• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Biaya Manfaat Pengembangan Program Desa Siaga Aktif di Kabupaten Langkat Tahun 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Biaya Manfaat Pengembangan Program Desa Siaga Aktif di Kabupaten Langkat Tahun 2012"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS BIAYA MANFAAT PENGEMBANGAN PROGRAM DESA SIAGA AKTIF DI KABUPATEN LANGKAT

TAHUN 2012

T E S I S

Oleh

SITI FATIMAH 097032125/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

THE ANALYSIS OF COST BENEFIT IN DEVELOPING ACTIVE ALERT VILLAGES IN LANGKAT DISTRICT, IN 2012

THESIS

By

SITI FATIMAH 097032125/IKM

MAGISTER OF PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

ANALISIS BIAYA MANFAAT PENGEMBANGAN PROGRAM DESA SIAGA AKTIF DI KABUPATEN LANGKAT

TAHUN 2012

T E S I S

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Mendapatkan Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) Dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

SITI FATIMAH 097032125/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(4)

Judul Tesis : ANALISIS BIAYA MANFAAT

PENGEMBANGAN PROGRAM DESA SIAGA AKTIF DI KABUPATEN LANGKAT TAHUN 2012

Nama Mahasiswa : Siti Fatimah Nomor Induk Mahasiswa : 097032125

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

Dr. Juanita, S.E, M.Kes Ketua

Siti Khadijah Nasution, S.K.M, M.Kes Anggota

Dekan

Dr. Drs. Surya Utama, M.S

(5)

Telah diuji

Pada Tanggal : 31 Agustus 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Juanita, S.E, M.Kes

Anggota : 1. Siti Khadijah Nasution, S.K.M, M.Kes

(6)

PERNYATAAN

ANALISIS BIAYA MANFAAT PENGEMBANGAN PROGRAM DESA SIAGA AKTIF DI KABUPATEN LANGKAT

TAHUN 2012

T E S I S

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan orang lain untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu Perguruan Tinggi dan sepengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Oktober 2012

(7)

ABSTRAK

Desa siaga aktif adalah desa yang masyarakatnya memiliki kemauan, kemampuan, kemandirian dalam mengatasi masalah kesehatan. Sejak tahun 2006 pemerintah menekankan upaya promosi kesehatan melalui program desa siaga dan menetapkan tahun 2015 sebanyak 80 % desa telah menjadi desa/keluarahn siaga aktif dengan berpedoman pada Keputusan Menteri Kesehatan No. 1529/Menkes/SK/X/2010. Pada tahun 2010, seluruh desa di Kabupaten Langkat sudah menjadi desa siaga dengan bantuan dana pembentukan dari pusat, namun yang aktif hanya 10 desa (3,61%). Maka perlu dilakukan evaluasi terhadap program tersebut dengan analisis biaya manfaat (cost benefit analisis) guna mengoptimalkan advokasi terkait kebijakan dan penyediaan anggarannya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemahaman pengambil keputusan tentang pengembangan desa siaga aktif, mengetahui perbandingan manfaat terhadap biaya yang dikeluarkan dan menyiapkan bahan untuk advokasi anggaran. Manfaat yang diharapkan dapat memberi masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Langkat, menambah referensi ilmiah tentang evaluasi ekonomi kesehatan dan mengembangkan keilmuan dalam bidang kesehatan masyarakat.

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian evaluasi terhadap 10 desa siaga aktif yang ada di Kabupaten Langkat dan 10 pengambil keputusan yang dipilih secara purposive. Data yang digunakan meliputi data primer dan data sekunder. Metode pengukuran yang dipilih adalah perhitungan BCR, NPV dan IRR terhadap seluruh biaya dan manfaat yang sudah diidentifikasi sebelumnya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 10 desa siaga aktif tersebut memiliki kelengkapan administrasi dan operasional yang cukup dengan tahap pengembangan; 3 desa siaga Purnama, 5 desa siaga madya dan 2 desa siaga pratama. Seluruh pengambil keputusan memiliki komitmen yang baik dan mendukung pengembangan dan penganggarannya melalui APBD. Total biaya yang dikeluarkan untuk pengembangan program desa siaga aktif berjumlah Rp. 1.051.951.200,00, sedangkan nilai manfaat yang dapat diinvestasikan sejumlah Rp.2.207.406.200,00. Hasil perhitungan BCR adalah 2,20 dan 2,19 dengan discount rate 12% dan 15%., Hanya Desa Padang Cermin dan Telaga Jernih memiliki nilai BCR, NPV dan IRR yang sesuai dengan harapan. Dinas Kesehatan diharapkan bersikap proaktif dalam menyusun kebutuhan anggaran dengan justifikasi yang lengkap untuk Tahun Anggaran 2013 dan seterusnya agar pengembangan program desa siaga ini berhasil dengan baik.

(8)

ABSTRACT

An active alert village is a village in which its people have will, capability, and independency in solving health problem. Since 2006, the government has emphasized on health promotion through an alert village program and confirmed that in 2015, 80% of villages will be established as active alert villages guided by the Decree of the Minister of Health No. 1529/Menkes/SK/X/2010. In 2010, all villages in Langkat District became alert villages by the financial aid from the central government, but only 10% of them were active (3.61%). Therefore, it is necessary to evaluate the program by analyzing the cost benefit in order to optimize advocacy related to the policy and the provision of the budget.

The aim of the research was to understand the decision making in developing active alert villages, to know the correlation between benefit and the expense, and to prepare the budget for the advocacy of the budget. It was expected that they could provide input to the Health Service in Langkat District, increase scientific reference to the evaluation of health economy, and develop science in the field of public health.

The type of the research was the evaluation on ten active alert villages in Langkat District and ten sets of decision making which had been selected purposively. The data consisted of the primary and secondary data. The methods of measurement were BCR, NPV, and IRR calculations on all costs and benefit which had previously been identified.

The result of the research showed that the ten active alert villages had sufficient administrative and operational facilities with the development: three purnama alert villages, five madya alert villages, and two pratama alert villages. All sets of decision making had good commitment and supported the development, and their budget was from APBD (Regional Budget). The total expense for the development of active alert villages was Rp. 1,051,951,200.00 and the value of benefit which should be invested was Rp. 2,207,406.200,00. The result of BCR calculation was 2.20 and 2.19 with discount rate 12% and 15%. The Health Service should proactive in setting the budget with complete justification in order that the development of alert village program can run successfully.

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena hidayah dan kekuatan yang diberikanNya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul ”Analisis Biaya Manfaat Pengembangan Program Desa Siaga Aktif di Kabupaten Langkat Tahun 2012”.

Karya ini penulis persembahkan kepada ayahanda Hamzah Tanjung dan Wahyu Wagono, ibunda Faridah Hanim Lubis dan Nur’aini, suami tercinta Muhammad Husni, S.Pd.I dan permata hatiku Muhammad Rafa Alfarizqi. Ucapan terimakasih sekaligus permohonan maaf juga penulis sampaikan karena mereka adalah inspirator dan motivator yang senantiasa mendukung penulis dalam menjalani seluruh liku kehidupan ini.

Penulis juga menyampaikan ucapan terimakasih yang mendalam kepada : 1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku

Rektor Universitas Sumatera Utara

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

3. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

(10)

5. Dr. Khaira Amalia, S.E, Ak, M.B.A, MAPPI (Cert) dan Drs. Amru Nasution, M.Kes selaku komisis penguji tesis yang telah memberikan banyak masukan dan saran demi kesempurnaan tesis ini.

6. Seluruh Staf Pengajar dan Staf Administrasi yang telah memberikan pengajaran, bimbingan dan arahan serta bantuan selama mengikuti proses pendidikan.

7. Kepada Asisten II, TAPD Kabupaten Langkat, Kepala Dinas Kesehatan, Kabid. PKLM dan Kasie. Promkes dan Pemberdayaan Peran Serta Masyarakat dan Pemegang Program Desa Siaga di Kabupaten Langkat yang sudah banyak memebantu saya dalam penelitian dan penyelesaian tesis ini

8. Kepada seluruh Kepala Puskesmas, Bidan Desa dan semua pihak yang telah membantu proses penyusunan tesisi ini hingga selesai.

Penulis telah berusaha semaksimal mungkin dalam menyelesaikan tesis ini. Sepenuhnya penulis menyadari bahwa tesis ini masih belum sempurna, sehingga saran yang bersifat posistif untuk perbaikan sangat penulis harapkan. Semoga tesis ini bermanfaat untuk kita semua.

Medan, Oktober 2012 Penulis

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Siti Fatimah, dilahirkan di Medan pada tanggal 18 Juni 1979 dan beragama Islam. Pada tahun 1991 penulis menamatkan pendidikan Sekolah Dasar di SD RGM Besitang, pada tahun 1994 menamatkan Sekolah Menengah Pertama di SMP RGM Besitang, tahun 1997 menamatkan Sekolah Menengah Atas di SMU Negeri P. Berandan dan pada tahun 2001 berhasil manamatkan program Sarjana Kesehatan Masyarakat di Fakulatas Kesehatan Masyarakat Universiatas Sumatera Utara.

