• Tidak ada hasil yang ditemukan

G. Metode Penelitian

4. Analisis Data

Analisis data merupakan bagian penting dari sebuah penelitian, yang wajib dilakukan oleh semua peneliti. Penelitian tanpa analisis data hanya akan melahirkan data mentah tanpa arti. Dalam penelitian ini, akan digunakan analisis data secara kualitatif. Analisis data secara kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mengsintesiskan, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.50

Dalam penelitian ini akan menggunakan metode penarikan kesimpulan secara deduktif. Cara Deduktif lebih dikenal dengan metode penarikan kesimpulan dari umum ke khusus.

Kesimpulan deduktif dibentuk dengan cara deduksi, yaitu dimulai dari hal – hal yang umum kepada hal – hal yang lebih khusus. Proses pembentukan kesimpulan dekduktif dapat dimulai dari suatu dalil atau hukum menuju kepada hal – hal yang akhirnya konkrit.

50Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2009, h.248

A. Pengertian dan Pengaturan tentang Kepailitan

Istilah “pailit” dijumpai dalam perbendaharaan bahasa Belanda, Perancis, Latin dan Inggris. Dalam bahasa Perancis, istilah “faillite” artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Orang yang mogok atau macet atau berhenti membayar utangnya disebut dengan Le failli. Di dalam bahasa Belanda dipergunakan istilah faillit yang mempunyai arti ganda yaitu sebagai kata benda dan kata sifat. Sedangkan dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah to fail, dan di dalam bahasa Latin dipergunakan istilah failure.51

Menurut Subekti dan R. Tjitrosoedibio Pailit adalah keadaan dimana seseorang debitor telah berhenti membayar utang-utangnya. Setelah orang yang demikian atas permintaan para kreditornya atau atas perrmintaan sendiri oleh pengadilan dinyatakan pailit, maka harta kekayaannya dikuasai oleh Balai Harta Peninggalan selaku curatrice (pengampu) dalam urusan kepailitan tersebut untuk dimanfaatkan bagi semua kreditor.52

Pailit adalah suatu keadaan dimana debitor tidak mampu lagi melakukan pembayaran utang kepada para kreditornya.53 Ketidakmampuan debitor tersebut terjadi karena utang-utangnya lebih besar daripada asset-asetnya. Berbeda dengan pailit, kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan

51Sunarmi, Op.Cit., h.20

52Subekti dan R. Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Pradya Pramita, Jakarta, 1978, h. 89

53M. Hadi Subhan, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, Prenadha Media Grup Jakarta, 2008, h.1

Hakim Pengawas, dengan tujuan utamanya menggunakan hasil penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar semua utangutang debitor pailit secara proporsional.

Sebelumnya kepailitan di Indonesia diatur dalam Failissements Verordening (Peraturan Kepailitan), kemudian diubah dengan Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan. Perpu ini kemudian ditetapkan sebagai undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Sehubungan dengan banyaknya putusan Pengadilan Niaga yang kontroversial seperti dalam kasus Kepailitan PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia, PT Prudential Life Assurance, dan lain-lain maka timbul niat untuk merevisi undang-undang tersebut. Akhirnya, pada tanggal 18 Oktober 2004, lahirlah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.54

Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, terdapat pengertian Pailit, dalam pasal 1 ayat (1) yang berbunyi:

“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.”

Pasal 1 ayat (1) ini secara tegas menyebutkan kepailitan adalah sita umum, bukan sita individual. Karena itu disyaratkan dalam Undang-Undang Kepailitan bahwa untuk mengajukan permohonan pailit harus memiliki 2 atau lebih kreditor.

