawinan mengenai Perkawinan dengan Perempuan yang diceraikan diluar Pengadilan. 2. Secara Praktis.

Menambah khasanah ilmu pengetahuan dalam bidang hukum yang berkembang di masyarakat, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi Masyarakat.

E. Keaslian Penelitian

(38)

mirip, tetapi tidak sama Permasalahannya, adalah penelitian yang dilakukan oleh Muslim Mohd judul Tesis Perceraian di Bawah Tangan di Tinjau dari Hukum Islam dan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 (Studi di kecamatan Kampar, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau Program Pascasarjana USU Medan tahun 2000) dengan rumusan masalah:

a. Apa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perceraian dibawah tangan di Kecamatan Kampar, Kabupaten Kampar Riau.

b. Apakah perceraian dibawah tangan dapat dilakukan oleh suami dan isteri dengan menggunakan bentuk-bentuk perceraian yang ditetapkan dalam hukum Islam.

c. Bagaimanakah kedudukan perceraian dibawah tangan ditinjau dari UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Dengan demikian penelitian ini dapat disebut asli dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional dan objektif serta terbuka.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Teori adalah merupakan suatu prinsip yang dibangun dan dikembangkan melalui proses penelitian yang dimaksud untuk memberikan gambaran dan menjelaskan suatu masalah.32 Menurut Neuman “Teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai

(39)

ide yang memadatkan dan mengorganisasi pengetahuan tentang dunia. Ia adalah cara yang ringkas untuk berfikir tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja.”33

Dalam kamus besar bahasa Indonesia dijelaskan bahwa pengertian teori adalah:

1. Pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, didukung oleh data dan argumentasi.

2. Penyelidikan eksperiment yang mampu menghasilkan fakta berdasarkan ilmu pasti, logika, metodologi dan argumentasi.34

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan pedoman dan petunjuk serta menjelaskan gejala yang diamati 35. Sedangkan kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat teori, mengenai suatu permasalahan yang menjadi dasar perbandingan atau pegangan teoritis.36

Teori dipergunakan untuk menjelaskan secara teoritis antara variable yang sudah diputuskan untuk ditelitit khususnya hubungan antara variable bebas (independent) dan variable tak bebas (dependent). Telaah teoritis dan temuan penelitian yang relevan berfungsi menjelaskan permasalahan dan menegakkan prediksi dan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan penelitian.37 Dalam Penelitian ini mengunakan teori keadilan yang dipergunakan sebagai pisau analisis (grand

33W.L Neuman,Social Research Methods, (Allyn dan Bacon, London, 2004), cet 6, hal. 20 34Pusat bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta;

Balai Pustaka, 2002) hal. 1177

35

Lexy Moleog,Metodologi Penelitian Kuantitatif(Bandung; Remaa Rosdakarya, 2002) hal. 35

36M. Soly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian(Bandung; Mander Man, 1994) hal. 80

37Agusri Pasaribu, Metodolodi Nomotetik dan Idiografi serta Triangalasi (Medan:

(40)

theory) penelitian ini juga akan didukung dengan teori maslahat mursalah serta teori positif dan teori kepastian hukum. Teori-teori ini mempunyai nilai sangat penting dalam memecahkan masalah dan mempunyai keterkaitan satu sama lainnya.

Teori Keadilan diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali juga didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya. Yang kemudian oleh John Rawls yang hidup pada awal abad 21 lebih menekankan pada keadilan sosial,38 Rawls melihat kepentingan utama keadilan adalah:

1. Jaminan stabilitas hidup manusia, dan;

2. Keseimbangan kehidupan pribadi dan kehidupan bersama.

Carl Joachim Friedrich mengatakan, Teori Keadilan dalam Pandangan-pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa kita dapatkan dalam karyanya

nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Lebih khususnya, dalam buku

nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang, berdasarkan filsafat umum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, “karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan.39

38

John Rawls, Modern Jurisprudensi, ( Kuala Lumpur: Internasional Law Book Review, 1994) hal, 278

39Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Bandung: Nuansa dan

(41)

Dalam hal ini penulis mencoba membedakan keadilan menjadi jenis keadilan distributif dan keadilan korektif. Yang pertama berlaku dalam hukum publik, yang kedua dalam hukum perdata dan pidana. Keadilan distributif dan korektif sama-sama rentan terhadap problema kesamaan atau kesetaraan dan hanya bisa dipahami dalam kerangkanya. Dalam wilayah keadilan distributif, hal yang penting ialah bahwa imbalan yang sama-rata diberikan atas pencapaian yang sama rata.

