III. METODE PENELITIAN
4.2 Pembahasan Umum
Nikel adalah salah satu jenis logam berat, merupakan unsur kimia metalik dalam tabel periodik yang memiliki simbol Ni dengan nomor atom 28 dan massa atom 58,6934 g/mol. Nikel ditemukan oleh A.F. Cronstedt pada tahun 1751. Gerberding (2005), mengatakan bahwa logam berat nikel sangat mudah larut dalam air, oleh karena itu pada manusia setelah nikel diserap tubuh dan menyebar keseluruh organ melalui aliran darah selanjutnya sebagian besar nikel akan dibawa ke ginjal dan sebagian besar dibuang melalui urine. Berbeda dengan pendapat tersebut, masyarakat uni eropa sejak tahun 2006 telah mengusulkan kepada WTO untuk menetapkan lima senyawa nikel karbonat dan 118 bahan yang bersenyawa dengan nikel sebagai bahan berbahaya karena nikel merupakan logam berat yang memiliki sifat toksik yaitu dapat meracuni darah, menganggu sistem pernapasan, merusak jaringan, selaput lendir, mengubah sistem sel dan kromosom.
Pada ikan, kematian ikan akibat logam berat nikel dapat terjadi karena bereaksinya kation Ni2+
Nikel juga merupakan logam berat yang memiliki sifat konservatif. Sifat konservatif menunjukkan kestabilan konsentrasi suatu komponen cenderung tetap dan tidak terpengaruh dengan proses-proses fisik dan biologi yang ada di perairan dan ditunjukkan dengan proses pergerakkan dan peningkatan konsentrasi (Hutagalung dan Razak, 1992). Oleh karena itu, uji kestabilan nikel tidak dilakukan dalam penelitian ini. Namun demikian, dalam ketiga tahap penelitian yang dilaksanakan (uji nilai kisaran, uji akut dan uji sub-kronis) tetap dilakukan dengan lendir insang sehingga diselimuti gumpalan lendir nikel. Menurut Wardoyo (1975), bahwa kehadiran logam berat mempengaruhi enzim sytrokrom oksidase dan enzim pernapasan lainnya akibat jaringan tidak bisa mengikat oksigen terlarut dalam darah, akibatnya ikan akan lumpuh dan mati lemas karena kekurangan oksigen (anoxia). Oleh karena itu logam berat nikel diduga mempengaruhi kerja enzim pernapasan yang menyebabkan kematian pada ikan bandeng.
57
pergantian air setiap hari (pagi dan sore) sebanyak ±15% dari volume air dalam akuarium, dimaksudkan untuk menjaga kestabilan kualitas air dan mengganti air terbuang pada saat penyiponan feses dan sisa pakan tidak termanfaatkan.
Dari uji nilai kisaran dapat diketahui kisaran konsentrasi nikel yang digunakan pada uji akut dengan memperhatikan batas bawah dan batas atas. Batas atas merupakan konsentrasi yang menyebabkan dampak kematian ikan bandeng 100 % dalam waktu 24 jam, sedangkan batas bawah adalah konsentrasi nikel dimana 100% ikan bandeng yang dicobakan masih dapat hidup setelah 48 jam pemaparan. Konsentrasi yang ditetapkan sebagai batas atas adalah 50 ppm dan batas bawah adalah 5 ppm nikel.
Hasil pengamatan pada uji akut, bahwa gejala klinis terlihat sesaat setelah pemaparan nikel. Gejala klinis teramati yaitu terjadinya perubahan tingkah laku, antara lain gerakan berenang yang tidak teratur dan terkejut-kejut, cenderung berada dipermukaan, frekuensi gerak operculum terus menerus dengan bukaan yang lebih lebar, dan selanjutnya ikan cenderung diam dan kehilangan refleks. Respon tersebut karena adanya pengaruh sifat nikel yang menyerang sistem saraf pusat, mengganggu proses sel dan sistem kerja jaringan tubuh ikan bandeng sampai melewati batas toleransi yang menyebabkan kematian secara langsung. Pada konsentrasi 50,01 ppm (E), kematian juvenil ikan bandeng pertama kali ditemukan pada pengamatan jam ke-2 sebanyak 1 ekor, konsentrasi 28,12 ppm (D) kematian pertama ditemukan pada pengamatan jam ke-4, konsentrasi 15,81 ppm (C) ditemukan pada jam ke-10 sedangkan konsentrasi 8,89 ppm ditemukan pada jam ke-22. Setelah 54 jam, 100% ikan uji pada perlakuan konsentasi 50,01 ppm telah mati. Sedangkan pada perlakuan D; C; B dan A setelah terpapar selama 96 jam persentase kematian ikan bandeng yaitu 86,7%; 60%; 33,3%; dan 10%.
