• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Pengaruh Pengukusan Adonan terhadap Kualitas Mi Jagung

2. Analisis Organoleptik Mi Jagung

direndam air dingin dan kemudian ditiriskan. Mi kemudian ditimbang dan dikeringkan pada suhu 100°C sampai beratnya konstan, lalu ditimbang kembali. KPAP dihitung dengan rumus berikut:

% 100 ) 1 ( ker 1 × ⎭ ⎬ ⎫ ⎩ ⎨ ⎧ − − = contoh air kadar awal berat ingkan di setelah sampel berat KPAP 2). Analisis Organoleptik a) Seleksi Panelis

Seleksi panelis merupakan suatu cara untuk mendapatkan panelis yang memiliki kemampuan dasar yang cukup, kemampuan membedakan serta mengurutkan intensitas. Seleksi ini dilakukan terhadap 40 orang calon panelis yang kemudian diberikan serangkaian tes organoleptik sehingga diperoleh sebanyak 8-11 orang.

Tahapan ini bertujuan mengetahui kepekaan sensori calon panelis. Pengujian yang dilakukan meliputi identifikasi rasa dan aroma dasar sebagai metode umum untuk menguji kemampuan dasar indra pencicipan serta penciuman, uji ranking untuk menguji kemampuan panelis dalam mengurutkan intensitas rangsangan, dan uji segitiga (pembedaan) untuk menguji kepekaan panelis untuk membedakan intensitas rangsangan karena diberikan dengan intensitas berbeda.

Uji rasa dasar dilakukan dengan tujuan melihat kemampuan panelis dalam mengenali dan mendeskripsikan rasa dasar. Sampel uji pada identifikasi rasa dan aroma dasar dapat dilihat pada Tabel 11, sedangkan sampel uji untuk uji ranking dapat dilihat pada Tabel 12.

Uji segitiga dilakukan dengan atribut kekerasan dan kekenyalan mi karena mempertimbangkan bahwa sampel uji dan jenis pengujian yang nantinya akan dievaluasi oleh panelis adalah karakteristik fisik mi jagung berupa kekerasan, kekenyalan dan kelengketan. Calon panelis yang terpilih diharapkan dapat membedakan atribut tersebut. Sampel untuk uji segitiga dapat dilihat pada Tabel 13.

28 Tabel 11. Sampel uji untuk identifikasi rasa dan aroma dasar

Jenis Uji Sampel Konsentrasi (%)

Identifikasi rasa dasar Larutan sukrosa Larutan asam sitrat Larutan garam Larutan kafein Larutan MSG 2.00 0.04 0.20 0.05 0.03 Identifikasi aroma dasar Tutti fruity

Mint Orange Meat Nut 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00

Tabel 12. Sampel untuk uji ranking

Jenis Uji Sampel Konsentrasi (%)

Rangking Rasa Dasar Asin Larutan Garam (NaCl)

0.10 0.20 0.50 1.00 Rangking Rasa Dasar Pahit Larutan Kafein 0.03 0.06 0.13 0.26

Tabel 13. Sampel untuk uji segitiga

Jenis Uji Sampel Lama Perebusan

(menit) Segitiga Atribut

Kekerasan

Mi Kering Terigu Komersil 2 5 Segitiga Atribut

Kekenyalan

Kwetiau Jagung Komersil 4

10

Calon panelis yang lolos seleksi menjadi kandidat panelis terlatih adalah panelis yang dapat menjawab dengan benar sekurang-kurangnya 60 % untuk uji segitiga dan 80 % untuk uji deskriptif rasa dasar (Meilgaard et al., 1999). Selanjutnya panelis yang terpilih dalam kepentingan penelitian ini adalah yang memiliki waktu dan motivasi tinggi dalam mengikuti tahap pelatihan secara konsisten. Contoh format kuesioner uji-uji dalam seleksi panelis ini dapat dilihat pada Lampiran 1.

29

b) Pelatihan Panelis Terlatih

Menurut Meilgaard et al. (1999), proses pelatihan panelis terlatih membutuhkan waktu selama 40 hingga 120 jam. Semakin kompleks atribut yang diujikan, maka waktu pelatihan panelis yang dibutuhkan juga akan semakin lama. Pelatihan panelis terlatih bertujuan melatih dan meningkatkan kepekaan sensori panelis terhadap atribut rasa dan aroma, terutama yang terkait dengan kepentingan penelitian. Tahapan ini terdiri dari pengenalan bahasa flavor, pengenalan skala, dan pelatihan penilaian suatu sampel tertentu.

