• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATRA UTARA MEDAN 2019

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATRA UTARA MEDAN 2019"

Copied!
151
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN ASAS KELANGSUNGAN USAHA DAN ASAS KESEIMBANGAN DALAM PERKARA KEPAILITAN (STUDI

PUTUSAN MA NOMOR 156PK.PDT.SUS/2012 dan PUTUSAN 749K/PDT.SUS-PAILIT/2016)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

SYAIFULLAH 167011133/M.Kn

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA MEDAN

2019

(2)
(3)
(4)
(5)

asas-asas yang berlaku dalam kepailitan. Berbeda halnya dengan Undang-Undang No. 37 tahun 2004 sebagaimana disebutkan dalam penjelasan umumnya keberadaan undang-undang ini didasarkan pada beberapa asas dalam kepailitan.

Asas-asas tersebut antara lain adalah asas keseimbangan, asas kelangsungan usaha, asas keadilan dan asas integrasi. Asas kelangsungan usaha yang sebagaimana dianut oleh UUK dan PKPU merupakan satu-satunya asas yang hanya ada dalam hukum kepailitan, sedangkan asas-asas hukum kepailitan lainnya seperti asas keseimbangan, asas keadilan dan asas integrasi dapat ditentukan pada bidang hukum lainnya, hal ini menunjukkan bahwa asas kelangsungan usaha ini memiliki sifat priority yang berarti didahulukan atau diutamakan dalam penerapannya. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini yaitu: 1) Bagaimana asas kelangsungan usaha dan asas keseimbangan dalam hukum kepailitan?, 2) Mengapa didalam putusan MA Nomor 156PK/Pdt.Sus/2012 hakim mahkamah agung menolak debitur dimohonkan pkpu dan dinyatakan pailit?, 3) Bagaimana penerapan asas kelangsungan usaha dan asas keseimbangan dalam perkara kepailitan putusan MA Nomor 156 PK/Pdt.Sus/2012 dan putusan Nomor 749K/Pdt.Sus-Pailit/2016?.

Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat yuridis normatif, dan penelitian ini bersifat deskriftif analisis. Teknik pengumpulan data akan dilakukan melalui library research dan field research, yang didapatkan melalui studi dokumen dan pedoman wawancara. Data yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif dan ditarik kesimpulan secara deduktif yaitu dari hal- hal yang bersifat umum ke hal-hal yang khusus.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terhadap Pengaturan asas kelangsungan usaha dan asas keseimbangan khususnya dalam pemberesan harta pailit diatur dalam Pasal 104 ayat 1 dan 2, Pasal 178 ayat 2, Pasal 179 ayat 1 dan 2, dan Pasal 184 ayat 2 dan Pasal 242 ayat 2 UUK dan PKPU. Pertimbangan Hukum Hakim Mahkamah Agung Terhadap Putusan No. 156 PK/Pdt.Sus/2012 yang mana menolak debitor dimohonkan PKPU dan dinyatakan Pailit ialah karena yang menjadi permasalahannya terletak pada status FIRMA LITHA & CO dikatakan sebagai subjek hukum dalam hal dimohonkan PKPU. Yang seharusnya menjadi subjek hukumnya adalah orang-orang yang menjadi pengurusnya, bukan badan usaha itu sendiri karena ia bukanlah badan hukum sehingga tidak dapat menjadi subjek hukum. Penerapan asas kelangsungan usaha adalah sesuatu yang lazim diterapkan sepanjang usaha debitor masih mempunyai potensi dan prospek.

Penerapan asas keseimbangan adalah suatu dobrakan penting untuk dapat menetapkan bagaimana hubungan antara pada satu pihak, pranata-pranata hukum yang ada dan asas-asas hukum kepaillitan Indonesia dengan pada lain pihak.

Kata Kunci: Hukum Kepailitan, Asas Kelangsungan Usaha, Asas Keseimbangan.

(6)

ABSTRACT

In the old law, Faillisementsverordening, Perpu No. 1/1998 on Bankruptcy and Law No. 4/1998 on Bankruptcy do not specifically regulate the principles of bankruptcy. However, Law No. 37/2004, as it is explained in its general statement, this law is based on some principles on bankruptcy such as the principles of balance, justice, as integration. The principle of business continuity followed by UUK and PKPU is the only principle exists in law on bankruptcy while the other principles of law on bankruptcy such as the principles of balance, justice, and integration can be determined in the other laws which indicate that the principle of business continuity is prioritized in its implementation. The research problems are 1) how about the principle of business continuity and the principle of balance in law on bankruptcy, 2) why the judges reject the request of debtor for PKPU and declares bankruptcy in the Supreme Court’s Ruling No.

156PK/Pdt.Sus/2012, and 3) how about the implementation of the principle of business continuity and the principle of balance in the case of bankruptcy according to the Supreme Court’s Rulings No. 156PK/Pdt.Sus/2012 and No.

549K/Pdt.Sus-Pailit/2016.

The research used juridical normative and descriptive analytic method.

The data were gathered by conducting library research and field research method through documentation and interviews. They were analyzed qualitatively, and the conclusion was drawn deductively (from general to specific).

The result of the research showed that the principle of business continuity and the principle of balance, especially in handling bankrupt property, are regulated in Article 104, paragraphs 1 and 2, Article 178, paragraph 2, Articlle 179, paragraphs 1 and 2, and Article 184, paragraph 2 and Article 242, paragraph 2 of UUK and PKPU. The consideration of the Supreme Court’s Judges in the Ruling No. 156 PK/Pdt.Sus/2012 to reject debtor’s PKPU and declare bankrupt because the problem is in the status of FIRMA LITHA & CO as the legal subject in the PKPU. Actually, the legal subject has to be the persons who manage it, and not the business since it is not legal entity so that it cannot become a legal subject. The principle of business continuity is usually implemented as long as debtor’s business is still potential and has good prospects. The principle of balance is important breaking-down in determining the correlation of legal infrastructures and the legal principles of bankruptcy with the other parties.

Keywords: Law on Bankruptcy, Principle of Business Continuity, Principle of Balance

(7)

vi Tanggal Lahir : 30 Mei 1992 Jenis Kelamin : Laki-laki Status : Belum Menikah

Agama : Islam

Alamat : Dusun 1 Jalan Merdeka Tanjung Tiram Nomor Hp : 0812-1626-6353

Email : [email protected] Kewarganegaraan : Indonesia

No KTP : 1219063005920004 II. Pendidikan

Perguruan Tinggi

 Fakultas : Hukum

 Jurusan : Hukum Perdata

 Universitas : Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Medan

 Tahun Kuliah : 2012 - 2016

 Selesai Kuliah : November 2016 Sekolah Menengah Atas (SMA)

 Sekolah : MAS Al-Jamiyatul Wasliyah Tanjung Tiram

 Tahun Sekolah: 2008 - 2011

 Jurusan : IPA III. Pengalaman Kerja

-

IV. Pengalaman Organisasi

 Bendahara Umum Sanggar Hukum82 (SH82) di UMSU Medan (2013- 2014)

(8)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahiim.

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “PENERAPAN ASAS KELANGSUNGAN USAHA DAN ASAS KESEIMBANGAN DALAM PERKARA KEPAILITAN (STUDI PUTUSAN MA NOMOR 156PK.PDT.SUS/2012 DAN PUTUSAN 749K/PDT.SUS-PAILIT/2016)”

ini guna penyelesaian studi untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Program Studi Magister Kenotariatan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapakan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini dan kepada pihak yang telah menjadi bagian penting selama penulis menjalani kehidupan perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Program Studi Magister Kenotariatan, yaitu :

1. Prof. Dr. Runtung, S.H, M.Hum., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S,H, C.N, M.Hum, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. Edy Ikhsan, S.H, M.A, selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(9)

5. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum, selaku pembimbing utama yang telah meluangkan waktu dan memberi motivasi, bimbingan, dorongan, saran dan perhatian hingga selesai penulisan tesis ini.

6. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, SH., MS, selaku pembimbing kedua yang telah meluangkan waktu dan memberi motivasi, bimbingan, dorongan, saran dan perhatian hingga selesai penulisan tesis ini.

7. Bapak Prof. Dr. Hasim Purba, SH, M.Hum, selaku pembimbing ketiga yang telah meluangkan waktu dan memberi motivasi, bimbingan, dorongan, saran dan perhatian hingga selesai penulisan tesis ini.

8. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H, C.N, M.Hum dan Ibu Dr. Detania Sukarja, SH., L.L.M selaku dosen penguji yang telah memberi masukan dan saran untuk perbaikkan penulisan tesis.

9. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan ilmu pengetahuan, bimbingan serta arahan yang sangat bermanfaat selama penulis mengikuti proses kegiatan perkuliahan.

10. Seluruh Staf/Pegawai Administrasi Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu dalam proses administrasi mulai dari penulis masuk kuliah hingga penulis menyelesaikan tesis ini.

11. Teristimewa, kedua orangtuaku tercinta, H. OK. Abdul Latif Abrah dan Hj.

Jumiah untuk segala doa, dukungan, nasehat dan bimbingannya kepada penulis selama ini. Terima kasih ayah dan ibu untuk kesabaran dan segenap kasih sayang yang luar biasa.

12. Abang dan adik tersayang Musydaliah, Muchsyinsyah, Yuli Aisyah, Syafaruddinsyah, Yuni Malia dan Artika Nur Latif yang telah memberikan doa dan semangat.

(10)

Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang ikut mewarnai masa perkuliahan penulis yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang terus memberikan motivasi, semangat, selalu saling membantu, saling memberikan kritik dan saran dari awal masuk perkuliahan sampai saat penulis selesai menyusun tesis ini. Semoga persahabatan kita tetap terjaga sampai kapanpun.

Penulis berharap semoga bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis, mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah. Akhirnya, semoga tesis ini dapat berguna bagi diri penulis dan juga bagi semua pihak khususnya yang berkaitan dengan Hukum Kepailitan.

Medan, Juli 2019 Penulis,

(Syaifullah)

(11)

PERNYATAAN ORISINALITAS ...

PERSETUJUAN PUBLIKASI TESIS ...

ABSTRAK ...

ABSTRACT ...

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ...

KATA PENGANTAR ...

DAFTAR ISI ...

BAB I PENDAHULUAN ...

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 13

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Manfaat Penelitian ... 14

E. Keaslian Penelitian ... 15

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 17

1. Kerangka Teori... 17

2. Kerangka Konsep ... 23

G. Metode Penelitian ... 26

1. Sifat dan Jenis Penelitian ... 26

2. Sumber Data ... 27

3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data ... 28

4. Analisis Data ... 30

BAB II ASAS KELANGSUNGAN USAHA DAN ASAS KESEIMBANGAN DALAM HUKUM KEPAILITAN .... 31

A. Pengertian Dan Pengaturan tentang Kepailitan ... 31

B. Asas Kelangsungan Usaha Dan Asas Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan ... 40

BAB III ANALISIS TERHADAP PUTUSAN MA NOMOR 156PK/PDT.SUS/2012 YANG MANA HAKIM MAHKAMAH AGUNG MENOLAK DEBITUR DIMOHONKAN PKPU DAN DINYATAKAN PAILIT ... 58

A. Putusan Pailit ... 58

1. Pengertian Putusan Pailit ... 58

2. Jenis-Jenis Putusan ... 61

B. Akibat Hukum Terhadap Debitor Yang Dinyatakan Pailit ... 68

C. Pertimbangan Hukum Hakim Mahkamah Agung Terhadap Putusan MA Nomor 156PK/Pdt.Sus/2012 Yang Mana Menolak Debitur Dimohonkan PKPU Dan Dinyatakan Pailit ... 78

(12)

2. Putusan Nomor: 749K/PdtSus-Pailit/2016 ... 95

B. Pertimbangan Dan Putusan Hakim ... 97

1. Putusan Nomor: 156PK/PdtSus/2012 ... 97

2. Putusan Nomor: 749K/PdtSus-Pailit/2016 ... 102

C. Analisis Kasus ... 106

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 129

A. Kesimpulan ... 129

B. Saran ... 131

DAFTAR PUSTAKA ... 133

LAMPIRAN ... 138

(13)

Faillisement Verordening Stb. 1905 No. 217 Jo Stb. 1906 No.348 merupakan hukum kepailitan lama yang merupakan produk perundang-undangan belanda yang mengatur materi tentang kepailitan secara lengkap, ketat dan mendetail seperti cirri khas perundang-undangan belanda.1 Dalam mempelajari Fillisement Verordening, maka kesan yang pertama muncul bagi sebagian orang adalah keruwetan (ingewilkkelheidt) yang cukup rumit dan berbelit-belit. Karena itu bagi sebagian besar sarjana hukum Indonesia, bidang hukum kepailitan ini kurang dikenal, tidak populer dan hampir diabaikan, semacam “Terra Incognito”.

Hal seperti ini jelas sangat tidak menguntungkan bagi perkembangan dunia ilmu hukum dan praktek hukum.

Sejalan dengan perkembangan perdagangan yang semakin cepat, meningkat dan dalam skala yang lebih luas dan global, masalah utang piutang perusahaan semakin rumit dan membutuhkan aturan hukum yang efektif.

Akibatnya akademisi, pengacara, dan berbagai kalangan mulai melirik kembali Faillisement Verordening. Mulai dilakukan kegiatan-kegiatan dalam bentuk seminar, lokakarya, dan penelitian yang khusus membahas hukum kepailitan serta aspek hukum lain yang memiliki kaitan yang sangat erat dengan hukum kepailitan terutama dampaknya dari segi ekonomi.

Perkembangan perokonomian global membutuhkan aturan hukum

1Sunarmi, Hukum Kepailitan, USU Press, Medan, 2009, h.1

(14)

kepailitan yang mampu memenuhi kebutuhan hukum para pelaku bisnis dalam penyelesaian utang piutang mereka. Globalisasi hukum mengikuti globalisasi ekonomi, dalam arti substansi berbagai Undang-undang dan perjanjian-perjanjian menyebar melewati batas-batas negara.

Gejolak moneter yang terjadi pada pertengahan juli 1997, mengakibatkan dampak yang sangat luas terhadap perkembangan bisnis di Indonesia. Naiknya nilai tukar dollar terhadap rupiah dengan sangat tinggi menyebabkan banyak perusahaan di Indonesia tidak mampu membayar utangnya yang umumnya dilakukan dalam bentuk dollar. Akibatnya banyak perusahaan di Indonesia mengalami kebangkrutan.

T. Dori menyebutkan bahwa ketidakmampuan para debitor di Indonesia membayar utangnya mengakibatkan Bank Indonesia sebagai bank sentral tidak lagi mampu menjamin pinjaman luar negeri. Hampir seluruh bank yang ada di Indonesia telah pailit secara teknis karena tidak mampu lagi membayar utangnya.2 Krisis moneter dan perbankan yang melanda Indonesia pada tahun 1997 memakan biaya fiskal yang amat mahal yaitu mencapai 51% dari PDB. Dalam rangka untuk mengatasi masalah utang piutang perusahaan tersebut, berbagai alternatif ditawarkan antara lain:

1. Mencapai kesepakatan bilateral antara debitor dan kreditor untuk menyelesaikan utang piutang diantara mereka, baik dilakukan oleh mereka sendiri maupun dengan memanfaatkan Prakarsa Jakarta (Jakarta Insiative).

2. Memanfaatkan Skema Indonesian Debt Restructuring Agency (INDRA) 3. Menggunakan Undang-undang kepailitan

Selain itu upaya yang dapat dilakukan adalah:

4. Mempergunakan sistem penyelesaian sengketa diluar pengadilan (Alternative Dispute Resolution).

2Ibid., h.2

(15)

5. Mempergunakan penyelesaian melalui Badan Arbitrase Nasional (apabila dalam perjanjian ada klausul tentang hal ini)

6. Melakukan restrukturisasi uang.3

Sampai hari ini Indonesia telah melakukan dua kali penggantian Undang- undang kepailitan. Pertama, faillissementverordening (Staatblad 1905 Nomor 217 juncto staatblad 1906 Nomor 348) yang tetap berlaku sampai dengan tahun 1998.