Sesungguhnya, konsep bimbingan natural atau universal membuktikan tanggung jawab manusia dalam mengembangkan pengertian tajam persepsi moral dan spiritual serta motivasi, yang akan membawa kepada penegakan keadilan di muka bumi. bahwa Al-Quran menganggap manusia seluruhnya sebagai satu bangsa berhubung dengan bimbingan unuversal sebelum bimbingan khusus melalui para Nabi diturunkan:

Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus Para Nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus. (Al-Baqarah: 213).

(42)

tujuan akhir dari wahyu islam, yang diungkapkan dalam bentuk awalnya dalam hukum-hukum islam yang suci (syari`ah).40

Teori keadilan dalam Islam pertama kali didiskusikan sebagai persoalan teologi tentang keadilan ilahiyah yang melahirkan dua mazhab yaitu: mu`tazilah dan asy`ariyah. Mu`tazilah menyatakan bahwa manusia, sebagai yang bebas, bertanggung jawab di hadapan Allah yang adil. Baik dan buruk merupakan kategori-kategori rasional yang dapat diketahui melalui nalar.41

Disamping teori keadilan diatas, juga digunakan Teori Maslahat Mursalah yaitu: maslahat yang secara ekplisit tidak ada satu dalil pun baik yang mengakuinya ataupun yang menolaknya, Teori Maslahat Mursalah ini sejalan dengan syara yang dapat di jadikan pijakan dalam mewujudkan kebaikan yang dibutuhkan manusia serta terhindar dari kemudratan. Maslahat Mursalah yang dimaksud dalam teori ini adalah maslahat dhawriyah yaitu maslahat yang menjadi dasar tegaknya kehidupan asasi manusia baik yang berkaitan dengan agama/keyakinan, maupun dunia. Jika ia luput dari kehidupan manusia maka rusaklah tatanan kehidupan manusia itu sendiri. Yang termasuk dalam kategori maslahat dharuwiyah adalah terjamin dan terpelihara; agama, akal, keturunan, harta dan jiwa.42

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian, Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 menyebutkan bahwa :

40

Ibid,hal, 34

41Ibid,hal, 41

42 Muhammad Abu Zahra, ibn Taymiyah, Hayatutu wa Asrintiv Wa Ara, Uhu Wafiquhu,

(43)

1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak Pengadilan memberi keputusannya. 2. Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan

yang diperlukan anak, dan bila ternyata dalam kenyataannya bapak tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul kewajiban tersebut.

3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri.

Digunakan pula teori positif dalam penulisan ini juga, yaitu sebagaimana yang dipelopori oleh Jhon Austin. Hukum itu sebagaia command of the law giver(perintah dari pembentuk hidup terhadap atau penguasa) yaitu suatu perintah mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan, hukum dianggap sebagai suatu system yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system). Hukum secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan tidak didasarkan pada penilailan baik buruk.43 yang dinamakannya sebagai hukum mengandung di dalamnya suatu perintah, sanksi kewajiban dan kedaulatan.

Sedangkan Teori Kepastian Hukum di Indonesia sebagai negara yang berlandaskan hukum sedang mengalami masa transisi, yaitu sedang terjadi perubahan nilai-nilai dalan masyarakat dari nilai-nilai yang bersifat tradisional ke nilai-nilai yang modern.44 Namun, masih terjadi persoalan nilai-nilai manakah yang hendak ditinggalkan dan nilai-nilai baru yang akan menggantikannya. Sudah barang tentu dalam proses perubahan ini akan banyak dihadapi hambatan-hambatan yang kadang-43Lili Rasyidi dan Ina Thania Rasyidi,Pengantar Filsafat Hukum(Bandung; Mander Majak,

2002), hal. 55

44

(44)

kadang akan menimbulkan keresahan-keresahan maupun kegoncangan di dalam masyarakat. Mochtar Kusumaatmadja misalnya, mengemukakan beberapa hambatan utama seperti jika yang akan diubah itu identik dengan kepribadian nasional, sikap golongan intelektual dan pimpinan masyarakat yang tidak mempraktekkan nilai-nilai yang dianjurkan di samping sifat heterogenitas bangsa Indonesia, yang baik tingkat kemajuannya, agama serta bahasanya berbeda satu dengan yang lainnya.45