Setiap panelis diberikan latihan selang waktu tertentu secara berulang sampai diperoleh hasil evaluasi sensori yang konsisten serta kesepakatan mengenai istilah sensori tertentu. Latihan sensori ini meliputi pelatihan terhadap atribut kekerasan, kekenyalan dan kelengketan mi.

c) Uji Organoleptik

Uji organoleptik akan dilakukan dengan uji rating atribut kekerasan, kelengketan dan kekenyalan pada mi jagung produk akhir oleh panelis terlatih. Uji rating atribut dilakukan untuk melihat dan membandingkan hasilnya dengan pengukuran menggunakan alat Texture Analyzer TAXT-2.

d) Analisis Data

Data-data pada penelitian ini diolah menggunakan uji statistik nonparametrik, yaitu uji Mann-Whitney U/Wilcoxon. Uji Mann-Whitney U/Wilcoxon digunakan untuk membandingkan dua mean/rata-rata populasi yang berasal dari populasi yang sama dan menguji apakah berbeda nyata atau tidak (Walpole, 1995).

3. Uji Penerimaan Konsumen terhadap Produk Olahan Mi Jagung

Tahap akhir penelitian ini meliputi uji penerimaan konsumen terhadap produk olahan mi jagung. Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer yang diperoleh melalui penyebaran kuisioner kepada konsumen. Konsumen diminta untuk menilai bagaimana penerimaannya terhadap produk olahan mi jagung. Produk olahan yang dicobakan adalah mi ayam untuk mi basah jagung native dan

30 substitusi HMT serta mi bakso untuk mi kering jagung native dan substitusi HMT. Uji penerimaan konsumen ini dilakukan bekerjasama dengan pedagang mi ayam dan mi bakso. Contoh kuisioner yang diberikan kepada konsumen dapat dilihat pada Lampiran 2.

Kuisioner uji penerimaan konsumen berisi pertanyaan mengenai identitas responden, perilaku responden dalam mengkonsumsi mi, tingkat kesukaan responden terhadap produk olahan mi jagung dan tingkat kesesuaian produk olahan tersebut menurut responden. Berdasarkan data yang diperoleh dari kuisioner, dapat terlihat bagaimana penerimaan responden terhadap mi jagung dan tingkat kesesuaiannya terhadap produk olahan yang dicobakan. Sebelum dilakukan uji penerimaan konsumen, responden terlebih dahulu diberikan bebrapa penjelasan mengenai mi jagung, mengingat produk ini merupakan produk yang relatif baru. Beberapa penjelasan tersebut antara lain bahwa mi jagung memiliki perbedaan dengan mi terigu komersil dalam hal tekstur dan mi jagung memiliki beberapa kelebihan, antara lain tidak menggunakan pewarna dan pengawet. Pengisian kuisioner didampingi oleh peneliti, hal ini ditujukan agar responden lebih mudah menerima penjelasan mengenai pertanyaan-pertanyaan dalam kuisioner tersebut.

Metode penentuan lokasi pengambilan responden menggunakan metode

Non Probability Sampling (NPS), yaitu seleksi unsur populasi berdasarkan pertimbangan peneliti. Metode NPS terdiri dari tiga jenis contoh, yaitu contoh kemudahan (accidental sampling), pertimbangan (purposive sampling) dan quota (Singarimbun dan Effendi, 1989). Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode purposive sampling. Responden yang dipilih adalah warga lingkar kampus IPB yang pernah membeli atau mengkonsumsi mi serta yang sesuai dengan target usia, jenis kelamin dan tingkat ekonomi yang telah ditentukan.

