• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM ELIMINASI FILARIASIS DI KABUPATEN ACEH SELATAN TAHUN 2016 TESIS. Oleh MUTIA DIANA /IKM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM ELIMINASI FILARIASIS DI KABUPATEN ACEH SELATAN TAHUN 2016 TESIS. Oleh MUTIA DIANA /IKM"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM ELIMINASI FILARIASIS DI KABUPATEN ACEH SELATAN

TAHUN 2016

TESIS

Oleh

MUTIA DIANA 147032013/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2016

(2)
(3)

ABSTRAK

Penyakit filariasis masih menjadi masalah bagi kesehatan masyarakat.

Menurut data yang bersumber dari Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, tahun 2015 di Indonesia ada 241 kabupaten/kota yang endemis filariasis. Untuk mencapai target eliminasi filariasis di Indonesia tahun 2020, Pemerintah telah menetapkan kebijakan Program Eliminasi Filariasis sebagai salah satu prioritas nasional pemberantasan penyakit menular. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat proses implementasi pelaksanaan eliminasi filariasis di Kabupaten Aceh Selatan tahun 2016.

Jenis penelitian ini adalah kualitatif. Analisa data dilakukan dengan konsep Spradley, peningkatan validitas data dilakukan dengan triangulasi pada sumber dan metode pengumpulan data yang berbeda.

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa proses implementasi pelaksanaan eliminasi filariasis kurang berjalan dengan baik, ditemukan beberapa kendala yaitu biaya operasional pelaksanaan pengobatan massal dan dana kader sangat terbatas, kualitas sumber daya manusia yang belum memadai dan struktur organisasi yang belum terbentuk.

Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Selatan diharapkan meningkatkan sosialisasi kepada petugas kesehatan dan masyarakat, membina kerjasama lintas sektor terutama antar desa dan dinas kesehatan, meningkatkan advokasi kepada pemerintah daerah untuk meningkatkan anggaran bagi program eliminasi filariasis, meningkatkan kompetensi sumberdaya manusia dan membentuk struktur organisasi.

Kata Kunci : Eliminasi Filariasis, Implementasi, Kabupaten Aceh Selatan

(4)

ABSTRACT

Filariasis disease is still public health problem today. The data from the Directorate General of Disease Control and Environmental Health of the Department of Health of the Republic of Indonesia reveals that there are 241 districts/towns affected by endemic filariasis in Indonesia today. In order to achieve the target of filariasis elimination in Indonesia in 2020, the Government establishes the policy on filariasis elimination program as one of the national priorities in combating transmitted diseases.The objective of the research was to find out the implementation process of filariasis elimination in Aceh Selatan Regency in 2016.

The research used qualitative method. The data were analyzed by using Spradley concept and triangulation in the sources and in different data gathering was used to increase the validity of data. The result of the research showed that the implementation process of filariasis elimination program did not run well. Some obstacles were lack of operational cost of the implementation of mass medication and of cadres, inadequate human resources, and no organizational structure.

It is recommended that the Health Agency of Aceh Selatan Regency increase socialization to health care providers and to the people, develop cross-sectoral collaboration, especially between villages and the Health Agency, increase advocacy to the regional government in order to increase the budget for filariasis elimination program, improve the competence of human resources, and establish organizational structure.

Keywords: Filariasis Elimination, Implementation, Aceh Selatan Regency

(5)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil A’lamin, segala puji hanya milik Allah SWT, atas rahmat-Nyalah penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Analisis Implementasi Kebijakan Program Eliminasi Filariasis di Kabupaten Aceh Selatan Tahun 2016”.

Adapun tujuan penulisan Tesis ini adalah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kesehatan (M. Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara,

Pembuatan Tesis ini didasarkan pada petunjuk yang telah ditetapkan. Namun demikian Penulis menyadari bahwa pembuatan Tesis ini masih jauh dari kesempurnaan , oleh sebab itu Penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari pembaca demi kesempurnaan Tesis ini.

Proses penyusunan tesis ini dapat terwujud berkat dukungan, bimbingan, arahan dan bantuan baik moral maupun material dari berbagai pihak. Untuk itu izinkan penulis mengucapkan terima kasih yang tak terrhingga dan penghargaan kepada :

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu S.H. M.Hum sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara

(6)

2. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang diberikan menjadi mahasiswa Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Ir, Evawany Aritonang, M.Si selaku sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah membimbing dan memberikan masukan serta saran dalam penyelesaian tesis.

4. dr. Rahayu Lubis, M.Kes, Ph.D sebagai Ketua Komisi Pembimbing tesis dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan serta meluangkan waktu dan pikiran dalam pembimbingan penulis mulai dari penulisan proposal hingga penulisan tesis selesai.

5. dr. Heldy BZ, MPH sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang selalu bersedia meluangkan waktu dalam membimbing, memberikan masukan dan pemikiran dengan penuh kesabaran di tengah – tengah kesibukannya.

6. Prof.Dr.Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Ketua penguji yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis.

7. Drh. Rasmaliah M.Kes selaku Anggota Komisi Pembanding yang telah membantu memberikan bimbingan, masukan dan saran untuk perbaikan tesis ini.

(7)

8. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Selatan dan seluruh pegawai , yang telah memberikan izin dan membantu terlaksananya penelitian ini.

9. Keluarga tercinta ayahanda (Alm) Drh Syamsuddin Ali dan Ibunda Drh Idawati Nasution, M.Si, suami saya Muhammad Daniel S.H, anak – anak kami, Aylsa Shaliha Lathifa dan Naura Syifa Zahira serta Adik saya Aulia Adni SE.Ak yang telah banyak memberikan motivasi dan doa .

10. Seluruh staf dan dosen pada program studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

11. Rekan-rekan mahasiswa/mahasiswi program pasca sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara khususnya peminatan Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Tahun Akademi 2014 yang telah banyak memberikan semangat dan dorongan serta saling berbagi suka dan duka selama mengikuti pendidikan ini.

Penulis menyadari dalam penulisan tesis ini masih terdapat banyak kekurangan dan kelemahan dan masih jauh dari kesempurnaan, Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun yang sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan harapan semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan dan pengembangan Ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.

Medan, 30 Juni 2016 Penulis

Mutia Diana 147032013/IKM

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Banda Aceh pada tanggal 18 Juni 1981, putri dari (Alm) Drh.

Syamsuddin Ali dan Drh. Idawati Nasution M.Si.

Pendidikan sekolah dasar di SD Negeri 10 Banda Aceh tahun 1987 dan SD Kebon Pedes III Bogor lulus tahun 1993, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 11 Bogor Tahun 1993 dan di SMP Negeri 1 Banda Aceh lulus tahun 1996. Sekolah menengah atas di SMA Negeri 1 Banda Aceh tahun 1996 dan lulus tahun 1999.

Tahun 1999 melanjutkan pendidikan di Fakultas MIPA Jurusan Kimia Universitas Syiah Kuala. Selanjutnya penulis memilih untuk kuliah di Fakultas Kedokteran Umum Jurusan Pendidikan Dokter Tahun 2000.

Pada tahun 2010 penulis bekerja di Puskesmas Tapaktuan sebagai Dokter Puskesmas, kemudian pada tahun 2013 penulis diangkat sebagai Kepala UPTD Puskesmas Lhok Bengkuang. Pada bulan Oktober 2014 penulis mendapat tugas belajar di Program Magister Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR MATRIKS ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan... 10

1.3. Tujuan Penelitian ... 11

1.4. Manfaat Penelitian ... 11

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 12

2.1. Analisis ... 12

2.2. Kebijakan ……….. 13

2.2.1. Pengertian Kebijakan ... 13

2.2.2. Pengertian Kebijakan Publik ... 14

2.2.3. Karakter Utama Kebijakan Publik ……… 15

2.2.4 Tahap-tahap Pembuatan Kebijakan Publik ... 15

2.2.5. Implementasi Kebijakan Publik ... 17

2.2.6. Faktor-faktor yang Memengaruhi Keberhasilan Implementasi Kebijakan ... 18

2.2.7. Analisa Kebijakan Publik ... 28

2.2.8. Kebijakan Kesehatan ... 28

2.2.9. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kebijakan Kesehatan 29

2.2.10. Kerangka Konsep dalam Kebijakan Kesehatan ... 31

2.3. Filariasis ... 32

2.3.1. Definisi ... 32

2.3.2. Wucheria bancrofti ... 32

2.2.3. Brugia Malayi dan Brugia Timori ... 37

2.4 Program Penanggulangan Filariasis (Permenkes No 94 2014).. 40

2.5. Strategi Eliminasi Filariasis di Indonesia ... 42

2.6. Pemberian Obat Pencegahan Secara Massal (POPM) Filariasis 46

2.7. Landasan Teori ………. . 50

(10)