Pengalaman organisasi penulis, pada tahun 1998 pernah menjadi pengurus PEMA FKM USU dan anggota HMI Komisariat FKM USU, tahun 1999 menjadi Ketua Keputrian Mushalla FKM USU, tahun 2000 menjadi sekteraris PHBI FKM USU.

Pengalaman kerja penulis, tahun 2003 – 2005 bekerja sebagai staf pengajar pada Yayasan Lembaga Pendiddikan Islam (YLPI) Riau, tahun 2005 -2009 bekerja sebagai staf bagian Bina Program dan Rekam Medik RSUD Arifin Achmad Pekanbaru, tahun 2009 sampai sekarang bekerja sebagai staf Puskesmas Besitang Kabupaten Langkat.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN... xiii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Permasalahan ... 11

1.3 Tujuan Penelitian ... 11

1.4 Manfaat Penelitian ... 12

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 13 2.1 Ekonomi Kesehatan... 13

2.1.1 Pengertian dan Ruang Lingkup ... 13

2.1.2 Karakteristik Komoditi Kesehatan ... 14

2.1.3 Teori Deman For Health Capital ... 17

2.1.4 Evaluasi Ekonomi Kesehatan ... 20

2.2 Analisis BiayaManfaat (Cost Benefit Analysis) ... 21

2.2.1 Sejarah dan Pemanfaatannya ... 21

2.2.2 Langkah – langkah Analisis Biaya Manfaat ... 23

2.2.3 Metode Analisis Biaya Manfaat ... 26

2.3 Desa Siaga Aktif ... 28

2.3.1 Perkembangan Program Desa Siaga ... 28

2.3.2 Konsep Dasar Desa Siaga Aktif ... 30

2.3.3 Tujuan Desa Siaga Aktif ... 33

2.3.4 Manfaat Desa Siaga Aktif ... 34

2.3.5 Kriteria Desa Siaga Aktif ... 35

2.3.6 Langkah – langkah Pengembangan Desa Siaga Aktif ... 37 2.3.7 Pembiayaan Desa Siaga Aktif ... 40

2.4 Landasan Teori ... 45

(13)

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 48

3.1 Jenis Penelitian ... 48

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 48

3.3 Populasi dan Sampel ... 49

3.3.1 Populasi ... 49

3.3.2 Sampel ... 49

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 50

3.5 Variabel dan Definisi Operasional ... 51

3.6 Metode Pengukuran ... 55

3.7 Metode Analisis Data ... 56

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 57

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 57

4.2 Identifikasi Pengambil Keputusan Pengembangan Program Desa Siaga Aktif ... 60

4.3 Identifikasi Desa Siaga Aktif di Kabupaten Langkat... 65

4.3.1 Sosiodemografi Desa Siaga Aktif ... 65

4.3.2 Kelengkapan Perangkat Desa Siaga Aktif ... 66

4.3.3 Kegiatan Desa Siaga Aktif ... 67

4.3.4 Tahap Pengembangan dan Kriteria Desa Siaga Aktif ... 68

4.4 Identifikasi Biaya Pengembangan Program Desa Siaga Aktif di Kabupaten Langkat Tahun 2007 – 2011 69 4.4.1 Biaya Langsung... 69

4.4.2 Biaya tidak Langsung ... 73

4.5 Identifikasi Manfaat Pengembangan Program Desa Siaga Aktif di Kabupaten Langkat Tahun 2008-2011 75 4.5.1 Manfaat Langsung ... 75

4.5.2 Manfaat tidak Langsung ... 78

4.6 Transformasi ke Nilai Moneter ... 80

4.7 Discounting ... 82

4.8 Menghitung BCR, NPV dan IRR ... 85

BAB 5. PEMBAHASAN ... 89

5.1 Perkembangan Program Desa Siaga Aktif di Kabupaten Langkat... 89

(14)

Siaga Aktif di Kabupaten Langkat Tahun 2007-2011 ... 96

5.4 Analisis Manfaat Pengembangan Program Desa Siaga Aktif di kabupaten Langkat Tahun 2008 – 2011 ... 98

5.4 Analisis Perhitungan BCR, NPV dan IRR Pengembangan n Program Desa Siaga Aktif di Kabupaten Langkat Tahun 2007 – 2011 ... 104

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 107

6.1 Kesimpulan ... 107

6.2 Saran ... 108

DAFTAR PUSTAKA ... 109

(15)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

2.1 Perbandingan Metode Analisis Biaya Manfaat ………. 28 2.2 Tahap Pengembangan Desa Siaga Aktif dan Kriteria

yang Harus Dipenuhi ……… 36

2.3 Perbandingan Analisa Biaya Desa Siaga di NTB dan NTT

Tahun 2006 – 2009 ……… 44

4.1 Matriks Tanggapan Pengambil Keputusan tentang Pembangunan Kesehatan Desa Di Kabupaten Langkat Tahun

2012 ……… 61

4.2 Matriks Tanggapan Pengambil Keputusan tentang Standar Desa Siaga Aktif yang Harus Dicapai Di Kabupaten Langkat

tahun 2012 ………. 62

4.3 Matriks Tanggapan Pengambil Keputusan tentang Dukungan dan Advokasi Anggaran Desa Siaga melalui APBD

Kabupaten Langkat Tahun 2012 ………... 63 4.4 Sosiodemografi Desa Siaga Aktif di Kabupaten Langkat

Tahun 2012 ………... 65

4.5 Rekapitulasi Kelengkapan Perangkat Desa Siaga Aktif di

Kabupaten Langkat Tahun 2012……… ………... 66 4.6 Rekapitulasi Kegiatan Desa Siaga Aktif di Kabupaten

Langkat Tahun 2007 –2012 ………. 68

4.7 Tahap Pengembangan Desa Siaga Aktif di Kabupaten

Langkat Tahun 2012 ………. 69

4.8 Biaya untuk Melengkapi Perangkat Desa Siaga Aktif di

Kabupaten Langkat Tahun 2012 ………... 70 4.9 Rekapitulasi Pembiayaan Desa Siaga Aktif Bersumber Daya

(16)

4.10 Rekapitulasi Biaya Langsung Pengembangan Program Desa

Siaga Aktif di Kabupaten Langkat Tahun 2007 –2011 ……... 72 4.11 Rekapitulasi Biaya tidak Langsung Pengembangan Program

Desa Siaga Aktif di Kabupaten Langkat Tahun 2007 – 2011 .. 73 4.12 Rekapitulasi Biaya Pengembangan Program Desa Siaga Aktif

di Kabupaten Langkat Tahun 2007 –2011 ………... 74 4.13 Rekapitulasi Kunjungan 10 Besar Penyakit pada Poskesdes

Desa Siaga Aktif di Kabupaten Langkat Tahun 2008 –

2011………... 76

4.14 Rekapitulasi Nilai Manfaat dari Kunjungan 10 Besar Penyakit pada 10 Poskesdes Desa Siaga Aktif di Kabupaten Langkat

Tahun 2008 –2011………….………... 77

4.15 Data Ketidak Hadiran Siswa Sekolah Dasar di Desa Siaga

Aktif karena Sakit Tahun 2007 -2011 ………... 78 4.16 Rekapitulasi Nilai YLD dari Kunjungan 10 Besar Penyakit

pada 10 Poskesdes Desa Siaga Aktif di Kabupaten Langkat

Tahun 2008 –2011………….………... 79

4.17 Rekapitulasi Biaya Pengembangan Program Desa Siaga Aktif

di Kabupaten Langkat Tahun 2007 –2011 ………... 81 4.18 Rekapitulasi Nilai Manfaat Pengembangan Program Desa

Siaga Aktif di Seluruh Poskesdes Kabupaten Langkat Tahun

2008 –2011 ………... 81 4.19 Rekapitulasi Hasil Discount terhadap Biaya dan Nilai

Manfaat untuk Menghitung NPV dan IRR Pengembangan Program Desa Siaga Aktif di Kabupaten Langkat Tahun 2007

–2011……… ……… 83

4.20 Rekapitulasi Hasil Perhitungan BCR Pengembangan Program

Desa Siaga Aktif di Kabupaten Langkat Tahun 2007 – 2011... 85 4.21 Rekapitulasi Hasil Perhitungan NPV Pengembangan Program

(17)

4.22 Rekapitulasi Hasil Perhitungan IRR Pengembangan Program

(18)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

2.1 Upaya Pemecahan Masalah di Desa Siaga Aktif ……….... 37 2.2 Kerangka Konsep Penelitian ………... 47 4.1 Komposisi Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis

Kelamin di Kabupaten Langkat tahun 2010………. 59 5.1 Biaya Pengembangan Program Desa Siaga Aktif di

Kabupaten Langkat Tahun 2007 –2011…... 97 5.2 Biaya Pengembangan Program Desa Siaga Aktif pada

Masing – masing Desa di Kabupaten Langkat Tahun 2007

–2011…... 97 5.3 Nilai Manfaat Pengembangan Program Desa Siaga Aktif

di Kabupaten Langkat Tahun 2007 –

2011……… 101

5.4 Nilai Manfaat Pengembangan Program Desa Siaga Aktif pada Masing – masing Desa di Kabupaten Langkat Tahun

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1 Blanko Isian Penelitian ……… 113

