III. METODE PENELITIAN
3.11 Analisis Data
3.10 Parameter Kualitas Air
Parameter kualitas air yang diukur meliputi : suhu, salinitas, pH, kesadahan, alkalinitas, karbondioksida, oksigen terlarut dan total amoniak nitrogen. Pengukuran suhu, salinitas, pH dan oksigen terlarut dilakukan setiap hari, sedangkan pengukuran karbondioksida, kesadahan, alkalinitas dan total amoniak nitrogen dilakukan setiap minggu.
3.11 Analisis Data
Data yang diperoleh dan data gerak operculum dianalisis dengan analisis sidik ragam pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05), selanjutnya jika terdapat perlakuan memiliki pengaruh nyata dilanjutkan uji Tukey untuk mengetahui pengaruh antar perlakuan (Gaspertz 1991). Nilai LC50 dihitung dengan menggunakan analisa statistik probit. Selanjutnya untuk data tingkah laku ikan uji pada uji akut, data pengamatan histopatologi serta hasil penggukuran kualitas air dianalisis secara deskriptif.
32 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Uji Nilai Kisaran
Respon ikan uji terhadap deretan konsentrasi pada uji penentuan kisaran konsentrasi lethal menunjukkan kepekaan mortalitas yang tinggi terhadap daya toksik nikel. Pada konsentrasi 50 ppm, mortalitas ikan uji mencapai 70 % setelah 24 jam pemaparan dan mencapai 100 % setelah 42 jam pemaparan. Sedangkan pada konsentrasi 5 ppm, mortalitas ikan uji sebesar 0 % sampai dengan 96 jam pemaparan (Tabel 3).
Tabel 3 Persentase tingkat kematian kumulatif juvenil ikan bandeng selama uji nilai kisaranpemaparan nikel
Perlakuan Persentase ikan yang mati pada pengamatan jam ke- (%)
6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72 84 96 A (0 ppm) 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3,3 3,3 B (5 ppm) 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 C (50 ppm) 23,3 53,3 63,3 70 83,3 93,3 100 100 100 100 100 100 100 100 D (100 ppm) 76,7 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 E (150 ppm) 86,7 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Berdasarkan nilai mortalitas selama uji nilai kisaran, ditetapkan nilai ambang atas yaitu 50 ppm dan nilai ambang bawah yaitu 5 ppm. Pada perlakuan kontrol negatif, setelah jam ke-96 mortalitas ikan uji mencapai 3,3%. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas media pemeliharaan dan vitalitas ikan selama pengujian dalam kondisi yang baik.
Uji Akut
Berdasarkan konsentrasi batas bawah dan batas atas, maka uji akut dilakukan pada konsentrasi nikel sebesar : 8,89 ppm, 15,81 ppm, 28,12 ppm dan 50,01 ppm serta perlakuan kontrol negatif.
33
Respon ikan uji terhadap deretan konsentrasi pada uji akut menunjukkan kepekaan mortalitas yang tinggi terhadap daya toksik nikel (Gambar 4).
Gambar 4 Persentase tingkat kelangsungan hidup juvenil ikan bandeng selama uji akut pemaparan nikel
Pada konsentrasi 50,01 ppm, mortalitas ikan uji mencapai 73 % setelah 24 jam, 93,3% setelah 48 jam dan mencapai 100 % setelah 72 jam pemaparan. Sedangkan pada konsentrasi 8,87 ppm, mortalitas ikan uji mencapai 3,3 % setelah 24 jam pemaparan, 16,7 % setelah 48 jam, 26,7 % setelah 72 jam dan 33,3 % setelah 96 jam pemaparan. Pada kontrol, mortalitas ikan uji sampai jam ke-96 setelah pemaparan nikel yaitu 10% (lampiran 2). Hal ini menunjukkan bahwa kualitas media pemeliharaan dan vitalitas ikan selama pengujian dalam kondisi yang baik.
