• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III KEABSAHAN PERKAWINAN SELANJUTNYA YANG

C. Manfaat Pencatatan Nikah dan Pencatatan Perceraian

85Hasil wawancara dengan Asnawi, Kepala lorong desa Lamglumpang, Kecamatan Ulee

Kareng, tanggal 21 Oktober 2013

86

Hasil wawancara dengan Nurhayati, isteri Kepala Desa Lamglumpang, Kecamatan Ulee Kareng, tanggal 21 Oktober 2013

87Hasil wawancara dengan Nurhayati, isteri Kepala Desa Lamglumpang, Kecamatan Ulee

Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan yang berlaku (pasal 2 ayat 1 Undang-undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974). Pencatatan perkawinan sangat penting, terutama untuk mendapatkan hak-hak bagi seorang isteri, seperti warisan dan nafkah bagi anak-anak. Perkawinan secara resmi yang dilaksanakan menurut negara yang dicatatkan di Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil. Pencatatan tersebut untuk tertib administrasi, memberikan kepastian hukum bagi status hukum suami, istri, anaknya, dan jaminan perlindungan terhadap hak yang timbul seperti hak waris, hak untuk memperoleh akta kelahiran.

Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan anak luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya, juga untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap hubungan keduanya. Sebab, perkawinan yang tidak dicatat dianggap peristiwanya tidak ada, sehingga anak yang dilahirkan disebut anak luar perkawinan yang sah. Jika tidak memenuhi syarat itu berakibat tidak dapat dicatatkan suatu perkawinan di Kantor Urusan Agama (Islam) atau Kantor Catatan Sipil (non-Islam). Akibat hukumnya, tidak mempunyai status hukum perkawinan yang sah dan tidak mempunyai hak waris bagi suami, istri, atau anak-anaknya.

Akibat hukum yang dapat ditimbulkan apabila perkawinan tidak dicatatkan adalah:88

88http://www.lbh-apik.or.id/fact-14/20penct./20perkawinan.htm, diakses tanggal 13

a. Perkawinan Dianggap tidak Sah.

Meski perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun di mata negara perkawinan Anda dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil.

b. Anak Hanya Mempunyai Hubungan Perdata dengan Ibu dan Keluarga Ibu. Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan yang tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu (Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Perkawinan). Sedang hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada.

c. Anak dan Ibunya tidak Berhak atas Nafkah dan Warisan.

Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik isteri maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya.

Bagi ummat Islam, tersedia prosedur hukum untuk mengesahkan perkawinan yang belum tercatat, yaitu dengan pengajuan Itsbat Nikah. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 7 ayat 2 dan 3 dinyatakan, bahwa dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.

Namun salah satu syarat dalam pengajuan permohonan itsbat nikah adalah harus diikuti dengan gugatan perceraian. Dan syarat lainnya adalah jika perkawinan itu dilaksanakan sebelum berlakunya UU No. 1 tahun 1974 maka berarti bahwa

perkawinan yang dilaksanakan setelah berlakunya UU tersebut mau tidak mau harus disertai dengan gugatan perceraian.

Tujuan adanya hukum pencatatan nikah adalah untuk menciptakan ketertiban dalam perkawinan masyarakat. Tapi ternyata perundang-undangan Pencatatan nikah di Indonesia telah menjadi kontra produktif, status perkawinan : sirri atau bukan sirri di Indonesia, dalam prakteknya telah ditentukan oleh pelayanan Administrasi Negara yang berakibat justru menciptakan ketidak ketertiban perkawinan di Indonesia. Kebijakan mengenai pelayanan hukum pencatatan Nikah di Indonesia dapat berimplikasi terhadap status perkawinan dalam hubungannya dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Persoalan pokok yang dihadapi bangsa ini, adalah bagaimana ketertiban perkawinan dapat diciptakan melalui perundang-undangan.

Beberapa hal yang perlu dikemukakan adalah mengenai alasan tidak dilakukannya pencatatan nikah oleh sebagian kalangan umat Islam yang melakukan Perkawinan. Dalam penelitian yang dilakukan, menurut Idris Ramulyo,89 beberapa kalangan masyarakat berusaha menghindari diri dari sistem dan cara pengaturan perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yang birokratis dan berbelit-belit serta lama pengurusannya. Untuk itu mereka menempuh cara sendiri yang tidak bertentangan dengan Hukum Islam.90 Alasan utama mereka adalah perkawinan mereka merupakan perkawinan kedua yang disembunyikan dari isteri

89Moch Idris Ramuljo, Hukum Perkawinan Islam,Suatu Analisis Undang-undang Nomor1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Penerbit Bumi Aksara, 1996), hal. 240.

pertama. Kemudian berdasarkan penelitian di Kecamatan Ulee Kareng,91 beberapa warga melakukan perkawinan tanpa pencatatan nikah, adalah karena biaya yang dikeluarkan untuk pengurusan perkawinan mereka dianggap mahal, lebih mahal dari pada biaya untuk melakukan walimah nikah.

