• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Tepung Jagung HMT

Jagung merupakan tanaman serealia yang memiliki profil gelatinisasi pati tipe B. Profil gelatinisasi tipe B ditandai dengan kemampuan pengembangan yang sedang dengan viskositas puncak yang tinggi serta memiliki breakdown (penurunan viskositas selama pemanasan) yang tidak terlalu tajam (Collado et al, 2001). Sifat fungsional pati sangat menentukan kualitas mi yang dihasilkan. Hal ini disebabkan sifat fungsional pati berkaitan erat dengan pembentukan adonan (reologi) dan kualitas tekstur mi. Menurut Lii dan Chang (1981) didalam Collado et al (2001), pati yang ideal untuk dibuat menjadi produk mi adalah pati yang memiliki pengembangan dan solubility yang terbatas dan memiliki profil gelatinisasi tipe C.

Selain itu, menurut Chen et al (2003), karakteristik pati yang baik untuk diaplikasikan menjadi produk mi adalah pati dengan viskositas puncak yang rendah, stabil terhadap panas dan pengadukan bahkan cenderung mengalami peningkatan selama pemanasan serta memiliki viskositas yang tinggi pada suhu rendah (Tam et al, 2004). Mi yang dihasilkan dari pati dengan karakteristik tersebut memiliki nilai kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) yang rendah, untaian mi yang kompak dan elastis serta kelengketan yang rendah (Purwani et al, 2006).

Mi yang dibuat dari tepung jagung native (alami atau sebelum dimodifikasi) memiliki beberapa kelemahan, yaitu mi basah jagung yang mudah putus dan kurang kenyal, dan mi kering jagung yang keras dan mudah patah/rapuh sebelum direhidrasi dan mudah putus, keras, kurang kenyal, lengket serta memiliki kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) yang tinggi setelah direhidrasi. Oleh karena itu, aplikasi tepung jagung HMT diharapkan dapat memperbaiki kelemahan yang dimiliki mi jagung.

Modifikasi dengan teknik Heat Moisture Treatment (HMT) dapat mengubah profil gelatinisasi tepung jagung menjadi tipe C. Profil gelatinisasi tipe C ditandai dengan kemampuan pengembangan terbatas yang ditunjukkan dengan tidak adanya viskositas puncak dan viskositas tidak mengalami penurunan bahkan

32 meningkat selama pemanasan. Teknik Heat Moisture Treatment (HMT) merupakan teknik modifikasi pati secara fisik, yaitu dengan pemanasan di atas suhu gelatinisasi bahan selama periode waktu tertentu dan pada kadar air yang terkendali. Kondisi modifikasi tepung jagung berdasarkan hasil penelitian Lestari (2009), yaitu pada suhu 110oC selama 6 jam dan pada kadar air 24%.

Grafik hasil pengukuran profil gelatinisasi tepung jagung native (alami atau sebelum dimodifikasi) dan setelah dimodifikasi dapat dilihat pada Gambar 5, sedangkan data profil gelatinisasi tertera pada Tabel 14. Pengukuran profil gelatinisasi dilakukan dengan menggunakan alat Brabender Amilograph. Profil gelatinisasi yang diamati antara lain suhu awal gelatinisasi, viskositas maksimum, kestabilan viskositas selama pemanasan atau breakdown, dan perubahan viskositas selama pendinginan atau setback. Konsentrasi padatan suspensi tepung jagung untuk pengukuran profil gelatinisasi ini adalah 8,87% (b/v) untuk tepung jagung native dan 9,01% (b/v) untuk tepung jagung HMT. Tabel 15. Menunjukkan data profil gelatinisasi tepung jagung HMT pada penelitian Lestari (2009). Konsentrasi padatan suspensi tepung jagung untuk pengukuran profil gelatinisasi pada penelitian tersebut adalah 9,91% (b/b) untuk tepung jagung native dan 10,01% (b/b) untuk tepung jagung HMT.

Terdapat perbedaan antara data profil gelatinisasi pada penelitian ini dan penelitian yang dilakukan Lestari (2009), antara lain pada suhu awal gelatinisasi, dan nilai setback. Suhu awal gelatinisasi tepung jagung native dan HMT pada penelitian ini lebih rendah dan nilai setback pada penelitian ini mengalami peningkatan, sedangkan pada penelitian yang dilakukan Lestari (2009) mengalami penurunan.

