• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5. PEMBAHASAN

5.2 Analisis Pemahaman Pengambil Keputusan

Hasil penelitian melalui wawancara langsung dengan bidan desa dan beberapa pengurus desa siaga (kader dan tokoh masyarakat) menyatakan bahwa peran kepala desa/lurah sangat penting dalam menggerakkan kegiatan desa siaga aktif ini. Artinya perangkat desa harus siap mengajak semua masyarakat untuk berpartisipasi dalam setiap upaya kesehatan yang dilakukan desa. Hal ini terbukti dengan kelengkapan perangkat desa siaga aktif pada masing – masing desa. Hal tersebut tidak mungkin terwujud tanpa melibatkan berbagai pemangku kepentingan yang bertemu dan berdikusi secara rutin. Pengambil keputusan dan pelaksana dapat memilih pendekatan yang terbaik sesuai dengan kondisi desa masing – masing dan tentu berimplikasi pada biaya. Hasil pengamatan terhadap seluruh Surat Keputusan masing – masing Kepala Desa/Lurah tentang pembentukan pengurus desa siaga, umumnya mereka berpendidikan menengah keatas dan berpengalaman.

Berbeda sekali halnya dengan pengambil keputusan pada tataran Pemerintah Kabupaten Langkat yang seluruhnya berpendidikan tinggi. Hasil wawancara kepada 10 responden yang dipilih secara purpossive, dibedakan atas dua kelompok, yaitu kelompok dalam (Kepala Dinkes, Kabid. PKLM, Kasie.

Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Peran Serta Masyaraka dan pemegang program desa siaga) dan kelompok luar (Asisten II, Komisi II DPRD Langkat dan TAPD). Kedua kelompok sepakat dengan adanya pengembangan program desa siaga aktif di Kabupaten Langkat. Mereka juga berkomitmen untuk meningkatkan jumlah capaian desa siaga aktif pada tahun 2012 dan seterusnya dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat desa. Setelah peneliti menjelaskan beberapa komponen penting desa siaga, sepenuhnya mereka mendukung pengembangan program ini termasuk dalam hal penganggaran melalui APBD. Mereka juga sepakat dengan luasnya manfaat yang diterima dengan pengembangan program ini. Salah satunya adalah dapat meringankan beban dan biaya masyarakat/pemerintah dalam menangani masalah kesehatan, yang terpenting Dinas Kesehatan dapat bekerja fokus untuk kesehatan masyarakat. Pembangunaan kesehatan merupakan program prioritas disamping pendidikan dan pengentasan kemiskinan di Kabupaten Langkat.

Kelompok dalam juga menyampaikan bahwa mereka akan berusaha terus untuk meningkatkan capaian desa siaga aktif tahun ini dan tahun – tahun berikutnya. Pembangunan Poskesdes dan pengadaan Poskesdes kit-nya akan terus ditingkatkan. Proses advokasi anggaran pernah dilakukan, tapi masih bersifat fisik, dan belum pernah dilakukan advokasi untuk biaya operasional pengembangan desa siaga yang sudah terbentuk. Sehingga wajar kalau desa siaga aktif belum maksimal dikembangkan di Kabupaten Langkat, padahal dukungan dan sikap positif sudah diberikan oleh pengambil keputusan dari kelompok luar.

Peneliti melihat bahwa kedua kelompok ini belum memiliki kesefahaman khususnya tentang pengembangan program desa siaga aktif. Kelompok luar juga menegaskan, mereka membutuhkan penjelasan atau justifikasi yang lengkap agar program ini dapat didukung sepenuhnya. Tentu hal ini menjadi jalan terang bagi Dinas Kesehatan untuk mengatur strategi dalam melakukan percepatan untuk mengembangkan program ini sehingga dapat memenuhi target 80 % desa di Kabupaten Langkat dapat menjadi siaga aktif pada tahun 2015 mendatang. Dinas Kesehatan juga dapat melakukan penekanan public policy seperti yang ditunjukkan oleh model pendekatan Grossman dengan mengedepankan perlunya penyediaan informasi kesehatan yang memadai bagi masyarakat melalui pengembangan program desa siaga aktif ini.

5.3 Analisis Biaya Pengembangan Program Desa Siaga Aktif di Kabupaten Langkat Tahun 2007 – 2011

Analisis biaya ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi dan mengukur seluruh biaya yang dikeluarkan untuk mengoperasionalkan desa siaga aktif, baik yang bersifat langsug maupun tidak langsung. Hasil penelitian pada tabel 4.12 menunjukkan bahwa total biaya yang diperlukan dalam mengembangkan 10 desa siaga aktif di Kabupaten Langkat selama 5 tahun (2007 – 2011) berjumlah Rp. 1.051.951.200,00. Biaya langsung berjumlah Rp. 1.048.951.200,00 sedangkan biaya tidak langsung hanya berjumlah Rp. 3.000.000,00. Minimnya biaya tidak langsung ini karena peneliti hanya mendapatkan data hitungan kasar dari bidan desa dan sedikit sekali bidan desa yang melakukan pencatatan terhadap biaya ini.