Dalam prakteknya, adanya hukum pencatatan nikah telah menciptakan dua status perkawinan yang pada dasarnya mencerminkan ketidaktertiban perkawinan dalam masyarakat. Pada sisi lain perkembangan pendidikan masyarakat mengenai perkawinan menimbulkan perubahan kesadaran mengenai keadilan dalam praktek hukum perkawinan. Dimana perlindungan hukum tidak hanya merupakan hak dari orang yang mempunyai Akta Nikah, melainkan hak dari semua warga negara yang menikah. Dengan demikian Hukum Pencatatan Nikah dituntut untuk melakukan pelayanan yang menjangkau semua perkawinan masyarakat.

Perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat pada gilirannya akan menyebabkan pula terjadinya perubahan pada hukum yang harus melayani masyarakat itu. Hukum Pencatatan nikah adalah hukum yang melayani masyarakat dengan produk yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat, yaitu Akta Nikah yang pada gilirannya akan menciptakan ketertiban perkawinan. Sampai pada saat ini jutaan orang yang sudah menikah telah mendapatkan akta nikah, tapi disisi lain jutaan orang lainnya menikah, tidak mendapatkan akta nikah. Keadaan tersebut secara signifikan terus berlangsung dari tahun ke tahun, dan hampir tidak ada kemajuan

yang berarti, dimana seharusnya terjadi pengurangan terhadap prosentase kawin sirri di Indonesia.

Sebagai lembaga pelayanan, pencatatan nikah harus mengikuti hukum Pelayanan publik yang ada di Indonesia, yng berpayung pada UU No 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik. Pada prinsipnya upaya untuk mencapai kebutuhan pelayanan Nikah yang baik, adalah upaya menghindari adanya nikah sirri dengan secara aktif. Pencatatan Nikah harus berubah menjadi pelayanan yang aktif, oleh karena itu perlu dilakukan reformasi hukum pencatatan nikah, melalui Undang- undang, supaya memerintahkan kepada Negara sebagai birokrasi pelayanan, untuk membentuk lembaga Pencatatan NIkah yang benar-benar melayani masyarakat dalam hal penyuluhan dan pencatatan nikah, sehingga tak satupun orang Indonesia yang menikah tanpa pencatatan nikah.

Reformasi hukum Pencatan Nikah adalah reformasi di bidang karakter kelembagaan, yang tadinya bersifat sebagai lembaga statis menjadi lembaga yang dinamis. Perubahan karakter ini menuntut adanya rekonsruksi birokrasi yang harus lebih dahulu diteliti secara akademis untuk mereformasi hukumnya. Lembaga pencatatan nikah harus mempunyai tujuan baru secara hukum, yaitu tidak ada masyarakat Indonesia yang menikah tanpa melalui Pencatatan Nikah, kecuali mereka melakukan pelanggaran perkawinan.

Karakteristik Pencatatan Nikah

Lembaga Pencatatan Nikah adalah lembaga Negara yang berkewajiban untuk mencatatatkan nikah masyarakat yang beragama Islam. Karakter ini adalah

merupakan perubahan dari sifat “berwenang” yang cenderung menunggu atau statis tanpa ada upaya untuk berperan aktif dalam masyarakat. Konsep ini berdasarkan pada konsep tanggung jawab Negara terhadap warga masyarakat untuk memberikan perlindungan hukum bagi siapapun warga Negara Indonesia, sehingga Negara secara hukum wajib untuk memberikan pelayanan pencataan nikah demi terlaksananya perlindungan terhadap warga Negara di bidang perkawinan.

a. Asas : Negara Wajib memberikan perlindungan hukum.

Lembaga pencatatan nikah yang ada sekarang secara hukum berperan sebagai lembaga yang melayani kebutuhan masyarakat, sehingga dilakukan pencatatan atau tidak tergantung pada kebutuhan masyarakatnya. Konsep ini tidak berdasarkan pada konsep perlindungan hukum yang menjadi hak semua warga Negara, karena perlindungan hukum masih dipandang sebagai kepentingan warga Negara bukan sebagai kewajiban Negara yang telah ditentukan oleh konstitusi. Dengan dipandang sekedar sebagai kepentingan warga Negara, maka hukum tidak memerintahkan kepada Pegawai Pencatat Nikah untuk melakukan pencatatan, melainkan hanya memberikan kewenangan untuk mencatatkan apabila mereka menghendaki.

b. Asas : Kesamaan di dalam hukum.