Suhu awal gelatinisasi merupakan suhu saat granula pati mulai menyerap air, pada grafik profil gelatinisasi terlihat jika viskositas mulai meningkat. Suhu awal gelatinisasi tepung jagung HMT (79,50oC) lebih tinggi daripada tepung jagung native (74,25 oC). Hal ini menunjukkan bahwa tepung jagung HMT lebih tahan terhadap panas, sehingga butuh suhu yang lebih tinggi untuk dapat menggelatinisasi pati jagung tersebut. Takahashi et al (2005) menyatakan bahwa proses modifikasi HMT akan menyebabkan pergeseran (peningkatan) suhu awal gelatinisasi dan suhu gelatinisasi.

33 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 -200 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 V is k os it as ( B U ) Waktu (Menit) Viskositas HMT Viskositas NATIVE Suhu S u h u ( C)

Gambar 5. Profil gelatinisasi tepung jagung native dan HMT Tabel 14. Data profil gelatinisasi tepung jagung native dan HMT

Data Profil Gelatinisasi Tepung Jagung Native

Tepung Jagung HMT

Suhu awal gelatinisasi (oC) 74,25 79,50 Waktu awal gelatinisasi (menit) 29,50 33,00 Viskositas maksimum (BU) 659,00 - Suhu saat mencapai viskositas

maksimum (oC)

93,75 - Viskositas pada 95oC (BU) 655,00 385,00 Viskositas setelah holding 20 menit

di 95oC (BU)

608,00 479,00 Viskositas pada 50 oC (BU) 970,00 910,00 Viskositas setelah holding 20 menit

di 50 oC (BU)

1.280,00 1.075,00 Breakdown (BU) 4,00 - Setback (BU) 315,00 525,00

Keterangan : Breakdown (BU) = Perubahan viskositas selama pemanasan atau Viskositas maksimum – Viskositas pada 95oC Setback (BU) = Perubahan viskositas selama pendinginan atau

Viskositas pada 50 oC – Viskositas pada 95oC

Tabel 15. Data profil gelatinisasi tepung jagung native dan HMT pada penelitian Lestari (2009) menggunakan Rapid Visco Analyzer (RVA)

Data Profil Gelatinisasi Tepung Jagung Native

Tepung Jagung HMT

Suhu awal gelatinisasi (oC) 76.37 + 0.89 b 83.97 + 0.06 a Waktu awal gelatinisasi (menit) 5.00 + 0.00 b 5.80 + 0.23 a Viskositas maksimum (cP) 1334.00 + 15.59 a 636.00 + 81.41 b Viskositas akhir (cP) 1835.33 + 30.60 a 771.00 + 95.26 b Breakdown (cP) 362.00 + 20.78 a 26.67 + 12.70 b Setback (cP) 863.00 + 35.80 a 161.67 + 26.56 b

34 Peningkatan ini terjadi karena selama proses modifikasi terbentuk ikatan baru yang lebih kompleks antara amilosa pada bagian amorpous dengan amilopektin pada bagian kristalin, sehingga menghasilkan formasi kristalin baru yang memiliki ikatan lebih kuat dan rapat (Takahashi et al 2005). Terbentuknya ikatan baru yang lebih kompleks ini diharapkan dapat meningkatkan kekompakan mi jagung sehingga tidak mudah putus dan lebih elastis setelah direhidrasi.

Penelitian-penelitian lain menunjukkan bahwa perlakuan modifikasi HMT dapat menyebabkan peningkatan suhu awal gelatinisasi pada pati ubi jalar (Collado et al 2001), pati jagung (Pukkahuta et al 2008), dan tepung beras (Takahashi et al 2005). Terbentuknya formasi kristalin dengan struktur yang lebih kuat dan rapat menyebabkan pati membutuhkan suhu yang lebih tinggi untuk menyerap air. Menurut Jacobs et al (1998), bagian amorpous pati lebih mudah menyerap air karena memiliki struktur yang lebih renggang.