Kemudian lahir Undang-undang Nomor 4 tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang Kepailitan menjadi Undang-undang.4 Selanjutnya Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 menggantikan Undang-undang Nomor 4 tahun 1998. Penelitian terhadap perlindungan kepentingan kreditor dan debitor dalam hukum kepailitan di Indonesia dirasakan penting, setidaknya karena empat alasan.

Tujuan kepailitan menurut Faillissementsverordening adalah melindungi kreditor konkuren untuk memperoleh hak-haknya berkaitan dengan berlakunya asas yang menjamin hak-hak yang berpiutang (kreditor) dari kekayaan orang yang berutang (debitor).5 Tujuan ini disimpulkan dari pengertian kepailitan dalam Memorie van Toelichting yang menyatakan kepailitan sebagai suatu sitaan berdasarkan hukum atas seluruh harta kekayaan debitor guna kepentingan bersama para kreditornya. Tujuan ini sesuai dengan asas sebagaiman yang tercantum dalam Pasal 1131 Burgelitjk Weetboek voor Indonesie, yang menyatakan: “Alle de rorende en onroerende goederen van den schuldenaar, zoo

3 Ibid.,

4Siti Anisah, Perlindungan Kepentingan Kreditor Dan Debitor Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia, Total Media, Yogyakarta, 2008, h. 1

5R. Suyatin, Hukum Dagang I Dan II, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983, h. 264

(16)

wel tegenwoordige als toekomstige, zijn voor deszelfs persoonlijke verbintenissen aansprakelijk.” Hukum memberlakukan asas tersebut untuk memantapkan keyakinan kreditor bahwa debitor akan melunasi utang-utangnya.

Sitaan terhadap seluruh harta kekayaan debitor disebut pula sebagai eksekusi kolektif (collective execution). Suatu proses khusus dari eksekusi kolektif dilakukan secara langsung terhadap semua kekayaan yang dimiliki oleh debitor untuk manfaat semua kreditor ada dua hal penting sebelum prosedur eksekusi kolektif dilaksanakan pertama debitor dalam keadaan benar-benar berhenti mambayar utsang-utangnya (insolven) secara tetap. Kedua, terdapat banyak kreditor, actual maupun potensial. Artinya, jika harta kekayaan debitor cukup untuk membayar kepada semua kreditornya, maka tidak dibutuhkan peraturan untuk melindungi diri debitor.

Max Radin dan Loise E. Levinthal berpendapat bahwa sitaan terhadap seluruh kekayaan debitor setelah adanya pernyataan pailit bertujuan untuk mencegah agar debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan para kreditornya.6 Tujuan lain Undang-undang kepailitan adalah untuk mencegah kecurangan yang dilakukan oleh para kreditor. Undang- undang kepailitan juga berupaya untuk melindungi kreditor dari debitornya, dengan cara mencegah kecurangan yang dilakukan debitor untuk melindungi para kreditor dengan membuat suatu pembagian yang seimbang terhadap harta kekayaan debitor.

Terdapat beberapa kecurangan yang dapat dilakukan oleh debitor.

6Siti Anisah, Op.Cit., h.3-4

(17)

Pertama, seseorang yang beriktikad tidak baik membuat sebanyak mungkin utang untuk selanjutnya mengajukan permohonan pernyataan pailit agar tidak membayar utang-utangnya itu dengan terlebih dahulu menyembunyikan kekayaannya. Kedua, seseorang bersengkongkol dengan pihak lain untuk membuat utang-utang fiktif. Ketiga, menyalahgunakan pernyataan failit sebagai kamuflase demi untuk menutupi iktikad tidak baiknya dengan cara mengalihkan modal dan kekayaaan kepada perusahaan yang baru dibentuk.

Dalam penjelasan umumnya Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyatakan bahwa peraturan kepailitan yang diatur dalam undang-undang tersebut memiliki cakupan yang lebih luas, baik dari segi norma, ruang lingkup materi, maupun proses penyelesaian utang-piutang. Cakupan yang lebih luas tersebut diperlukan karena adanya perkembangan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat, selain karena alasan bahwa ketentuan yang selama ini berlaku belum memadai sebagai sarana hukum untuk menyelesaikan masalah utang-piutang secara adil, terbuka, cepat dan efektif.

Bertolak dari dasar pemikiran ini dibentuklah Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Produk hukum nasional ini lebih sesuai dengan perkembangan dan kebutuha dalam masyarakat. Dalam peraturan perundang-undangan yang lama yakni Faillisementsverordening, Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang Kepailitan, dan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan tidak diatur secara khusus asas-asas yang berlaku dalam kepailitan. Berbeda halnya dengan Undang-Undang

(18)

No. 37 tahun 2004 sebagaimana disebutkan dalam penjelasan umumnya keberadaan undang-undang ini didasarkan pada beberapa asas dalam kepailitan.

Asas-asas tersebut antara lain adalah:7 1. Asas Keseimbangan

Undang-Undang ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan asas keseimbangan. Disatu pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitor yang tidak jujur. Dilain pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditor yang tidak beriktikad baik.

2. Asas Kelangsungan Usaha

Dalam undang-undang ini terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan debitor yang prospektif tetap berjalan.

3. Asas Keadilan

Asas ini mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran tagihannya tanpa mempedulikan kreditor lainnya 4. Asas Integrasi

Asas integrasi dalam undang-undang ini mengandung bahwa sistem hukum formil dan materil peraturan kepailitan merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.

Asas keseimbangan dilandaskan pada ideologi yang melatarbelakangi tertib hukum Indonesia. Pancasila dan undang-undang dasar 1945 adalah sumber tata nilai dan mencerminkan cara pandang masyarakat Indonesia. Pemerintah Indonesia adalah wakil dan cerminan masyarakat, dan juga menjaga arah perkembangan tertib hukum sehingga tolak ukur tata nilai pancasila dan undang- undang dasar 1945 tetap terjaga sebagai ideal yang setiap kali hendak diejawantahkan. Asas kesimbangan adalah suatu dobrakan penting untuk dapat menetapkan bagaimana hubungan antara pada satu pihak, pranata-pranata hukum yang ada dan asas-asas hukum kontrak menurut KUHPerdata Indonesia dengan pihak lain.

7Aco Nur, Hukum Kepailitan: Perbuatan Melawan Hukum Oleh Debitor, Pilar Yuris Ultima, Jakarta, 2015, h. 86

(19)

Sedangkan asas kelangsungan usaha mempunyai arti penting dalam memberikan perlindungan hukum bagi debitor yang dalam keadaan tidak mampu membayar harus didefinisikan sebagai usaha untuk mencegah itikad buruk dari pemohon pailit terhadap debitor yang nyata-nyata berdasarkan asas kelangsungan usaha atau going concern masih mampu untuk terus beroperasi dan untuk melindungi secara hukum debitor yang masih memiliki itikad baik dalam menyelesaikan utang-utangnya untuk dapat melangsungkan usahanya.8

Asas kelangsungan usaha ini menjadi penting terlebih apabila debitor tersebut adalah perseroan besar, yang memiliki banyak pihak yang berkepentingan, seperti karyawan, para kreditur (karena belum tentu seluruh kreditor sepakat untuk mempailitkan debitornya), pajak sebagai penerimaan negara yang berkelanjutan.

Going concern atau asas kelangsungan usaha, merupakan prinsip kelangsungan hidup suatu entitas (badan usaha). Going concern menunjukkan suatu entitas (badan usaha) dianggap akan mampu mempertahankan kegiatan usahanya dalam jangka panjang. Tidak akan dilikuidasi dalam jangka waktu pendek. Bukti akan potensi dan kemampuan bertahan suatu badan usaha atau perseoan yang termasuk dalam kategori, dibuktikan dalam bentuk laporan auditor selaku pihak yang memiliki kompetensi dalam menilai apakah suatu perseroan dapat tetap melangsungkan usahanya atau layak untuk dipailitkan.