2 Kuisioner Penelitian………. 116

3 Peta Wilayah Kabupaten Langkat ………... 128

4 Dokumentasi Hasil Penelitisn ………. 129

5 Hasil Perhitungan Biaya dan Manfaat Pengembangan Program Desa Siaga Aktif di Kabupaten Langkat tahun 2007 –2011 ………. 134

6 Surat Survey Pendahuluan ………... 165

7 Surat Izin Penelitian ……… 166

(20)

ABSTRAK

Desa siaga aktif adalah desa yang masyarakatnya memiliki kemauan, kemampuan, kemandirian dalam mengatasi masalah kesehatan. Sejak tahun 2006 pemerintah menekankan upaya promosi kesehatan melalui program desa siaga dan menetapkan tahun 2015 sebanyak 80 % desa telah menjadi desa/keluarahn siaga aktif dengan berpedoman pada Keputusan Menteri Kesehatan No. 1529/Menkes/SK/X/2010. Pada tahun 2010, seluruh desa di Kabupaten Langkat sudah menjadi desa siaga dengan bantuan dana pembentukan dari pusat, namun yang aktif hanya 10 desa (3,61%). Maka perlu dilakukan evaluasi terhadap program tersebut dengan analisis biaya manfaat (cost benefit analisis) guna mengoptimalkan advokasi terkait kebijakan dan penyediaan anggarannya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemahaman pengambil keputusan tentang pengembangan desa siaga aktif, mengetahui perbandingan manfaat terhadap biaya yang dikeluarkan dan menyiapkan bahan untuk advokasi anggaran. Manfaat yang diharapkan dapat memberi masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Langkat, menambah referensi ilmiah tentang evaluasi ekonomi kesehatan dan mengembangkan keilmuan dalam bidang kesehatan masyarakat.

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian evaluasi terhadap 10 desa siaga aktif yang ada di Kabupaten Langkat dan 10 pengambil keputusan yang dipilih secara purposive. Data yang digunakan meliputi data primer dan data sekunder. Metode pengukuran yang dipilih adalah perhitungan BCR, NPV dan IRR terhadap seluruh biaya dan manfaat yang sudah diidentifikasi sebelumnya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 10 desa siaga aktif tersebut memiliki kelengkapan administrasi dan operasional yang cukup dengan tahap pengembangan; 3 desa siaga Purnama, 5 desa siaga madya dan 2 desa siaga pratama. Seluruh pengambil keputusan memiliki komitmen yang baik dan mendukung pengembangan dan penganggarannya melalui APBD. Total biaya yang dikeluarkan untuk pengembangan program desa siaga aktif berjumlah Rp. 1.051.951.200,00, sedangkan nilai manfaat yang dapat diinvestasikan sejumlah Rp.2.207.406.200,00. Hasil perhitungan BCR adalah 2,20 dan 2,19 dengan discount rate 12% dan 15%., Hanya Desa Padang Cermin dan Telaga Jernih memiliki nilai BCR, NPV dan IRR yang sesuai dengan harapan. Dinas Kesehatan diharapkan bersikap proaktif dalam menyusun kebutuhan anggaran dengan justifikasi yang lengkap untuk Tahun Anggaran 2013 dan seterusnya agar pengembangan program desa siaga ini berhasil dengan baik.

(21)

ABSTRACT

An active alert village is a village in which its people have will, capability, and independency in solving health problem. Since 2006, the government has emphasized on health promotion through an alert village program and confirmed that in 2015, 80% of villages will be established as active alert villages guided by the Decree of the Minister of Health No. 1529/Menkes/SK/X/2010. In 2010, all villages in Langkat District became alert villages by the financial aid from the central government, but only 10% of them were active (3.61%). Therefore, it is necessary to evaluate the program by analyzing the cost benefit in order to optimize advocacy related to the policy and the provision of the budget.

The aim of the research was to understand the decision making in developing active alert villages, to know the correlation between benefit and the expense, and to prepare the budget for the advocacy of the budget. It was expected that they could provide input to the Health Service in Langkat District, increase scientific reference to the evaluation of health economy, and develop science in the field of public health.

The type of the research was the evaluation on ten active alert villages in Langkat District and ten sets of decision making which had been selected purposively. The data consisted of the primary and secondary data. The methods of measurement were BCR, NPV, and IRR calculations on all costs and benefit which had previously been identified.

The result of the research showed that the ten active alert villages had sufficient administrative and operational facilities with the development: three purnama alert villages, five madya alert villages, and two pratama alert villages. All sets of decision making had good commitment and supported the development, and their budget was from APBD (Regional Budget). The total expense for the development of active alert villages was Rp. 1,051,951,200.00 and the value of benefit which should be invested was Rp. 2,207,406.200,00. The result of BCR calculation was 2.20 and 2.19 with discount rate 12% and 15%. The Health Service should proactive in setting the budget with complete justification in order that the development of alert village program can run successfully.

(22)

BAB 1 PEDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Kesehatan merupakan investasi bagi setiap manusia dan memiliki kontribusi yang besar untuk meningkatkan Indeks Pembangunan Kesehatan Manusia (IPKM). Undang – Undang Kesehatan Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 menyebutkan bahwa kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Dalam rangka mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi – tingginya, pembangunan kesehatan harus diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang, sehingga mampu mewujudkan bangsa yang berdaya saing secara global.

(23)

Teori “Demand For Health Capital” (Grossman, 1972) mengatakan

bahwa ketika individu menggunakan pelayanan kesehatan, sesungguhnya yang dicari bukan pelayanan kesehatan, melainkan kesehatan itu sendiri. Masing-masing individu melakukan produksi, menggunakan aneka input di “pasar”, untuk

melipatgandakan stok kesehatan dalam tubuhnya sehingga jumlah hari-hari sehat

(healthy days) bertambah, sekaligus “mengisi ulang“ stok kesehatan yang

berkurang (depleted, depreciated) akibat proses penuaan, iklim, penyakit, polusi, bencana alam dan sebagainya. Makin banyak jumlah makanan bergizi yang dikonsumsi, makin sehat individu. Demikian juga makin banyak kuantitas pelayanan kesehatan yang dikonsumsi individu, makin tinggi status kesehatan individu (Murti, dkk, 2006).

Wulansari (2007) menyebutkan bahwa sejak era reformasi, paradigma sehat digunakan sebagai landasan pembangunan kesehatan yang berarti pembangunan kesehatan harus mengutamakan upaya promotif dan preventif tanpa mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif. Salah satu grand strategi Depkes adalah mengutamakan anggaran kesehatan pemerintah untuk upaya pencegahan dan promosi kesehatan. Dengan demikian program promosi kesehatan sebagai salah satu bentuk upaya promotif dan preventif mendapat tempat yang sangat penting dalam pembangunan kesehatan.

(24)

PKMD itu hendak diulang dan dibangkitkan kembali melalui gerakan pengembangan dan pembinaan Desa Siaga yang sudah dimulai tahun 2006.

Sejak tahun 2006, upaya promosi kesehatan ditekankan melalui Program Desa Siaga sesuai dengan seruan Presiden saat pencanangan Pekan Kesehatan Nasional tanggal 18 Juni 2005 dan disusul oleh Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 564/Menkes/SK/VIII/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengembangan Desa Siaga. Untuk mencapai target desa siaga aktif pada tahun 2015, dilakukan revitalisasi melalui Peraturan Menteri Kesehatan RI No.741/Menkes/Per/VII/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan di Kabupaten dan Kota dan Keputusan Menteri Kesehatan No.828/Menkes/SK/IX/2008 tentang Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan di Kabupaten dan Kota. Pemerintah menetapkan bahwa pada tahun 2015 sebanyak 80 % desa telah menjadi Desa/kelurahan siaga aktif. Kemudian program ini direvitalisasi guna mengakselerasi pencapaian tersebut melalui Keputusan Menteri Kesehatan No.1529/Menkes/SK/X/2010 tentang pedoman Umum Pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif (Depkes, 2010).

(25)

siaga mencakup upaya untuk lebih mendekatkan pelayanan kesehatan dasar kepada masyarakat desa, mensiapsiagakan masyarakat mengahadapi masalah – masalah kesehatan serta memandirikan masyarakat dalam mengembangkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) (Depkes, 2007).

Desa siaga aktif adalah bentuk pengembangan dari desa siaga yang telah dimulai sejak Tahun 2006. Desa/kelurahan siaga aktif adalah desa atau kelurahan atau yang disebut dengan nama lain yang penduduknya dapat mengakses dengan mudah pelayanan kesehatan dasar yang memberikan pelayanan kesehatan setiap hari melalui pos kesehatan desa (Poskesdes) atau sarana kesehatan yang ada di wilayah tersebut seperti pusat kesehatan masyarakat pembantu (Pustu), pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) atau sarana kesehatan lainnya. Penduduknya mau dan mampu mengembangkan Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM), melaksanakan surveilans berbasis masyarakat (meliputi pemantauan penyakit, kesehatan ibu dan anak, gizi, lingkungan dan perilaku), kedaruratan kesehatan dan penanggulangan bencana, penyehatan lingkungan dan menerapkan PHBS. Dengan demikian, desa atau kelurahan siaga aktif memiliki komponen pelayanan kesehatan dasar, pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan UKBM dan mendorong upaya surveilans berbasis masyarakat, kedaruratan kesehatan, penanggulangan bencana dan penyehatan lingkungan serta menerapkan PHBS (Depkes, 2010).