Menurut Roscoe Pound salah seorang pendukung Socialogical Jurisprudence

mengatakan, hukum dapat berfungsi sebagai alat merekayasa masyarakat (law as a tool of social engineering), tidak hanya sekedar melestarikan status quo.46

Kepastian hukum mengandung dua pengertian, pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam Undang-undang, melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim untuk kasus serupa yang telah diputus.47 Kepastian hukum adalah merupakan perlindungan

45Kuntjaraningrat, Pergeseran Nilai-nilai Budaya dalam Masa Transisi termuat dalam Simposium Kesadaran Hukum Masyarakat dalam Masa Transisi, (Badan Pembinaan Hukum Nasional, Binacipta, 2009), hal 25

46

Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2004), hal. 197

47Peter Mahmud Marzuki,Pengantar Ilmu Hukum,(Jakarta: Kencana Prenada Media Group,

(45)

yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.48

Menurut Scheltema, adanya unsur-unsur dalam kepastian hukum, meliputi: 1. Asas legalitas;

2. Adanya undang-undang yang mengatur tindakan yang berwenang sedemikian rupa, sehingga warga dapat mengetahui apa yang diharapkan;

3. Undang-undang tidak boleh berlaku surut;

4. Pengadilan yang bebas dari pengaruh kekuasaan yang lain.49

2. Konsepsi

Konsepsi adalah suatu bagian terpenting dari teori. Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas. Bagian landasan konsepsi ini, akan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan konsep yang digunakan oleh penulis. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hak-hak yang khusus disebut dengan definisi operasional.50

Adapun uraian dari pada konsep yang dipakai dalam penelitian ini adalah: a. Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita

sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa.51

48Sudikno Mertokusumo,Mengenal Hukum, Sebuah Pengantar,(Yogyakarta: Liberty, 1999),

hal. 145.

49Ida Bagus Putu Kumara Adi Adnyana, Penjabaran Nilai-nilai Pancasila dalam Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan,(Malang: Disertasi Program Dokor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitar Brawijaya, 2010), hal. 95.

(46)

b. Perceraian dalam istilah hukum Islam disebut dengan “At-Talak” yang secara bahasa (etimologi) bermakna meninggalkan atau memisahkan,52ada juga yang memberikan makna lepas dari ikatannya, secara umum talak diartikan sebagai perceraian dalam Hukum Islam antara suami dan istri atas kehendak suami.Perceraian bisa juga diartikan sebagai suatu cara yang sah untuk mengakhiri suatu perkawinan.53

c. Perceraian diluar pengadilan ialah melepaskan ikatan perkawinan dibawah tangan tanpa/bukan di depan pengadilan yang hanya disaksikan oleh dua orang saksi dan tidak memiliki akibat hukum menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam Indonesia.54

d. Kompilasi Hukum Islam adalah hukum nasional Pengadilan Agama/Mahkamah syariah yang terkodifikasi dan unifikasi yang pertama saat ini dan diperlukan untuk landasan rujukan setiap keputusan pengadilan Agama/Mahkamah Syariah.55

e. Janda adalah seorang perempuan yang telah diceraikan/bercerai atau meninggal suaminya dan belum melangsungkan pernikahan kembali dengan laki-laki lain.56

f. Fasakh ialah membatalkan atau pembubaran akad nikah disebabkan oleh kecacatan yang berlaku pada waktu akad atau kecacatan yang mendatang selepas berlakunya akad nikah yang menghalang kekalnya perkahwinan,

52Ahmad Warson Munawir,Loc. Cit,hal. 861 53

Abdul Aziz Dahlan,Op.Cit., hal. 177

54

Lihat Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam Indonesia

(47)

fasakh tidak boleh dirujuk semula. Jika ingin bersatu semula hendaklah dengan akad yang baru.57

g. Talak adalah salah satu perbuatan hukum berupa pemutusan hubungan perkawinan dari pihak suami terhadap pihak istri.