Toksisitas akut nikel yang tinggi terhadap juvenil ikan bandeng, diduga karena kecilnya kemampuan adaptasi ikan bandeng untuk memperkecil pengaruh biokimia yang ditimbulkan nikel yang masuk kedalam tubuh, menyebabkan turunnya kemapuan menyerap oksigen dari lingkungan. Sementara saat ikan dalam kondisi stres, metabolisme tubuhnya akan meningkat dan kebutuhan oksigen akan meningkat pula yang diperlukan dalam mempertahankan homeostatis. Gerberding (2005) melaporkan bahwa meskipun organisme biasanya mengembangkan perlawanan setelah beberapa saat terpapar oleh nikel akan tetapi kemampuan mengembangkan perlawanan tersebut ditentukan oleh spesies dan efek toksik yang ditimbulkan. Demikian pula Rand and Petrocelli (1985)
34
menyatakan bahwa pengaruh bahan toksik terhadap suatu organisme akan terlihat dalam waktu pemaparan yang berbeda. Pengambilan awal logam berat oleh ikan bandeng dapat melalui empat proses utama yakni melalui insang, permukaan tubuh, mekanisme osmoregulasi dan penyerapan melalui makanan. Pengaruh tersebut ditentukan oleh sifat toksik logam berat nikel dan keberhasilan tubuh ikan bandeng melakukan proses detoksifikasi dan ekskresi, sehingga pengaruh sifat toksik nikel terhadap tubuh ikan bandeng masih dapat ditolerir oleh tubuh atau telah melewati ambang batas sehingga mengakibatkan kematian. Menurut Connel and Miller (1995), bahwa kehadiran xenobiotik dalam tubuh ikan merangsang ikan melakukan perlawanan secara fisiologis untuk meminimalisir dampak racun yang ditimbulkan. Perlawanan tersebut dilakukan melalui proses biotransformasi, detoksifikasi dan ekskresi. Lebih lanjut dikatakan bahwa kemampuan organisme melakukan perlawanan ditentukan oleh konsentrasi dan sifat toksik yang ditimbulkan, dimana semakin tinggi konsentrasi dan sifat toksik yang dimiliki oleh toksikan maka kemampuan organisme melakukan perlawanan fisiologis akan semakin kecil.
Respon tingkah laku ikan uji memperlihatkan bahwa semakin tinggi tingkatan konsentrasi maka terjadi perubahan tingkah laku, antara lain gerakan berenang yang tidak teratur, cenderung berada dipermukaan, terkejut-kejut, frekuensi gerak operculum terus menerus dengan bukaan yang lebih lebar, selanjutnya ikan cenderung diam dan kehilangan refleks dan akhirnya menjadi kaku/mati. Respon tersebut karena adanya pengaruh sifat nikel yang menyerang sistem saraf pusat sebagai jaringan sasaran. Pernyataan tersebut didukung oleh Connel and Miller (1995) bahwa suatu organisme pada saat terpapar logam berat, akan mengganggu kerja sistem saraf pusat. Nikel yang terpapar pada juvenil ikan bandeng dapat menghambat kerja asetilkolinesterase (AChE), sehingga terjadi akumulasi asetilkolin (ACh) dalam susunan saraf pusat. Akumulasi tersebut akan menginduksi tremor, inkoordinasi, kejang-kejang sampai menyebabkan ikan uji menjadi kaku. Sedangkan akumulasi pada neuromusculer akan mengakibatkan kontraksi otot yang diikuti dengan kelemahan, hilangnya refleks dan paralisis.
Data mortalitas komulatif juvenil ikan bandeng pada uji akut selanjutnya dianalisis menggunakan analisis statistik untuk menentukan nilai LC50 pada waktu pemaparan 24, 48 72 dan 96 jam. Hasil analisis (Lampiran 3, 4, 5 dan 6)
35
menunjukkan nilai LC50 pada waktu pemaparan 24, 48, 72 dan 96 jam berturut-turut adalah 36,79 ppm, 23,54 ppm, 18,04 ppm dan 11,88 ppm. Nilai tersebut menunjukkan bahwa semakin lama waktu pemaparan maka nilai LC-50 nikel terhadap juvenil ikan bandeng akan semakin rendah.