Hasil analisis statistik, menunjukkan nilai LC-50 logam berat nikel terhadap juvenil ikan bandeng pada waktu pemaparan 24, 48, 72 dan 96 jam berturut-turut adalah 36,79 ppm, 23,54 ppm, 18,04 ppm dan 11,88 ppm. Nilai tersebut menunjukkan bahwa semakin lama waktu pemaparan maka nilai LC-50 nikel terhadap juvenil ikan bandeng akan semakin rendah. Ini berarti bahwa kematian juvenil ikan bandeng akan mengalami kematian yang lebih cepat apabila terpapar logam berat nikel pada konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi yang lebih rendah. Kematian juvenil ikan bandeng pada uji akut ini
58
disebabkan karena tingginya kosentrasi nikel yang dipaparkan, dimana semakin tinggi konsentrasi yang dipaparkan maka respon kematian yang ditimbulkan juga lebih cepat. Nikel yang masuk dalam tubuh ikan bandeng akan bersifat sebagai xenobiotik abiotik yang dapat menghambat kerja asetilkolinesterase (AChE), sehingga terjadi akumulasi asetilkolin (ACh) dalam susunan saraf pusat. Selanjutnya akumulasi tersebut akan menginduksi tremor, inkoordinasi, kejang-kejang sampai menyebabkan kematian. Sedangkan akumulasi pada neuromusculer akan mengakibatkan kontraksi otot yang diikuti dengan kelemahan, hilangnya refleks dan paralisis. Ikan bandeng menyerap nikel yang terdapat diperairan melalui insang pada proses respirasi dan osmoregulasi, selanjutnya diserap oleh usus halus dan di bawa ke hati melalui pembuluh vena. Di hati, nikel hadir sebagai senyawa kimia asing dan menyebabkan kerusakan pada mikroanatomi hati ikan bandeng. Menurut Lu (1995), kerusakan hati dapat terjadi karena senyawa kimia yang dimetabolisme oleh hati sebagian dilokalisir dalam hati atau dieksresikan ke empedu dan kembali lagi keduodenal. Demikian pula halnya dengan nikel yang terakumulasi pada jaringan insang. Akumulasi tersebut menyebabkan kerusakan insang, seperti edema, hiperplasi, fusi lamella dan hipertropi (Gambar 14; 15 dan 16). Kerusakan insang diduga disebabkan oleh berreaksinya ion Ni2+ dengan lendir insang yang menyebabkan insang diselimuti oleh gumpalan lendir dari logam berat nikel. Hal ini meyebabkan difusi oksigen kedalam kapiler darah terganggu. Pergerakan oksigen kedalam kapiler darah di insang ditentukan oleh perbedaan tekanan oksigen yang terdapat dalam insang dengan tekanan oksigen dalam kapiler darah insang. Sedangkan tekanan oksigen dalam insang sangat ditentukan oleh struktur lamella. Jika struktur lamella insang terganggu atau rusak, maka dapat dipastikan akan menurunkan kemampuan insang mengikat oksigen. Heath (1987) mengemukakan bahwa logam berat dapat menyebabkan kerusakan insang seperti nekrosis dan lepasnya lapisan epitelium. Sejalan pula dengan laporan Wardoyo (1975) bahwa salah satu jaringan tubuh organisme yang cepat terakumulasi logam berat adalah jaringan insang, sehingga menyebabkan terganggunya proses pertukaran ion-ion dan gas-gas melalui insang. oleh karena itu, kerusakan struktur lamella yang sangat ringan sekalipun dapat mempengaruhi proses respirasi pada juvenil ikan bandeng. Pengaruh kerusakan
59
insang terhadap sistem respirasi ikan bandeng selanjutnya ditunjukkan dengan pengukuran tingkat konsumsi oksigen.