G. Metode Penelitian.

Dalam penelitian ini metode merupakan unsur paling utama dan didasarkan pada fakta dan pemikiran yang logis sehingga apa yang diuraikan merupakan suatu kebenaran. Metodologi penelitian adalah ilmu tentang metode-metode yang akan digunakan dalam melakukan suatu penelitian. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu menggambarkan, menelaah dan menjelaskan mengenai memberi penilaian terhadap perilaku sebagian masyarakat yang melakukan perkawinan dengan perempuan yang bercerai diluar pengadilan. Penulisan tesis akan mempunyai nilai ilmiah jika berpatokan pada syarat-syarat metode ilmiah, karena penelitian merupakan alat atau sarana utama dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten. Melalui proses penelitian tersebut maka sangat perlu diadakan analisis dan konstruksi terhadap data-data yang telah dikumpulkan dan diolah. Penelitian ini nanti merupakan suatu proses yang dilakukan secara terencana dan sistematis yang diharapkan berguna untuk memperoleh pemecahan permasalahan yang ada. Adapun data tersebut diperoleh dengan melakukan pendekatan sebagai berikut :

(48)

1. Pendekatan Masalah Penelitian.

Sifat Penelitian.

Untuk mengumpulkan data dalam Penulisan ini dilakukan dengan penelitian bersifat deskriptif, yaitu memberi penilaian terhadap perilaku sebagian masyarakat yang melakukan perkawinan dengan perempuan yang bercerai diluar pengadilan dan tata cara perkawinan selannjutnya. Dan juga diterapkan adalah Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris, yaitu cara atau prosedur yang digunakan untuk memecahkan masalah penelitian dengan meneliti data sekunder terlebih dahulu untuk kemudian dilanjutkan dengan meneliti data primer yang ada di lapangan. Aspek yuridis dapat dilakukan dengan meneliti peraturan-peraturan hukum yang terkait, Jadi pendekatan yuridis empiris merupakan suatu penelitian yang meneliti peraturan-peraturan hukum tentang perkawinan dengan perempuan yang bercerai diluar pengadilan, yang kemudian dihubungkan dengan data dan perilaku yang hidup di tengah-tengah masyarakat langsung.

2. Lokasi Penelitian.

(49)

3. Teknik Pengumpulan Data.

Dilakukan dengan pengumpulan bahan-bahan hukum tersebut adalah menginventarisasi bahan-bahan hukum yang berhubungan mengenai perkawinan dengan perempuan yang bercerai diluar pengadilan. Adapun bahan-bahan hukum tersebut terdiri dari :

a. Bahan hukum primer.

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoriatif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer mempunyai kekuatan yang mengikat bagi pihak-pihak yang berkepentingan, berupa peraturan perundang-undangan dan Peraturan lainnya.

b. Bahan hukum sekunder.

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer yaitu buku ilmu hukum, jurnal hukum, laporan hukum, makalah, dan media cetak atau elektronik. Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah yang merupakan publikasi tentang hukum yang bukan dokumen resmi, seperti hasil seminar atau pertemuan ilmiah yang relevan dengan penelitian ini.

c. Bahan hukum tersier.

(50)

umum, kamus hukum, majalah-majalah, dan internet.58serta bahan-bahan di

luar bidang hukum yang berkaitan guna melengkapi data.

4. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis, Deskritif analisis dalam arti bahwa penulisan ini mempunyai tujuan untuk menggambarkan, menelaah dan menjelaskan mengenai perkawinan dengan perempuan yang bercerai diluar pengadilan. Adapun tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.59. pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) yaitu melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian serta ditunjang conceptual approach dan comperatif approach untuk kemudian secara integral distrukturisasi melalui pendekatan system untuk pembahasannya.

5. Alat Pengumpulan Data.

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas 2 (dua) cara, yaitu: (1) studi pustaka, dan (2) wawancara. Studi pustaka digunakan dalam rangka pengumpulan data skunder. Pengumpulan data dengan menggunakan studi pustaka ini ditempuh dengan cara mengumpulkan, membaca,

58

Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Penerbit Jakarta : Bayumedia, 2005), hal. 340.

59Soekanto, Soerjono,Penelitian Hukum Normative, (Penerbit Surabaya: Bayumedia, 2006),

(51)

menelaah, mengkaji, serta mengkritisi ketentuan peraturan perundang-undangan terkait. Sedangkan dalam melakukan penelitian lapangan, alat yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah dengan menggunakan pedoman wawancara yang memuat data daftar pertanyaan yang akan diajukan secara lisan dan tulisan kepada responden dan narasumber.

6. Analisis Data.

(52)

BAB II

FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TERJADINYA PERCERAIAN DILUAR PENGADILAN

A. Hakikat Talak Menurut Hukum Islam.

Apabila ditelusuri sumber hukum Islam, al-Quran (QS.al-Baqarah [2]:227-237,Q.S.al-Nisa’[4]:19,34,35,128,130, Q.S.al-Ahzab[33]: 28,29,39, QS. Al Thalaq [65]:1,2,4,6,7) dan Sunnah shahih, yang mengatur tentang talak dan berbagai aspek hukum di dalamnya, maka dapat ditarik beberapa garis hukum tentang perceraian sebagai berikut:

1. Perceraian adalah dibolehkan dalam Islam sebagai jalan terakhir untuk menyelamatkan suami isteri dan anak-anak dalam kondisi rumah tangga yang tidak mungkin dipertahankan lagi.