Seorang debitor yang hanya memiliki 1 (satu) kreditor tidak dapat dinyatakan

54Jono, Hukum Kepailitan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, h. 2

pailit. Hal ini bertentangan dengan prinsip sita umum. Bila hanya satu kreditor maka yang berlaku adalah sita individual. Sita individual bukanlah sita dalam kepailitan. Dalam sita umum maka seluruh harta kekayaan debitor akan berada dibawah penguasaan kurator. Debitor tidak memiliki hak untuk mengurus dan menguasai harta kekayaannya.55

Sejak ditetapkannya putusan pernyataan pailit, debitor pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurusi kekayaannya yang dimaksudkan dalam kepailitan, termasuk juga kepentingan perhitungan hari pernyataannya itu sendiri. Artinya, debitor pailit tidak memiliki kewenangan atau tidak bisa berbuat bebas atas harta kekayaan yang dimilikinya. Pengurusan dan penguasaan atas harta kepailitan beralih atau dialihkan kepada kurator atau BHP yang bertindak sebagai kurator.56

Dalam Pasal 1 ayat (1) disebutkan, Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas. Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (1) disebutkan, debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya. Dari ketentuan ini dapat diketahui, bahwa syarat yang harus dipenuhi jika debitor ingin mengajukan permohonan pailit adalah sebagai berikut:

1. Adanya utang.

55 Sunarmi, Op.Cit , h. 24

56Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta , 2004, h.412

2. Minimal satu dari utang sudah jatuh tempo.

3. Minimal satu dari utang dapat ditagih.

4. Adanya debitor.

5. Adanya kreditor.

6. Kreditor lebih dari satu.

7. Pernyataan pailit dilakukan oleh pengadilan khusus yang disebut dengan

“Pengadilan Niaga.”

8. Permohonan Pernyataan Pailit diajukan oleh pihak yang berwenang, yaitu : a. Pihak debitor;

b. Satu atau lebih kreditor;

c. Jaksa untuk Kepentingan umum;

d. Bank Indonesia jika debitornya bank;

e. BAPEPAM jika debitornya perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, dan lembaga penyimpanan dan penyelesaian;

serta

f. Menteri Keuangan jika debitornya perusahaan asuransi, reasuransi, dana pensiun, dan BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik.57

Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (“UU Perasuransian”) menyatakan Permohonan pernyataan pailit terhadap Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan

57Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014, h. 8

reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah berdasarkan Undang-Undang ini hanya dapat diajukan oleh OJK.

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang memberikan pengertian utang yang terdapat dalam pasal pasal 1 ayat (6), yaitu;

“Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi, memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.”

Dari defenisi tersebut, maka penulis dapat mengambil defenisi utang, yaitu, utang yang timbul dari perjanjian utang-piutang atau perjanjian pinjam-meminjam, dan juga utang yang timbul karena undang-undang atau perjanjian yang dapat dinilai dengan sejumlah uang.

Apabila syarat-syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 diatas telah dipenuhi, maka hakim akan menyatakan “debitor pailit” bukan “dapat menyatakan pailit”. Hal ini dilakukan mengingat ketentuan bahwa posedur pembuktian yang berlaku adalah prosedur pembuktian yang sumir atau sederhana, sebagaimana tertulis dalam Pasal 8 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004 yang menyatakan “Permohonan pernyataan Pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi.” Dalam penjelasan Pasal 8 ayat (4) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “Fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana” adalah adanya fakta dua atau lebih kreditor dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar.

Sedangkan perbedaan besarnya jumlah utang yang didalihkan oleh pemohon pailit dan termohon pailit tidak menghalangi dijatuhkannya putusan pernyataan pailit.58

Pembuktian secara sederhana ini hanya meliputi syarat untuk dapat dipailitkan yaitu, adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, adanya kreditor yang lebih dari satu serta adanya fakta bahwa debitor atau termohon pailit telah tidak membayar utangnya.