(26)

Siaga ini. Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara menyebutkan bahwa saat ini desa siaga yang sudah terbentuk sebanyak 1.786 desa. Tahun 2010 ditargetkan 5.744 desa akan menjadi desa siaga. Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) Bidang Kesejahteraan Rakyat Siti Fadilah Supari juga telah mengukuhkan Desa Siaga se-Kabupaten Langkat pada 1 Maret 2011 di Gedung PKK Stabat. Kunjungan dan pengukuhan Desa Siaga tersebut sebagai bentuk komitmen pemerintah pusat terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun, banyak diantaranya yang belum aktif.

Harus difahami bahwa promosi kesehatan melalui program desa/kelurahan siaga tidak hanya merubah perilaku, tapi determinan kesehatan. Meskipun perilaku berubah, bila tidak didukung dengan fasilitas juga akan mengalami kesulitan. Hal tesebut terkait dengan pembiayaan kesehatan dan kegiatan itu sendiri. Menurut Tjiptoherijanto. dkk (1994), persoalan pembiayaan kesehatan pada dasarnya bukan hanya persoalan sektor kesehatan saja, melainkan juga mencerminkan kesulitan perekonomian secara menyeluruh. Oleh karena itu diperlukan strategi untuk mengembangkan kegiatan – kegiatan sektor kesehatan sehingga sumber daya yang ada dapat dipetakan dan diberdayakan untuk fokus memenuhi kompas kebutuhan kesehatan. Selanjutnya baru mulai difikirkan sumber – sumber dukungan alternatif dalam mencari pembiayaan ke depan.

(27)

masih menjadi harapan saja. Sejak diberlakukannya Undang – Undang Otonomi Daerah, jumlah anggaran kesehatan tiap daerah menjadi sangat bervariasi.

Data statistik yang diperoleh dari Departemen Kesehatan, menyebutkan bahwa anggaran lebih banyak dimanfaatkan untuk upaya kuratif. Tahun 2007 menunjukkan bahwa, 53% anggaran digunakan untuk pelayanan medik sedangkan untuk promotif 17 % dan preventif 8 %. Keadaan tahun 2008 bahkan lebih buruk, upaya promotif hanya mendapatkan 10 % dan preventif 3,5 % dari total anggaran yang ada (Depkes, 2009).

Hal sejalan juga disampaikan oleh salah seorang pejabat eselon III yang menangani kegiatan promosi kesehatan di Dinas Kesehatan Kabupaten Langkat, disebutkan bahwa pembiayaan upaya preventif dan promotif masih sangat minim jika dibandingkan dengan biaya upaya kuratif dan rehabilitatif, kegiatannya masih dianggap kurang perlu dan manfaatnya tidak jelas terukur. Khusus pada program desa siaga, kreatifitas dan inovasi tenaga kesehatan juga masih sangat terbatas, sehingga upaya – upaya advokasi kurang dilakukan. Beliau juga menambahkan bahwa biaya promosi kesehatan dapat dianggarkan oleh tiap – tiap bagian, sehingga tidak terfokus dibidang yang beliau pimpin sehingga untuk satuan jumlah, beliau tidak dapat menyebutkan persentase / kuantitatifnya.

(28)

operasionalnya sebesar Rp. 1.650.000,00 per tahun per desa atau Rp. 137.500,00 per bulan. Dana tersebut dialokasikan untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan ibu, anak, gizi, penyakit menular lainnya dan bencana, bahan habis pakai, sarana penunjang Poskesdes seperti : alat tulis kantor, fotokopi, transpor petugas/kader untuk pelayanan dan konsultasi. Dana tersebut tidak boleh untuk pembelian barang investasi dan di Kabupaten Langkat dana tersebut hanya berjalan selama tahun 2010.

Hasil survey pendahuluan pada awal tahun 2012, menginformasikan bahwa, pada tahun anggaran 2008, Program Promosi Kesehatan dan Pemberdayaaan Masyarakat hanya mendapat Rp. 316.502.000,00 atau 0,005 % dari total anggaran Dinas Kesehatan Kabupaten Langkat sebesar Rp. 63.031.987.450,00. Pada tahun 2009, Program tersebut hanya mendapatkan Rp. 102.650.000,00 (0,0014%) dari total anggaran Rp. 72.694.950.708,00, sedangkan pada tahun 2010 program tersebut mendapat anggaran Rp. 134.160.000,00 (0,0017%) dari total anggaran Rp. 75.574.659.678,00. Tidak dapat disebutkan pula berapa persentase dari anggaran tersebut yang digunakan untuk pengembangan program desa siaga aktif, bahkan untuk tahun 2011 tidak terdapat angaran sama sekali untuk kegiatan ini. Meskipun demikian, tetap ada beberapa Desa Siaga Aktif yang berjalan dengan variasi jumlah biaya operasional yang bersumber daya masyarakat.

(29)

jumlah desa siaga aktif, memiliki nilai SPM yang paling rendah, yaitu 3,61 % atau 10 desa dari 277 desa/kelurahan yang ada, jika dibandingkan dengan program lainnya. Kondisi kesehatan lingkungan dan sanitasi dasar juga masih buruk, dimana 42,7 % masyarakat masih menggunakan air hujan dan sungai sebagai sumber air bersih, rumah tangga yang ber-PHBS hanya 53,3 % dan 49 % rumah tangga belum memiliki pengelolaan limbah yang sehat. Oleh karena itu, menjadi penting untuk mengaktifkan kegiatan desa siaga guna menurunkan prevalensi penyakit DBD dan Malaria yang endemis, diare dan peningkatan status gizi. Keaktifan 10 desa tersebut juga bervariasi sesuai dengan sosiodemografi daerah masing – masing (3 desa berkategori purnama dan 5 desa berkategori madya dan 2 desa lainnya berkategori pratama).

(30)

Mengacu pada kondisi tersebut, maka perlu dilakukan evaluasi untuk menilai sejauh mana program desa siaga ini berjalan aktif dan berapa besar manfaat atau dampak yang diperoleh oleh masyarakat. Di Kabupaten Langkat hal ini dilakukan guna memperbaiki mindset yang dimiliki oleh masyarakat dan pemerintah, sehinga dalam pengembangannya, pemerintah menjadikan masyarakat sebagai subjek dalam pelayanan kesehatan, bukan dijadikan objek yang kemudian ditentukan harganya. Analisis yang dipilih adalah analisis biaya manfaat atau Cost benefit Analisys (CBA).

Lubis (2009), menyebutkan bahwa CBA biasa dipakai dalam Planning Programming Budgeting System (PPBS). Teknik ini menilai manfaat ataupun biaya dari program kesehatan yang ada dan menetapkan apakah program tersebut menguntungkan atau tidak dilihat dari opportunity costnya. Disamping itu CBA

(31)

program kesehatan adalah biaya yang bisa dicegah bila program tersebut berhasil atau diperoleh dengan menghitung biaya ekonomi dari suatu penyakit.

Mengacu pada pendekatan sumber daya manusia, asumsi dasar yang dibuat terhadap proyek atau program kesehatan terutama upaya preventif dan

promotif adalah investasi pada manusia yang memungkinkan mereka untuk lebih produktif dan meningkatkan kesejahteraan dalam bidang materi. Manfaat yang diperoleh adalah tersedianya tenaga kerja yang produktif dan meningkatnya produktifitas tenaga kerja dalam bentuk waktu bekerja. Nilai dari setiap peningkatan “supply” tenaga kerja ini harus berdasarkan “marginal product”.

Gaji/upah yang berlaku dapat digunakan sebagai dasar penilaian, sedangkan kemauan membayar dari masyarakat dapat di gunakan sebagai langkah awal saat menyusun asumsi dimana harga yang dibayar oleh penerima pelayanan mewakili nilai pelayanan tersebut dimata masyarakat. Dengan sendirinya kemauan membayar sejumlah tertentu untuk memperbaiki kesehatan atau menurunkan resiko kematian mewakili masyarakat dalam menilai dua hal tersebut secara sepadan.

(32)

ratio) atau menghitung manfaat bersih program kesehatan dengan menghitung net present value (NPV) dan internal rate of return (IRR).

Penelitian ini juga dimaksudkan untuk mengoptimalkan advokasi terhadap pemerintah terkait kebijakan dan penyediaan anggaran untuk pengembangan program desa siaga aktif di Kabupaten Langkat.

1.2Permasalahan

1. Belum diketahui perbandingan manfaat program desa siaga aktif terhadap biaya yang dikeluarkan di Kabupaten Langkat selama tahun 2007 – 2011. 2. Belum diketahui sejauh mana pemahaman pengambil keputusan terhadap

pengembangan program desa siaga aktif di Kabupaten Langkat.

3. Belum tersedianya bahan advokasi dengan perhitungan ekonomis yang mampu meyakinkan pemerintah (Tim Anggaran Pemerintah Daerah /TAPD dan legislative) dalam hal pembuatan kebijakan dan penyediaan anggaran untuk pengembangan program desa siaga aktif di Kabupaten Langkat,

sehingga perlu dilakukan analisis biaya manfaat (Cost Benefit Analysis) pada program tersebut di Kabupaten Langkat.