2.8 Kerangka Pikir ……….. 50

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 51

3.1. Jenis Penelitian ... 51

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 51

3.3. Informan Penelitian ... 51

3.4. Instrumen Penelitian ... 53

3.5. Metode Pengumpulan Data ... 54

3.6. Defenisi Operasional ... 54

3.7. Metode Pengolahan Data ... 56

3.8. Metode Analisa Data ... 56

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 58

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 58

4.1.1 Gambaran Umum Kabupaten Aceh Selatan ... 58

4.1.2 Gambaran Umum Dinas Kesehatan Kab. Aceh Selatan... 66

4.2 Karakteristik Informan ... 68

4.3 Penyajian dan Analisis Data ... 69

4.3.1 Implementasi Pelaksanaan Eliminasi Filariasis di Kab.Aceh Selatan ... 69

BAB 5. PEMBAHASAN ... 85

5.1 Implementasi Pelaksanaan Eliminasi Filariasis ... 85

5.1.1 Pengaruh Komunikasi Terhadap Implementai Pelaksanaan Eliminasi Filariasis Di Kabupaten Aceh Selatan ... 58

5.1.2 Sumber Daya ... 90

5.1.3 Disposisi atau Sikap... 95

5.1.4 Struktur Organisasi ... 96

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 98

6.1 Kesimpulan ... 6.2 Saran ... DAFTAR PUSTAKA ... 102

LAMPIRAN ... 105

(11)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

1.1 Jumlah Kasus Filariasis di Kabupaten Aceh Selatan Tahun 2015

Berdasarkan Wilayah Kerja Puskesmas……….. 7 2.1 Jadwal Kegiatan POMP Filariasis……….. 49 4.1 Jumlah Tenaga Kesehatan menurut Jenis Tenaga, Ratio dan Proporsi 64

4.2 Karakteristik Informan ……… 69

(12)

DAFTAR MATRIKS

No Judul Halaman

4.1 Pendapat Informan Perihal Kegiatan advokasi Pelaksanaan Program

Eliminasi………. 71 4.2 Kesimpulan Hasil Wawancara Kepada Informan dari Puskesmas Perihal

Kegiatan Advokasi Pelaksanaan Program Eliminasi Filariasis………….. 72 4.3 Pendapat Informan dri Dinas Kesehatan Perihal Kegiatan Advokasi

Pelaksanaan Program Eliminasi Filariasis ………. 73 4.4 Kesimpulan Hasil Wawancara Kepada Informan dari Dinas Kesehatan

Aceh Selatan Perihal Kegiatan Advokasi Pelaksanaan Program Eliminasi Filariasis………. 73 4.5 Pendapat Informan dari Puskesmas Perihal Intensitas Advokasi Program

Eliminasi Filariasis di Kabupaten Aceh Selatan ……….. 74 4.6 Kesimpulan Hasil Wawacara Kepada Informan Dari Puskesmas Perihal

Intensitas Advokasi Program Eliminasi Filariasis di Kabupaten Aceh

Selatan……….. 75 4.7 Instrumen kebijakan Pelaksanaan Eliminasi Filariasis ……….. 76 4.8 Kesimpulan Hasil Wawancara Kepada Informan Dari Dinas Kesehatan

Perihal Instrumen kebijakan Pelaksanaan Eliminasi Filariasis …………. 76 4.9 Kecukupan Dana Pelaksanaan Eliminasi Filariasis……… 77 4.10 Kesimpulan Hasil Wawancara Kepada Informan dari Dinas Kesehatan

Perihal Kecukupan Dana Pelaksanaan Eliminasi Filariasis………... 79 4.11 Kendala SDM Dalam Program Eliminasi Filariasis……….. 80 4.12 Kesimpulan Hasil Wawancara Kepada Informan dari Dinas Kesehatan

dan Dari Puskesmas Perihal Kendala SDM Dalam Program

Eliminasi Filariasis……… 81

(13)

4.13 Komitmen Implementor terhadap Kebijakan Pelaksanaan Eliminasi

Filariasis ……… 82 4.14 Kesimpulan Hasil Wawancara Kepada Informan dari Dinas Kesehatan

dan Dari Puskesmas Perihal Komitmen Implementor Terhadap

Kebijakan Pelaksanaan Eliminasi Filariasis ……….……... 83 4.15 Struktur Organisasi Program Eliminasi ……… 83 4.16 Kesimpulan Hasil Wawancara Perihal Struktur Organisasi Program

Eliminasi ……… 84

(14)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

1.1. Peta daerah Endemik Filariasis Kabupaten Aceh Selatan Tahun 2015 .... 9

2.1. Segitiga Analisis Kebijakan ... 31

2.2. Skema Rantai Penularan Filariasis Wuchereria Bancrofti ... 34

2.3. Siklus Hidup Cacing Filariasis ... 34

2.4. Daur Hidup Mikrofilaria Dalam Tubuh Manusia... 35

2.5. Skema Rantai Penularan Filariasis Limfatik (Brugia Malayi)………… .. 38

2.6. Jejaring Pencatatan dan Pelaporan Survei Penderita Filariasis Kronis.. ... 43

2.7. Jejaring Pencatatan dan Pelaporan Survei Evaluasi Prevalensi Mikrofilari………. .. 44

2.8. Tahapan Umum POPM Filariasis ……… 47

2.9. Tahapan Kegiatan POPM Filariasis pada Daerah Endemis Filariasis … 48 2.10. Kerangka Pikir Penelitian ……… 50

(15)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Filariasis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh mikrofilaria yang ditularkan melalui berbagai jenis nyamuk. Terdapat 3 jenis spesies cacing penyebab filariasis yaitu Wuchereria bancrofti; Brugia malayi; Brugia timori. Semua spesies tersebut terdapat di Indonesia, filariasis terbanyak disebabkan oleh Brugia malayi. Cacing tersebut hidup di kelenjar dan saluran getah bening sehingga menyebabkan kerusakan pada system limfatik yang dapat menimbulkan gejala akut dan kronis.

Gejala akut berupa peradangan kelenjar dan saluran getah bening (adenolimfangitis) terutama di daerah pangkal paha dan ketiak tetapi dapat pula di daerah yang lain. Gejala kronis terjadi akibat penyumbatan aliran limfe terutama di daerah yang sama dengan terjadi nya peradangan dan menimbulkan gejala seperti kaki gajah (elephantiasis) dan hidrokel (Depkes, 2010).

Pada tahun 2014, di dunia terdapat 120 juta orang terinfeksi larva cacing filariasis dimana 40 juta orang diantaranya telah menderita akibat penyakit tersebut.

Pengaruh dari MDA (Mass Drug Administration) selama 13 tahun dilaksanakan menghasilkan lebih dari 96 juta kasus filariasis terlindungi atau dapat diobati, masih ada 36 juta kasus hidrokel dan lymphoedema yang belum tertangani.

(16)

2

Pada tahun 2014, 73 negara endemis di dunia dinyatakan bahwa 18 negara telah menjalani fase surveilan dengan 55 negara melanjutkan MDA (Mass Drug Administration). 7 Negara belum memulai MDA dan tidak mempunyai laporan indicator evidence epidemiology dan tidak mewajibkan MDA. MDA hanya sedikit diimplementasikan pada daerah endemic yaitu di 23 negara, dimana 21 negara dapat menjalankan MDA (100% Geographical Coverage). Sedangkan negara-negara yang belum mencapai 100% Geographical Coverage tidak mempertimbangkan MDA sebagai jalan keluar dari masalah kesehatan publik (WHO,2015).

Pada tahun 2007, World Health Assembly menetapkan resolusi “Elimination Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem” yang kemudian dipertegas oleh World Health Organization (WHO) dengan deklarasi “The Global Goal of Elimination of Lymphatic as a Public Health Problem by the Year 2020”. Di dunia terdapat 1,3 miliar penduduk yang beresiko tertular penyakit kaki gajah di lebih dari 83 negara, sementara dari seluruh kasus yang ada di dunia 60% kasus berada di Asia Tenggara (Depkes, 2015)

Di Indonesia sampai saat ini dilaporkan terdapat lebih dari 14.932 penderita kasus kronis yang tersebar di 418 kabupaten/kota di 34 propinsi. Dari data yang dilaporkan oleh Dinas kesehatan propinsi dan hasil suvei di Indonesia kasus filariasis kronis 10 tahun terakhir cenderung meningkat. Pada tahun 2005 ada 8.243 kasus filariasis meningkat menjadi 14.932 orang dari 418 kabupaten/kota di 34 propinsi.