Apabila seorang debitor, mengabaikan atau mengalpakan kewajiban dan karena itu ia melakukan cacat prestasi, maka kreditornya dapat menuntut:59

1. Pemenuhan prestasi

2. Ganti rugi pengganti kedua-duanya ditambahkan dengan kemungkinan penggantian kerugian selanjutnya. Jika menghadapi suatu persetujuan timbal balik, maka sebagai gantinya kreditor dapat menuntut

3. Pembatalan persetujuan plus ganti rugi.

Tuntutan terhadap kewajiban debitor untuk melaksanakan prestasinya itu menurut hukum adalah sebgai berikut:

1. Debitor bertanggung jawab dengan seluruh harta kekayaannya baik yang berupa barang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang ada pada saat ini maupun yang akan ada dikemudian hari yang menjadi jaminan atas semua utangnya (Pasal 1131, Pasal 1133).

2. Berbeda dengan ketentuan yang terdapat dalam hak-hak kebendaan, maka hak-hak pribadi yang timbul pada saat-saat yang berbeda akan memiliki peringkat yang sama (Paritas Creditorium) (Pasal 1132).

58Sunarmi, Op.Cit., h.33

59Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, h. 9.

3. Dalam hal seorang debitor mempunyai beberapa kreditor dan pada saat yang bersama-sama secara berturut-turut mengajukan tuntutan atas harta kekayaan debitor, maka mereka akan dipenuhi tuntutannya menurut tertib urut pengajuan tagihan itu dilakukan. Hal ini berarti, kreditor yang mengajukan tagihan terlebih dahulu akan memperoleh pembayaran lebih dahulu dibandingkan dengan kreditor lain.

Apabila hanya seorang kreditor yang ingin mengajukan gugatan atas piutang-piutangnya yang belum dibayar, maka kreditor akan mengajukan gugatan itu melalui Pengadilan Negeri dengan alasan debitor telah melakukan wanprestasi.

Namun, bila kreditor terdiri atas beberapa orang tuntutan dapat diajukan melalui lembaga hukum kepailitan yang akan berakibat yang sangat berat terhadap harta kekayaannya.

Lembaga hukum kepailitan merupakan perangkat yang disediakan oleh hukum untuk menyelesaikan utang-piutang diantara debitor dan kreditor. Filosofi hukum kepailitan adalah untuk mengatasi permasalahan apabila harta seluruh harta debitor tidak cukup untuk membayar seluruh hutang-hutangnya kepada seluruh kreditornya.60 Hakikat tujuan adanya kepailitan adalah proses yang berhubungan dengan pembagian harta kekayaan dari debitor terhadap para kreditornya. Kepailitan merupakan jalan keluar untuk proses pendistribusian harta kekayaan debitor yang nantinya merupakan boedel pailit secara pasti dan adil.

Kepailitan merupakan exit from financial distress yaitu suatu jalan keluar dari persoalan yang membelit yang secara financial sudah tidak bisa diselesaikan.

60Sunarmi, Op.Cit., h. 16

Lembaga kepailitan merupakan lembaga yang memiliki fungsi dasar sebagai lembaga untuk melindungi secara seimbang kepentingan kreditor dan kepentingan debitor dalam proses penyelesaian utang piutang.61 Filosofi lembaga kepailitan adalah sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan permasalahan utang-piutang antara debitor dan kreditor, karena utang-utang debitor lebih besar daripada asetnya sehingga tidak mampu membayar lunas utang-utangnya.62 Melalui proses kepailitan penyelesaian utang-piutang antara debitor dan kreditor dapat diselesaikan secara adil, dan memberikan jaminan kepastian hukum.

Zainal asikin menyebutkan bahwa hukum kepailitan mempunyai fungsi yang sangat penting yaitu melalui hukum kepailitan akan diadakan suatu penyitaan umum (eksekusi massal) terhadap seluruh harta kekayaan debitor, yang selanjutnya akan dibagikan kepada kreditor secara seimbang dan adil dibawah pengawasan petugas yang berwenang.63 Intrumen hukum kepailitan sangat penting didalam hukum kita, karena jika instrumen ini tidak ada, kesemrawutan setidak-tidaknya yang menyangkut pelaksanaan hak-hak ganti kerugian akan timbul.