Gambar 5 Nilai LC-50 juvenil ikan bandeng selama uji akut pemaparan nikel Nilai LC50-96 jam nikel pada juvenil ikan bandeng lebih tinggi dibandingkan dengan nilai LC50-96 jam nikel pada Clarias gariepinus sebesar 8,87 ppm (Isaac, 2009). Sebaliknya nilai LC50-96 jam nikel pada juvenil ikan bandeng lebih rendah, jika dibandingkan dengan nilai LC50-96 jam nikel pada udang laut yaitu 15 – 30 ppm (Deleebeeck et al. 1995). Demikian juga apabila dibandingkan dengan LC50-48 jam juvenil abalon yaitu 26,43 ppm (Hunt et al, 2002), sedangkan nilai LC50-48 jam nikel terhadap juvenil ikan bandeng yaitu 23,54 ppm. Selanjutnya nilai LC50-96 jam yang didapat dalam penelitian ini (11,88 ppm) lebih kecil apabila dibandingkan LC50-96 jam timbal (Pb) yang dipaparkan pada ikan bandeng pada salinitas 16 ppt yaitu 13,43 ppm (Siahaan 2003). Dari nilai LC50-96 jam yang diperoleh dapat dikatakan bahwa nikel bersifat toksik tinggi terhadap juvenil ikan bandeng. Klasifikasi toksisitas oleh WHO dan EPA bahwa rentang nilai LC50-96 jam pada konsentrasi antara 1–50 ppm dikategorikan bersifat toksik yang tinggi (Balazs 1970).
36
Pengaruh bahan toksik dalam waktu singkat dapat diketahui dengan menghitung nilai LC50 suatu subtansi terhadap satu atau beberapa spesies. LC50
a a a b b
*) angka yang diikuti huruf sama menunjukan tidak beda nyata (P>0,05)
Gambar 6 Rata-rata frekuwensi pergerakan operculum juvenil ikan bandeng selama uji akut pemaparan nikel
adalah konsentrasi suatu bahan kimia dalam air yang dapat mematikan 50% dari populasi organisme dalam waktu pemaparan tertentu (OECD 1981 dalam Siahaan 2003). Menurut Connel dan Miller (1995), dampak mematikan suatu bahan toksik merupakan tanggapan yang terjadi akibat zat-zat xenobiotik tertentu mengganggu proses sel dalam mahluk hidup yang melebihi batas toleransi sehingga menyebabkan kematian secara langsung.
Meskipun belum ditemukan penelitian tentang manfaat spesifik logam berat nikel bagi ikan, tetapi Menurut Conard (2005), nikel dalam jumlah kecil dibutuhkan oleh tubuh organisme. Phytoplankton mengandung 1-10 ppb nikel, alga (air tawar dan air asin) mengandung 0,2 - 84 ppb nikel, lobster mengandung 0,14-60 ppb nikel, molusca 0,1-850 ppb, dan ikan antara 0,1 dan 110 ppb. Lebih lanjut dikatakan bila terdapat dalam jumlah yang terlalu tinggi dapat merusak fungsi ginjal, meyebabkan kehilangan keseimbangan, menyebabkan kegagalan respirasi serta merusak hati dan insang.
Gerak operculum pada konsentrasi lebih tinggi memperlihatkan frekuensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Secara berturut-turut frekuensi gerak operculum pada perlakuan B, C, D dan E yaitu 81,3 kali/menit, 87,3
37
kali/menit, 114,0 kali/menit dan 130,7 kali/menit. Tingkah laku ini diduga untuk meningkatkan suplai oksigen yang dibutuhkan oleh proses biokimia tubuh sebagai pola adaptasi fisiologi sehingga dapat bertahan hidup atau memperlambat efek kematian. Respon fisiologi ini diikuti dengan menurunnya nafsu makan dan umumnya ikan uji cenderung lebih banyak berada di tengah dan permukaan akuarium. Mortalitas ikan uji mulai terlihat 2 jam setelah pemaparan nikel pada konsentrasi 50,01 ppm, 4 jam setelah pemaparan nikel pada konsentrasi 28,12 ppm, 10 jam setelah pemaparan nikel pada konsentrasi 15,81 ppm, dan 22 jam setelah pemaparan nikel pada konsentrasi 8,89 ppm.