Tabel 8 Pengaruh perbedaan konsentrasi terhadap variabel penelitian setelah 30 hari pemaparan nikel
Perlakuan TKO Hematokrit (%) Hemoglobin (%) Eritrosit 106 sel/mm Leukosit 10 3 6 sel/mm N-L Rasio 3 Glukosa Darah (mmol/L) LPS (% BW/day) 0 ppm 0,96±0,03 14,09±0,92a a 6,33±0,38a 2,47±0,16a 4,97±0,24a 0,35a 11,42a 1,39a 0,12 ppm 0,73±0,10a 8,52±0,76b 4,80±0,70b 2,41±0,07a 5,52±0,09b 0,37a 12,23a 1,26 0,59 ppm ab 0,42±0,09b 7,12±0,31bc 3,73±0,15c 1,32±0,02b 6,03±0,10c 0,41b 13,67a 1,20 1,19 ppm ab 0,43±0,13b 6,49±0,08c 3,47±0,31cd 1,12±0,02bc 6,12±0,15c 0,45c 16,59b 0,98 3,56 ppm b 0,37±0,01b 2,68±0,27d 2,60±0,19d 1,07±0,13c 7,70±0,14d 0,53d 18,97b 0,67c
*) data pada kolom sama yang diikuti huruf sama menunjukan tidak beda nyata (P<0,05)
Tingkat konsumsi oksigen pada dasarnya menunjukkan tingkat metabolisme. Konsumsi oksigen adalah indikator respirasi yang juga menunjukkan metabolisme energetik. Pengukuran tingkat konsumsi oksigen ikan bandeng memberikan indikasi semakin tinggi konsentrasi nikel dan semakin lama waktu pemaparan menyebabkan konsumsi oksigen semakin rendah. Setelah pemaparan 30 hari, selisih antara konsumsi oksigen pada ikan kontrol dengan ikan yang dipaparkan nikel cukup tinggi yaitu sebesar 0,59 mgO2/gr tubuh ikan/jam dengan konsentrasi 3,56 ppm; 0,53 mgO2/gr tubuh ikan/jam dengan konsentrasi 1,19 ppm; 0,54 mgO2/gr tubuh ikan/jam dengan konsentrasi 0,59 ppm ; dan 0,23 mgO2/gr tubuh ikan/jam dengan konsentrasi 0,12 ppm. Tingginya selisih konsumsi oksigen antara ikan bandeng kontrol dengan ikan bandeng yang dipaparkan logam berat nikel, menguatkan dugaan bahwa pada konsentrasi rendah sekalipun (0,12 = 1% LC50-96 jam) toksisitas logam berat nikel memberikan dampak negatif terhadap kemampuan ikan bandeng dalam menyerap oksigen di perairan. Meskipun menurut Evans and Chaiborne (2005), bahwa banyaknya oksigen yang dikonsumsi dalam waktu tertentu berhubungan linear dengan banyaknya oksigen terlarut yang terdapat dalam perairan, tetapi kadar oksigen terlarut dalam akuarium pada penelitian ini bukan merupakan faktor pembatas yang mempengaruhi kemampuan ikan dalam menyerap oksigen karena hasil pengukuran kadar oksigen terlarut dalam akuarium berkisar antara 4,1-6,2 ppm, sedangkan nilai optimal oksigen terlarut dalam budidaya ikan bandeng adalah 3-8 ppm (Ahmad, 1998).
60
Toksisitas logam berat nikel juga mempengaruhi kondisi hematologi ikan bandeng. Gambaran darah ikan dapat digunakan untuk mengetahui kondisi kesehatan yang sedang dialami, karena darah memiliki fungsi vital bagi tubuh ikan, antara lain sebagai pengangkut zat-zat kimia seperti hormon, pengangkut hasil buangan metabolisme dan pengangkut oksigen dan karbondioksida. Hasil pengukuran menunjukkan telah terjadi penurunan kadar hematokrit, kadar hemoglobin, dan jumlah eritrosit. Sedangkan jumlah leukosit dan rasio netrofil-limfosit mengalami peningkatan. Penurunan atau peningkatan parameter hematologi dalam darah menunjukkan telah terjadi penyimpangan fisiologis pada ikan bandeng. Berkaitan dengan fungsi vital darah dalam metabolisme tubuh, sehingga diduga hal tersebut mempengaruhi proses metabolisme dalam tubuh ikan bandeng. Hal ini diperkuat dengan tingkat pertumbuhan ikan bandeng yang menjadi turun pada perlakuan dengan pemaparan konsentrasi nikel yang lebih tinggi (Gambar 18 dan Gambar 19).