Viskositas maksimum atau viskositas puncak menunjukkan kondisi pengembangan maksimum granula pati yang selanjutnya akan pecah dan menurunkan viskositas. Viskositas maksimum terlihat pada grafik profil gelatinisasi, yaitu viskositas tertinggi sesaat sebelum mengalami penurunan viskositas. Viskositas maksimum tepung jagung native sebesar 659,00 BU, sedangkan pada tepung jagung HMT tidak terdapat viskositas maksimum. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan HMT pada tepung jagung menyebabkan penurunan kemampuan pati untuk mengembang. Selain itu, dapat juga mengindikasikan penurunan polimer yang lepas selama pemanasan. Berdasarkan Newport Scientific (1998) yang dikutip oleh Beta dan Corke (2001), bahwa viskositas maksimum mengindikasikan kapasitas pengikatan air dan memiliki korelasi negatif dengan kualitas produk akhir yaitu pengembangan dan jumlah polimer yang lepas.

Tepung jagung HMT tidak memiliki viskositas maksimum, sehingga dapat diindikasikan bahwa pada produk akhir akan terjadi penurunan jumlah polimer yang lepas. Hal ini terkait dengan parameter KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan) pada produk mi jagung dan diharapkan dengan adanya substitusi tepung jagung HMT dapat menurunkan KPAP mi jagung. Selain itu, diharapkan

35 pula terjadinya penurunan jumlah polimer yang lepas sehingga dapat menurunkan kelengketan mi jagung yang dihasilkan.

Breakdown atau penurunan viskositas selama pemanasan menunjukkan kestabilan pasta selama pemanasan, dimana semakin rendah breakdown maka pasta yang terbentuk akan semakin stabil serhadap panas (Widaningrum dan Purwani, 2006). Nilai Breakdown diperoleh dari viskositas maksimum dikurangi viskositas pada suhu 95oC. Breakdown tepung jagung native sebesar 4,00 BU, sedangkan tepung jagung HMT tidak memiliki breakdown.

Menurut Beta dan Corke (2001), breakdown memiliki korelasi positif dengan kualitas fisik mi sorgum yang dihasilkan yaitu kehilangan padatan selama pemasakan (KPAP). Nilai breakdown merupakan tingkat kestabilan granula pati selama pemanasan (Beta dan Corke, 2001) sehingga dengan tidak adanya nilai breakdown pada tepung jagung HMT diharapkan dapat meningkatkan kekompakan serta meningkatkan elastisitas mi jagung. Tekstur mi jagung yang kompak atau tidak hancur selama pemasakan diharapkan dapat menghasilkan mi dengan KPAP dan kelengketan yang rendah dan lebih elastis.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Collado dan Corke (1997) pada pembuatan mi pati ubi jalar native, pati yang memiliki rasio stabilitas (viskositas pada 95oC/viskositas pada 50 oC) lebih tinggi secara signifikan dan berkorelasi tinggi terhadap tingkat kekerasan mi yang dimasak. Selain itu, mi yang dibuat dari pati ubi jalar HMT menghasilkan produk mi yang tidak keras. Menurut Mestres et al (1988), mi yang terbuat dari pati adalah pati yang teretrogradasi, sehingga pati yang mengalami retrogradasi lebih cepat (ditunjukkan dengan nilai setback yang tinggi) merupakan yang lebih baik untuk produk mi.

Viskositas setback menunjukkan tingkat kecenderungan proses retrogadasi pasta pati. Menurut Winarno (2004), retrogradasi merupakan proses terbentuknya jaringan mikrokristal dari molekul-molekul amilosa yang berikatan kembali satu sama lain atau dengan percabangan amilopektin di luar granula setelah pasta didinginkan. Nilai setback yang semakin tinggi menunjukkan semakin tinggi kecenderungan terjadinya retrogradasi. Nilai setback tepung jagung native sebesar 315,00 BU, sedangkan tepung jagung HMT sebesar 525,00 BU. Peningkatan nilai ini diharapkan dapat memperbaiki karakteristik mi jagung yang disubstitusi

36 dengan tepung jagung HMT, yaitu pada atribut kekerasan. Substitusi tepung jagung HMT diharapkan dapat menurunkan tingkat kekerasan mi jagung.

Dokumen terkait