Uji Sub-Kronis
Tingkat Konsumsi Oksigen
Kebutuhan oksigen biologi didefinisikan sebagai banyaknya oksigen yang diperlukan oleh organisme pada saat pemecahan bahan organik, pada kondisi aerobik. Pemecahan bahan organik diartikan bahwa bahan organik ini digunakan oleh organisme sebagai bahan makanan dan energinya diperoleh dari proses oksidasi. Banyaknya oksigen yang dikonsumsi oleh biota akuatik dalam waktu tertentu berhubungan linear dengan banyaknya oksigen terlarut di perairan tersebut.
Tabel 4 Konsumsi oksigen juvenil ikan bandeng selama 30 hari pemaparan nikel
Perlakuan Suhu
(o
TKO Hari Ke- (mg O2/gr tubuh ikan/jam)
C) 0 10 20 30 0 ppm 27 0,98±0,07a 0,88±0,09a 0,88±0,07a 0,96±0,03a 0,12 ppm 27 1,03±0,15a 0,84±0,05a 0,80±0,02a 0,73±0,10 0,59 ppm a 27 0,93±0,15a 0,65±0,05b 0,58±0,10b 0,42±0,09 1,19 ppm b 27 0,94±0,04a 0,54±0,01b 0,51±0,13b 0,43±0,13 3,56 ppm b 27 0,92±0,15a 0,59±0,04b 0,44±0,03b 0,37±0,01b
*) angka dengan kolom sama yang diikuti huruf sama menunjukan tidak beda nyata (P>0,05)
Pengamatan tingkat konsumsi oksigen sebelum pemaparan nikel, terlihat bahwa konsumsi oksigen tidak berbeda nyata pada setiap perlakuan dengan nilai berkisar antara 0,92 –1,03 mg O2/gr berat basah/jam. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pada semua perlakuan, insang masih berfungsi dalam
38
keadaan normal. Pengukuran hari ke-10; 20 dan hari ke-30, menunjukkan pemaparan nikel dengan konsentrasi 0,00 ppm dan 0,12 ppm berbeda nyata dengan konsentasi 0,59; 1,19 dan 3,56 ppm. Sedangkan antara konsentrasi 0,59; 1,19 dan 3,56 ppm saling tidak berbeda nyata (p<0,05).
*) data pada waktu pemaparan sama yang diikuti huruf sama menunjukan tidak beda nyata (P<0,05)
Gambar 7 Konsumsi oksigen juvenil ikan bandeng selama 30 hari pemaparan nikel
Gambar 7, memberikan indikasi bahwa semakin tinggi konsentrasi nikel dan semakin lama waktu pemaparan menyebabkan konsumsi oksigen akan semakin rendah. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Fatahuddin dkk (2003), bahwa laju konsumsi oksigen juvenil ikan bandeng akan semakin rendah seiring dengan lama waktu pengamatan dan peningkatan konsentrasi seng dalam air. Besarnya selisih konsumsi oksigen pada konsentrasi nikel yang lebih tinggi diakibatkan oleh kerusakan insang dan kemampuan darah untuk mengikat oksigen semakin kecil akibat keracunan logam berat nikel, dimana akibat keracunan nikel ikan uji mengalami gangguan pada proses pernafasan dan metabolisme tubuhnya. Hal ini terjadi karena bereaksinya logam berat nikel dengan lendir insang, sehingga insang diseliputi oleh lendir mengandung nikel yang mengakibatkan proses pernafasan dan metabolisme tubuh terganggu (Gambar 19). Heath (1987) mengemukakan bahwa logam berat dapat menyebabkan kerusakan insang seperti nekrosis dan lepasnya lapisan epitelium. Sejalan pula dengan laporan Wardoyo (1975) bahwa salah satu jaringan tubuh
39
organisme yang cepat terakumulasi logam berat adalah jaringan insang, menyebabkan terganggunya proses pertukaran ion-ion dan gas-gas melalui insang. Kondisi Hematologi
Data hematologi yang meliputi kadar hematokrit, hemoglobin, jumlah eritrosit, jumlah leukosit dan rasio netrofil-limfosit dengan konsentrasi nikel 0,00 ppm, 0,12 ppm, 0,59 ppm, 1,19 ppm dan 3,56 ppm dapat dilihat pada Tabel 5; dan Gambar 8, 9 10, 11, dan Gambar 12, serta lampiran 9, 10, 11, 12 dan 13.