1.3 Tujuan Penelitian

1. Mengetahui perbandingan manfaat program desa siaga aktif terhadap biaya yang dikeluarkan di Kabupaten Langkat selama tahun 2007 – 2011.

(33)

3. Membantu menyiapkan bahan advokasi dengan perhitungan ekonomis yang mampu meyakinkan pemerintah (Tim Anggaran Pemerintah Daerah/TAPD dan legislative) dalam hal pembuatan kebijakan dan penyediaan anggaran untuk pengembangan program desa siaga aktif di Kabupaten Langkat.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Menambah referensi Ilmiah tentang evaluasi ekonomi kesehatan dengan menggunakan tehnik analisis biaya manfaat (CBA).

2. Sebagai bahan masukan dan rekomendasi bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Langkat dalam melakukan advokasi, menyusun kebijakan publik berbasis UKBM, menyusun rencana pengembangan dan penganggaran program desa siaga aktif.

(34)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekonomi Kesehatan

2.1.1 Pengertian dan Ruang Lingkup

Ilmu Ekonomi menurut Samuelson (1995) adalah ilmu mengenai pilihan yang mempelajari bagaimana orang memilih sumber daya produksi yang langka/terbatas, untuk memproduksi berbagai komoditi dan mendistribusikannya keanggota masyarakat untuk dikonsumsi saat ini atau dimasa mendatang. Ilmu ini mengakaji semua biaya dan manfaat dari perbaikan pola alokasi sumber daya yang ada. Kegiatan yang dilaksanakan juga harus memenuhi kriteria efisiensi (Cost Effective).

(35)

Klarman (1968) menjelaskan bahwa ekonomi kesehatan itu merupakan aplikasi ekonomi dalam bidang kesehatan. Secara umum ekonomi kesehatan akan berkonsentrasi pada industri kesehatan. Ada empat bidang yang tercakup dalam ekonomi kesehatan, yaitu : (1) peraturan (regulation;, (2) perencanaan (planning);

(3) pemeliharaan kesehatan (the health maintenance) dan (4) analisis biaya (cost)

dan manfaat (benefit).

Mengutip tulisan Lubis (2009) tentang Ekonomi Kesehatan, PPEKI (1989) menyatakan bahwa ilmu ekonomi kesehatan adalah penerapan ilmu ekonomi dalam upaya kesehatan dan faktor – faktor yang mempengaruhi kesehatan untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal. Menyikapi keterbatasan sumber daya yang ada, mendorong masuknya disiplin ilmu ekonomi dalam perencanaan, manajemen dan evaluasi sektor kesehatan. Ekonomi kesehatan akan menjawab petanyaan – pertanyaan berikut : (1) pelayanan kesehatan apa yang perlu diproduksi; (2) berapa besar biaya produksinya; (3) bagaimana mobilisasi dana kesehatan (siapa yang mendanai); (4) bagaimana utillisasi dana kesehatan (siapa penggunanya dan berapa banyak) serta (5) berapa besar manfaat (benefit)

investasi pelayanan kesehatan tersebut. 2.1.2 Karakteristik Komoditi Kesehatan

(36)

dalam ilmu ekonomi tidak berlaku atau tidak seluruhnya berlaku apabila diaplikasikan untuk sektor kesehatan, yaitu :

a. Kejadian penyakit tidak terduga, tidak ada orang yang dapat memprediksi penyakit apa yang akan menimpanya dimasa yang akan datang, oleh karena itu tidak mungkin dapat dipastikan pelayanan kesehatan apa yang dibutuhkan. Ketidakpastian (uncertainty) ini berarti seseorang menghadapai suatu resiko akan sakit dan oleh karena itu ada juga resiko untuk mengeluarkan biaya untuk mengobati penyakit tersebut.

b. Consumer ignorance, artinya konsumer sangat tergantung pada penyedia (provider) pelayanan kesehatan. Ini disebabkan karena umumnya konsumen tersebut tidak tahu banyak tentang jenis penyakit, jenis pemeriksaan dan jenis pengobatan yang dibutuhkannya. Dalam hal ini penyedialah yang menentukan jenis dan volume pelayanan kesehatan yang perlu dikonsumsi oleh konsumen. c. Sehat dan pelayanan kesehatan sebagai hak. Makan, pakaian, tempat tinggal

dan hidup sehat adalah elemen kebutuhan dasar manusia yang harus senantiasa diusahakan untuk dipenuhi, terlepas dari kemampuan seseorang untuk membayarnya. Hal ini menyebabkan distribusi pelayanan kesehatan sering kali dilakukan atas dasar kebutuhan (need) dan bukan atas dasar kemampuan membayar (demand).

(37)

manfaat kepada masyarakat banyak atau social marginal benefit yang diperoleh lebih besar dari private margial benefit. Pelayanan kesehatan yang tergolong pencegahan akan mempunyai eksternalitas yang besar, sehingga dapat digolongkan sebagai “komoditi masyarakat” atau public goods. Oleh karena itu program ini sebaiknya mendapat subsidi atau bahkan disediakan oleh pemerintah secara gratis. Sedangkan untuk pelayanan kesehatan yang bersifat kuratif akan mempunyai ekternalitas yang rendah atau “private good”hendaknya dibayar atau dibiayai sendiri oleh penggunanya atau pihak swasta.

e. Motif non-profit, umumnya pelayanan kesehatan diselenggarakan dengan motif sosial, namun sekarang terjadi perubahan orientasi, terutama setelah pemilik modal dan dunia bisnis melihat sektor kesehatan sebagai peluang investasi yang menguntungkan. Pendapat yang dianut adalah “Orang tidak

layak memperoleh keuntungan dari penyakit orang lain”.

f. Padat karya, terdapat kecenderungan spesialis dan superspesialis menyebabkan komponen tenaga dalam pelayanan kesehatan semakin besar. Komponen tersebut bisa mencapai 40 – 60% dari keseluruhan biaya.

(38)

h. Upaya kesehatan sebagai konsumsi dan investasi. Pembangunan sektor kesehatan sesungguhnya adalah investasi jangka pendek maupun panjang karena orientasi pembangunan pada akhirnya adalah pembangunan manusia. i. Restriksi berkompetisi, artinya terdapat pembatasan praktek berkompetisi. Hal

ini menyebabkan mekanisme pasar dalam pelayanan kesehatan tidak bisa sempurna seperti mekanisme pasar untuk komoditi lain. Pada sektor kesehatan tidak pernah terdengar adanya promosi discount atau bonus dalam pelayanan kesehatan.

2.1.3 Teori Demand For Health Capital (Grossman, 1972)

Tjiptoherijanto, dkk.(1994), menyebutkan bahwa teori ini mengacu pada pendekatan investment models dan mengasumsikan bahwa masing – masing individu melakukan penilaian manfaat atas pengeluaran untuk kesehatan yang diperbandingkan dengan pengeluaran untuk komoditi – komoditi lainnya dalam rangka memutuskan status kesehatannya yang optimal. Dalam hal ini, konsumen diasumsikan mempunyai pengetahuan tentang status kesehatannya sendiri, tingkat depresiasi status kesehatannya dan fungsi produksi yang mengaitkan antara perbaikan kesehatan dengan pengeluaran untuk pelayanan kesehatan.

Sejalan dengan kerangka fikir teori keputusan investasi yang umum, diasumsikan bahwa setiap individu akan memaksimumkan fungsi utilitinya yang dibentuk dari flow jasa pelayanan kesehatan dan dari konsumsi barang lainnya untuk setiap tahun kehidupannya. Maksimasi ini akan menyebabkan individu tadi

(39)

costnya. Return kepada individu dari terdiri atas marginal physical return dan

marginal monetary return. Monetary return ditentukan oleh tiga komponen, yaitu : upah harian, produk marginal kesehatan yang dihitung dalam jumlah hari sehat yang dihasilkan oleh satu unit stok kesehatan dan biaya marginal dari „gross

investment‟ dibidang kesehatan yang dibeli pada periode sebelumnya, termasuk biaya waktu dan uang.

Prinsipnya, Grossman mendukung asumsi ekonomi makro, dimana produk marginal kesehatan menurun secara asimtomatis menuju nol sejalan dengan peningkatan kesehatan. Hal ini ditunjukkan oleh Grossman pada return kesehatan yang diukur dengan hari sehat (healthy days) dan mempunyai batas 365 hari pertahunnya. Return tersebut akan bisa menjawab persoalan debility (Cullis JG and West PA, 1979, hal.29-32) yang akan mempengaruhi tingkat upah.

(40)

produk marginal kesehatan, juga menyamakan hasil marginal dengan biaya yang lebih tinggi (telah diasumsikan bahwa besarnya produk marginal kesehatan akan lebih kecil pada tingkat stok kesehatan yang lebih tinggi). Dengan demikian ketika dihadapkan kepada depresiasi kesehatan yang diketahui sudah cenderung naik, model Grossman mengatakan bahwa seseorang akan memilih suatu status kesehatan yang lebih rendah pada setiap tahun berurutan (successive year). Hal ini akan mendorong orang tersebut terpaksa harus memilih usia hidupnya sendiri, mengingat stok kesehatannya yang optimal pada akhirnya akan turun hingga dibawah life-supporting minimal yang dia perlukan, dan kalau hal itu sudah tercapai berarti dia akan mati.