2. Meskipun perceraian dibolehkan, namun perbuatan tersebut sangat dibenci oleh Allah SWT mengingat besarnya dampak negatif yang akan timbul akibat perceraian.

3. Meskipun perceraian dibolehkan dalam kondisi dharurat, namun perceraian harus dilakukan dengan cara-cara ihsan (baik). Makna ihsan mencakup asas keadilan, persamaan dan pemeliharaan hak dan kewajiban serta harus didasari oleh alasan atau alasan-alasan yang dibenarkan hukum.

(53)

Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq serta dua tahun masa kekhalifahan Umar ibn al-Khaththab, yang dijatuhkan tiga kali sekaligus dihitung satu, setelah itu di saat masyarakat mulai mempermain-mainkan talak, maka Khalifah Umar ibn al-Khaththab menetapkan talak yang dijatuhkan tiga kali sekaligus dihitung tiga.60

Ketetapan Umar tersebut secara zhahir terlihat bertentangan dengan ayat al-Quran (ath-thalaqu marrataini) yang menyatakan talak itu dua kali serta berbeda dengan praktek hukum pada masa Rasulullah dan Abu Bakar. Namun oleh karena substansi talak pada hakikatnya adalah untuk memelihara institusi perkawinan, maka Umar selaku penguasa pada waktu itu berani menetapkan hukum yang tidak sama dengan praktek pada zaman Rasul dan Abu Bakar.

Apabila dilihat dari segi rentang waktu terjadinya perubahan hukum di sekitar talak pada masa Umar tersebut kurang lebih hanya empat tahun setelah Rasulullah SAW wafat terjadi perubahan kondisi masyarakat sehingga Umar memandang perlu adanya perubahan hukum karena mempertahankan ketentuan yang lama dalam kondisi masyarakat yang suka mempermain-mainkan talak akan berakibat tidak tercapainya tujuan pensyari’atan talak sebagai proteksi untuk melindungi institusi perkawinan. Apalagi apabila dibandingkan dengan situasi dan kondisi masyarakat modern sekarang yang rentang waktunya sudah lebih kurang 14 abad yang silam tentu mengalami perubahan dan perkembangan yang jauh lebih besar dan sudah pasti menuntut kajian hukum yang lebih dalam pula untuk dapat menerapkan hukum sesuai dengan tuntutan perubahan.

Gambar

Tabel 1
Tabel 2

Referensi

Dokumen terkait

Kenaikkan terbesar dalam persentase berasal dari penjualan pada pasar Original Equipment yang naik 8,89 persen, seiring dengan tingginya kenaikkan produksi mobil tahun 2011

Tentu bersifat nisbi. Maka perbedaan penafsiran adalah suatu kekayaan tersendiri dalam khazanah intelektual Islam. Di sisi lain tidak sedikit pula mufassir-mufassir

Berkaitan dengan hal tersebut, tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan kemampuan representasi matematis mahasiswa dalam pembelajaran dengan model PBL

Pengujian ketiga variabel bebas X (NPL, LAR, dan LDR) berpengaruh signifikan terhadap variabel Keputusan Pemberian Kredit (Y) sehingga hipotesis yang diajukan terbukti.

Rendahnya kuantitas alih kodedalam tuturan siswa Kelas II SMP Negeri 1 Leihitu ketika mengikuti PBM bahasa Indonesia bukan disebabkan oleh percakapan berbahasa siswa dan

Banyak tidaknya kandungan pigmen lain selain klorofil tidak berpengaruh pada tanaman yang misalnya terdapat pada daun puring, karena klorofil tetap menjadi pigmen

menunjukkan citra SEM permukaan film tipis ZnO:Al yang ditumbuhkan pada temperatur 400 o C mempunyai ukuran butir lebih besar. Tampak dari citra SEM, film tipis ZnO:Al

Pengaruh Free Cash Flow dan Struktur Kepemilikan Saham Terhadap Kebijakan Hutang dengan Investment Opportunity Set sebagai Variabel Moderating (Studi Empiris pada Perusahaan