Tabel 5 Rata-rata hematokrit, hemoglobin, eritrosit, leukosit dan N-L rasio juvenil ikan bandeng setelah 30 hari pemaparan nikel
Konsentrasi (ppm) Hematokrit (%) Hemoglobin (%) Eritrosit (106 sel/mm3 Leukosit (10 ) 4 sel/mm3 N : L Rasio ) A (0,00) 14,09±0,92a 6,33±0,38 2,47±0,16 a a 4,97±0,24a 0,35a B (0,12) 8,52±0,76b 4,80±0,70b 2,41±0,07a 5,52±0,09b 0,37 C (0,59) a 7,12±0,31bc 3,73±0,15c 1,32±0,02b 6,03±0,10c 0,41 D (1,19) b 6,49±0,08c 3,47±0,31cd 1,12±0,02bc 6,12±0,15c 0,45 E (3,56) c 2,68±0,27d 2,60±0,19d 1,07±0,13c 7,70±0,14d 0,53d
*) angka dengan kolom sama yang diikuti huruf sama menunjukan tidak beda nyata (P<0,05)
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pengaruh toksisitas nikel pada juvenil ikan bandeng berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap kadar hematokrit, hemoglobin, jumlah eritrosit dan jumlah leukosit.
Hematokrit
Hematokrit (Hct) atau volume packed cell merupakan persentase darah yang dibentuk oleh eritrosit. Pengukuran ini merupakan persentase eritrosit dalam darah lengkap setelah spesimen darah disentrifugasi. Data kadar hematokrit menunjukkan penurunan kadar hematokrit pada semua perlakuan pemaparan nikel sampai pengukuran hari ke-30, dimana makin tinggi perlakuan konsentrasi nikel yang dipaparkan maka kadar hematokrit ikan uji akan lebih rendah. Berbeda dengan perlakuan kontrol, kadar hematokrit terukur menunjukkan nilai yang relatif stabil (Gambar 8 dan Lampiran 9).
40 *) data pada waktu pemaparan sama yang diikuti huruf sama menunjukan tidak beda nyata (P<0,05)
Gambar 8 Rata-rata Hematokrit juvenil ikan bandeng selama 30 hari pemaparan nikel
Kadar hematokrit paling rendah ditemukan pada konsentrasi 3,56 ppm, selanjutnya 1,19; 0,59; 0,12 dan 0,00 ppm dengan prosentase secara berturut-turut 2,68; 6,49; 7,12; 8,52 dan14,09%. Hasil analisis statistik menunjukkan kadar hematokrit pada konsentasi nikel 3,56 ppm berbeda nyata (P<0,05) dengan keempat konsentrasi lainnya. Kadar hematokrit ikan uji pada konsentrasi 1,19 ppm berbeda nyata dengan konsentrasi 3,56 ppm; 0,12 ppm dan 0,00 ppm, tetapi tidak berbeda nyata dengan konsentrasi 0,59 ppm. Kadar hematokrit ikan uji pada konsentrasi 0,12 ppm berbeda nyata dengan konsentrasi 1,19 ppm dan 3,56 ppm dan tidak berbeda nyata dengan konsentrasi 0,00 ppm dan 0,59 ppm. Kenyataan ini menunjukkan bahwa setelah 30 hari pemaparan, pengaruh lanjut toksisitas nikel mulai pada konsentrasi 0,12 ppm secara nyata dapat menurunkan kadar hematokrit darah pada juvenil ikan bandeng.