Asas kelangsungan usaha yang sebagaimana dianut oleh UUK dan PKPU merupakan satu-satunya asas yang hanya ada dalam hukum kepailitan, sedangkan asas-asas hukum kepailitan lainnya seperti asas keseimbangan, asas keadilan dan asas integrasi dapat ditentukan pada bidang hukum lainnya, hal ini menunjukkan bahwa asas kelangsungan usaha ini memiliki sifat priority yang berarti didahulukan atau diutamakan dalam penerapannya.9

8Serlika Aprita, Penerapan Asas Kelangsungan Usaha Menggunakan Uji Insolvensi:

Upaya Mewujudkan Perlindungan Hukum Berbasis Keadilan Restrukturitatif Bagi Debitor Pailit Dalam Penyelesaian Sengketa Kepailitan, Disertasi, Universitas Sriwijaya, Palembang, 2019, h.

29.

9Serlika Aprita, Penerapan Asas Kelangsungan Usaha Menggunakan Uji Insolvensi:

Upaya Mewujudkan Perlindungan Hukum Berbasis Keadilan Restrukturitatif Bagi Debitor Pailit

(20)

Menurut Sutan Remy Sjahdeini, suatu undang-undang kepailitan termasuk undang-undang kepailitan di Indonesia seyogyanya memuat asas-asas berikut:10

1. Undang-undang kepailitan harus dapat mendorong kegairahan investasi asing, mendorong pasar modal dan memudahkan perusahaan Indonesia memperoleh kredit luar negeri.

2. Undang-undang kepailitan harus memberikan perlindungan yang seimbang bagi kreditor dan debitor.

3. Putusan pernyataan pailit seyogyanya berdasarkan persetujuan para kreditor mayoritas.

4. Permohonan pernyataan pailit seyogyanya hanya dapat diajukan terhadap debitor yang insolven, yaitu yang tidak membayar utangnya kepada para kreditor mayoritas.

5. Sejak dimulainya pengajuan permohonan pernyataan pailit seyogyanya diberlakukan keadaan diam.

6. Undang-undang kepailitan harus mengakui hak separatis dari kreditor pemegang hak jaminan.

7. Permohonan pernyataan pailit harus diputuskan dalam waktu yang tidak berlarut-larut.

8. Proses kepailitan harus terbuka untuk umum.

9. Pengurus perusahaan yang karena kesalahannnya mengakibatkan perusahaan dinyatakan pailit harus bertanggung jawab secara pribadi.

10. Undang-undang kepailitan seyogyanya memungkinkan upaya restrukturisasi utang debitor terlebih dahulu sebelum diajuakn permohonan pernyataan pailit.

11. Undang-undang kepailitan harus mengkriminalisasi kecurangan menyangkut kepailitan debitor.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 156 PK/Pdt.Sus/2012, yang membatalkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Makassar Nomor 01/PKPU/2012/PN. NIAGA.MKS. tanggal 03 September 2012 yang menyatakan bahwa Firma sebagai Termohon PKPU yang adalah Firma Litha &

Co., yang tidak mempunyai legal standing karena Firma Litha & Co tidak berstatus badan hukum, sehingga tidak dapat dijadikan subjek hukum.

Dalam Penyelesaian Sengketa Kepailitan, Disertasi, Universitas Sriwijaya, Palembang, 2019, h.

30.

10Aco Nur, Op.Cit., h.86

(21)

Duduk perkaranya adalah Firma Litha & Co (debitur) melawan Heriyanto Wijaya, PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk Jakarta, dan PT. Sumber Indo Celluler (Kreditor). Kreditor mengajukan permohonan PKPU kepada debitor karena kreditor memperkirakan debitor tidak dapat melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih sesuai dengan Pasal 222 ayat (3) UU Kepailitan dan PKPU. Dalam Putusan Pengadilan Niaga Nomor 01/PKPU/2012/PN.NIAGA.MKS tersebut memutuskan bahwa Pengadilan Niaga Makassar menetapkan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara FIRMA LITHA & CO selama 45 hari.

Debitor yang merasa keberatan atas putusan Hakim tersebut mengajukan kasasi namun ditolak oleh Hakim Pengadilan Negeri Makasar dan tetap menerapkan amar putusan sebelumnya. Berdasarkan Pasal 255 ayat (1) dan (6) UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyatakan penundaan kewajiban pembayaran utang berakhir apabila Debitor lalai melaksanakan tindakan-tindakan yang diwajibkan kepadanya oleh Pengadilan pada saat atau setelah penundaan kewajiban pembayaran utang diberikan, maka debitor harus dinyatakan pailit.11

Dalam hal ini, debitor dan selaku Termohon PKPU yaitu Firma Litha &

Co telah lalai dalam melaksanakan kewajibannya dan dinyatakan pailit. Oleh sebab itu, FIRMA LITHA & CO mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) terhadap Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Makassar

11Putusan Mahkamah Agung Nomor 156 PK/Pdt.Sus/2012 Putusan Mahkamah Agung Nomor 156 PK/Pdt.Sus/2012

(22)

Nomor 01/PKPU/2012/PN. NIAGA.MKS.12 Dimana dalam memori Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Firma Litha & Co, terdapat alasan-alasan atau keberatan-keberatan salah satunya adalah bahwa Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Makassar salah menerapkan hukum terhadap Firma Litha &

Co berkenaan Firma bukanlah badan hukum.

Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Makassar sama sekali telah keliru dalam menerapkan hukum khususnya terhadap perusahaan yang non Badan Hukum (perusahaan perorangan/Firma), Permohonan ini dilakukan oleh Termohon PKPU hanyalah semata mata untuk menjalankan kelangsungan usaha sehingga para karyawan masih dapat hidup layak dari perusahaan Firma Litha &

Co tersebut. Perlu kami sampaikan bahwa ada ± 2000 (dua ribu) karyawan akan mengalami pemutusan hubungan kerja dengan adanya putusan Pemailitan yang dilakukan oleh Pengadilan Niaga Makassar tersebut. Itulah sebabnya pertimbangan hukum Majelis yang mengabulkan pemailitan yang dimohonkan oleh Pemohon PKPU (sekarang Termohon Peninjauan Kembali) nyata-nyata adalah pertimbangan yang bertentangan dengan asas Kelangsungan Usaha yang dianut oleh Undang-Undang No. 37/2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran utang, dan fakta bahwa sungguh sangat tidak adil bahkan bertentangan dengan hukum saat pihak Termohon PKPU (Pemohon PK) mengajukan permohonan jadwal pembayaran lalu dengan serta merta dilakukan penolakan dengan alasan pembayaran harus dilakukan secara tunai seketika yang mana Pembayaran seketika justru mengarah pada suatu kesewenang-wenangan,

12Putusan Mahkamah Agung Nomor 156 PK/Pdt.Sus/2012

(23)

yang mana hal tersebut sangat bertentangan dengan asas PKPU yang menganut asas keadilan dan asas keseimbangan.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 749K/Pdt.Sus-Pailit/2016, duduk perkaranya adalah PT Bank Bukopin Tbk (kreditor) melawan PT Ikhtiar Sejahtera Bersama, Johanes Herman Widjaja, dan Anna Ratnasari (debitor). Kreditor mengajukan permohonan pailit terhadap debitor, dan debitor mengajukan rencana perdamaian. Setelah rencana perdamaian disepakati maka rencana perdamaian tersebut disahkan (dihomologasi) oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dengan Putusan Nomor: 38/Pdt.Sus/PKPU/2013/PN Niaga Jkt.Pusat.13

Atas Perdamaian yang telah dihomologasi tersebut, kreditor menemukan fakta bahwa debitor telah lalai dan mempunyai itikad buruk dalam menjalankan perdamaian, yaitu debitor tidak melakukan kewajiban pembayaran yang disepakati kepada kreditor dalam kurun waktu 3 (tiga) bulan lebih. Kreditor juga telah melayangkan Surat Peringatan dan juga surat teguran/somasi, namun tidak pernah ditanggapi atau dijawab oleh debitor. Hal ini yang menyebabkan kreditor mengajukan pembatalan perdamaian kepada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

Pengadilan Niaga Jakarta Pusat memutuskan bahwa Hakim menolak permohonan pembatalan perdamaian tersebut dengan putusan nomor: 3/Pdt.Sus-Pembatalan Perdamaian/2016/PN Niaga Jkt Pst Juncto Nomor 38/Pdt.Sus-PKPU/2013/PN Niaga Jkt Pst.14

Kreditor yang merasa keberatan atas putusan hakim tersebut mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung terhadap putusan Pengadilan Niaga Jakarta

13 Putusan Mahkamah Agung Nomor 749K/Pdt.Sus-Pailit/2016

14Putusan Mahkamah Agung Nomor 749K/Pdt.Sus-Pailit/2016

(24)

Pusat, yang telah menolak permohonan pembatalan perdamaian antara debitor dengan kreditor.