Dari tahun 2002 – 2014 kumulatif kasus filariasis kronis yang cacat yang paling tertinggi di Nusa Tenggara Timur yaitu 3.175 kasus di 20 kabupaten/kota,

(17)

3

Aceh sebesar 2.375 kasus di 21 kabupaten/kota, Papua Barat dengan 1.765 kasus di 12 kabupaten/kota (Depkes 2015).

Penyelenggaraan eliminasi filariasis diprioritaskan pada daerah endemis filarisis. Endemisitas filariasis di kabupaten/kota ditentukan berdasarkan survei pada desa yang memiliki kasus kronis, dengan memeriksa sidik darah jari dari 500 orang yang tinggal di daerah tempat tinggal penderita kronis tersebut pada malam hari.

Mikrofilaria (Mf) rate 1 % atau lebih merupakan indikator suatu kabupaten/kota menjadi daerah endemis filariasis. Mf rate dihitung dengan cara membagi jumlah sediaan yang positif microfilaria dengan jumlah sediaan darah yang diperiksa dikali seratus persen (Depkes, 2010)

Sampai tahun 2014 berdasarkan survey darah jari dari 511 kabupaten/kota di Indonesia ada 241 kabupaten/kota sebagai daerah endemis (mikrofilaria >1%). Dari 241 kabupaten/kota, sebanyak 46 kabupaten/kota yang telah melaksanakan POPM (Pemberian Obat Pencegahan Massal) filariasis minimal 5 tahun berturut-turut dengan cakupan pengobatan diatas 65 % berhasil menurunkan microfilaria pada masyarakat menjadi < 1%. Untuk 195 kabupaten/kota lainnya akan melaksanakan POPM filariasis tahun 2015-2019.

Indonesia menetapkan eliminasi filariasis sebagai salah satu prioritas nasional untuk pemberantasan penyakit menular sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2004-2009. Program pemberantasan filariasis sendiri telah dilaksanakan sejak tahun 1975, terutama di daerah-daerah endemis tinggi. Menteri

(18)

4

Kesehatan pada tanggal 8 April 2002, di desa Mainan, kecamatan Banyuasin III, kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan telah mencanangkan dimulainya eliminasi filariasis global di Indonesia, dan menerbitkan surat edaran kepada Gubernur dan Bupati/Walikota di seluruh Indonesia tentang Pelaksanaan Pemetaan Endemisitas Filariasis, Pengobatan Masal Daerah Endemis Filariasis dan Tata Laksana Penderita Filariasis di Semua Daerah (Menteri Kesehatan Nomor 612/MENKES/VI/2004).

Disamping itu, Program Penatalaksanaan Kasus Filariasis yang merupakan salah satu program eliminasi filariasis, ditetapkan menjadi salah satu kewenangan wajib Pemerintah Daerah, sesuai dengan Keputusan Menteri kesehatan RI Nomor 1457/MENKES/SK/X/2003 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota. Pedoman pengendalian filariasis tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan republik Indonesia Nomor: 1582/MENKES/SK/XI/2005 Tanggal 18 November 2005.

Indonesia sepakat untuk memberantas filariasis sebagai bagian dari eliminasi filariasis global melalui 2 pilar kegiatan yaitu:

1. Memutuskan mata rantai penularan filariasis dengan pemberian obat pencegahan massal (POPM) filariasis di daerah endemis sekali setahun selama 5 tahun berturut-turut.

2. Mencegah dan membatasi kecacatan dengan penatalaksanaan kasus filariasis mandiri.

Untuk pelaksanaan POPM filariasis ini dibutuhkan biaya yang meliputi biaya pengadaan obat yang menjadi tanggung jawab pusat dan biaya operasional yang

(19)

5

terdiri dari biaya advokasi sosialisasi, penyuluhan, pelatihan kader, pendataan sasaran, distribusi obat, rujukan serta biaya monitoring evaluasi menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota.

Untuk menurunkan angka kesakitan dan kecacatan maka dilakukan upaya pencegahan. Apabila dihubungkan dengan ekonomi kesehatan maka dilihat berdasarkan penduduk kabupaten/kota daerah endemis, jumlah penduduk beresiko adalah 102.279.736 orang. Jumlah penduduk terinfeksi filariasis (beresiko menjadi penderita kronis adalah 4.807.148 orang. Sehingga kerugian yang ditimbulkan bila tidak diberlakukan POPM filariasis adalah 4.807.148 x Rp.2.755.440 (asumsi kerugian ekonomi penderita filariasis per tahun, berdasarkan biaya hidup (UMR) = Rp. 13.245.807.890.000/tahun).

Rata-rata prevalensi mikrofilaria di Indonesia adalah 4,7%. Adanya peningkatan cakupan POPM Filariasis dari tahun 2010-2014. Pada tahun 2010 cakupan POPM filariasis sebesar 39,4% meningkat menjadi 73,9% pada tahun 2014.

Hal ini disebabkan oleh meningkatnya sosialisasi yang diberikan kepada masyarakat akan penting nya minum obat pencegahan filariasis yang diberikan setahun sekali pada daerah endemis.

Kegiatan tata laksana kasus filariasis klinis harus dilaksanakan pada semua penderita. Tata laksana ini bertujuan untuk mencegah atau mengurangi kecacatan penderita dan agar penderita menjadi mandiri dalam merawat dirinya. Setiap penderita dibuat status rekam medis yang disimpan di puskesmas dan mendapat

(20)

6

kunjungan dari petugas kesehatan minimal 7 (tujuh) kali dalam setahun (Depkes, 2015).

Menurut hasil penelitian yang dilakukan Romaito, pada tahun 2013 di Kabupaten Labuhan Batu Selatan, Sumatera Utara, memperlihatkan bahwa implementasi pelaksanaan pengobatan massal pencegahan filariasis kurang berjalan dengan baik, dengan indikator yaitu kurangnya sosialisasi kepada petugas kesehatan dan kepada masyarakat, kerjasama lintas sektor belum terbina, biaya operasional pelaksanaan pengobatan massal sangat terbatas, kualitas sumber daya manusia yang belum memadai, fasilitas pendukung pelaksanaan pengobatan massal kurang lengkap, struktur organisasi yang belum terbentuk dan petunjuk pelaksanaan tugas yang tidak jelas.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan Risa, pada tahun 2013, di Kabupaten Bengkalis, menunjukkan bahwa kurangnya media sosialisasi dan penyiapan masyarakat terkait pelaksanaan POPM Filariasis menyebabkan masih banyak masyarakat yang belum mengetahui dengan jelas tentang penyakit filariasis dan pengobatan massal filariasis. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Romaito dan Risa dapat disimpulkan Pelaksanaan program Eliminasi Filariasis dapat terlaksana dengan baik dipengaruhi oleh berbagai faktor dan memerlukan kerjasama lintas sektoral

Penelitian yang dilakukan oleh Sekar Tuti dkk di Kabupaten Sikka, Provinsi NTT menunjukkan bahwa secara umum masyarakat masih memiliki pengetahuan

(21)

7

yang rendah tentang filariasis. Untuk itu kegiatan penyuluhan merupakan salah satu hal yang efektif untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang filariasis.

Berikut ini disajikan data kasus filariasis yang dilaporkan oleh puskesmas yang diterima oleh Dinas Kesehatan Aceh Selatan pada tahun 2015.

Tabel 1.1 Jumlah Kasus Filariasis di Kabupaten Aceh Selatan Tahun 2015 Berdasarkan Wilayah Kerja Puskesmas

No Puskesmas Jumlah Kasus

1 Blang Kejren 0

2 Labuhan Haji 1

3 Plumat 1

4 Drien Jalo 1

5 Meukek 1

6 Sawang 0

7 Samadua 0

8 Tapaktuan 0

9 Lhok Bengkuang 0

10 Ladang Tuha 0

11 Kluet Utara 0

12 Kampong Paya 0

13 Kuala Ba’u 1

14 Manggamat 0

15 Kluet Selatan 1

16 Kluet Timur 0

17 Durian Kawan 1

18 Bakongan 3

19 Bukit Gadeng 8

20 Seubadeh 5

21 Trumon 11

22 Ladang Rimba 4

23 Krueng Luas 1

Jumlah 42

Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Selatan, 2016.

Kondisi topografi Kabupaten Aceh Selatan sangat bervariasi, terdiri dari dataran rendah, bergelombang hingga pegunungan dengan tingkat kemiringan sangat

(22)

8

curam/terjal (Profil Kabupaten Aceh Selatan, 2014). Dari keadaan geografisnya, kabupaten Aceh Selatan sangat potensial sekali untuk perkembangbiakan vektor filariasis.