93,4 % (Rp. 897.500.000) dari total biaya tersebut digunakan untuk pembangunan Poskesdes dan pengadaan Poskesdes Kit sedangkan 6,6 % lainnya digunakan untuk kegiatan operasional desa siaga aktif. Di samping itu juga terdapat Rp.90.462.000,00 yang bersumber dana dari masyarakat. Biaya inilah yang dimanfaatkan masyarakat sebagai dana bergulir untuk seluruh keperluan kegiatan dan operasional Poskesdes karena bantuan pemerintah hanya untuk pembangunan fisiknya saja. Grafik 5.1 memperlihatkan bahwa biaya terbesar dikeluarkan pada tahun 2009, hal ini karena pada tahun tersebut dilakukan pembangunan Poskesdes sebanyak 5 unit dan melengkapi 9 paket Poskesdes kit pada 10 desa siaga aktif.

Grafik 5.1 Biaya Pengembangan Program Desa Siaga Aktif di Kabupaten Langkat Tahun 2007 – 2011

Grafik 5.2 Biaya Pengembangan Program Desa Siaga Aktif pada Masing – masing Desa di Kabupaten Langkat Tahun 2007 – 2011

Grafik 5.2 memperlihatkan bahwa jumlah biaya yang dikeluarkan pemerintah dan masyarakat masing – masing desa dalam pengembangan ini sangat bervariasi. 7 desa yang menerima pembangunan Poskesdes memiliki jumlah biaya yang hampir sama yaitu diatas Rp. 130.000.000,00, dan yang paling banyak adalah Desa Pulau Banyak (Rp.164.277.000,00), sedangkan 3 desa lainnya belum menerima pembangunan Poskesdes, jadi dananya masih dibawah Rp. 100.000.000,00 dan yang paling sedikit adalah Desa Padang Cermin, hanya Rp. 8.562.000,00.

Hasil penelitian ini sejalan dengan perhitungan Sofiarini dan Goeman (2009) yang menganalisis biaya desa siaga di NTT dan NTB selama tahun 2006 – 2009. Persentase biaya untuk pembentukan konsep lebih besar dari pada biaya operasional untuk mempertahankan keberlangsungan fungsi desa siaga, namun

secara persentase jauh berbeda. Hal ini tentu dikarenakan sumber dana dan karakteristik masing – masing desa siaga yang dibangun juga berbeda.

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Taufik Noor, dkk.(2007), dimana pemerintah juga membangun dan memberikan dana operasional untuk pengembangan desa siaga melalui posyandu bahkan disediakan juga dana untuk penguatan ekonomi kader sebesar Rp. 250.000,00. Makkasau dengan advokasinya terhadap nilai ekonomi yang hilang akibat 10 besar penyakit di Ternate, mampu meyakinkan Walikota dan pejabat strategis lainnya untuk menganggarkan seluruh biaya pembentukan dan operasional 23 kelurahannya menjadi siaga aktif melalui APBD.

Perhitungan terpisah juga dilakukan peneliti terhadap biaya implementasi satu desa siaga aktif di Kabupaten Langkat selama satu tahun pertama dengan melengkapi seluruh perangkat dan keperluan yang dibutuhkan, sekitar Rp. 130.000.000,00. Disamping itu masih diperlukan bantuan dana operasional sekitar Rp. 2.000.000,00 pertahun perdesa untuk menghidupkan fungsi desa siaga. Dalam waktu 2 – 3 tahun, peneliti yakin program ini sudah mandiri bersama masyarakat.

Sehingga kalau perencanaan tersebut matang, Dinas Kesehatan hanya butuh dana Rp.37.395.000.000,- untuk mengaktifkan 277 desa/kelurahan siaga yang ada di

Kabupaten Langkat dan pembagiannya dapat disesuaikan dengan rencana strategis yang dijalankan. Pengelompokan dana – dana tersebut dapat dilakukan secara bergulir, sehingga tidak menjadi belanja modal yang permanen bagi Dinas Kesehatan dalam pengajuan APBD. Pengurangan biaya total juga sangat

dimungkinkan jika seluruh elemen masyarakat dapat bersinergi dan berpartisipasi aktif, terutama dengan adanya bantuan/mitra dunia usaha yang berkembang di desa masing – masing atau memanfaatkan bantuan dari luar negeri seperti di NTT dan NTB tahun 2006 – 2009.

5.4 Analisis Manfaat Pengembangan Program Desa Siaga Aktif di

Dokumen terkait