Pada pengamatan kadar glukosa darah terlihat, menunjukkan telah terjadi peningkatan kadar glukosa dalam darah. Perlakuan dengan konsentrasi pemaparan lebih tinggi memberikan pengaruh peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi pula. Setelah 30 hari pemeliharaan, menunjukkan pada pemaparan logam berat nikel dengan konsentarsi 3,56 ppm kadar glukosa darah terukur menunjukkan nilai 18,97 mmol/L dari 8,97 mmol/L pada pengukuran awal penelitiaan. sementara pada perlakuan kontrol, setelah 30 hari pemaparan kadar glukosa darah terukur 11,42 mmol/L dari 8,97 mmol/L pada pengukuran awal. Hasil ini menunjukkan meskipun kadar glukosa darah pada perlakuan kontrol juga mengalami peningkatan tetapi nilainya lebih rendah dibandingkan dengan kadar glukosa darah ikan bandeng yang dipelihara pada media yang dipaparkan logam berat nikel. Bahkan, kadar glukosa darah perlakuan kontrol pada pengukuran hari ke-30 terukur nilainya lebih rendah dibandingkan pada pengukuran hari ke-20 yaitu 13,22 mmol/hari. Kadar glukosa darah digunakan sebagai indikator stres pada ikan bandeng. Marcel et al. (2009) mengemukakan bahwa naik turunnya kadar glukosa dalam darah ikan mengindikasikan bahwa ikan sedang lapar atau sedang kenyang. Naiknya glukosa darah menandakan bahwa ikan sedang kenyang, artinya nafsu makan berkurang karena energi yang dibutuhkan oleh tubuh terpenuhi. Sebaliknya, pada saat kadar glukosa darah turun, maka ikan akan
61
merasa lapar sehingga diperlukan makanan untuk memenuhi kebutuhan energinya. Pada saat ikan stres menyebabkan kadar glukosa dalam darah terus naik yang diperlukan untuk mengatasi homeostasis. Dengan tingginya kadar glukosa di dalam darah tersebut maka sinyal dari pusat syaraf menandakan bahwa ikan merasa kenyang dan tidak mau makan. Relevan dengan kondisi yang terjadi dalam penelitian ini, dimana ikan bandeng pada perlakuan kontrol menunjukkan respon yang lebih baik terhadap makanan yang diberikan. Naiknya kadar glukosa darah dibutuhkan untuk proses memperbaiki homeostasis selama stres, namun kebutuhan energi dari glukosa tersebut akan dapat terpenuhi apabila glukosa dalam darah dapat segera masuk ke dalam sel, dan ini sangat bergantung pada kinerja insulin. Jika kondisi ini dicapai oleh ikan bandeng, maka seharusnya ikan akan lebih respon terhadap makanan sehingga dapat memberikan dampak pertumbuhan yang lebih baik bagi ikan, akan tetapi hasil yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan peningkatan kadar glukosa dalam darah akibat tidak diikuti dengan dampak pertumbuhan yang lebih tinggi pula. Oleh karena itu diduga bahwa peningkatan kadar glukosa dalam darah merupakan indikasi bahwa telah terjadi stres pada ikan bandeng akibat toksisitas logam berat nikel. Dugaan ini diperkuat dengan rasio netrofil-limfosit dalam darah ikan bandeng juga meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi nikel yang dipaparkan (Tabel 5), sebagaimana Tortora dan Anagnostakos (1990) mengatakan bahwa meningkatnya perbandingan netrofil dan limfosit disebabkan oleh adanya tekanan fisiologis.