Hukum Kepailitan Indonesia dibuat dengan maksud untuk memberikan perlindungan hukum yang seimbang (adil) kepada Kreditor, Debitor, dan masyarakat. Sedangkan tujuannya adalah untuk menyelesaikan masalah utang-piutang antara debitor dan kreditor secara adil, cepat, terbuka dan efektif,

61Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, 2006, h.72

62Sunarmi, Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, edisi 2, Sofmedia, Jakarta, 2010, h.5.

63Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 1991, h. 24.

sehingga dapat menunjang pembangunan perekonomian nasional. Secara lebih rinci tujuan hukum kepailitan Indonesia (Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004) adalah:64

1. Menghindari perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditor yang menagih utangnya dari debitor..

2. Menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau para kreditor lainnya.

3. Menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditor dan debitor

4. Menjamin adanya pertumbuhan perusahaan dalam rangka pengembangan perekonomian nasional.

5. Memberikan kesempatan kepada kreditor dan debitor bernegoisasi untuk merestrukturisasi utang piutang mereka secara damai dan adil.

6. Memberikan solusi yuridis kepada debitor dan kreditor atas masalah utang-piutang mereka secara lebih mudah, murah, dan cepat

7. Memulihkan dan menumbuhkan kepercayaan masyarakat serta investor asing untuk mengembangkan ekonomi nasional

Dalam hubungan dengan peraturan perundang-undangan kepailitan, peraturan dimaksud juga berfungsi untuk melindungi kepentingan pihak-pihak terkait dalam hal ini Kreditor dan Debitor, atau juga masyarakat. Mengenai hal ini, penjelasan umum Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menyebutkan

64Syamsudin M. Sinaga, Hukum Kepailitan Indonesia, Tatanusa, Jakarta, 2012, h.85

beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang. Faktor-faktor dimaksud yaitu:

1. Untuk menghindari perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditor yang menagih piutangnya dari debitor;

2. Untuk menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau para kreditor lainnya;

3. Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditor atau debitor sendiri. Misalnya, debitor berusaha untuk memberi keuntungan kepada seorang atau beberapa orang kreditor tertentu sehingga kreditor lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan curang dari debitor untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para keditor.65

Kepailitan ini tidak hanya menimpa pada orang perorangan namun juga pada suatu perusahaan. Suatu perusahaan yang dinyatakan pailit pada saat ini akan membawa dampak dan pengaruh buruk, bukan hanya pada perusahaan itu saja namun juga dapat berakibat global. Oleh sebab itu, lembaga kepailitan merupakan salah satu kebutuhan pokok di dalam aktivitas bisnis karena adanya status pailit merupakan salah satu sebab pelaku bisnis keluar dari pasar. Apabila pelaku bisnis sudah tidak mampu lagi untuk bermain di arena pasar, maka dapat keluar dari pasar. Di dalam hal seperti inilah kemudian lembaga kepailitan itu berperan.66

B. Asas Kelangsungan Usaha Dan Asas Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan.

Asas kelangsungan usaha merupakan salah satu asas hukum dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Sebagai asas hukum yang ditentukan dalam suatu

65H.Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, 2006, h. 72

66Sudargo Gautama, Komentar Atas Peraturan Kepailitan Untuk Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, h. 205

peraturan perundang-undangan, maka asas kelangsungan usaha telah melalui proses penilaian etis dari pembentuk Undang-Undang. Dengan demikian, asas kelangsungan usaha sesungguhnya merupakan hasil pengejewantahan pemikiran manusia yang harus menjadi intisari dalam penyelesaian sengketa utang melalui kepailitan dan pkpu.67

UUK dan PKPU, khususnya dalam penjelasan umum UUK dan PKPU tidak menyebutkan secara rinci makna asas kelangsungan usaha. Dalam penjelasan umum UUK dan PKPU secara singkat dinyatakan bahwa perusahaan debitor yang prosfektif tetap dapat dilangsungkan. Penilaian etis asas kelangsungan usaha setidaknya mempunyai bobot kemaslahatan bagi kehidupan bersama khususnya dalam lingkup kegiatan usaha. Keberlangsungan usaha diharapkan berdampak positif bagi pemilik perusahaan, tenaga kerja, para pemasok, masyarakat maupun Negara.