31 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. KARAKTERISTIK TEPUNG JAGUNG HMT

Jagung merupakan tanaman serealia yang memiliki profil gelatinisasi pati tipe B. Profil gelatinisasi tipe B ditandai dengan kemampuan pengembangan yang sedang dengan viskositas puncak yang tinggi serta memiliki breakdown (penurunan viskositas selama pemanasan) yang tidak terlalu tajam (Collado et al, 2001). Sifat fungsional pati sangat menentukan kualitas mi yang dihasilkan. Hal ini disebabkan sifat fungsional pati berkaitan erat dengan pembentukan adonan (reologi) dan kualitas tekstur mi. Menurut Lii dan Chang (1981) didalam Collado et al (2001), pati yang ideal untuk dibuat menjadi produk mi adalah pati yang memiliki pengembangan dan solubility yang terbatas dan memiliki profil gelatinisasi tipe C.

Selain itu, menurut Chen et al (2003), karakteristik pati yang baik untuk diaplikasikan menjadi produk mi adalah pati dengan viskositas puncak yang rendah, stabil terhadap panas dan pengadukan bahkan cenderung mengalami peningkatan selama pemanasan serta memiliki viskositas yang tinggi pada suhu rendah (Tam et al, 2004). Mi yang dihasilkan dari pati dengan karakteristik tersebut memiliki nilai kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) yang rendah, untaian mi yang kompak dan elastis serta kelengketan yang rendah (Purwani et al, 2006).

Mi yang dibuat dari tepung jagung native (alami atau sebelum dimodifikasi) memiliki beberapa kelemahan, yaitu mi basah jagung yang mudah putus dan kurang kenyal, dan mi kering jagung yang keras dan mudah patah/rapuh sebelum direhidrasi dan mudah putus, keras, kurang kenyal, lengket serta memiliki kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) yang tinggi setelah direhidrasi. Oleh karena itu, aplikasi tepung jagung HMT diharapkan dapat memperbaiki kelemahan yang dimiliki mi jagung.

Modifikasi dengan teknik Heat Moisture Treatment (HMT) dapat mengubah profil gelatinisasi tepung jagung menjadi tipe C. Profil gelatinisasi tipe C ditandai dengan kemampuan pengembangan terbatas yang ditunjukkan dengan tidak adanya viskositas puncak dan viskositas tidak mengalami penurunan bahkan

32 meningkat selama pemanasan. Teknik Heat Moisture Treatment (HMT) merupakan teknik modifikasi pati secara fisik, yaitu dengan pemanasan di atas suhu gelatinisasi bahan selama periode waktu tertentu dan pada kadar air yang terkendali. Kondisi modifikasi tepung jagung berdasarkan hasil penelitian Lestari (2009), yaitu pada suhu 110oC selama 6 jam dan pada kadar air 24%.

Grafik hasil pengukuran profil gelatinisasi tepung jagung native (alami atau sebelum dimodifikasi) dan setelah dimodifikasi dapat dilihat pada Gambar 5, sedangkan data profil gelatinisasi tertera pada Tabel 14. Pengukuran profil gelatinisasi dilakukan dengan menggunakan alat Brabender Amilograph. Profil gelatinisasi yang diamati antara lain suhu awal gelatinisasi, viskositas maksimum, kestabilan viskositas selama pemanasan atau breakdown, dan perubahan viskositas selama pendinginan atau setback. Konsentrasi padatan suspensi tepung jagung untuk pengukuran profil gelatinisasi ini adalah 8,87% (b/v) untuk tepung jagung native dan 9,01% (b/v) untuk tepung jagung HMT. Tabel 15. Menunjukkan data profil gelatinisasi tepung jagung HMT pada penelitian Lestari (2009). Konsentrasi padatan suspensi tepung jagung untuk pengukuran profil gelatinisasi pada penelitian tersebut adalah 9,91% (b/b) untuk tepung jagung native dan 10,01% (b/b) untuk tepung jagung HMT.

Terdapat perbedaan antara data profil gelatinisasi pada penelitian ini dan penelitian yang dilakukan Lestari (2009), antara lain pada suhu awal gelatinisasi, dan nilai setback. Suhu awal gelatinisasi tepung jagung native dan HMT pada penelitian ini lebih rendah dan nilai setback pada penelitian ini mengalami peningkatan, sedangkan pada penelitian yang dilakukan Lestari (2009) mengalami penurunan.