Pengaruh tingkat upah kepada stok kesehatan dan demand pelayanan kesehatan akan terdiri dari dua unsur. Produk marginal kesehatan, dihitung dari

healthy days, jelas akan lebih berharga pada tingkat upah yang lebih tinggi. Tetapi waktu yang dimiliki konsumen juga merupakan input bagi pelayanan kesehatan, jika tingkat upah naik maka biaya pelayanan akan naik.

(41)

2.1.4 Evaluasi Ekonomi dalam Pelayanan Kesehatan

Lubis (2009) menyebutkan bahwa teknik evaluasi ekonomi mampu menyediakan berbagai cara untuk menanggulangi masalah dengan menggunakan berbagai pertimbangan pilihan masyarakat. Evaluasi ekonomi mempunyai peranan penting dalam menanggulangi berbagai masalah manajemen, penekanannya terletak pada penentuan bagaimana penyediaan pelayanan kesehatan yang terbaik, bukan penentuan prioritas dalam investasi.

Masalah teknis yang selalu terjadi dalam evaluasi ekonomi adalah kurangnya informasi dan satuan dari dampak pelayanan kesehatan. Masalah lain yang timbul adalah adanya perbedaan pendapat mengenai teknik yang digunakan dan perbedaan tentang strategi Primary Health Care (PHC). Secara selektif, PHC

dianggap pelayanan yang paling efektif dari segi biaya dengan menggunakan teknik CBA.

(42)

luaran antara; (3) penilaian dan pengukuran biaya tersebut serta konsekuensinya dengan konsep opportunity cost dan teknik shadow pricing dan (4) penyesuaian biaya dan konsekuensi untuk waktu yang berbeda, misalnya program pencegahan yang memiliki dampak yang lama, hasilnya tidak dapat dilihat langsung seperti program pengobatan penyakit. Untuk itu dilakukan metode discounting dengan asumsi bahwa orang lebih menyukai manfaat yang cepat diperoleh dari pada yang lama.

Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam mengambil keputusan berdasarkan langkah tersebut adalah: (1) jumlah sumber daya yang tersedia untuk diteliti; (2) adanya suatu pilihan yang jelas dalam penggunaan sumber daya yang akan dievaluasi; (3) penggunaan teknologi yang cukup dikenal sebagai dasar dalam menentukan pilihan; (4) tersedianya waktu yang cukup untuk penelitian dan (5) pengambil keputusan diharapkan dapat menerima hasil penelitian dan tidak berubah – ubah fikiran.

2.2 Analisis Biaya Manfaat (Cost Benefit Analisis) 2.2.1 Sejarah dan Pemanfaatannya

(43)

dikenal sebagai Pareto Improvement. Prinsip kompensasi Hicks-Kaldor mengemukakan gainer dapat mengkompensasi loser untuk mencapai pareto improvement potensial, karena tidak mungkin seseorang atau masyarakat akan kembali pada keadan semula setelah ada proyek (Hafidh, 2010).

Kebanyakan ekonom menyatakan bahwa suatu penilaian kurang lengkap bila usaha untuk melihat penggunaan sumber daya dan hasil yang didapatnya

tidak dinyatakan dalam nilai uang. Analisis biaya manfaat (CBA) merupakan suatu alat yang paling penting untuk membantu pengambilan keputusan dalam

menentukan pilihannya, atau lazimnya metode ini akan menjamin pengambilan keputusan untuk dapat melakukan allocative efficiency (Mooney, 1986). Sugiyono (2001) menyebutkan bahwa pemerintah mempunyai banyak program yang harus dilaksanakan, sedangkan biaya yang tersedia sangat terbatas. Analisis ini dapat membantu pemerintah dalam memilih program – program yang memenuhi kriteria efisiensi dengan pertimbangan kesejahteraan masyarakat. Ada dua pihak yang menaruh perhatian pada analisis ini. Pertama praktisi teknis dan ekonom yang berperan dalam mengembangkan metode analisis, pengumpulan data dan membuat analisis serta rekomendasi. Kedua, pemegang kekuasaan eksekutif yang berwenang untuk membuat peraturan dan prosedur untuk melaksanakan keputusan publik.

(44)

Sedangkan manfaat diperoleh jika kerugian dimasa datang dapat dicegah karena keberhasilan program tersebut. Manfaat dari program-program kesehatan tidak lain dari biaya yang bisa dicegah bila program tersebut berhasil, beberapa penulis menyarankan bahwa nilai manfaat mungkin saja diperoleh dengan menghitung biaya ekonomi dari suatu penyakit. Oleh karena efek atau dampak dari suatu program itu baru dapat terlihat setelah beberapa lama, maka nilai-nilai biaya dan manfaat program tersebut harus disesuaikan mengingat nilainya berubah menurut perjalanan waktu. Dalam hal ini digunakan cara discounting. Discounting adalah cara penyesuaian nilai atau uang dengan menghitung berapa nilai uang saat ini dikemudian hari dengan memperhitungkan bunga pada akhir setiap tahun. Untuk ini dipergunakan discount rate. Biaya discount rate disesuaikan dengan

interest rate atau suku bunga yang berlaku dalam peminjaman uang. (Tjiptoherijanto,dkk.1994).

2.2.2 Langkah – Langkah Analisis Biaya Manfaat

Lubis (2009) menjelaskan secara ringkas, langkah-langkah yang dilakukan dalam CBA adalah sebagai berikut :

a. Identifikasi para pengambil keputusan

(45)

b. Identifikasi alternatif

Langkah ini bertujuan untuk mengetahui secara jelas alternative-alternatif apa yang tersedia dihadapan pengambilan keputusan, sehingga dapat dibandingkan baik biaya maupun manfat dari masing-masing alternatif tersebut. c. Identifikasi biaya

Biaya (cost) adalah pengorbanan sumber ekonomis yang diukur dalam satuan uang, yang telah terjadi atau mungkin akan terjadi. Biaya suatu program mencakup biaya itu sendiri dan dampak yang tidak diharapkan (dis-benefit, maupun “benefit yang hilang” oleh karena sumber daya tidak dialokasikan kepada

alternative lain (opportunity cost). Terdiri atas biaya langsung dan biaya tidak langsung. Biaya langsung adalah biaya yang melekat pada kegiatan dan operasional desa siaga aktif dan poskesdes, seperti pembentukan, pendirian Poskesdes dan penyediaan alat kesehatan dan pelatihan bidan desa. Sedangkan biaya tidak langsung meliputi biaya rapat berkala yang diselenggarakan oleh pengurus desa siaga. Jadi biaya total kegiatan tersebut bertindak sebagai pengukur untuk manfaat yang didapatkan. Dalam suatu perhitungan manfaat-biaya, perbandingannya adalah antara pengeluaran tambahan yang ditujukan untuk pelayanan kesehatan dan antisipasi penurunan dari biaya – biaya yang ada.

d. Identifikasi manfaat

(46)

pengurangan biaya operasional. Sedangkan manfaat tidak langsung adalah manfaat yang dirasakan masyarakat dalam jangka panjang (5-10 tahun) setelah program ini dijalankan, misalnya peningkatan pendapatan dan produktifitas, karena hari sehatnya lebih banyak. Untuk menghitung biaya langsung atau manfaat langsung suatu program, biasanya tidak begitu sulit.

e. Transformasi dampak kedalam nilai moneter

Semua biaya dan manfaat selanjutnya ditransformasi kedalam bentuk uang. Dalam hal ini diperlukan data – data pendukung, seperti harga satuan perobatan dan UMR, sehingga nilai moneternya dapat diestimasi.

f. Discounting

Oleh karena efek (dampak) suatu program biasanya berlangsung lama, maka nilai-nilai biaya dan manfaat tadi harus disesuaikan. Oleh karena nilainya memang berubah menurut perjalanan waktu. Hal ini dilakukan dengan tindakan

discounting, yakni dengan menggunakan discount rate yang sesuai. Dalam hal ini mengacu pada tingkat inflasi Mei 2012, berkisar 12 % - 15 % (Waspada, 2012). g. Penafsiran hasil cost benefit analysis

(47)

2.2.3 Metode Analisis Biaya Manfaat

Pelaksanaan analisis pada proyek yang mempunyai umur ekonomis yang relatif panjang dan memberikan manfaat serta menimbulkan biaya pada saat yang berbeda-beda harus memperhatikan konsep uang. Analisis harus dilakukan dengan menghitung seluruh manfaat dan biaya dari suatu proyek selama umur proyek yang bersangkutan dan dihitung dalam nilai sekarang.

Adanya faktor ketidak pastian tentang hal yang terjadi dimasa datang dan

diskonto, maka perlu ditentukan konsep uang yang akan datang ( future value) dan nilai uang sekarang (present value) karena hampir semua proyek mempunyai umur yang lebih panjang dari satu tahun dan manfaat proyek tersebut tidak diterima seluruhnya pada suatu saat. Biaya proyek juga dikeluarkan dalam waktu yang berbeda-beda selama umur proyek yang bersangkutan. Diskonto biasanya disamakan dengan tingkat bunga, meskipun dalam analisis manfaat dan biaya faktor diskonto tidak selalu sama dengan suku bunga.