Haemoglobin
Haemoglobin (Hb) adalah pigmen merah pembawa oksigen dalam sel darah merah, yang merupakan suatu protein yang kaya akan zat besi. Fungsi utama haemoglobin adalah transpor O2 dan CO2. Data hasil penelitian menunjukkan penurunan kadar haemoglobin pada semua perlakuan pemaparan nikel sampai pengukuran hari ke-30, dimana makin tinggi perlakuan konsentrasi nikel yang
41
dipaparkan maka kadar haemoglobin ikan uji akan lebih rendah. Berbeda dengan perlakuan kontrol, kadar haemoglobin terukur meskipun mengalami penurunan tetapi nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan pemaparan nikel dan pengukuran pada hari ke-30 kadarnya lebih tinggi dibandingkan pada pengukuran hari ke-20 yaitu 6,33 % (Gambar 9 dan Lampiran 10).
*) data pada waktu pemaparan sama yang diikuti huruf sama menunjukan tidak beda nyata (P<0,05)
Gambar 9 Rata-rata kadar haemoglobin juvenil ikan bandeng selama 30 hari pemaparan nikel
Kadar haemoglobin paling rendah ditemukan pada konsentrasi 3,56 ppm, selanjutnya 1,19; 0,59; 0,12 dan 0,00 ppm dengan prosentase secara berturut-turut 2,60; 3,47; 3,73; 4,80 dan6,33%. Hasil analisis statistik menunjukkan kadar haemoglobin pada konsentasi nikel 3,56 ppm tidak berbeda nyata dengan konsenstrasi 1,19 ppm tetapi berbeda nyata (P<0,05) dengan tiga konsentrasi lainnya. Kadar haemoglobin ikan uji pada konsentrasi 1,19 ppm berbeda nyata dengan keempat perlakuan lainnya. Demikian pula konsentrasi 0,00 ppm berbeda nyata dengan keempat konsentrasi lainnya dengan kadar haemoglobin paling tinggi. Kenyataan ini menunjukkan bahwa setelah 30 hari pemaparan, pengaruh lanjut toksisitas nikel mulai pada konsentrasi 0,12 ppm secara nyata dapat menurunkan kadar haemoglobin darah pada juvenil ikan bandeng.
42 Eritrosit
Eritrosit atau sel darah merah (SDM) adalah cakram bikonkaf tidak berinti yang berdiameter ± 8 µm, tebal bagian tepi 2 µm dan ketebalan bagian tengah berkurang menjadi 1 µ m. Komponen utama eritrosit adalah hemoglobin protein yang mengangkut sebagian besar oksigen (O2) dan sebagian kecil fraksi karbon dioksida (CO2). Data hasil penelitian menunjukkan peningkatan kadar eritrosit pada konsentrasi 0,00 ppm dan 0,12 ppm pemaparan nikel sampai pengukuran hari ke-30 masing-masing sebesar 0,12 x 106 sel/mm3 dan 0,09 x 106 sel/mm3. Sedangkan pada pemaparan nikel konsentrasi 0,59 ppm; 119 ppm dan 3,56 ppm terjadi penurunan secara berturut-turut masing-masing sebesar 0,11 x 106 sel/mm3; 0,14 x 106 sel/mm3 dan 0,16 x 106 sel/mm3 (Gambar 10 dan Lampiran 11).
*) data pada waktu pemaparan sama yang diikuti huruf sama menunjukan tidak beda nyata (P<0,05)
Gambar 10 Rata-rata jumlah eritrosit juvenil ikan bandeng selama 30 hari pemaparan nikel
Hasil analisis statistik menunjukkan jumlah eritrosit pada konsentasi nikel 3,56 ppm tidak berbeda nyata dengan konsentrasi 1,19 ppm tetapi berbeda nyata (P<0,05) dengan tiga konsentrasi lainnya. Selanjutnya jumlah eritrosit ikan uji pada konsentrasi 1,19 ppm tidak berbeda nyata dengan konsentrasi 0,59 ppm dan 3,56 ppm tetapi berbeda nyata dengan konsentrasi 0,00 ppm dan 0,12 ppm. Sedangkan konsentrasi 0,00 ppm dan 0,12 ppm memberikan pola yang pengaruh
43
yang sama yaitu berbeda nyata dengan ketiga konsentrasi lainnya. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pengaruh lanjut toksisitas nikel pada konsentrasi yang semakin tinggi (mulai 0,56 ppm) secara nyata dapat menurunkan jumlah eritrosit darah pada juvenil ikan bandeng.