Suhu awal gelatinisasi merupakan suhu saat granula pati mulai menyerap air, pada grafik profil gelatinisasi terlihat jika viskositas mulai meningkat. Suhu awal gelatinisasi tepung jagung HMT (79,50oC) lebih tinggi daripada tepung jagung native (74,25 oC). Hal ini menunjukkan bahwa tepung jagung HMT lebih tahan terhadap panas, sehingga butuh suhu yang lebih tinggi untuk dapat menggelatinisasi pati jagung tersebut. Takahashi et al (2005) menyatakan bahwa proses modifikasi HMT akan menyebabkan pergeseran (peningkatan) suhu awal gelatinisasi dan suhu gelatinisasi.

33 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 -200 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 V is k os it as ( B U ) Waktu (Menit) Viskositas HMT Viskositas NATIVE Suhu S u h u ( C)

Gambar 5. Profil gelatinisasi tepung jagung native dan HMT Tabel 14. Data profil gelatinisasi tepung jagung native dan HMT

Data Profil Gelatinisasi Tepung Jagung Native

Tepung Jagung HMT

Suhu awal gelatinisasi (oC) 74,25 79,50 Waktu awal gelatinisasi (menit) 29,50 33,00 Viskositas maksimum (BU) 659,00 - Suhu saat mencapai viskositas

maksimum (oC)

93,75 - Viskositas pada 95oC (BU) 655,00 385,00 Viskositas setelah holding 20 menit

di 95oC (BU)

608,00 479,00 Viskositas pada 50 oC (BU) 970,00 910,00 Viskositas setelah holding 20 menit

di 50 oC (BU)

1.280,00 1.075,00 Breakdown (BU) 4,00 - Setback (BU) 315,00 525,00

Keterangan : Breakdown (BU) = Perubahan viskositas selama pemanasan atau Viskositas maksimum – Viskositas pada 95oC Setback (BU) = Perubahan viskositas selama pendinginan atau

Viskositas pada 50 oC – Viskositas pada 95oC

Tabel 15. Data profil gelatinisasi tepung jagung native dan HMT pada penelitian Lestari (2009) menggunakan Rapid Visco Analyzer (RVA)

Data Profil Gelatinisasi Tepung Jagung Native

Tepung Jagung HMT

Suhu awal gelatinisasi (oC) 76.37 + 0.89 b 83.97 + 0.06 a Waktu awal gelatinisasi (menit) 5.00 + 0.00 b 5.80 + 0.23 a Viskositas maksimum (cP) 1334.00 + 15.59 a 636.00 + 81.41 b Viskositas akhir (cP) 1835.33 + 30.60 a 771.00 + 95.26 b Breakdown (cP) 362.00 + 20.78 a 26.67 + 12.70 b Setback (cP) 863.00 + 35.80 a 161.67 + 26.56 b

34 Peningkatan ini terjadi karena selama proses modifikasi terbentuk ikatan baru yang lebih kompleks antara amilosa pada bagian amorpous dengan amilopektin pada bagian kristalin, sehingga menghasilkan formasi kristalin baru yang memiliki ikatan lebih kuat dan rapat (Takahashi et al 2005). Terbentuknya ikatan baru yang lebih kompleks ini diharapkan dapat meningkatkan kekompakan mi jagung sehingga tidak mudah putus dan lebih elastis setelah direhidrasi.

Penelitian-penelitian lain menunjukkan bahwa perlakuan modifikasi HMT dapat menyebabkan peningkatan suhu awal gelatinisasi pada pati ubi jalar (Collado et al 2001), pati jagung (Pukkahuta et al 2008), dan tepung beras (Takahashi et al 2005). Terbentuknya formasi kristalin dengan struktur yang lebih kuat dan rapat menyebabkan pati membutuhkan suhu yang lebih tinggi untuk menyerap air. Menurut Jacobs et al (1998), bagian amorpous pati lebih mudah menyerap air karena memiliki struktur yang lebih renggang.

Viskositas maksimum atau viskositas puncak menunjukkan kondisi pengembangan maksimum granula pati yang selanjutnya akan pecah dan menurunkan viskositas. Viskositas maksimum terlihat pada grafik profil gelatinisasi, yaitu viskositas tertinggi sesaat sebelum mengalami penurunan viskositas. Viskositas maksimum tepung jagung native sebesar 659,00 BU, sedangkan pada tepung jagung HMT tidak terdapat viskositas maksimum. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan HMT pada tepung jagung menyebabkan penurunan kemampuan pati untuk mengembang. Selain itu, dapat juga mengindikasikan penurunan polimer yang lepas selama pemanasan. Berdasarkan Newport Scientific (1998) yang dikutip oleh Beta dan Corke (2001), bahwa viskositas maksimum mengindikasikan kapasitas pengikatan air dan memiliki korelasi negatif dengan kualitas produk akhir yaitu pengembangan dan jumlah polimer yang lepas.