Salah satu alasan yang dikemukakan oleh kreditor sebagaimana tercantum didalam Pasal 170 ayat 3 UU Kepailitan dan PKPU yang menyebutkan:

1. Kreditor dapat menuntut pembatalan suatu perdamaian yang telah disahkan apabila debitor lalai memenuhi isi perdamaian tersebut.

2. Debitor wajib membuktikan bahwa perdamaian telah dipenuhi.

3. Pengadilan berwenang memberikan kelonggaran kepada debitor untuk memenuhi kewajibannya paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah putusan pemberian kelonggaran tersebut diucapkan.

Hakim dalam pertimbangannya mengemukakan bahwa keberatan- keberatan dari kreditor tidak dapat diterima pada tingkat kasasi dengan putusan Nomor 749K/Pdt.Sus-Pailit/2016, dengan pertimbangan bahwa debitor tetap memenuhi isi perdamaian walaupun ada keterlambatan dan menimbang bahwa Undang – Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU menganut adanya asas kelangsungan usaha sehingga debitur diberikan kesempatan untuk melangsungkan usahanya.

Dari 2 (dua) putusan tersebut diatas terdapat beberapa persamaan yaitu debitor sama-sama lalai memenuhi kewajiban-kewajibannya dalam PKPU dan didalam 2 (dua) putusan ini Hakim Mahkamah Agung juga sama-sama menerapkan asas kelangsungan usaha yang terdapat didalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU yang mana memungkinkan perusahaan debitor yang prospektif tetap berjalan. Hal ini menarik untuk dikaji

(25)

karena hakim mempunyai pertimbangan-pertimbangan tersendiri dalam memutuskan masing-masing perkara, walaupun Undang-Undang Kepailitan secara tegas telah mengatur hal ini.

Oleh karena itu berdasarkan duduk kasus di atas, maka ada ketertarikan untuk mengkaji dalam bentuk Tesis dengan judul Penerapan Asas Kelangsungan Usaha Dan Asas Keseimbangan Dalam Perkara Kepailitan (Studi Putusan MA Nomor 156 PK/PDT.Sus/2012 dan Putusan 794K/Pdt.Sus-Pailit/2016).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas maka dapat dirumuskan yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana asas kelangsungan usaha dan asas keseimbangan dalam hukum kepailitan?

2. Mengapa didalam putusan MA Nomor 156PK/Pdt.Sus/2012 hakim mahkamah agung menolak debitur dimohonkan pkpu dan dinyatakan pailit?

3. Bagaimana penerapan asas kelangsungan usaha dan asas keseimbangan dalam perkara kepailitan putusan MA Nomor 156 PK/Pdt.Sus/2012 dan putusan Nomor 749K/Pdt.Sus-Pailit/2016?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk menganalisis asas kelangsungan usaha dan asas keseimbangan dalam hukum kepailitan.

(26)

2. Untuk menganalisis Mengapa didalam putusan MA Nomor 156PK/Pdt.Sus/2012 hakim mahkamah agung menolak debitur dimohonkan pkpu dan dinyatakan pailit

3. Untuk menganalisis penerapan asas kelangsungan usaha dan asas keseimbangan dalam perkara kepailitan putusan MA Nomor 156PK/Pdt.Sus/2012 dan putusan Nomor 794K/Pdt.Sus-Pailit/2016.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini yang menjadi harapan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Bersifat Teoritis

a. Bagi Ilmu Hukum, yaitu untuk menambah literatur kepustakaan dibidang ilmu hukum serta sumbangan ide dan konsep pemikiran terutama ilmu hukum dibidang hukum kepailitan.

b. Bagi pembentuk Undang – undang, dapat memberikan informasi terkait penerapan asas kelangsungan usaha dan asas keseimbangan dalam perkara kepailitan dari Undang – undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, sehingga berguna bagi penyempurnaan peraturan ke depannya.

2. Bersifat Praktis

a. yakni penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis bagi semua pihak terutama bagi praktisi, akademisi, mahasiswa yang sehari-

(27)

hari berprofesi di bidang hukum baik untuk menjadi pengetahuan bagi diri sendiri, namun juga diharapkan agar dapat menjadi pengetahuan bagi orang lain yang membutuhkan masukan-masukan berkenaan dengan penerapan asas kelangsungan usaha dan asas keseimbangan dalam perkara kepailitan.

b. Bagi masyarakat bisnis

Membuka wawasan dan pengetahuan mengenai penerapan asas kelangsungan usaha dan asas keseimbangan dalam perkara kepailitan berdasarkan Undang – undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, sehingga bermanfaat bagi dunia usaha dan bisnis yang dijalani.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi dan penelusuran khususnya di lingkungan Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara baik terhadap hasil penelitian yang sudah pernah ada, maupun yang sedang akan dilakukan, diketahui bahwa belum pernah ada dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama mengenai “Penerapan Asas Kelangsungan Usaha Dan Asas Keseimbangan Dalam Perkara Kepailitan (Studi Putusan MA Nomor 156 PK/PDT.Sus/2012)”.

Berdasarkan penelusuran literatur sebelumnya, ada ditemukan mengenai kepailitan namun judul penelitian, rumusan permasalahan penelitian, dan wilayah penelitian yang diangkat sebelumnya berbeda dengan penelitian yang akan penulis lakukan, penelitian tersebut antara lain:

(28)

1. Yuanita Harahap (047005015), yang berjudul “Analisis hukum mengenai restrukturisasi utang PT Terbuka pada proses perdamaian menurut Undang – Undang Kepailitan”, dengan rumusan masalah yaitu :

a. Bagaimana pengaturan restrukturisasi utang dalam hukum kepailitan di Indonesia?

b. Bagaimana pengaturan restrukturisasi utang PT terbuka di Indonesia?

c. Bagaimana pelaksanaan restrukturisasi utang PT terbuka melalui proses perdamaian?

2. Zulfikar (077011075), yang berjudul “Efektivitas perlindungan hukum terhadap para kreditur dalam hukum kepailitan”, dengan rumusan masalah yaitu :

a. Bagaimanakah golongan kreditur dalam hukum kepailitan?

b. Bagaimanakah kedudukan para kreditur dalam hukum kepailitan?

c. Bagaimanakah efektivitas perlindungan hukum terhadap para kreditur dalam hukum kepailitan?

3. Lindia Halim (057011049), yang berjudul “Restrukturisasi Utang Untuk Mencegah Kepailitan”, dengan rumusan masalah yaitu :

a. Bagaimana pengaturan restrukturisasi utang dalam undang-undang nomor 37 tahun 2004 tentang kepailitan dan PKPU?

b. Bagaimana pengaturan restukturisasi utang dalam konteks kepailitan?

c. Bagaimana pelaksanaan restrukturisasi utang dalam perbankan dan dunia usaha indonesia?

(29)

Dengan demikian sebagai bentuk pertanggungjawaban akademik penulis bertanggungjawab sepenuhnya jika dikemudian ditemukan adanya plagiasi dan duplikasi dalam karya ini.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianilisis.

Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir butir pendapat teori, tesis sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui.15

Kerangka teori adalah penentuan tujuan arah penelitian dalam memilih konsep-konsep yang tepat guna pembentukan hipotesa-hipotesanya.16 Teori itu bukanlah pengetahuan yang sudah pasti, tetapi harus dianggap sebagai petunjuk, analisis dari hasil penelitian yang dilakukan sebagai merupakan eksternal bagi penelitian ini.17

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk mensistematiskan penemuan-penemuan penelitian, membuat ramalan atau prediksi atas dasar penemuan dan menyajikan penjelasan yang dalam hal ini untuk menjawab pertanyaan, artinya teori merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang dijelaskan dan harus didukung oleh fakta empiris untuk dinyatakan benar.18

Untuk menjawab permasalahan diperlukan landasan teoritis yang relevan dengan permasalahan yang dibahas, kerangka teori yang digunakan sebagai pisau

15M. Solly Lubis, Filsafat ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung ,1994, h.80

16Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, h. 129

17Koentjaraningrat, Metode - Metode Penelitian Masyarakat, Edisi Ketiga, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, h. 10

18M. Solly Lubis, Op.Cit., h.80

(30)

analisis dalam penelitian ini adalah menggunakan teori kemanfaatan hukum, dan teori Creditor’s Bargain (Penawaran Kreditor) .

a. Teori Creditor’s Bargain (Penawaran Kreditor)

Teknik dasar Jackson adalah menyaring hukum kepailitan melalui model

“a creditor’s bargain”. Dalam model ini, seseorang yang kehilangan kepemilikannya dalam kepailitan ditunjukkan untuk menyetujui lebih dulu adanya kerugian.19

Walapun pembebasan debitor dapat menjadi penyebab motivasi dari sebagian besar kasus-kasus kepailitan, kebanyakan dari proses kepailitan faktanya terkait pertanyaan berapa besar pembagian piutang kepada kreditor. Asset disusun sedemikian sehingga mereka dapat dialokasikan diantara pemegang klaim melawan debitor atau kekayaan debitor. Tagihan ditentukan sedemikian sehingga peserta-peserta didalam proses pembagian mungkin dipertemukan. Peraturan menentukan siapa yang diprioritaskan, diantara penagih-penagih, akan mendapatkan apa dan dalam kedudukan sebagai apa.

Menurut Jackson, ketiga pertimbangan yang telah diuraikan diatas memungkinkan bahwa kreditor tak terjamin pada umumnya akan setuju kepada sistem kolektif sebagai pengganti rencana pemulihan piutang individu karena tidak ada kreditor tunggal.20 Bagaimanapun para kreditor akan setuju kepada sistem kolektif kecuali jika ada suatu sistem yang mengikat semua kreditor lain.

Untuk mengijinkan debitor membuat perjanjian dengan kreditor lain yang akan

19Sunarmi, Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan Indonesia, Pustaka Bangsa Pers, Medan, 2008, h. 19

20Ibid., h. 20

(31)

memilih keluar daripada kerangka penyelesaian. Hal ini akan menghancurkan keuntungan suatu proses kolektif.

Teori “creditor’s bargain” kemudian dikembangkan kembali oleh Thomas H. Jackson dan Robert E. Scott yang menyatakan bahwa tujuan utama dari kepailitan untuk memaksimalkan kesejahteraan kelompok secara bersama- sama.21 Teori ini kemudian dikenal dengan teori Creditors Wealth Maximization yang merupakan teori paling menonjol dan paling banyak dianut dalam hukum kepailitan. Jackson merumuskan hukum kepailitan dari perspektif ekonomi sebagai “Anacillary, pararel system of debt-collection law, sedangkan keadaan pailit adalah suatu cara melaksanakan suatu putusan tentang apa yang akan dilakukan terhadap harta debitor. Kritik David Gray Carlson terhadap versi efisiensi dari kontraktarianisme akan terpusat pada kenyataan bahwa semua atau kebanyakan kreditor akan menawar untuk mendapatkan otoritas yang setara dalam kepailitan.

Menurut Jackson semua kreditor akan setuju untuk mendapatkan prioritas yang setara dalam kepailitan. Inilah yang disebut dengan tawar menawar kreditor (Creditor Bargain).22 Kesetaraan kreditor pada debitor pada gilirannya adalah esensi dari kepailitan. Kreditor betul-betul mempunyai pandangan yang setara terhadap kesempatan mereka dalam kasus kebangkrutan debitor. Kreditor hanya perduli dengan maksimalisasi recovery mereka. Jika para kreditor berkerja sama, mereka bisa memperoleh keuntungan bahkan dengan menangkap nilai perusahaan

21Ibid.,

22Ibid.,

(32)

yang sedang berjalan (going concern) suatu perusahaan atau paling sedikit dengan mengurangi ongkos administrasi atas recovery dari pengutang.

Tujuan dari kepailitan adalah pemaksimalan hasil ekonomi dari aset yang ada untuk para kreditor sebagai satu kelompok dengan meningkatkan nilai aset yang dikumpulkan untuk mana hak-hak kreditor ditukarkan.

Dalam kepailitan seluruh harta benda debitor diperuntukan bagi pembayaran tagihan-tagihan kreditor maka jika harta bendanya itu tidak mencukupi untuk memenuhi kewajiban atas semua tanggungan itu, tentu harta benda itu harus dibagi diantara para kreditor menurut perbandingan tagihan mereka masing-masing. Pembagian harta kekayaan pailit ini dimaksudkan untuk menjamin kepentingan para kreditor.

Hukum yang memberikan perlindungan terhadap kreditor dari kreditor lainnya berupaya mencegah salah satu kreditor memperoleh lebih banyak dari kreditor lainnya dalam pembagian harta kekayaan.23 Sedangkan perlindungan dari debitor yang tidak jujur diperoleh dengan mewajibkan debitor mengungkapkan secara penuh (full disclosure) kondisi keuangannya kepada seluruh kreditor secara periodik. Sementara itu, apabila debitor berada dalam keadaan dapat ditolong maka debitor dimungkinkan untuk dapat keluar secara terhormat dari permasalahan utangnya.

Dari kesimpulan ini segera dapat dipahami mengapa masalah kepailitan selalu dihubungkan dengan kepentingan para kreditor, khususnya tentang tata cara dan hak kreditor untuk memperoleh kembali pembayaran piutangnya dari seorang

23Ibid., h.22

(33)

debitor yang dinyatakan pailit. Dan sekaligus juga berhubungan dengan perbedaan kedudukan hak diantara para kreditor.24

Dalam penelitian ini, teori creditors bargain ini berguna untuk melihat apakah dalam permasalahan yang terjadi telah terwujud adanya keseimbangan hukum dalam penerapan asas kelangsungan usaha dan asas keseimbangan dalam perkara kepailitan dan juga apakah hakim mengedepankan kesejahteraan masing- masing pihak dalam perkara ini yang mana menjadi tujuan hukum kepailitan.

b. Teori Kemanfaatan Hukum (Utilitarianisme Theory).