Pengukuran pertumbuhan menunjukkan kecenderungan penurunan laju pertumbuhan seiring peningkatan konsentrasi nikel yang dipaparkan dalam media. Terreduksinya pertumbuhan juvenil ikan bandeng terjadi karena logam berat nikel yang terakumulasi menyebabkan ikan mengalami stres, sehingga mengurangi nafsu makan. Disamping itu pemanfaatan energi yang berasal dari makanan lebih banyak digunakan untuk mempertahankan diri dari tekanan lingkungan serta mengganti sel-sel yang rusak akibat logam berat nikel.
62 Kualitas Air
Selama uji toksisitas nikel (akut dan sub kronis), dilakukan pengamatan kualitas air media pemeliharaan meliputi : salinitas, suhu, DO, CO2
Tabel 9 Nilai kisaran sifat fisika kimia air pada studi toksisitas nikel
, TAN, kesadahan dan alkalinitas. Data kualitas air selama penelitian ditampilkan dalam Tabel 9. Uji Konse ntrasi (ppm) Parameter Salinitas (‰) Suhu (0C) pH DO (ppm) Kesadahan (ppm CaCO3 Alkalinitas (ppm) ) CO TAN (ppm) 2 (ppm) Akut 0 14,5-16 26,5 – 27,8 7,3-7,4 4,2–5,5 203,2–210,3 400 - 440 4,3–7,3 0,32–0,34 8,89 14,5-16 26,5 – 27,8 7,4-7,5 4,2-5,5 218,5–230,0 400 - 440 4,3–5,0 0,32–0,34 15,81 14,5 -16 26,5 – 27,8 7,4-7,5 4,2–5,5 235,1–255,1 400 - 440 3,3–4,6 0,30–0,39 28,12 14,5 -16 26,5 – 27,8 7,4-7,5 4,2–5,5 326,0–409,9 400 - 440 4,0–5,7 0,29–0,33 50,01 14,5 -16 26,5 – 27,8 7,4-7,5 4,2–5,5 369,7–401,6 360 - 440 3,7–7,3 0,25–0,27 Sub-Kronis 0 14,5 -16 26,5 – 27,8 7,6-7,7 4,1–5,8 203,2–210,3 320 - 360 2,6-3,0 0,15–0,22 0,12 14,5 -16 26,5 – 27,8 7,4-7,9 4,2–6,2 218,5–300,0 320 - 360 3,0-4,0 0,18–0,23 0,59 14,5 -16 26,5 – 27,8 7,9-8,1 4,3–5,6 235,1–255,1 320 - 360 3,0-4,0 0,17–0,22 1,19 14,5 -16 26,5 – 27,8 7,9-8,1 4,4-5,9 326,0–409,9 320 - 360 3,0–4,0 0,20–0,22 3,56 14,5 -16 26,5 – 27,8 7,7-7,9 4,2–5,9 369,7–401,6 280- 360 3,0-4,0 0,20–0,21 NAB 0-34 26,5 - 31 6,5-8,5 3,0 –8,0 50 - 500 0 - 15
Keterangan : NAB = Nilai Ambang Batas
Suhu air selama penelitian tidak mengalami banyak perubahan. Hasil pengukuran suhu air menunjukkan nilai relatif konstan yang berkisar antara 26,5– 27,80C. Rachmansyah dkk. (1997) mengemukakan bahwa ikan bandeng bersifat eurythermal. Selanjutnya Watanabe (1986) menyatakan bahwa suhu air yang optimum bagi pertumbuhan ikan bandeng muda adalah 29,50C.
Hasil pengukuran kesadahan menunjukkan nilai kesadahan berkisar antara 203,2-409,9 ppm CaCO3, dengan tingkat kesadahan air dari keras dan sangat keras. menurut Seamolec (2009), jika kandungan kesadahan air 1-5 dGH, maka air diklasifikasikan sebagai kesadahan sangat lunak; 5-10 dGH klasifikasi lunak; 10-20 dGH klasifikasi agak keras; 20-30 dGH klasifikasi keras dan >30 dGH maka air diklasifikasikan sebagai kesadahan sangat keras. Satuan dGH (degrees of
German total Hardness) sama dengan 10 ppm CaCO
Alkalinitas diperlukan sebagai buffer terhadap pengaruh pengasaman atau mencegah terjadinya fluktuasi pH yang besar. Pengukuran alkalinitas selama
63
penelitian berkisar antara 360-440 ppm pada uji akut dan berkisar antara 280-360 ppm selama uji sub-kronis. Alkalinitas optimum untuk pertumbuhan ikan bandeng 100-400 ppm CaCO3 (Meade 1989 dalam Siahaan 2003).