Leukosit
Jumlah total leukosit bervariasi antar spesies ikan, dipengaruhi oleh umur Ikan. Saat ikan lahir jumlahnya lebih tinggi, kemudian secara bertahap menurun sampai nilai dewasa yaitu pada umur 2–12 bulan. Meningkatnya jumlah leukosit disebut leukositosis sedangkan penurunan disebut leukopenia. Leukositosis lebih umum daripada leukopenia dan tidak merupakan hal yang serius, bahkan mungkin bisa fisiologis. Leukositosis yang fisiologis mungkin terjadi sebagai reaksi adanya nikel yang dianggap sebagai xenobiotik sehingga neutrofil dan limfosit dimobilisasi kedalam sirkulasi umum sehingga menaikkan jumlah total SDP. Hal ini sering terjadi pada ikan muda dan biasanya akibat stres, juga adanya gangguan fisik sehingga leukositosis ini bisa terjadi.
*) data pada waktu pemaparan sama yang diikuti huruf sama menunjukan tidak beda nyata (P<0,05)
Gambar 11 Rata-rata jumlah leukosit juvenil ikan bandeng selama 30 hari pemaparan nikel
Data hasil penelitian menunjukkan peningkatan kadar leukosit pada semua konsentrasi pemaparan nikel dan kontrol. Jumlah leukosit tertinggi terdapat pada konsentrasi 3,56 ppm selanjutnya 1,19; 0,59; 0,12 dan 00,00 ppm dengan jumlah
44
secara berturut-turut 15.400 sel/mm3; 12.230 sel/mm3; 12.060 sel/mm3; 11.050 sel/mm3; dan 9.930 sel/mm3
Rasio Netrofil-Limfosit
(Gambar 11 dan Lampiran 12).
Hasil analisis statistik menunjukkan jumlah leukosit pada konsentasi nikel 3,56 ppm berbeda nyata (P<0,05) dengan keempat konsenstrasi lainnya. Selanjutnya jumlah leukosit ikan uji pada konsentrasi 1,19 ppm tidak berbeda nyata dengan konsentrasi 0,59 ppm, tetapi berbeda nyata dengan konsentrasi 0,00 ppm; 0,12 ppm dan 3,56 ppm. Konsentrasi 0,12 ppm berbeda nyata dengan empat konsentrasi lainnya. Demikian pula dengan kosentrasi 0,00 ppm berbeda nyata empat konsentrasi lainnya. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pengaruh lanjut toksisitas nikel mulai pada konsentrasi 0,12 ppm secara nyata dapat meningkatkan jumlah leuko sit darah pada juvenil ikan bandeng.
Rasio netrofil-limfosit adalah perbandingan proporsi netrofil terhadap limfosit. Menurut Gross and Siegel (1983), perbandingan netrofil dan limfosit adalah ukuran yang baik untuk melihat tingkat cekaman yang dialami oleh organisme. Neutrofil merupakan sistem pertahanan tubuh primer melawan infeksi dan jumlahnya akan meningkat jika organisme berada dalam keadaan stres. Sedangkan, fungsi utama limfosit sebagai respon terhadap antigen atau benda-benda asing dengan membentuk antibodi yang bersirkulasi dalam darah atau dalam pengembangan imunitas seluler (Funjaya 2004).