Tepung jagung HMT tidak memiliki viskositas maksimum, sehingga dapat diindikasikan bahwa pada produk akhir akan terjadi penurunan jumlah polimer yang lepas. Hal ini terkait dengan parameter KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan) pada produk mi jagung dan diharapkan dengan adanya substitusi tepung jagung HMT dapat menurunkan KPAP mi jagung. Selain itu, diharapkan

35 pula terjadinya penurunan jumlah polimer yang lepas sehingga dapat menurunkan kelengketan mi jagung yang dihasilkan.

Breakdown atau penurunan viskositas selama pemanasan menunjukkan kestabilan pasta selama pemanasan, dimana semakin rendah breakdown maka pasta yang terbentuk akan semakin stabil serhadap panas (Widaningrum dan Purwani, 2006). Nilai Breakdown diperoleh dari viskositas maksimum dikurangi viskositas pada suhu 95oC. Breakdown tepung jagung native sebesar 4,00 BU, sedangkan tepung jagung HMT tidak memiliki breakdown.

Menurut Beta dan Corke (2001), breakdown memiliki korelasi positif dengan kualitas fisik mi sorgum yang dihasilkan yaitu kehilangan padatan selama pemasakan (KPAP). Nilai breakdown merupakan tingkat kestabilan granula pati selama pemanasan (Beta dan Corke, 2001) sehingga dengan tidak adanya nilai breakdown pada tepung jagung HMT diharapkan dapat meningkatkan kekompakan serta meningkatkan elastisitas mi jagung. Tekstur mi jagung yang kompak atau tidak hancur selama pemasakan diharapkan dapat menghasilkan mi dengan KPAP dan kelengketan yang rendah dan lebih elastis.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Collado dan Corke (1997) pada pembuatan mi pati ubi jalar native, pati yang memiliki rasio stabilitas (viskositas pada 95oC/viskositas pada 50 oC) lebih tinggi secara signifikan dan berkorelasi tinggi terhadap tingkat kekerasan mi yang dimasak. Selain itu, mi yang dibuat dari pati ubi jalar HMT menghasilkan produk mi yang tidak keras. Menurut Mestres et al (1988), mi yang terbuat dari pati adalah pati yang teretrogradasi, sehingga pati yang mengalami retrogradasi lebih cepat (ditunjukkan dengan nilai setback yang tinggi) merupakan yang lebih baik untuk produk mi.

Viskositas setback menunjukkan tingkat kecenderungan proses retrogadasi pasta pati. Menurut Winarno (2004), retrogradasi merupakan proses terbentuknya jaringan mikrokristal dari molekul-molekul amilosa yang berikatan kembali satu sama lain atau dengan percabangan amilopektin di luar granula setelah pasta didinginkan. Nilai setback yang semakin tinggi menunjukkan semakin tinggi kecenderungan terjadinya retrogradasi. Nilai setback tepung jagung native sebesar 315,00 BU, sedangkan tepung jagung HMT sebesar 525,00 BU. Peningkatan nilai ini diharapkan dapat memperbaiki karakteristik mi jagung yang disubstitusi

36 dengan tepung jagung HMT, yaitu pada atribut kekerasan. Substitusi tepung jagung HMT diharapkan dapat menurunkan tingkat kekerasan mi jagung.

B. PENGARUH PENGUKUSAN ADONAN TERHADAP KUALITAS MI

JAGUNG

Pembuatan mi jagung 100% membutuhkan tambahan proses yaitu pengukusan sebagian adonan (70% bagian) sebelum dilakukan pembentukan lembaran mi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2009), pengukusan sebagian adonan dilakukan pada suhu 90oC selama 15 menit dan substitusi tepung jagung HMT sebesar 10% dari jumlah tepung jagung yang digunakan. Kondisi pengukusan adonan merupakan proses yang kritis. Berdasarkan Putra (2008), apabila rasio adonan dan waktu pengukusan tidak sesuai maka tidak akan terbentuk adonan mi yang kompak dan tidak dapat dibuat menjadi mi.