Program Eliminasi Filariasis di Kabupaten Aceh Selatan Selatan masih banyak kendala dari berbagai pihak, terutama masalah dana operasional. Dari observasi dan wawancara awal kepada Kepala Bidang Pengendalian Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Selatan, belum pernah dilaksanakan POPM.

Pada bulan Desember 2013 telah dilakukan advokasi kepada Bupati dan DPRD Kabupaten Aceh Selatan beserta instansi terkait lainnya. Advokasi tersebut menghasilkan Nota Kesepakatan antara Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Selatan dan DPRD Kabupaten Aceh Selatan tentang Kesanggupan Pelaksanaan Program Eliminasi Filariasis di Kabupaten Aceh Selatan. Namun kelanjutan dari Nota Kesepakatan tersebut tidak diperkuat dengan pembuatan peraturan daerah yang mendukung Program Eliminasi Filariasis tersebut. Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Selatan belum mendapatkan komitmen yang serius dari Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan, meskipun advokasi sudah dilakukan. Alokasi dana untuk Program Eliminasi Filariasis sangat terbatas, akibatnya kegiatan pengobatan massal filariasis belum terlaksana. Alokasi dana tidak diperuntukkan khusus untuk program eliminasi filariasis, sehingga harus berbagi kepentingan dengan program lainnya. Peta wilayah kerja sudah tersedia, namun peta daerah endemik filariasis hanya berdasarkan kasus kronis.

(23)

9

Gambar 1.1 Peta Daerah Endemik Filariasis Kabupaten Aceh Selatan Tahun 2015

Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Selatan belum mempunyai laboratorium sendiri, namun Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Yulidin Away sudah mempunyai laboratorium yang mampu melakukan pemeriksaan mikroskopis filariasis. Akan tetapi di RSUD Yulidin Away belum ada petugas yang dilatih secara khusus untuk menangani kasus filariasis, baik petugas mikroskopis, paramedis maupun dokter. Penyuluhan hanya dilakukan di posyandu, digabung dengan penyuluhan untuk penyakit menular lain seperti demam berdarah dan malaria.

Kerjasama dengan lintas sektor dan mitra terkait juga belum dibina secara maksimal.

Peran serta masyarakat dan dukungan tokoh masyarakat juga dirasakan sangat kurang.

Sebagai salah satu penyakit menular di Kabupaten Aceh Selatan, maka penyakit filariasis sangat memerlukan perhatian khusus dalam pencegahan dan pemberantasannya. Di samping itu, Program Eliminasi Filariasis sudah ditetapkan oleh WHO sebagai Kesepakatan Global Eliminasi Filariasis tahun 2020 (The Global

(24)

10

Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by the Year 2020). Pemerintah sendiri telah menetapkan Program Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Filariasis sebagai salah satu kewenangan wajib pemerintah daerah sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1457/MENKES/SK/2003 tentang Standart Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1582/MENKES/

SK/XI/2005 tentang Pedoman Pengendalian Filariasis (Penyakit Kaki Gajah), telah ditetapkan indikator kinerja Program Eliminasi Filariasis yaitu tercapainya kabupaten/kota eliminasi filariasis (apabila hasil evaluasi tahun kelima pengobatan massal menunjukkan microfilaria rate < 1%) dan kasus klinis yang ditangani per tahun > 90%. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1582/MENKES/SK/XI/2005 tentang Pedoman Pengendalian Filariasis (Penyakit Kaki Gajah), diharapkan pada tahun 2014 semua kabupaten/kota endemis filariasis telah melaksanakan pengobatan massal filariasis tahun kelima.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka menarik minat peneliti untuk menganalisis bagaimana kebijakan program eliminasi filariasis diimplementasikan.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

a) Belum diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kebijakan yang akan dilaksanakan dalam rangka eliminasi filariasis di Kabupaten Aceh Selatan.

(25)

11

b) Terdapat Hambatan yang dihadapi oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Selatan dalam mengusahakan pelaksanaan POMP filariasis di Kabupaten Aceh Selatan.

1.3. Tujuan Penelitian

Mengetahui dan Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan implementasi kebijakan Program Eliminasi Filariasis khususnya pelaksanaan POMP filariasis yang belum dilakukan di Kabupaten Aceh Selatan.

1.4. Manfaat Penelitian

a) Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Selatan dalam mengeliminasi filariasis di Kabupaten Aceh Selatan.

b) Sebagai bahan masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Selatan dalam mengimplementasikan Kebijakan Program Eliminasi Filariasis di Kabupaten Aceh Selatan.

c) Sebagai bahan masukan bagi petugas puskesmas dalam melaksanakan Program Eliminasi Filariasis di Kabupaten Aceh Selatan.

d) Sebagai tambahan informasi dan referensi tentang filariasis sehingga menjadi dasar bagi akademisi dan peneliti lain untuk melakukan penelitian selanjutnya.

(26)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Analisis

Analisis adalah kegiatan menjabarkan (menguraikan) sesuatu dengan cara tertentu sehingga terlihat hubungan satu dengan yang lain dari sesuatu. Sifatnya tidak sembarang memilah-milah tapi kegiatan menganalisis merupakan suatu metode ilmiah sehingga dapat dilihat hubungan-hubungan yang signifikan dari suatu entitas tertentu (Ibrahim, 2004).

2.2. Kebijakan

2.2.1. Pengertian Kebijakan

Kebijakan adalah prosedur memformulasikan sesuatu berdasarkan aturan tertentu.

Kebijakan itu bentuk nyata (praktis) dari kebijaksanaan (Ibrahim, 2004). Menurut Ealau dan Pewitt (1973) (Suharto, 2008), kebijakan adalah sebuah ketetapan yang berlaku, dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang baik dari yang membuat atau yang melaksanakan kebijakan tersebut. Menurut Titmuss (1974) (Suharto,2008), kebijakan adalah prinsip-prinsip yang mengatur tindakan dan diarahkan pada tujuan tertentu. Kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut Carl Friedrich, kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-

(27)

13

hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan. Anderson merumuskan kebijakan sebagai langkah tindakan secara sengaja dilakukan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan tertentu yang dihadapi (Winarno,2012)

2.2.2. Pengertian Kebijakan Publik

Menurut Amir Santoso (1986) (Solahuddin , 2010), menggolongkan pengertian kebijakan publik dalam dua konsentrasi, yaitu konsentrasi pada tindakan-tindakan pemerintah dan konsentrasi pada implementasi kebijakan dan dampak.

a. Pengertian yang terkonsentrasi pada tindakan pemerintah, misalnya yang dikemukakan oleh:

1. Rs Parker

Kebijakan publik adalah suatu tujuan tertentu atau serangkaian prinsip atau tindakan yang dilakukan oleh pemerintah pada periode tertentu dalam hubungan nya dengan suatu subjek atau tanggapan terhadap krisis.

2. Thomas R. Dye

Kebijakan publik adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan tindakan atau tidak melakukan tindakan.

3. Edward dan Sharkansky

Kebijakan publik adalah apa yang dikatakan dan dilakukan pemerintah, mencakup tujuan-tujuan, maksud program pemerintah, pelaksanaan niat dan peraturan.

(28)

14

b. Pengertian yang terkonsentrasi pada implementasi dan dampak kebijakan diajukan oleh:

1. Nakamura dan Smalwood

Kebijakan publik adalah serangkaian intruksi dari pembuat keputusan kepada pelaksana kebijakan yang menjelaskan tujuan-tujuan dan cara-cara mencapai tujuan tersebut.

2. Wildavsky

Kebijakan publik merupakan suatu hipotesis yang mengandung kondisi- kondisi awal dari aktifitas pemerintah dan akibat-akibat yang bias diramalkan.

2.2.3 Karakter Utama Kebijakan Publik

Karakter utama dari kebijakan publik adalah sebagai berikut:

a. Setiap kebijakan publik selalu memiliki tujuan, yakni untuk menyelesaikan masalah publik. Setiap kebijakan publik akan selalu mengundang makna sebagai upaya masyarakat untuk mencari pemecahan masalah yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks ini, kebijakan publik juga dapat dipandang sebagai suatu upaya untuk menyelesaikan masalah bersama warganegara yang tidak dapat mereka tanggulangi secara perorangan.

b. Setiap kebijakan publik merupakan pola tindakan yang terjabarkan dalam program dan kegiatan. Oleh karena itu, suatu kebijakan publik secara lebih konkret dapat diamati dalam wujud rencana, program dan kegiatan. Dalam konteks ini, aspek khas dari kebijakan publik adalah esensi nya sebagai suatu

(29)

15

upaya untuk menemukan jawaban terhadap persoalan atau masalah yang sulit (Hamdi, 2014)

2.2.4 Tahap-tahap Pembuatan Kebijakan Publik

Tahap-tahap pembuatan kebijakan publik menurut Dunn (2003) adalah sebagai berikut :

a. Penyusunan Agenda (Agenda Setting)

Agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik. Dalam proses inilah ada ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan. Jika sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih dari pada isu lain. Dalam agenda setting juga sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Issue kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy problem). Policy issues biasanya muncul karena telah terjadi silang pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut. Menurut Dunn (1999), isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah tertentu. Namun tidak semua isu bisa masuk menjadi suatu agenda kebijakan.