Asas berimplikasi dengan kewajiban Lembaga Pencatat nikah, dibangun bukan hanya untuk melakukan Pencatatan Nikah, melainkan juga memberikan penyuluhan kepada warga Negara untuk memahami hukum perkwinan dengan benar, sehingga setiap warga ketika melakukan perkawinan secara formal sudah bisa dianggap mengetahui hukum perkawinan yang ada. Akibatnya apabila terjadi

perkawinan yang tidak dicatatkan, Negara tidak bisa disalahkan, bahkan bisa memberikan sanksi kepada warga yang tidak mau melakukan pencatatan nikah. Hal ini berimplikasi pada bunyi perundang-undangan, bahwa: perkawinan ……dicatatkan menurut perkawinan yang berlaku, oleh karena itu Negara wajib memberikan penyuluhan mengenai peraturan pencatatan Nikah”, mempunyai arti adanya usaha Negara (lembaga Pencatat Nikah) untuk memberikan penyuluhan mengenai peraturan yang berlaku. Dengan demikian birokrasi yang didirikan adalah berupa Lembaga Penyuluhan dan Pencatat Nikah, bukan lembaga Pencatat Nikah.

2. Pencatatan perceraian

Proses hukum pencatatan perceraian dilakukan setelah Hakim di depan sidang Pengadilan menetapkan atau memutus perceraian. Nagi yang beragama Islam dilakukan dengan berpedoman pada UU No. 7 Tahun 1989, PP No. 9 Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 Tentang Kewajiban Pegawai Pencatatan Nikah dan Tata Kerja Pengadilan Agama dalam Melaksanakan Peraturan Perundang-undangan bagi yang beragama Islam.92

Selanjutnya proses hukum pencatatan perceraian diatur dalam pasal 36 Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975, sebagai berikut:93

a. Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami yang menerima Surat Keterangan tentang terjadinya talak dari Pengadilan Agama sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) pasal 28 Peraturan ini mencatat terjadinya talak itu 92 Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah, Annalisa Yahanan,Hukum Perceraian, (Jakarta:

Sinar Grafika, 2013), hal. 337.

dalam Buku Pendaftaran Talak menurut contoh yang ditetapkan oleh Menteri Agama.

b. Buku Pendaftaran Talak ditandatangani oleh Pegawai Pencatat Nikah dan masing-masing yang bersangkutan serta saksi-saksi.

c. Pegawai Pencatat Nikah membuat Kutipan Buku Pendaftaran Talak menurut contoh yang ditetapkan oleh Menteri Agama dan memberikan kepada masing- masing suami isteri.

Pencatatan perceraian bagi yang beragama Islam dilakukan berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, khususnya bagian kelima Pencatatan Perceraian, Pasal 40 sampai dengan Pasal 42 dan beberapa pasal terkait lainnya. Tahapan pertama dalam proses hukum pencatatan perceraian adalah pria atau wanita yang telah bercerai berdasarkan penetapan atau putusan pengadilan. Menurut Pasal 40 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2006, wajib melaporkan perceraiannya kepada instansi pelaksana, paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak putusan pengadilan tentang perceraian tersebut.

Pada tahapan kedua, proses hukum pencatatan perceraian, adalah Pejabat Pencatatan Sipil, setelah menerima laporan dari penduduk (pria atau wanita yang bercerai) kemudian mencatat pada register Akta Perceraia dan menerbitkan Kutipan Akta Perceraian berdasarkan Pasal 40 ayat (2) UU No. 23 Tahhun 2006. Pejabat Pencatatan Sipil mempunyai kewenangan melakukan verifikasi kebenaran data,

melakukan pembuktian pencatatan atas nama jabatannya, mencatat akta dala Register Akta Perceraian dan menerbitkan Kutipan Akta Perceraian.94

Menurut pasal 39 Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975, apabila Kutipan Buku Pendaftaran Talak dan Kutipan Buku Pendaftaran Cerai hilang atau rusak padahal diperlukan, maka orang yang bersangkutan dapat minta duplikat surat- surat tersebut ke Kantor Urusan Agama yang dahulu mengeluarkannya. Untuk mendapatkan duplikat surat-surat tersebut tidak dipungut biaya, kecuali ada peraturan lain. Jika Kantor Urusan Agama yang dahulu mengeluarkan surat-surat itu tidak dapat membuat duplikatnya disebabkan catatannya telah rusak atau hilang atau karena sebab-sebab lain, maka untuk menetapkan adanya talak dan cerai harus dibuktikan dengan Keputusan Pengadilan Agama.

D. Keabsahan Perkawinan selanjutnya dari Perempuan yang diceraikan di

Dokumen terkait