*) data pada waktu pemaparan sama yang diikuti huruf sama menunjukan tidak beda nyata (P<0,05)
45
Gambar 12, menunjukkan peningkatan nilai rasio N/L pada semua konsentrasi pemaparan nikel dan kontrol. Setelah 30 hari pemaparan, nilai rasio N/L tertinggi terdapat pada konsentrasi 3,56 ppm selanjutnya 1,19; 0,59; 0,12 dan 0,00 ppm dengan nilai secara berturut-turut 0,53; 0,45; 0,41; 0,37 dan 0,35. Menurut Tortora dan Anagnostakos (1990), meningkatnya perbandingan netrofil dan limfosit disebabkan oleh adanya tekanan fisiologis. Hasil penelitian Setyawati dkk. (2006) pada bayi manusia, perbandingan netrofil dan limfosit dianggap abnormal jika ≥ 0,3.
Hasil analisis statistik pada pengukuran hari ke-20 dan ke-30, menunjukkan rasio netrofil-limfosit pada konsentasi nikel 3,56 ppm beda nyata (P<0,05) dengan keempat konsenstrasi lainnya. demikian juga dengan konsentrasi 1,19 ppm dan 0,59 ppm, masing-masing berbeda nyata dengan keempat konsentrasi lainnya. Sedangkan antara perlakuan 0 ppm (kontrol) tidak beda nyata dengan konsentrasi 0,12 ppm. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pengaruh lanjut toksisitas nikel pada konsentrasi yang semakin tinggi (mulai 0,59 ppm) secara nyata dapat meningkatkan nilai perbandingan netrofil dan limfosit pada juvenil ikan bandeng. Kadar Glukosa Darah
Kadar glukosa darah merupakan salah satu pendekatan yang digunakan untuk bisa mengenali tubuh ikan saat stres. Mekanisme terjadinya perubahan kadar glukosa darah selama stress dimulai dari diterimanya informasi penyebab faktor stress oleh organ reseptor. Selanjutnya informasi tersebut disampaikan ke otak bagian hipotalamus melalui sistem syaraf. Hipotalamus memerintahkan sel kromafin untuk mensekresikan hormon katekolamin melalui serabut syaraf simpatik. Adanya katekolamin ini akan mengaktivasi enzim-enzim yang terlibat dalam katabolisme simpanan glikogen, sehingga kadar glukosa darah mengalami peningkatan. Data hasil penelitian menunjukkan peningkatan kadar glukosa pada semua perlakuan pemaparan nikel sampai pengukuran hari ke-30, dimana makin tinggi perlakuan konsentrasi nikel yang dipaparkan maka kadar glukosa darah ikan uji akan lebih tinggi (Gambar 13 dan lampiran 14). Demikian halnya dengan perlakuan kontrol, kadar glukosa darah terukur meskipun meningkat tetapi nilainya lebih rendah dibanding dengan perlakuan pemaparan konsentrasi nikel.
46
Pada hari ke-30 nilai kadar glukosa pada perlakuan kontrol turun dari 13,22 mmol/L pada pengukuran hari ke-20 menjadi 11,42 mmol/L pada hari hari ke-30. hal ini menunjukkan bahwa ikan uji pada perlakuan kontrol tidak mengalami stres.
*) data pada waktu pemaparan sama yang diikuti huruf sama menunjukan tidak beda nyata (P<0,05)
Gambar 13 Rata-rata kadar glukosa darah juvenil ikan bandeng selama 30 hari pemaparan nikel.
Hasil analisis statistik menunjukkan kadar glukosa darah pada konsentasi nikel 3,56 ppm dan 1,19 ppm beda nyata (P<0,05) dengan konsentrasi 0,00 ppm; 0,12 ppm dan 0,56 ppm. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pengaruh lanjut toksisitas nikel pada konsentrasi nikel yang semakin tinggi (mulai 1,19 ppm) secara nyata dapat menaikkan kadar glukosa darah pada juvenil ikan bandeng.
47 Histopatologi
Insang
Menurut Takashima dan Hibiya (1995), perubahan histologi pada insang meliput i tiga hal, yaitu :
1. Perubahan-perubahan yang bersifat regresif, seperti edema pada epitel insang, vakuolisasi, nekrosispada lamella sekunder, kematian sel mukus, dan sekresi