Konsep nilai uang yang akan datang dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut :

Pt =Po ( 1+ i )t Dimana ;

(48)

Sedangkan konsep nilai uang sekarang, dapat dihitung dengan rumus :

Po = Pt / (1+ i )

Pada dasarnya untuk menganalisis efisiensi suatu proyek langkah-langkah yang harus diambil adalah : (1) Menentukan semua manfaat dan biaya dari proyek yang akan dilaksanakan; (2) Menghitung manfaat dan biaya dalam nilai uang dan (3) Menghitung masing-masing manfaat dan biaya dalam nilai uang sekarang.

Ada tiga metode untuk menganialisis manfaat dan biaya suatu proyek yaitu nilai bersih sekarang (NPV =Net Present Value), Internal Rate of Return (IRR) dan perbandingan manfaat biaya (BCR = Benefit Cost Ratio)

Proyek yang efisien adalah proyek yang manfaatnya lebih besar dari pada biaya yang diperlukan. Nilai bersih suatu proyek (NPV) merupakan seluruh nilai dari manfaat proyek dikurangkan dengan biaya proyek pada tahun yang bersangkutan dan didiskontokan dengan tingkat diskonto yang berlaku. Berdasarkan metode ini, proyek yang mempunyai NPV tertinggi adalah proyek yang mendapat prioritas untuk dilaksanakan. Pemilihan proyek tergantung dari tingkat diskonto yang dipilih. Pemilihan tingkat diskonto haruslah mencerminkan biaya oportunitas penggunaan dana.

(49)
[image:49.595.116.510.140.353.2]

Tabel 2.1 Perbandingan Metode Analisis Biaya Manfaat

Metode Analisis Biaya Manfaat

NPV IRR BCR

Karakteristik Cerminan Skala Proyek

Tidak Tidak Ya

Mudah Mengurutkan Proyek

Tidak Ya Ya

Mudah Digunakan

Mudah Agak Sukar Mudah

Kelebihan Berfokus

pada nilai uang Mencerminkan tingkat pengembalian Mudah mengurutkan proyek

Kekurangan Sukar

mengurutkan proyek

Hasil dapat membingungkan

Bias dalam operasional

Sumber : de Neufville (1990)

2.3 Desa Siaga Aktif

2.3.1 Perkembangan Program Desa Siaga

(50)

selanjutnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan menurunkan tingkat kemiskinan.

Undang – Undang RI No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, juga mengamanatkan bahwa pembangunan kesehatan harus ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat masyarakat yang setinggi – tingginya sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Setiap orang berhak atas kesehatan dan setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan dan setiap orang juga tidak luput dari kewajiban – kewajiban di bidang kesehatan.

Pemerintah pernah berhasil menggalang peran aktif dan memberdayakan masyarakat di bidang kesehatan melalui gerakan Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD) pada dasawarsa 1970 – 1980-an. Pada saat itu, seluruh sektor pemerintahan terkait, organisasi kemasyarakatan, dunia usaha serta para pengambil keputusan dan pemangku kepentingan (stakeholders), bahu membahu menggerakkan, memfasilitasi dan membantu masyarakat di desa dan kelurahan untuk membangun kesehatan mereka sendiri. Akibat terjadinya krisis ekonomi dan faktor – faktor lain, gerakan pemberdayaaan masyarakat di bidang kesehatan itu berangsur melemah. Semangat yang tersisa adalah Posyandu yang digerakkan melalui kegiatan Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK).

(51)

tahun 2006. Sampai tahun 2009, tercatat 42.295 desa dan kelurahan (56,1%) dari 75.410 desa dan kelurahan di Indonesia telah memulai upaya mewujudkan Desa/kelurahan Siaga ini. Namun, banyak diantaranya yang belum aktif. Dapat difahami, kegiatan yang menganut konsep pemberdayaan masyarakat seperti ini memang memerlukan proses panjang (Kemenkes RI, 2011).

2.3.2 Konsep Dasar Desa Siaga Aktif

(52)

Pelayanan kesehatan bagi masyarakat di Desa Siaga Aktif diselenggarakan melalui berbagai UKBM, serta kegiatan kader dan masyarakat. Pelayanan ini selanjutnya didukung oleh sarana – sarana kesehatan seperti Puskesmas, Pustu dan rumah sakit. Pelayanan tersebut meliputi : (1) pelayanan kesehatan untuk ibu hamil; (2) pelayanan kesehatan untuk ibu menyusui; (3) pelayanan kesehatan untuk anak serta (4) penemuan dan penanganan penderita penyakit.

Pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan UKBM difokuskan kepada upaya surveilans berbasis masyarakat, kedaruratan kesehatan dan penanggulangan bencana serta penyehatan lingkungan.

Surveilans berbasis masyarakat adalah pengamatan dan pencatatan penyakit yang dilakukan dan diselenggarakan oleh masyarakat (kader) dibantu oleh tenaga kesehatan. Kegiatannya meliputi : (1) pengamatan dan pemantauan penyakit serta keadaan kesehatan ibu dan anak, gizi, lingkungan dan perilaku yang dapat menimbulkan masalah kesehatan masyarakat; (2) pelaporan cepat (kurang

dari 24 jam) kepada petugas kesehatan untuk respon cepat; (3) pencegahan dan penanggulangan sederhana penyakit dan masalah kesehatan

serta (4) pelaporan kematian.

(53)

penyebab masalah; (3) bantuan/fasilitasi pemenuhan kebutuhan sarana sanitasi dasar (air bersih, jamban, pembuangan sampah/limbah) di tempat pengungsian; (4) penyediaan relawan yang bersedia menjadi donor darah dan (5) pelayanan kesehatan bagi pengungsi.

Penyehatan lingkungan adalah upaya – upaya yang dilakukan masyarakat untuk memelihara lingkungan pemukiman dan sekitarnya agar terhindar dari penyakit dan masalah kesehatan. Kegiatannya meliputi : (1) promosi tentang pentingnya sanitasi dasar; (2) bantuan/fasilitasi pemenuhan kebutuhan sarana sanitasi dasar (air bersih, jamban, pembuangan sampah / limbah) dan (3) bantuan/fasilitas upaya pencegahan pencemaran lingkungan.

Masyarakat di Desa Siaga Aktif harus melaksanakan PHBS, yaitu sekumpulan perilaku yang dipraktekkan atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran, yang menjadikan seseorang, keluarga atau masyarakat mampu menolong dirinya sendiri (mandiri) di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakat. Indikator keberhasilan pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif adalah penerapan PHBS di rumah tangga, institusi pendidikan, tempat kerja, tempat umum, sarana kesehatan dan mengupayakan sarana dan kemudahan untuk melakukannya.

(54)

sehat; (7) memberantas jentik nyamuk; (8) mengonsumsi sayur dan buah setiap hari; (9) melakukan aktifitas fisik setiap hari dan (10) tidak merokok di dalam rumah (Kemenkes RI, 2011).

2.3.3 Tujuan Desa Siaga Aktif

Tujuan Umum pengembangan Desa Siaga Aktif adalah untuk percepatan terwujudnya masyarakat desa/kelurahan yang peduli, tanggap dan mampu mengenali, mencegah serta mengatasi permasalahan kesehatan yang dihadapi secara mandiri, sehingga derajat kesehatannya meningkat.

(55)

2.3.4 Manfaat Desa Siaga Aktif

Pengembangan Desa Siaga Aktif sangat bermanfaat bagi masyarakat, Puskesmas dan Pemerintah Kecamatan. Bagi masyarakat, manfaat yang dapat diperoleh adalah mudahnya mendapatkan pelayanan kesehatan dasar, masyarakat menjadi peduli, tanggap dan mampu mengenali, mencegah dan mengatasi masalah kesehatan yang dihadapi, masyarakat dapat tinggal dilingkungan yang sehat dengan mempraktikkan PHBS dan tokoh masyarakat serta kader dapat berperan aktif memberdayakan dan menggerakkan masyarakat. Dengan demikian, derajat kesehatan dan produktifitas masyarakat juga meningkat. Hal ini dapat dilihat dari jumlah hari – hari sehat yang banyak dan waktu kerja yang termanfaatkan secara optimal.

Manfaat yang diperoleh Puskesmas dengan adanya pengembangan Desa Siaga Aktif adalah meningkatkan cakupan program kesehatan, optimalisasi fungsi Puskesmas, menurunkan angka kesakitan dan kematian, serta meningkatkan citra Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan.