Karbon dioksida di dalam akuarium dapat berasal dari hasil pernafasan organisme dalam air sendiri dan difusi dari udara. Konsentrasi karbon dioksida yang terlalu tinggi di suatu perairan akan menimbulkan gangguan pelepasan CO2 atau pengambilan O2 waktu ikan bernafas. Sebaliknya CO2 yang terlalu sedikit akan berpengaruh negatif kepada fotosintesis karena gas ini merupakan bahan baku pembentukan. Konsentrasi karbon dioksida (CO2) dalam ekosistem perairan merupakan parameter yang dikaitkan dengan nilai pH. Semakin tinggi konsentrasi karbon dioksida, pH perairan semakin rendah. Hasil pengukuran konsentrasi CO2, yaitu 3,7-7,3 ppm selama uji akut dan 3-4 ppm selama uji sub kronis. Kandungan CO2 yang baik untuk budidaya ikan tidak lebih dari 15 ppm.
Total amoniak nitrogen terdiri dari amonia bebas (NH3) dan amonia ion (NH4+). Pada konsentrasi tinggi amonia bebas berracun bagi biota air, sedangkan amonia ion tidak berracun. Nilai TAN yang aman bagi ikan bandeng dibawah 0,1 ppm. Nilai kandungan TAN yang rendah dimungkinkan karena adanya penyiponan untuk membuang feses dan sisa-sisa pakan yang dilakukan 2 kali dalam sehari. Hasil pengukuran total amoniak nitrogen berkisar antara 0,15-0,23 ppm selama uji akut dan berkisar antara 0,25-0,39 ppm selama uji sub kronis.
Dari pengukuran tersebut, meskipun pada beberapa parameter terdapat perbedaan range, tetapi nilai tersebut masih memperlihatkan nilai kisaran yang layak untuk kehidupan ikan bandeng. Hal tersebut menunjukkan bahwa parameter kualitas air dalam penelitian ini bukan sebagai faktor pembatas yang mempengaruhi kehidupan ikan bandeng.
64 V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian pada kondisi percobaan ini, maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Nikel (Ni) memiliki sifat toksik yang tinggi terhadap juvenil ikan bandeng dengan nilai LC50
2. Semakin tinggi konsentrasi nikel dan semakin lama waktu pemaparan
menyebabkan konsumsi oksigen juvenil ikan bandeng akan semakin rendah -96 jam sebesar 11,88 ppm
3. Toksisitas nikel dapat berdampak terhadap kondisi hematologi juvenil ikan bandeng, yaitu mulai pada konsentrasi 0,12 ppm menurunkan prosentase hematokrit, hemoglobin dan meningkatkan jumlah leukosit
4. Toksisitas nikel dapat berdampak terhadap stres sekunder juvenil ikan bandeng, yaitu mulai konsentrasi 1,19 ppm meningkatkan kadar glukosa darah
5. Toksisitas nikel dapat berdampak terhadap kondisi histopatologi juvenil ikan bandeng yaitu mulai konsentrasi 0,12 ppm pada hari ke-15 telah
mempengaruhi struktur mikroanatomi insang berupa mineralisasi,
hyperplasia, hipertopi dan epitel lifting. dan pada hari ke-30 pada konsentrasi tersebut juga telah mempengaruhi struktur mikroanatomi hati juvenil ikan bandeng berupa edema dan kongesti.
6. Toksisitas nikel dapat berdampak terhadap pertumbuhan juvenil ikan bandeng, dengan indikasi setelah 30 hari pemeliharaan pada konsentrasi 1,19 ppm memberikan pengaruh penurunan laju pertumbuhan.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan diadakan penelitian lanjutan dengan waktu pemaparan yang lebih lama atau dengan jenis ikan yang berbeda dan dilakukan pula penelitian tentang uji reproduksi ikan dengan pemaparan logam berat nikel.
65