Substitusi tepung jagung HMT seperti terlihat pada Tabel 16, memberikan pengaruh positif terhadap kualitas adonan, antara lain adonan menjadi tidak lengket dan penanganan adonan menjadi lebih mudah. Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa kualitas adonan formula 1, 2 dan 3 tidak memiliki perbedaan yang nyata. Oleh karena itu, formula yang dipilih adalah formula 1 atau adonan yang dikukus tidak disubstitusi dengan tepung jagung HMT, pengaplikasian tepung jagung HMT dilakukan pada pencampuran kering dengan bagian tepung jagung yang tidak dikukus. Pertimbangan dari pemilihan formula ini adalah kemudahan proses produksi. Formula ini digunakan untuk penentuan kondisi proses selanjutnya, yaitu pada penentuan rentang waktu pengukusan. Visualisasi mi jagung kontrol, formula 1, 2, dan 3 dapat dilihat pada Gambar 6.

Pembentukan adonan mi menjadi tidak lengket, lebih elastis dan tidak mudah retak setelah disubstitusi dengan tepung jagung HMT. Adonan menjadi tidak lengket karena proses modifikasi HMT menyebabkan tepung jagung tidak memiliki viskositas maksimum. Seperti telah dipaparkan sebelumnya bahwa viskositas maksimum berkorelasi positif dengan kualitas produk akhir yaitu pengembangan dan jumlah polimer yang lepas (Newport Scientific, 1998). Hal inilah yang menyebabkan penurunan jumlah polimer yang lepas dan berakibat pada penurunan kelengketan adonan.

37 Tabel 16. Pengaruh rasio tepung jagung HMT yang dikukus terhadap kualitas

adonan

Rasio Adonan yang Dikukus Kualitas Adonan Kontrol

(Mi jagung native)

Pembentukan adonan agak lengket Lembaran adonan agak mudah patah Pemotongan mi agak lengket pada alat Hasil mi basah agak belum matang Mi basah mudah putus

Formula 1

(Mi jagung HMT tidak dikukus)

Pembentukan adonan tidak lengket Penanganan adonan lebih mudah Pemotongan mi tidak lengket Adonan lebih elastis dari kontrol Mi basah matang

Formula 2

(Mi jagung HMT sebagian dikukus)

Pembentukan adonan tidak lengket Penanganan adonan lebih mudah Pemotongan mi tidak lengket Adonan lebih elastis dari kontrol Mi basah matang

Formula 3

(Mi jagung HMT dikukus)

Pembentukan adonan tidak lengket Penanganan adonan lebih mudah Pemotongan mi sedikit lengket Adonan lebih elastis dari kontrol Mi basah matang

a b

c d

Gambar 6. Visualisasi mi basah jagung dengan variasi bagian adonan yang dikukus [a] Kontrol (Mi jagung native); [b] Formula 1 (Mi

jagung HMT tidak dikukus); [c] Formula 2 (Mi jagung HMT sebagian kukus); [d] Formula 3 (Mi jagung HMT dikukus)

38 Adonan mi jagung setelah disubstitusi tepung jagung HMT juga menjadi lebih elastis dan tidak mudah retak. Peningkatan elastisitas dan kekompakan adonan ini dipengaruhi oleh tepung jagung HMT karena selama proses modifikasi terbentuk ikatan baru yang lebih kompleks antara amilosa pada bagian kristalin dengan amilopektin pada bagian amorpous, sehingga menghasilkan formasi kristalin baru yang memiliki ikatan lebih kuat dan rapat (Takahashi et al 2005).

Selain rasio adonan yang dikukus, titik kritis lain pada proses pengukusan adonan adalah waktu pengukusan. Tabel 17 menunjukkan pengaruh waktu pengukusan terhadap sifat adonan yang diamati secara visual. Seperti telah dipaparkan sebelumnya, bahwa pada pembuatan mi jagung 100%, waktu pengukusan adonan dilakukan selama 15 menit. Setelah dilakukan pengukusan, adonan dicampur dengan bagian adonan yang tidak dikukus, kemudian dilakukan penggilingan dan dibentuk menjadi lembaran mi.