Penilaian etis ini juga didasarkan tradisi diantara pelaku bisinis dalam cara menyelesaikan sengketa. Kedudukan kreditor yang dapat berganti posisi sebagai debitor dalam perjanjian ataupun perikatan lainnya memerlukan perlakuan yang standar manakala debitor mengalami kesulitan keuangan, dengan demikian perlu diterapkan standar toleransi yang akan melindungi debitor yang mengalami kesulitan keuangan. Bentuk yang telah lazim adalah penundaan pembayaran atau pembebasan utang.

67Serlika Aprita, Penerapan Asas Kelangsungan Usaha Menggunakan Uji Insolvensi:

Upaya Mewujudkan Perlindungan Hukum Berbasis Keadilan Restrukturitatif Bagi Debitor Pailit Dalam Penyelesaian Sengketa Kepailitan, Disertasi, Universitas Sriwijaya, Palembang, 2019, h.

105.

Dalam penundaan pembayaran utang, dimungkinkan debitor dapat terus menjalankan usahanya sebagai suatu going concern dengan memberikan kesempatan kepada debitor untuk memperoleh kelonggaran waktu yang wajar dari kreditor-kreditornya guna dapat melunasi utang-utangnya, baik dengan atau tanpa memperbaharui syarat-syarat perjanjian kredit. Dengan demikian melalui pemberian penundaan pembayaran utang yang diimplementasikan dalam restrukturisasi utang debitor.68

Tujuan penundaan pembayaran juga membantu debitor yang beritikad baik. Jadi dalam hal ini, integritas dari debitor benar-benar menjadi ujian apakah ia sungguh-sungguh ingin melunasi utang yang sudah jadi kewajibannya.

Penundaan pembayaran utang ini jelas sangat bermanfaat karena perdamaian yang dilakukan melalui PKPU akan mengikat kreditor lain diluar PKPU sebagaimana diatur dalam Pasal 266 UUK dan PKPU sehingga debitor dapat melanjutkan restrukturisasi usahanya tanpa takut dicampuri oleh tagihan-tagihan kreditor yang berada diluar PKPU. Selain itu kreditor juga seharusnya terjamin melalui PKPU karena apabila terjadi pelanggaran terhadap perjanjian perdamaian tersebut maka kreditor dapat mengajukan pembatalan perdamaian kepada pengadilan niaga dan debitor dinyatakan pailit.

Pengertian asas kelangsungan usaha sebagaimana disebutkan dalam penjelasan umum Undang-Undang Kepailitan adalah dimungkinkannya perusahaan debitor yang prospektif tetap dilangsungkan. Norma tersebut dalam

68Serlika Aprita, Penerapan Asas Kelangsungan Usaha Menggunakan Uji Insolvensi:

Upaya Mewujudkan Perlindungan Hukum Berbasis Keadilan Restrukturitatif Bagi Debitor Pailit Dalam Penyelesaian Sengketa Kepailitan, Disertasi, Universitas Sriwijaya, Palembang, 2019, h.

106.