(56)

2.3.5 Kriteria Desa Siaga Aktif

(57)
[image:57.595.116.515.138.683.2]

Tabel 2.2 Tahap Pengembangan Desa Siaga Aktif dan Kriteria yang Harus Dipenuhi

Kriteria Pentahapan Desa/Kelurahan Siaga Aktif

Pratama Madya Purnama Mandiri

Forum Desa/Kelurahan Ada, tetapi belum berjalan Berjalan, tetapi belum rutin Berjalan setiap Triwulan Berjalan setiap bulan KPM/Kader Kesehatan Sudah ada minimal 2 orang

Sudah ada 3-5 orang

Sudah ada 6-8 orang Sudah ada 9 orang atau lebih Kemudahan akses Pelayanan Kesehatan Dasar

Ya Ya Ya Ya

Posyandu & UKBM lainnya aktif Posyandu ya, UKBM lainnya tidak aktif

Posyandu & 2 UKBM lainnya aktif

Posyandu & 3 UKBM lainnya aktif

Posyandu & 4 UKBM lainnya aktif Dukungan dana

untuk kegiatan kesehatan di Desa dan Kelurahan : (dari Pemerintah Desa dan Kelurahan, Masyarakat dan Dunia Usaha) Sudah ada dana dari Pemerintah Desa dan Kelurahan serta belum ada sumber dana lainnya

Sudah ada dana dari pemerintah Desa dan Kelurahan serta satu sumber dana lainnya

Sudah ada dana dari pemerintah Desa dan Kelurahan serta dua sumber dana lainnya Sudah ada dana dari pemerintah Desa dan Kelurahan serta dua sumber lainnya Peran serta masyarakat dan Organisasi Kemasyarakatan

Ada peran aktif masyarakat dan tidak ada peran aktif ormas

Ada peran aktif masyarakat dan peran aktif satu ormas

Ada peran aktif masyarakat dan peran aktif satu ormas Ada peran aktif masyarakat dan peran aktif lebih dari dua ormas Peraturan Kepala Desa atau peraturan Bupati/Walikota

Belum ada Ada, belum direalisasikan Ada, sudah direalisasikan Ada, sudah direalisasik an Pembinaan PHBS di Rumah Tangga

Pembinaan PHBS kurang dari 20% rumah tangga yang ada Pembinaan PHBS minimal 20% rumah tangga yang ada Pembinaan PHBS minimal 40% rumah tangga yang ada Pembinaan PHBS minimal 70% rumah tangga yang ada

(58)

2.3.6. Langkah-Langkah Pengembangan Desa Siaga Aktif

[image:58.595.118.509.285.510.2]

Kepala Desa/Lurah bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Perangkat Desa/Kelurahan, serta lembaga kemasyarakatan yang ada harus mendukung pengembangan Desa/Kelurahan Siaga Aktif. Kegiatannya merupakan langkah-langkah memfasilitasi siklus pemecahan masalah kesehatan yang dihadapi masyarakat yang dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.1 Upaya Pemecahan Masalah di Desa Siaga Aktif

Pengenalan kondisi Desa/Kelurahan oleh Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM), Lembaga kemasyarakatan, dan Perangkat Desa/Keluran, dilakukan bersama dan hasil analisis situasi perkembangan Desa/Kelurahan Siaga Aktif, yang sudah dapat atau belum dapat dipenuhi oleh Desa//Kelurahan yang bersangkutan.

1. PENGENALAN KONDISI DESA/KELURAHA 6. PEMBINAAN

KELESTARIAN

5. PELAKSANAAN KEGIATAN

2. IDENTIFIKASI MASALAH KESEHATAN &

3.

MUSYAWARAH DESA/KELURAH 4. PERENCANAAN

PARTISIPATIF FASILITATOR/KP

(59)

Selanjutnya dilakukan identifikasi terhadap : (1) masalah kesehatan yang dihadapi masyarakat dan prioritas penanganannya; (2) penyebab masalah kesehatan dan prilaku masyarakat; (3) potensi yang dimiliki oleh Desa/Kelurahan; (4) UKBM yang ada dan harus diaktifkan kembali/dibentuk baru dan (5) bantuan /dukungan yang diharapkan : apa bentuknya, berapa banyak, dari mana kemungkinan didapat (sumber) dan bilamana dibutuhkan.

Kemudian dilakukan musyawarah Desa/Kelurahan, dapat dilakukan secara berjenjang dengan terlebih dahulu menyelenggarakan Musyawarah Dusun atau Rukun Warga. Musyawarah Desa diselenggarakan dengan menyajikan hasil analisis data hasil kajian Profil Desa/Kelurahan dan atau hasil survey mawas diri (SMD). Musyawarah Desa/Kelurahan bertujuan untuk : (1) mensosialisasikan masalah kesehatan yang dihadapi; (2) mencapai kesepakatan urutan prioritas; (3) mencapai kesepakatan tentang UKBM yang dibentuk baru atau diaktifkan kembali; (4) memantapkan data potensi desa untuk sumber bantuan/dukungan yang diperlukan serta (5) Menggalang semangat dan partisipasi warga untuk mendukung pengembangan Desa/Kelurahan Siaga Aktif. Setelah diperoleh kesepakatan dari warga, KPM dan lembaga kemasyarakatan mengadakan pertemuan guna menyusun rencana pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif untuk dimasukkan kedalam Rencana Pembangunan Desa/Kelurahan

(60)

jamban keluarga, dll); (3) kegiatan yang akan dilaksanakan dan biaya operasionalnya; (4) hal-hal yang dapat dilaksanakan dengan swadaya masyarakat dan atau bantuan dari donator (misalnya swasta), disatukan dalam dokumen tersendiri. Sedangkan hal-hal yang memerlukan dukungan Pemerintah dimasukkan dalam ke dokumen Musrenbang Kecamatan dan Kabupaten/Kota.

Kegiatan – kegiatan yang dilaksanakan adalah kegiatan yang mendapat dukungan dana dari pemerintah dan sudah melewati proses Musrenbang. Kegiatan dapat dimulai dengan membentuk UKBM dan menetapkan kader-kader pelaksanaanya, dan pelaksanaan kegiatan yang tidak memerlukan biaya operasional seperti promosi kesehatan melalui Dasawisma, pertemuan Rukun Tetangga, pertemuan Rukun Warga/Dusun, atau forum-forum kegiatan kemasyarakatan dan keagamaan.

Tim pelaksana kegiatan bertanggung jawab mengenai realisasi fisik, keuangan dan administrasi kegiatan yang dilakukan, sesuai dengan rencana. Apabila dibutuhkan barang berupa bahan dan alat yang tidak dapat disediakan/dilakukan sendiri oleh masyarakat, maka Dinas Kesehatan melalui Puskesmas dapat membantu masyarakat untuk menyediakan barang/jasa tersebut. Pencatatan dan pelaporan kegiatan dilaksanakan sesuai dengan petunjuk teknis dari Kemendagri.

(61)

dengan dibantu oleh Dinas Kesehatan Provinsi untuk melaksanakannya, dengan mengacu kepada petunjuk teknis yang dibuat oleh Kemendagri dan Kemenkes.

Pembinaan kelestarian Desa Siaga Aktif tugas dari KPM, Kepala Desa/Lurah, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat. Pertemuan berkala dan kursus penyegaran bagi para kader, termasuk KPM, dapat dikembangkan dengan cara lain melalui program Kelompecapir dan Perpustakaan Desa/Kelurahan. Pembinaan kelestarian dapat dilaksanakan terintregasi dengan penyelenggaraan Perlombaan Desa dan Kelurahan yang diselenggarakan setiap tahun ketingkat Nasional. Pembinaan kelestarian juga diselenggarakan dengan pencatatan dan pelaporan perkembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif yang berjalan secara berjenjang dan terintegrasi dengan Sistem Informasi Pembangunan Desa yang diselenggarakan oleh Kemendagri, dengan demikian kesuksesan program ini juga ditentukan oleh persiapan yang matang, penyelenggaraan yang terorganisasi dan evaluasi secara berkala (Kemenkes RI, 2011).

2.3.7 Pembiayaan Desa Siaga Aktif

(62)

Aspek

Gambar

Tabel 2.1 Perbandingan Metode Analisis Biaya Manfaat
Tabel 2.2 Tahap Pengembangan Desa Siaga Aktif dan
Gambar 2.1 Upaya Pemecahan Masalah di Desa Siaga Aktif
Tabel 2.3  Perbandingan Analisa Biaya Desa Siaga Di NTB dan NTT
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tingkat paparan debu merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya keluhan kesehatan, hal ini dapat di lihat dari keterkaitan antara keluhan kesehatan dengan lamanya

Dinas Kesehatan dan KB Kabupaten Kepulauan Mentawai agar segera mempercepat pelaksanaan pembangunan sarana fisik Poskesdes dengan perlengkapannya, sehingga akses masyarakat

Forum Pokjanal Desa/Kelurahan Siaga Aktif Tingkat Kabupaten adalah kelompok yang menetapkan kebijakan-kebijakan koordinatif dan pembinaan dalam bentuk penerapan

Pendidikan Prenatal Melalui Kelas Ibu Hamil Dengan Persalinan Tenaga Kesehatan Di Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat Tahun 20075. Osninelli

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala seksi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dinas kesehatan Kabupaten Blora didapatkan banyak upaya yang dilakukan untuk

Komitmen implementor pelaksanaan POMP filariasis cukup baik, hal ini terlihat dari hasil wawancara kepada informan dimulai dari komitmen Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten

Adopsi pada program STBM di kelompok Cangkeng dan Kul-kul 2 masih dalam tahap intention yaitu ditandai dengan rata-rata rumah tangga memiliki motivasi dan kepedulian untuk