Pengukusan adonan bertujuan menggelatinisasi sebagian pati dan akan membantu mengikat adonan serta mempermudah pembentukan lembaran mi (Putra, 2008). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Putra (2008) menunjukkan bahwa pengukusan adonan dilakukan selama 15 menit, apabila waktu pengukusan lebih pendek akan membuat adonan menjadi mudah patah dan sebaliknya jika waktu pengukusan lebih panjang akan membuat adonan menjadi lengket dan tidak dapat dibuat lembaran.

Tabel 17. Pengaruh waktu pengukusan terhadap sifat adonan Waktu

(menit) Sifat Adonan (secara visual)

13 Adonan agak kurang matang, agak rapuh sehingga agak sulit membentuk lembaran, lembaran yang terbentuk agak pecah-pecah

14 Adonan tidak lengket, lembaran yang terbentuk plastis sehingga dapat direduksi ukurannya

15 Adonan tidak lengket, lembaran yang terbentuk plastis sehingga dapat direduksi ukurannya

16 Adonan tidak lengket, lembaran yang terbentuk plastis sehingga dapat direduksi ukurannya

17 Adonan agak lengket pada roller mesin sheeting, lembaran agak sulit ditipiskan

39 Akan tetapi, substitusi tepung jagung HMT seperti terlihat pada Tabel 17, memberikan pengaruh pada waktu pengukusan, yaitu waktu pengukusan adonan menjadi lebih panjang dan adonan masih dapat ditangani serta dapat dibentuk menjadi lembaran mi. Substitusi tepung jagung HMT ini memudahkan proses produksi mi jagung, yaitu pengukusan adonan dapat dilakukan selama 14-16 menit. Waktu pengukusan adonan dapat lebih panjang karena proses modifikasi HMT dapat mencegah penyerapan air lebih banyak dan adonan menjadi tidak lengket walaupun waktu pengukusan menjadi lebih lama. Hal ini ditunjukkan dengan karateristik tepung jagung HMT, seperti telah dipaparkan sebelumnya memiliki suhu awal gelatinisasi yang lebih tinggi, sehingga lebih tahan terhadap panas dan membutuhkan suhu yang lebih tinggi untuk dapat menggelatinisasi pati jagung.

1. Analisis Sifat Fisik Mi Jagung

Analisis ini mencakup pengukuran waktu pemasakan optimum, pengukuran tekstur kekerasan, kekenyalan dan kelengketan mi setelah dimasak menggunakan alat Texture Analyzer TAXT-2, pengukuran persentase elongasi setelah dimasak, pengukuran KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan), dan uji organoleptik meliputi uji rating atribut kekerasan, kekenyalan dan kelengketan mi setelah dimasak dengan panelis terlatih.

a. Waktu Pemasakan Optimum

Waktu pemasakan optimum mi basah jagung native dan HMT adalah 30 detik, sedangkan mi kering jagung native dan HMT adalah 3 menit 30 detik. Waktu pemasakan mi jagung basah lebih singkat karena telah mengalami pematangan dengan pengukusan, sedangkan mi kering jagung mengalami proses pengeringan sehingga membutuhkan waktu pemasakan atau rehidrasi yang lebih panjang.

b. Analisis Profil Tekstur

Analisis profil tekstur dari mi jagung dilakukan menggunakan alat Texture Analyzer TAXT-2 sehingga dapat diperoleh data mengenai kekerasan, kekenyalan

40 dan kelengketan mi. Gambar 7 menunjukkan nilai kekerasan mi basah jagung, sedangkan Gambar 8 menunjukkan nilai kekerasan mi kering jagung. Seperti terlihat pada kedua grafik tersebut, nilai kekerasan mi basah jagung dan mi kering jagung mengalami penurunan setelah disubstitusi dengan tepung jagung HMT. Nilai kekerasan mi basah jagung native sebesar 1307,75 gf menurun menjadi 1110,88 gf setelah disubstitusi dengan tepung jagung HMT. Begitu pula dengan mi kering, sebelum disubstitusi dengan tepung jagung HMT, nilai kekerasannya mencapai 2042,78 gf dan menurun menjadi 1605,33 gf setelah proses substitusi dilakukan. Nilai kekerasan ini menurun secara nyata setelah diuji dengan uji

Dokumen terkait