Pasal 104 ayat (1) dirumuskan sebagai berikut berdasarkan persetujuan panitia kreditor sementara, kurator dapat melanjutkan usaha debitor yang dinyatakan pailit walaupun terhadap putusan pernyataan pailit tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Sedangkan menurut Pasal 104 ayat (2) menyebutkan apabila dalam kepailitan tidak diangkat panitia kreditor, kurator memerlukan izin hakim pengawas untuk melanjutkan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Going concern atau asas kelangsungan usaha, merupakan prinsip kelangsungan hidup suatu entitas (badan usaha). Going concern menunjukkan suatu entitas (badan usaha) dianggap akan mampu mempertahankan kegiatan usahanya dalam jangka panjang, tidak akan dilikuidasi dalam jangka waktu pendek.69 Bukti akan potensi dan kemampuan bertahan suatu badan usaha atau perseroan yang termasuk dalam kategori, dibuktikan dalam bentuk laporan auditor selaku pihak yang memiliki kompetensi dalam menilai apakah suatu perseroan dapat tepat melangsungkan usahanya atau layak untuk dipailitkan.

Erman Rajagukguk, memberikan pendapat bagaimana going concern, memegang peranan penting dalam suatu proses permohonan pailit terutama suatu putusan permohonan pailit, walaupun telah memenuhi persyaratan permohonan pailit sebagaiman diatur di dalam Pasal 2 Ayat (1) junto Pasal 8 Ayat (4) UU Kepailitan, hakim pengadilan niaga hendaknya mempertimbangkan kondisi debitor, adapun pendapat Erman Rajagukgugk tersebut, adalah sebagai berikut:

“Hakim perlu mempertimbangkan kondisi Debitur dalam memutuskan perkara kepailitan, manakala Debitur yang bersangkutan masih mempunyai harapan untuk

69Marulio Simalango, Asas Kelangsungan Usaha (Going Concern) Dalam Hukum Kepailitan Indonesia, Jurnal Hukum, November 2017, h.60

bangkit kembali, mampu membayar utangnya kepada Kreditur, apabila ada waktu yang cukup dan besarnya jumlah tenaga kerja yang menggantungkan nasibnya pada perseroan yang bersangkutan. Dalam kasus-kasus tertentu kesempatan untuk terus berusaha perlu diberikan kepada Debitur yang jujur dan dengan putusan itu pula sekaligus kepentingan Kreditur dan kebutuhan masyarakat dapat dilindungi.”70

Penormaan asas kelangsungan usaha dalam Pasal 104 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU adalah dalam konteks setelah penjatuhan putusan pailit.

Sedangkan penormaan dalam rangka penjatuhan keputusan pailit tidak secara tegas mengaturnya. Dengan demikian, penjatuhan putusan pailit mengacu pada ketentuan norma dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU menyebutkan bahwa permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi. Pasal tersebut memberikan penegasan bahwa patokan hakim untuk mengabulkan sebuah permohonan paiilit hanya didasarkan pada syarat yang disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) bahkan Undang-Undang menyatakannya dengan kata harus dikabulkan.

Dalam penundaan kewajiban pembayaran utang, dimungkinkan debitor dapat terus menjalankan usahanya sebagai going concern dengan memberikan kesempatan kepada debitor untuk memperoleh kelonggaran waktu yang wajar dari kreditor-kreditornya guna dapat melunasi hutang-hutangnya, baik dengan atau

70Rudhy A.Lontoh, Denny Kailimang dan Benny Pontoh, Hukum Kepailitan:

Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran, Ed.1, Cet.1, Alumni, Bandung, 2001, h. 200

tanpa memperbaharui syarat-syarat perjanjian kredit. Dengan demikian, melalui pemberian penundaan kewajiban pembayaran utang yang diimplementasikan dalam bentuk kelangsungan usaha yang diberikan kepada debitor, maka debitor dapat melakukan restrukturisasi utang.71

Bentuk standar toleransi lainnya adalah setelah debitor dinyatakan pailit, debitor tetap mempunyai kesempatan untuk mengajukan perdamaian kepada para kreditornya diberikan kesempatan untuk tetap dapat melakukan program-program

Bentuk standar toleransi lainnya adalah setelah debitor dinyatakan pailit, debitor tetap mempunyai kesempatan untuk mengajukan perdamaian kepada para kreditornya diberikan kesempatan untuk tetap dapat melakukan program-program