Dikatakan sebagai aliran utilitarianisme, karena berasal dari kata “utility”

yang artinya bermanfaat, berguna. Jeremy Bentham menyatakan bahwa tujuan hukum adalah semata – mata menjamin adanya kefaedahan yang terbesar bagi sebagian besar manusia (apa yang berfaedah bagi orang).25

Aliran Utilitarianisme dipelopori oleh Jeremy Bentham, John Stuart Mill, dan Rudolf Van Jhering, dengan memegang prinsip manusia akan melakukan tindakan untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan. Bentham mencoba menerapkannya di bidang hukum. Atas dasar ini, baik buruknya suatu perbuatan diukur apakah perbuatan itu mendatangkan kebahagiaan atau tidak. Demikian pun dengan perundang – undangan, baik buruknya ditentukan pula oleh ukuran terebut diatas. Jadinya Undang – undang yang banyak memberikan kebahagiaan pada bagian terbesar masyarakat akan dinilai sebagai Undang – undang yang baik.26

Bentham selanjutnya berpendapat bahwa pembentuk Undang-Undang hendaknya dapat melahirkan Undang-Undang yang dapat mencerminkan keadilan bagi semua individu. Dengan berpegang pada prinsip tersebut diatas, perundangan

24Ibid., h. 23

25Waluyadi, Pengantar Ilmu Hukum dalam Perspektif Hukum Positif, Djambatan, Jakarta, 2001, h.49

26Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar – dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, h.64

(34)

itu hendaknya dapat memberikan kebahagiaan yang terbesar bagi sebagian masyarakat (the greatest happiness for the greatest number).27

Menurut Bentham, Perundang-undangan harus berusaha untuk mencapai empat tujuan:

1) To provide subsistence (untuk memberi nafkah hidup)

2) To provide abundance (untuk memberikan makanan yang berlimpah) 3) To provide security (untuk memberikan keamanan)

4) To attain equity (untuk mencapai persamaan)28

John Stuart Mill sependapat dengan Bertham, bahwa suatu tindakan hendaklah ditujukan kepada pencapaian kebahagiaan, sebaliknya suatu tindakan adalah salah apabila menghasilkan sesuatu yang merupakan kebalikan dari kebahagiaan. Lebih lanjut Mill menyatakan bahwa standar keadilan hendaknya didasarkan pada kegunaannya, akan tetapi bahwa asal usul kesadaran akan keadilan itu tidak dapat diketemukan pada keguanaan, melainkan pada dua hal yaitu rangsangan untuk mempertahanakan diri dan perasaan simpati. Menurut Mill keadilan bersumbber pada naluri manusia untuk mengolah dan membalas kerusakan yang diderita, baik oleh sendiri maupun oleh siapa saja yang mendapat simpati dari kita. Perasaan keadilan akan memberontak terhadap kerusakan, penderitaan, tidak hanya atas dasar kepentingan individual, melainkan lebih luas dari itu sampai kepada orang lain yang kita samakan dengan diri kita senndiri, sehingga hakikat keadilan mencakup semua persyaratan moral yang sangat hakiki bagi kesejahteraan umat manusia.29

Sedangkan menurut Rudolf Von Jhering sebagai penggagas teori sosial utilitarianisme bahwa tujuan adalah pencipta dari seluruh hukum, tidak ada suatu peraturan hukum yang tidak memilii asal usul pada tujuan ini, yaitu pada motif yang praktis. Lebih lanjut Jhering menyatakan bahwa tujuan hukum adalah kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi rakyat dan evaluasi hukum dilakukan berdasarkan orientasi ini, isi hukum adalah ketentuan tentang pengaturan penciptaan kesejahteraan Negara.30

Teori kemanfaatan hukum (utilitarian theory) mengemukakan bahwa dasar yang paling objektif adalah dengan melihat apakah suatu kebijakan atau

27Lili Rasjidi, dkk, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2010, h.61.

28Teguh Prasetyo, dkk, Ilmu Hukum & Filsafat Hukum, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, h.100.

29Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, h.277.

30W. Friedman, Teori dan Filsafat Hukum; Idealisme Filosofis dan Problema Keadilan, diterjemahkan dari Legal Theory oleh Muhammad Arifin, Rajawali, Jakarta, 1990, h.98.

(35)

tindakan tertentu membawa manfaat atau hasil yang berguna atau, sebaliknya kerugian bagi orang – orang yang terkait.31Teori ini menyatakan bahwa baik buruknya hukum harus diukur dari baik buruknya akibat yang dihasilkan oleh penerapan hukum itu. Suatu ketentuan hukum baru bisa dinilai baik, jika akibat – akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan sebesar- besarnya, dan pengurangan penderitaan. Sebaliknya dinilai buruk jika penerapannya menghasilkan akibat –akibat yang tidak adil, kerugian, dan hanya memperbesar penderitaan.32

Seorang filusuf Richard B Brant mengusulkan agar sistem aturan moral sebagai keseluruhan diuji dengan prinsip kegunaan. Kalau begitu, perbuatan adalah baik secara moral, bila sesuai dengan aturan yang berfungsi dalam sistem aturan moral yang paling berguna bagi masyarakat.33

Penelitian ini akan menggunakan teori kemanfaatan hukum sebagai pisau analisis untuk rumusan masalah. Apakah penerapan asas kelangsungan usaha dan asas keseimbangan dalam perkara kepailitan membawa lebih besar kemanfaatan bagi masing – masing pihak bila dibandingkan dengan tanpa adanya penerapan asas tersebut dalam perkara kepailitan.

2. Kerangka Konsep

Konsepsi merupakan bagian terpenting dari teori karena konsep berfungsi sebagai penghubung yang menerangkan sesuatu yang sebelumnya hanya baru ada

31Sonny Keraf, Etika Bisnis tuntunan dan relevansinya, Kanisius, Yogyakarta, 1998, h.93

32Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, Hukum sebagai suatu sistem, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, h.79

33Muhammad Erwin, Refleksi Kritis terhadap Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, h.188

(36)

dalam pikiran. “Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas”.34

Untuk menghindari terjadinya perbedaan persepsi dalam penelitian ini, maka dikemukakan beberapa peristilahan atau lembaga hukum dalam tesis ini:

a. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas.35

b. Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang – undang yang dapat ditagih di muka pengadilan.36

c. Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena Perjanjian atau Undang – undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.37 d. Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang

diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta Debitor Pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan UUKPKPU.38 e. Homologasi adalah Suatu perdamaian dalam kepailitan sudah disetujui

oleh kreditor menurut prosedur yang berlaku, dimana perdamaian tersebut masih memerlukan pengesahan oleh pengadilan niaga (ratifikasi) dalam suatu sidang. Sidang ini dapat mengesahkan atau menolak pengesahan perdamaian sesuai dengan alasan – alasan yang disebut dalam Undang – undang.39

34Masri Singarimbun dkk, Metode penelitian survey, LP3ES, Jakarta, 1999, h.34

35Pasal 1 ayat 1 UUKPKPU

36Pasal 1 ayat 2 UUKPKPU

37Pasal 1 ayat 3UUKPKPU

38Pasal 1 ayat 5 UUKPKPU

39Munir Fuady, Op.Cit, h.107

(37)

f. Insolvensi adalah ketidakmampuan membayar utang.40

g. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (suspension of payment atau surseance van betaling) adalah suatu masa yang diberikan oleh Undang- undang melalui putusan Hakim Niaga dimana dalam masa tersebut kepada pihak kreditor dan debitor diberikan kesempatan untuk memusyawarahkan cara – cara pembayaran utangnya dengan memberikan rencana pembayaran seluruh atau sebagian utangnya, termasuk apabila perlu untuk merestrukturisasi utangnya tersebut. Jadi penundaan kewajiban pembayaran utang sebenarnya merupakan sejenis moratorium, dalam hal ini legal moratorium.41

h. Restrukturisasi pada penundaan kewajiban pembayaran utang dimaksudkan hanya restrukturisasi terhadap pembayaran utang-utang debitor dengan tujuan agar perusahaan debitor sehat kembali.42

i. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena Perjanjian atau Undang – Undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapatkan pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor.43 j. Pengadilan adalah Pengadilan Niaga dalam lingkungan Peradilan umum.44

40Peter Salim, Slim’s Ninth Collegiate English-Indonesian Dictionary, Modern English Press, Jakarta, 2000, h.754

41Munir Fuady, Op.Cit, h.175

42Syamsudin Manan Sinaga dkk, Op.Cit, h.7

43Pasal 1 ayat 6 UUKPKPU

44Pasal 1 ayat 7 UUKPKPU

(38)

k. Asas Kelangsungan Usaha ialah ketentuan yang memungkinkan perusahaan debitor yang prospektif tetap berjalan.45

l. Asas Keseimbangan ialah ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitor yang tidak jujur dan ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditor yang tidak beritikad baik.46

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Metode penelitian merupakan suatu unsur yang mutlak harus ada dalam suatu penelitian yang berfungsi untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.Metode penelitian yang digunakan dalarn penelitian ini adalah jenis penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif merupakan suatu proses untuk menemukan aturan-aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab masalah hukum yang dihadapi.47Hal ini dikarenakan objek penelitian adalah untuk mengkaji adanya penerpan asas kelangsungan usaha dan asas keseimbangan dalam perkara kepailitan dengan menggunakan kaidah-kaidah hukum dan teori hukum sebagai landasan analisis.