(30)

16

b. Formulasi Kebijakan

Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah.

c. Adopsi/ Legitimasi Kebijakan

Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar pemerintahan. Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan mengikuti arahan pemerintah. Namun warga negara harus percaya bahwa tindakan pemerintah yang sah harus didukung.

Legitimasi dapat dikelola melalui manipulasi simbol-simbol tertentu, dimana melalui proses ini, warga negara belajar untuk mendukung pemerintah.

d. Implementasi Kebijakan

Kebijakan yang telah diambil, dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasi sumber daya finansial dan manusia.

e. Penilaian / Evaluasi Kebijakan

Evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak.

Dalam hal ini, evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya,

(31)

17

evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalah-masalah kebijakan program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan.

2.2.5 Implementasi Kebijakan Publik

Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Implementasi kebijakan merupakan tahap yang paling penting dalam proses kebijakan.

Beberapa definisi implementasi kebijakan yang dirangkum oleh Agustino (2006) adalah sebagai berikut :

a. Bardach (Agustino, 2006)

Implementasi kebijakan adalah cukup untuk membuat sebuah program dan kebijakan umum yang kelihatannya bagus di atas kertas. Lebih sulit lagi merumuskannya dalam kata–kata dan slogan-slogan yang kedengarannya mengenakkan bagi telinga para pemimpin dan para pemilih yang mendengarkannya, dan lebih sulit lagi untuk melaksanakannya dalam bentuk yang memuaskan orang.

b. Metter dan Horn (1975) (Agustino, 2006)

Implementasi kebijakan ialah tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau

(32)

18

swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan.

c. Mazmanian dan Sabatier (1983) (Agustino, 2006)

Implementasi kebijakan adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan.

Keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai dan berbagai cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses implementasinya.

Dari definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan menyangkut minimal tiga hal yaitu: (1) adanya tujuan atau sasaran kebijakan, (2) adanya aktifitas atau kegiatan pencapaian tujuan dan (3) adanya hasil kegiatan (Agustino,2008). Hal ini sesuai pula dengan apa yang diungkapkan oleh Lester dan Stewart (2000) (Agustino, 2008), bahwa implementasi sebagai suatu

proses dan suatu hasil (output). Keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat diukur atau dilihat dari proses dan pencapaian tujuan hasil akhir (output) yaitu tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan yang ingin diraih.

2.2.6 Faktor-faktor yang Memengaruhi Keberhasilan Implementasi Kebijakan Keberhasilan implementasi kebijakan ditentukan oleh banyak variabel atau faktor dan masing-masing variabel atau faktor tersebut saling berhubungan satu sama lain. Untuk memperdalam pemahaman kita terhadap variabel atau faktor apa saja

(33)

19

yang memengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan, maka berikut ini dipaparkan teori implementasi menurut Subarsono (2009) :

a. Teori George C.Edward III (1980)

Menurut George C. Edward III, ada empat faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan atau kegagalan implementasi suatu kebijakan, yaitu faktor sumber daya, birokrasi, komunikasi, dan disposisi. (Subarsono,2009).

1. Faktor Sumber Daya

Kebijakan, karena bagaimanapun dibutuhkan kejelasan dan konsistensi dalam menjalankan suatu kebijakan dari pelaksana (implementor) kebijakan. Jika para personil yang mengimplementasikan kebijakan kurang bertanggung jawab dan kurang mempunyai sumber-sumber untuk melakukan pekerjaan secara efektif, maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan bisa efektif.

Menurut Winarno (2012), sumber-sumber yang akan mendukung kebijakan yang efektif terdiri dari :

1. Staf

Sumber daya manusia pelaksana kebijakan, dimana sumber daya manusia tersebut memiliki jumlah yang cukup dan memenuhi kualifikasi untuk melaksanakan kebijakan. Sumber daya manusia memiliki jumlah yang cukup dan memenuhi kualifikasi adalah para pelaksana yang berjumlah cukup dan memiliki kemampuan dan ketrampilan yang diperlukan dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan. Jumlah pelaksana yang banyak tidak otomatis mendorong implementasi yang berhasil, jika tidak memiliki ketrampilan

(34)

20

yang memadai. Di sisi lain kurangnya personil yang memiliki ketrampilan juga akan menghambat pelaksanaan kebijakan tersebut.

2. Kewenangan

Kewenangan dalam sumber daya adalah kewenangan yang dimiliki oleh sumber daya manusia untuk melaksanakan suatu kebijakan yang ditetapkan.

Kewenangan yang dimiliki oleh sumber daya manusia adalah kewenangan setiap pelaksana untuk melakukan hal-hal yang berkaitan dengan apa yang diamanatkan dalam suatu kebijakan.

3. Informasi

Informasi merupakan sumber penting dalam implementasi kebijakan.

Informasi dalam sumber daya adalah informasi yang dimiliki oleh sumber daya manusia untuk melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan.

Informasi untuk melaksanakan kebijakan di sini adalah segala keterangan dalam bentuk tulisan atau pesan, pedoman, petunjuk dan tata cara pelaksanaan yang bertujuan untuk melaksanakan kebijakan.

4. Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana adalah semua yang tersedia demi terselenggaranya pelaksanaan suatu kebijakan dan dipergunakan untuk mendukung secara langsung.

2. Faktor Komunikasi

Komunikasi adalah suatu kegiatan manusia untuk menyampaikan apa yang menjadi pemikiran dan perasaannya, harapan atau pengalamannya kepada

(35)

21

orang lain. Faktor komunikasi dianggap sebagai faktor yang amat penting, karena menjembatani antara masyarakat dengan pemerintah dalam pelaksanaan kebijakan sehingga dapat diketahui apakah pelaksanaan kebijakan berjalan dengan efektif dan efisien tanpa ada yang dirugikan. Implementasi yang efektif baru akan terjadi apabila para pembuat kebijakan dan implementor mengetahui apa yang akan mereka kerjakan, dan hal itu hanya dapat diperoleh melalui komunikasi yang baik.

Menurut Ernawati (2009), komunikasi adalah proses penyampaian pesan/berita dari seseorang ke orang lain sehingga antara kedua belah pihak terjadi adanya saling pengertian. Komunikasi merupakan keterampilan manajemen yang sering digunakan dan sering disebut sebagai suatu kemampuan yang sangat bertanggungjawab bagi keberhasilan seseorang, hal ini sangat penting sehingga orang-orang sepenuhnya tahu bagaimana cara berkomunikasi.

Menurut Widjaja (2000), unsur-unsur yang terdapat dalam setiap proses komunikasi terdiri dari :

1. Sumber Pesan

Adalah dasar yang digunakan dalam penyampaian pesan dan digunakan dalam rangka memperkuat pesan itu sendiri.

2. Komunikator

Adalah orang atau kelompok yang menyampaikan pesan kepada orang lain, yang meliputi penampilan, penguasaan masalah dan penguasaan bahasa.

(36)

22

3. Komunikan

Adalah orang yang menerima pesan.

4. Pesan

Adalah keseluruhan dari apa yang disampaikan oleh komunikator, dimana pesan ini mempunyai pesan yang sebenarnya menjadi pengarah dalam usaha mencoba mengubah sikap dan tingkah laku komunikan. Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam pesan meliputi : cara penyampaian pesan, bentuk pesan (informatif, persuasif, koersif), merumuskan pesan yang mengena (umum, jelas, gamblang, bahasa jelas, positif, seimbang, sesuai dengan keinginan komunikan).

5. Media

Adalah sarana yang digunakan komunikator dalam penyampaian pesan agar dapat sampai pada komunikan, meliputi media umum dan media massa.

6. Efek

Adalah hasil akhir dari suatu komunikasi, yakni apabila sikap dan tingkah laku orang lain itu sesuai, maka komunikasi dianggap berhasil dan demikian sebaliknya.

Tujuan komunikasi keorganisasian antara lain untuk memberikan informasi, baik kepada pihak luar maupun pihak dalam, memanfaatkan umpan balik dalam rangka proses pengendalian manajemen, mendapatkan pengaruh, alat untuk memecahkan persoalan untuk pengambilan keputusan, mempermudah perubahan-perubahan yang akan dilakukan, mempermudah pembentukan

(37)

23

kelompok-kelompok kerja serta dapat dijadikan untuk menjaga pintu keluar masuk dengan pihak-pihak luar organisasi. (Umar,2002).

Arah komunikasi di dalam suatu organisasi menurut Umar (2002) antara lain : 1. Komunikasi ke bawah, yaitu dari atasan ke bawahan, yang dapat berupa

pengarahan, perintah, indoktrinasi maupun evaluasi. Medianya bermacam- macam seperti memo, telephon, surat dan sebagainya.

2. Komunikasi ke atas, yaitu komunikasi dari bawahan ke atasan. Fungsi utamanya adalah mencari dan mendapatkan informasi tentang aktivitas- aktivitas dan keputusan-keputusan yang meliputi laporan pelaksanaan kerja, saran serta rekomendasi, usulan anggaran, pendapat-pendapat, keluhan-keluhan, serta permintaan bantuan. Medianya biasanya adalah laporan baik secara tertulis atau nota dinas.

3. Komunikasi ke samping, yaitu komunikasi antar anggota organisasi yang setingkat. Fungsi utamanya adalah melakukan kerja sama dan proaktif pada tingkat mereka sendiri, di dalam bagian, luar atau antar bagian lain yang bertujuan untuk memecahkan berbagai masalah maupun menceritakan pengalaman mereka dalam melaksanakan pekerjaannya.

4. Komunikasi ke luar, yaitu komunikasi antara organisasi dan pihak luar, misalnya dengan pelanggan dan masyarakat pada umumnya. Organisasi berkomunikasi dengan pihak luar dapat melalui bagian Public Relations atau media iklan lain.

(38)

24

Menurut Cummings (Umar,2002), dalam berkomunikasi ada caranya tersendiri. Untuk mengkomunikasiskan ke bawah, hal-hal pokok yang perlu dikuasai oleh atasan adalah :

a. Memberikan perhatian penuh kepada bawahan.

b. Menggunakan pertanyaan-pertanyaan terbuka.

c. Mendengarkan dengan umpan balik.

d. Memberikan waktu yang cukup.

e. Menghindari kesan memberikan persetujuan maupun penolakan.

Untuk berkomunikasi ke atas, bawahan dapat melakukan cara-cara berkomunikasi berikut ini :

1. Melaporkan segera setiap perubahan yang dihadapi.

2. Menyusun informasi sebelum dilaporkan.

3. Memberikan keterangan selengkapnya jika atasan memiliki waktu.

4. Mengajukan fakta bukan perkiraan.

5. Melaporkan juga perihal sikap, produktifitas, moral kerja atau persoalan khusus yang dihadapi bawahan.

6. Menghindari penyebaran informasi yang salah.

7. Meminta nasehat kepada atasan mengenai cara-cara yang sulit diatasi sendiri oleh bawahan.

Secara umum George C.Edward III membahas tiga hal yang penting dalam proses komunikasi kebijakan (Winarno,2012) yaitu :

(39)

25

1. Transmisi adalah mereka yang melaksanakan keputusan, harus mengetahui apa yang harus dilakukan. Keputusan dan perintah harus diteruskan kepada personil yang tepat sebelum keputusan dan perintah itu diikuti. Komunikasi harus akurat dan mudah dimengerti. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus disampaikan kepada kelompok sasaran (target) sehingga akan mengurangi dampak dari implementasi tersebut.

2. Kejelasan

Jika kebijakan diimplementasikan sebagaimana yang diinginkan, maka petunjuk-petunjuk pelaksanaan tidak hanya harus diterima oleh para pelaksana, akan tetapi komunikasi harus jelas juga. Ketidakjelasan pesan komunikasi yang disampaikan berkenaan dengan implementasi kebijakan dan akan mendorong terjadinya interpretasi yang salah bahkan mungkin bertentangan dengan makna pesan awal.

3. Konsistensi

Jika implementasi kebijakan ingin berlangsung efektif, maka perintah- perintah pelaksanaan harus konsisten dan jelas. Walaupun perintah- perintah yang disampaikan kepada para pelaksana kebijakan mempunyai unsur kejelasan, tetapi bila perintah tersebut bertentangan maka perintah tersebut tidak akan memudahkan para pelaksana kebijakan menjalankaan tugasnya dengan baik.

(40)

26

3. Faktor Disposisi (sikap)

Disposisi diartikan sebagai sikap para implementor untuk mengimplementasikan kebijakan. Dalam implementasi kebijakan menurut George C.Edward III, jika ingin berhasil secara efektif dan efisien, para implementor tidak hanya harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan dan mempunyai kemampuan untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut, tetapi mereka juga harus mempunyai kemauan untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut (Agustino,2006)

Disposisi sebagaimana yang dijelaskan oleh Subarsono (2005) adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti kejujuran, komitmen, sifat demokratis. Ketika implementor memiliki sifat atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan tidak efektif. Disposisi oleh implementor ini mencakup tiga hal penting yaitu :

a. Respon implementor terhadap kebijakan, yang akan memengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan.

b. Kognisi, yaitu pemahaman para implementor terhadap kebijakan yang dilaksanakan.

c. Intensitas disposisi implementor, yaitu preferensi nilai yang dimiliki oleh setiap implementor.

(41)

27

4. Faktor Struktur Birokrasi

Meskipun sumber-sumber untuk mengimplementasikan suatu kebijakan sudah mencukupi dan para implementor telah mengetahui apa dan bagaimana cara melakukannya, serta mereka mempunyai keinginan untuk melakukannya, implementasi kebijakan bisa jadi masih belum efektif, karena terdapat ketidakefisienan struktur birokrasi yang ada. Kebijakan yang begitu kompleks menuntut adanya kerjasama banyak orang. Birokrasi sebagai pelaksana sebuah kebijakan harus dapat mendukung kebijakan yang telah diputuskan secara politik dengan jalan melakukan koordinasi yang baik.

Menurut George C. Edward III terdapat dua karakteristik yang dapat mendongkrak kinerja struktur birokrasi ke arah yang lebih baik, yaitu dengan melakukan Standard Operating Prosedure (SOP) dan melaksanakan fragmentasi.

1. Standard Operating Prosedure (SOP) adalah suatu kegiatan rutin yang memungkinkan para pegawai atau pelaksana kebijakan untuk melaksanakan berbagai kegiatannya setiap hari sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yaitu prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks. Hal ini pada gilirannya menyebabkan aktivitas organisasi tidak fleksibel.

2. Fragmentasi adalah upaya penyebaran tanggungjawab kegiatan-kegiatan dan aktivitas-aktivitas pegawai di antara beberapa unit.

(42)

28

2.2.7 Analisa Kebijakan Publik

Analisa kebijakan adalah aktifitas menciptakan pengetahuan tentang dan proses pembuatan kebijakan. Disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan mentransformasikan informasi yang policy relevant untuk memecahkan masalah kebijakan (Dunn, 2003).

Menurut Dunn bentuk analisa kebijakan adalah sebagai berikut :

a. Analisa kebijakan prospektif yaitu bentuk analisa yang mengarahkan sebelum aksi kebijakan mulai diimplementasikan. Bentuk ini melibatkan teknik-teknik peramalan untuk memprediksikan kemungkinan yang timbul akibat kebijakan yang akan dilaksanakan.

b. Analisa kebijakan retrospektif yaitu bentuk analisa yang menjelaskan sebagai penciptaan dan transformasi informasi sesudah aksi kebijakan dilakukan. Bentuk ini bersifat evaluatif, karena melibatkan evaluasi terhadap dampak kebijakan yang sedang ataupun yang telah dilaksanakan.

c. Analisa kebijakan terintegrasi yaitu bentuk analisa yang mengkombinasikan gaya operasi para praktisi yang menaruh perhatian pada penciptaan dan transformasi informasi sebelum dan sesudah tindakan kebijakan. Bentuk ini melibatkan teknik peramalan maupun evaluasi terhadap kebijakan yang telah dilaksanakan.

2.2.8 Kebijakan Kesehatan

Kebijakan Kesehatan (Health Policy) adalah segala sesuatu untuk memengaruhi faktor–faktor penentu di sektor kesehatan agar dapat meningkatkan

(43)

29

kualitas kesehatan masyarakat dan bagi seorang dokter, kebijakan merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan layanan kesehatan (Walt, 1994).

Sektor kesehatan merupakan bagian penting dari perekonomian di berbagai negara. Sejumlah pendapat menyatakan bahwa sektor kesehatan digambarkan sebagai spons yang dapat menyerap banyak sumber daya nasional untuk membiayai banyak tenaga kesehatan. Ada juga yang berpendapat bahwa sektor kesehatan merupakan pembangkit perekonomian melalui inovasi dan investasi di bidang teknologi biomedis serta produksi dan penjualan obat-obatan. Sebagian masyarakat selalu mengunjungi fasilitas kesehatan sebagai pasien dengan memanfaatkan rumah sakit, klinik atau apotik, begitu juga dengan profesi kesehatan. Kesehatan juga dipengaruhi oleh masalah sosial lainnya seperti kemiskinan, karena pengambilan keputusan kesehatan berkaitan dengan kematian dan keselamatan, maka masalah kesehatan ditempatkan pada posisi yang lebih istimewa dibanding dengan masalah sosial lainnya.

2.2.9 Faktor-faktor yang Memengaruhi Kebijakan Kesehatan

Menurut Leichter (Buse, 2009), faktor-faktor yang memengaruhi kebijakan kesehatan adalah :

a. Faktor Situasional

Faktor yang tidak permanen atau khusus yang dapat berdampak pada kebijakan (contoh: kekeringan)

b. Faktor Struktural Faktor ini meliputi :

(44)

30

b.1 Sistem politik yaitu mencakup keterbukaan sistem dan kesempatan bagi warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembahasan dan keputusan kebijakan (contohnya : warga masyarakat diminta pendapatnya tentang kebijakan BBM bersubsidi).

b.2 Bidang ekonomi dan dasar untuk tenaga kerja (contohnya : negara dapat memindahkan tenaga profesional ke daerah yang kurang tenaga).

b.3 Kondisi demografi atau kemajuan teknologi (contohnya : akibat kemajuan teknologi mengakibatkan pertambahan jumlah wanita hamil yang melahirkan secara caesar ).

b.4 Kekayaan suatu negara akan berpengaruh kuat terhadap jenis layanan kesehatan.

3. Faktor budaya yaitu faktor yang dapat berpengaruh seperti hirarki, gender, stigma terhadap penyakit tertentu.

4. Faktor Internasional atau eksogen yaitu faktor yang menyebabkan meningkatnya ketergantungan antar negara dan memengaruhi kemandirian dan kerja sama internasional dalam kesehatan (contoh : Program Pemberantasan Penyakit Polio).

(45)

31

2.2.10 Kerangka Konsep dalam Kebijakan Kesehatan

Gambar 2.1 Setiga Analisis Kebijakan Gambar 2.1 Segitiga Analisis Kebijakan Sumber : Walt and Gilson (1994)

Keuntungan analisis kebijakan adalah dapat menjelaskan mengenai apa dan bagaimana hasil (outcome) kebijakan akan dicapai, model kebijakan di masa depan dapat dirancang sehingga mudah dalam mengimplementasikan kebijakan secara lebih efektif. Penggunaan analisis kebijakan dapat dilihat contohnya dalam analisis kebijakan penentuan tarif untuk meningkatkan efisiensi di pelayanan kesehatan, dimana konteksnya terdiri dari kondisi ekonomi, ideologi dan budaya. Konten (isinya) menjabarkan apa tujuan yang ingin dicapai dan apakah ada pengecualian

Konteks

Aktor/Pelaku:

Individu Pelaku Organisasi

Proses Isi/

Konten

(46)

32

terhadap tarif yang diberlakukan ? Aktor (pelaku) dalam kebijakan ini adalah siapa yang mendukung dan menolak kebijakan tarif tersebut ? Analisis prosesnya yaitu bagaimana pendekatan dilakukan, apakah secara top-down atau bottom up ? Bagaimana kebijakan ini akan dikomunikasikan?.

2.3 Filariasis 2.3.1 Definisi

Filariasis atau yang lebih dikenal juga dengan penyakit kaki gajah merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria, yang hidup di saluran dan kelenjar getah bening (sistem limfatik) dan dapat menyebabkan gejala klinis akut dan atau kronis. Penyakit ini ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk (Depkes RI, 2015).

Filariasis di Indonesia disebabkan oleh 3 spesies cacing filaria yaitu : 2.3.2 Wuchereria bancrofti

a. Hospes dan nama Penyakit

W.bancroffti merupakan parasit manusia yang menyebabkan filariasis bankrofti atau wukeriasis bankrofti. Penyakit ini tergolong dalam filariasis limfatik.

W.bankrofti tidak terdapat alami pada hewan.

b. Distribusi geografik

Parasit ini tersebar luas di daerah yang beriklim tropis di seluruh dunia.

c. Daur hidup dan morfologi

(47)

33

Cacing dewasa jantan dan betina hidup di saluran dan kelenjar limfe, berwarna putih bentuknya halus seperti benang dan berwarna putih susu. Mikrofilaria hidup di dalam darah dan terdapat di aliran darah tepi pada sewaktu-waktu tertentu saja jadi mempunyai periodisitas. Pada umumnya mikrofilaria w.bankrofti bersifat periodisitas nokturna, artinya mikrofilaria hanya terdapat di dalam darah tepi pada waktu malam. Pada siang hari, mikrofilaria terdapat di kapiler alat dalam paru, jantung, ginjal dan sebagainya.

Di daerah perkotaan, parasit ini ditularkan oleh nyamuk Culex quinquefasciatus. Di pedesaan, vektor nya berupa nyamuk Anopheles atau Aedes.

Parasit ini tidak ditularkan oleh nyamuk mansonia. Daur hidup parasit ini memerlukan hidup yang sangat panjang. Masa pertumbuhan parasit di dalam nyamuk kurang lebih 2 minggu.

Pada manusia, masa pertumbuhan tersebut belum diketahui secara pasti, tetapi diduga kurang lebih 7 bulan. Mikrofilaria yang terisap oleh nyamuk, melepaskan sarung nya dalam lambung, menembus dinding lambung dan bersarang diantara otot- otot thorak. Mula-mula parasit ini memendek, bentuknya menyerupai sosis dan disebut larva stadium 1 (L1) dalam waktu lebih dari seminggu larva ini bertukar kulit, tumbuh menjadi lebih gemuk dan panjang disebut larva stadium 2 (L2). Pada hari kesepuluh dan selanjutnya, larva bertukar kulit sekali lagi, tumbuh makin panjang dan lebih kurus, disebut larva stadium 3 (L3) (Sutanto dkk, 2008)

(48)

34

Gambar 2.2 Skema Rantai Penularan Filariasis Wuchereria Bancrofti Sumber: PERMENKES NO 94 2014

Gerak larva stadium 3 sangat aktif. Bentuk ini bermigrasi, mula-mula ke rongga abdomen kemudia ke kepala dan alat tusuk nyamuk. Bila nyamuk mengandung larva stadium 3 (bentuk infektif) menggigit manusia, maka larva tersebut secara aktif masuk melalui luka tusuk ke dalam tubuh hospes dan bersarang di saluran limfe setempat. Di dalam tubuh hospes, larva mengalami dua kali pergantian kulit, tumbuh menjadi larva stadium 4 lalu stadium 5 atau cacing dewasa (Sutanto dkk, 2008)

Gambar 2.3 Siklus Hidup Cacing Filariasis

Sumber: PERMENKES NO 94 2014

(49)

35

Gambar 2.4 Daur Hidup Mikrofilaria Dalam Tubuh Manusia Sumber: PERMENKES NO 94 2014

d. Patologi dan Gejala klinis

Gejala klinis filariasis limfatik disebabkan oleh mikroflaria dan cacing dewasa baik yang hidup maupun yang mati. Mikrofilaria biasanya tidak menimbulkan kelainan tetapi dalam keadaan tertentu dapat menyebabkan occult filariasis. Gejala yang disebabkan oleh cacing dewasa menimbulkan limfadenitis dan limfangitis retrograd dalam stadium akut, disusul dengan obstruksi menahun 10 tahun sampai 15 tahun kemudian. Perjalanan penyakit filariasis limfatik dapat dibagi dalam beberapa stadium: stadium mikrofilaremia tanpa gejala klinis, stadium akut dan stadium menahun. Ketiga stadium tersebut tumpang tindih, tanpa ada batas yang nyata. Gejala klinis filariasis bankrofti yang terdapat di suatu daerah mungkin berbeda dengan yang terdapat di daerah lain.

Stadium akut ditandai dengan peradangan pada saluran dan kelenjar limfe berupa limfadenitis dan limfangitis retrograde yang disertai demam dan malaise.

Gejala peradangan tersebut hilang timbul beberapa kali dalam setahun dan berlangsung beberapa hari sampai satu dua minggu lamanya.Peradangan pada sistem limfatik alat kelamin laki-laki, seperti funikulitis, epididimitis dan orkitis sering

(50)

36

dijumpai. Kadang-kadang saluran sperma yang meradang tersebut menyerupai hernia inkarserata. Pada stadium menahun, gejala klinis yang paling sering dijumpai adalah hidrokel. Dapat pula dijumpai gejala limfedema dan elephantiasis yang mengenai seluruh tungkai, seluruh lengan, testis, payudara dan vulva. Kadang-kadang terjadi kiluria, yaitu urin yang berwarna putih susu yang terjadi karena dilatasi pada pembuluh limfe pada sistem ekskretori dan urinary. Umumnya penduduk yang tinggal di daerah endemis tidak menunjukkan reaksi peradangan yang berat, walaupun mereka mengandung banyak mikrofilaria (Sutanto dkk, 2008)

e. Diagnosis

Diagnosis dipastikan dengan pemeriksaan:

1. Diagnosis parasitologi 2. Radiodiagnosis

Aspek klinis penderita yang terinfeksi oleh nematode jaringan dan darah dapat ditimbulkan oleh cacing dewasa, larva dan microfilaria. Aspek klinis ada yang bersifat asimtomatis dan simtomatis. Diagnosa lebih terarah jika dikonfirmasikan dengan gejala dan perjalanan penyakit (Muslim, 2009).

f. Pengobatan

Selama lebih dari 40 tahun, dietil karbamasin sitrat (DEC) merupakan pilihan yang baik untuk pengobatan perorangan maupun massal. DEC bersifat membunuh microfilaria dan cacing dewasa pada pengobatan jangka panjang. Pengobatan ditujukan untuk membunuh parasit, mencegah kesakitan dan mencegah tansmisi.

Hingga saat ini, DEC merupakan obat satu-satunya yang efektif, aman dan relative

(51)

37

murah. Dosis yang dianjurkan adalah 6 mg/kg berat badan/hari selama 12 hari. Dosis harian tersebut dapat diberikan dalam tiga kali pemberian sesudah makan. Umumnya dengan ini akan menghilangkan microfilaria tapi untuk benar-benar bebas dari parasit, diperlukan beberapa kali pengobatan (Sutanto dkk, 2008

g. Epidemiologi

Filariasis bankrofti dapat dijumpai di perkotaan atau di pedesaan. Di Indonesia parasit ini lebih sering dijumpai di pedesaan daripada di perkotaan dan penyebaran nya bersifat fokal. Kurang lebih 20 juta penduduk Indonesia bermukim di daerah endemis filariasis bankrofti, malayi dan timori dan mereka sewaktu-waktu dapat ditulari. Obat DEC, tidak mempunyai khasiat pencegahan, oleh sebab itu penduduk perlu dididik untuk melindungi dirinya dari gigitan nyamuk.

2.3.3 Brugia Malayi dan Brugia Timori a. Hospes dan nama penyakit

Brugia malayi dapat dibagi dalam 2 varian: yang hidup pada manusia dan yang hidup pada hewan dan manusia, misalnya kucing, kera dan lain-lain. Brugia timori hanya terdapat pada manusia. Penyakit yang disebabkan brugia malayi disebut filariasis malayi dan yang disebabkan brugia timori disebut filarisis timori. Kedua penyakit tersebut kadang-kadang disebut sebagai filariasis brugia.

b. Daur hidup dan Morfologi

Cacing dewasa jantan dan betina hidup di pembuluh limfe. Bentuk halus seperti benang dan berwarna putih susu. Periodisitas mikrofilaria B.malayi adalah

(52)

38

periodik nokturna, subperiodik nokturna dan non periodik. Sedangkan mikrofilaria B.timori mempunyai periodik nokturna (Sutanto dkk, 2008)

Gambar 2.5 Skema Rantai Penularan Filariasis Limfatik (Brugia Malayi) Sumber: Permenkes No 94 2014

c. Patologi dan gejala klinis

Gejala klinis filariasis malayi sama dengan gejala klinis filariasis timori.

Gejala klinis kedua penyakit tersebut berbeda dengan gejala klinis filariasis bankrofti. Stadium akut ditandai dengan serangan demam dan peradangan saluran dan kelenjar limfe, yang hilang timbul berulang kali. Limfadenitis biasanya mengenai kelenjar limfe inguinal di satu sisi dan peradangan ini sering timbul setelah penderita bekerja berat di ladang atau sawah. Limfadenitis biasanya berlangsung 2-5 hari dan dapat sembuh tanpa pengobatan. Kadang-kadang peradangan pada kelenjar limfe ini menjalar ke bawah, mengenai saluran limfe dan menimbulkan limfangitis retrograde, yang bersifat khas untuk filariasis. Peradangan pada saluran limfe ini dapat terlihat sebagai garis merah yang menjalar ke bawah dan peradangan ini dapat pula menjalar ke jaringan sekitarnya, menimbulkan infiltrasi pada seluruh paha atas. Pada stadium ini tungkai bawah biasanya membengkak dan menimbulkan limfedema. Limfadenitis

(53)

39

dapat pula berkembang menjadi bisul, pecah menjadi ulkus. Ulkus pada pangkal paha ini, bila sembuh meninggalkan bekas sebagai jaringan parut dan tanda ini merupakan salah satu gejala objektif filariasis limfatik. Limfadenitis dengan gejala komplikasinya dapat berlangsung beberapa minggu sampai 3 bulan lamanya. Pada filariasis brugia, system limfe alat kelamin tidak pernah terkena, berbeda dengan filariasis bankrofti. Limfedema biasanya hilang lagi setelah gejala peradangan menyembuh, tetapi dengan serangan berulang kali, lambat laun pembengkakan tungkai tidak menghilang setelah gejala peradangan sembuh, sehingga tumbuhlah elephantiasis. Selain kelenjar limfe inguinal, kelenjar limfe lain di medial tungkai, di ketiak dan di bagian medial lengan juga sering terkena. Pada filariasis brugia, elephantiasis hanya mengenai tungkai bawah, di bawah lutut, atau kadang-kadang lengan bawah di bawah siku. Alat kelamin dan payudara tidak pernah terkena, kecuali di daerah filariasis brugia yang bersamaan dengan filariasis bankrofti. Kiluria bukan merupakan gejala klinis filariasis brugia.

d. Diagnosis

Diagnosis dibuktikan dengan menemukan mikrofilaria di dalam darah tepi.

Diagnosis parasitologi : sama dengan pada filariasis bankrofti. Radiodiagnosis umumnya tidak dilakukan pada filariasis malayi.

e. Pengobatan

Di Indonesia dosis yang dianjurkan adalah 5 mg/kg berat badan/hari selama 10 hari. Efek samping DEC pada pengobatan filariasis brugia jauh lebih berat, bila

Gambar

Gambar 1.1 Peta Daerah Endemik Filariasis Kabupaten Aceh Selatan   Tahun 2015
Gambar 2.1 Setiga Analisis Kebijakan  Gambar 2.1 Segitiga Analisis Kebijakan  Sumber : Walt and Gilson (1994)
Gambar 2.2 Skema Rantai Penularan Filariasis Wuchereria Bancrofti  Sumber: PERMENKES NO 94 2014
Gambar  2.4 Daur Hidup Mikrofilaria Dalam Tubuh  Manusia  Sumber: PERMENKES NO 94 2014
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku tertinggi yang diperoleh dari keenam individu gajah jinak di Elephant Respon Unit (ERU) Tegal Yoso TNWK pada saat

Data yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah semua bentuk-bentuk pemakaian bahasa yang terdapat dalam RCB yang dimuat dalam surat kabar SM, yaitu

Musik yang disajikan adalah musik keyboard, dari hasil wawancara dengan pemilik usaha yaitu Bapak Andri Roza, beliau menyediakan fasilitas musik pada usaha yang beliau kelola dengan

Fenomena inilah yang menjadikan peneliti tertarik untuk melihat pengaruh hedonic shopping motivation konsumen terhadap impulse buying process pada toko online

Peserta didik dituntun untuk melakukan studi kasus dari artikel pencemaran tanah, pencemaran air, dan pencemaran limbah padat yang ada pada lembar kerja

[r]

Ketidakmampuan lembaga untuk memenuhi harapan para dosen akan menimbulkan persepsi yang tidak baik terhadap iklim organisasi, menurunkan motivasi kerja dan kepuasan kerja dosen

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahayu dan Asandimitra 2014 menunjukkan bahwa variabel profitabilitas tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan, variabel leverage