Pendekatan penelitian yang dipergunakan terdiri dari pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan perundang-undangan digunakan untuk menganalisis

45Penjelasan UUKPKPU

46Penjelasan UUKPKPU

47Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006,h.35

(39)

aspek-aspek hukum dalam kepailitan dan PKPU dengan menggunakan KUHPerdata dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sebagai landasan analisis, sedangkan pendekatan konseptual digunakan untuk mendapatkan pemahaman yang benar dan mendalarn tentang konsep yang terkait lembaga perdamaian dalam kepailitan dan PKPU.

Sifat penelitian adalah deskriptif analisis, sifat deskriptif dimaknai sebagai upaya untuk mendeskriptifkan secara menyeluruh dan mendalam.48Suatu fenomena hukum berupa perlindungan hukum kreditor terkait adanya suatu proses perdamaian dan kemungkinan adanya pembatalan perdamaian dalam proses kepailitan. Sifat analisis ini dimaknai sebagai upaya menganalisis hal tersebut berdasarkan hukum positif berdasarkan teori-teori hukum yang relevan.

2. Sumber Data.

Dengan mengkaji berbagai obyek penelitian yang berupa semua peraturan/norma hukum yang hanya berkaitan dengan kepailitan dan penerapan asas kelangsungan usaha dan asas keseimabangan dalam perkara kepailitan.

Adapun data sekunder dalam penelitian ini terdiri dan bahan hukum primer, sekunder, tersier, yaitu:49

a. Bahan hukum primer.

Bahan hukum primer adalah salah satu sumber hukum yang penting bagi sebuah penelitian ilmiah hukum yang bersifat yuridis normatif. Bahan hukum

48Ibid, h.36.

49Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum,Mandar Maju, Bandung, 2008, h.23

(40)

primer meliputi bahan hukum yang rnernpunyai kekuatan mengikat sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian. Bahan hukum yang difokuskan dalam penelitian ini adalah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hukum di bidang keperdataan khususnya hukum kepailitan.

Bahan hukum yang digunakan adalah Undang-undang nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Putusan Nomor 156 PK/PDT.Sus/2012, dan Putusan 749K/Pdt.Sus-Pailit/2016.

b. Bahan Hukum Sekunder.

Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan dan memperkuat bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya pakar hukum, buku teks, buku bacaan hukum, jumal-jurnal, serta bahan dokumen hukum lain yang terkait dengan penelitian ini.

c. Bahan Hukum Tersier.

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum penunjang yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukumsekunder, seperti kamus hukum, ensiklopedia, kamus bahasa, artikel, sumber data elektronik, internet dan lain-lain yang relevan dengan penelitian ini.

3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data.

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dalam tahapan – tahapan sebagai berikut:

a. Penelitian kepustakaan (Library Research).

Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan melakukan

(41)

kajian legal research dalam bentuk penelitian kepustakaan (library resarch), yaitu dengan mengumpulkan dan mempelajari serta menganalisa ketentuan perundang- undangan yang berkaitan dengan hukum di bidang keperdataan khususnya kepailitan.

b. Penelitian Lapangan (Field Research).

Penelitian Lapangan dalam penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan data pendukung yang terkait dengan penelitian ini, yaitu dengan mewawancarai beberapa informan terkait dengan perkara Putusan Nomor 156 PK/PDT.Sus/2012 dan Putusan 749K/Pdt.Sus-Pailit/2016.

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian hukum ini sebagai berikut:

a. Studi dokumen.

Alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah melalui studi dokumen, bahan-bahan kepustakaan dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan permasalahan yang dikemukakan, hal ini dilakukan untuk memperoleh gambaran yang lebih lengkap terhadap setiap data.

b. Pedoman wawancara.

Alat selanjutnya yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah dengan menggunakan pedoman wawancara yang memuat daftar pertanyaan baik terstruktur maupun tidak terstruktur yang akan diajukan secara lisan dan tulisan kepada hakim di Pengadilan Niaga Medan.

(42)

4. Analisis Data.

Analisis data merupakan bagian penting dari sebuah penelitian, yang wajib dilakukan oleh semua peneliti. Penelitian tanpa analisis data hanya akan melahirkan data mentah tanpa arti. Dalam penelitian ini, akan digunakan analisis data secara kualitatif. Analisis data secara kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mengsintesiskan, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.50

Dalam penelitian ini akan menggunakan metode penarikan kesimpulan secara deduktif. Cara Deduktif lebih dikenal dengan metode penarikan kesimpulan dari umum ke khusus.

Kesimpulan deduktif dibentuk dengan cara deduksi, yaitu dimulai dari hal – hal yang umum kepada hal – hal yang lebih khusus. Proses pembentukan kesimpulan dekduktif dapat dimulai dari suatu dalil atau hukum menuju kepada hal – hal yang akhirnya konkrit.

50Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2009, h.248

(43)

A. Pengertian dan Pengaturan tentang Kepailitan

Istilah “pailit” dijumpai dalam perbendaharaan bahasa Belanda, Perancis, Latin dan Inggris. Dalam bahasa Perancis, istilah “faillite” artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran. Orang yang mogok atau macet atau berhenti membayar utangnya disebut dengan Le failli. Di dalam bahasa Belanda dipergunakan istilah faillit yang mempunyai arti ganda yaitu sebagai kata benda dan kata sifat. Sedangkan dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah to fail, dan di dalam bahasa Latin dipergunakan istilah failure.51

Menurut Subekti dan R. Tjitrosoedibio Pailit adalah keadaan dimana seseorang debitor telah berhenti membayar utang-utangnya. Setelah orang yang demikian atas permintaan para kreditornya atau atas perrmintaan sendiri oleh pengadilan dinyatakan pailit, maka harta kekayaannya dikuasai oleh Balai Harta Peninggalan selaku curatrice (pengampu) dalam urusan kepailitan tersebut untuk dimanfaatkan bagi semua kreditor.52

Pailit adalah suatu keadaan dimana debitor tidak mampu lagi melakukan pembayaran utang kepada para kreditornya.53 Ketidakmampuan debitor tersebut terjadi karena utang-utangnya lebih besar daripada asset-asetnya. Berbeda dengan pailit, kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan

51Sunarmi, Op.Cit., h.20

52Subekti dan R. Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Pradya Pramita, Jakarta, 1978, h. 89

53M. Hadi Subhan, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, Prenadha Media Grup Jakarta, 2008, h.1

Referensi

Dokumen terkait

Sehingga ditemukan suatu azas-azas hukum yang berupa dogma atau doktrin hukum yang bersifat teoritis ilmiah serta dapat digunakan untuk menganalisis permasalahan yang dibahas,

Penelitian ini penting untuk dilaksanakan guna memberikan informasi dan data bagi perkembangan ilmu hukum dan studi kenotariatan dan masyarakat khususnya mengenai

Keberadaan lembaga hukum konsinyasi dalam Penyelesaian Teknis pada kawasan hutan yang disebabkan karena tidak sepakatnya mengenai bentuk dan/atau besaran nilai

Tidak ada perlindungan hukum bagi istri yang diceraikan secara sepihak di luar Pengadilan menurut Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat dikatakan bahwa dasar pertimbangan hukum dicantumkannya ketentuan Pasal 74 dalam Undang-Undang No.20 Tahun 2016 tentang

Bagi Yayasan yang telah ada sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan harus menyesuaikan

Dari hasil penelitian ini juga diketahui bahwa undang-undang telah mengatur umur para pihak yang hendak melakukan perbuatan hukum, termasuk dalam hal yang

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena hanya dengan berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul