• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pencapaian dan Kesenjangan

Dalam dokumen UNIVERSITAS INDONESIA (Halaman 116-127)

BAB 4 PELAKSANAAN PENGELOLAAN PELAYANAN DAN

5.1 Analisis Pencapaian dan Kesenjangan

5.1.1 Pengelolaan Pelayanan Keperawatan Komunitas

Pelaksana pelayanan kesehatan komunitas memerlukan pemahaman terhadap fungsi manajemen untuk memanfaatkan potensi dan sumber daya yang dimiliki oleh organisasi untuk mencapai tujuan bersama. Fungsi manajemen meliputi : perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian/pengawasan. Setiap fungsi ini mempunyai elemen-elemen yaitu : 1) perencanaan : filosofi, misi, tujuan umum, tujuan khusus, kebijakan, prosedur dan aturan; 2) pengorganisasian : struktur organisasi, pembagian tugas (tupoksi), komunikasi, kepuasan kerja, dan wewenang/pendelegasian ; 3) pengarahan : menciptakan suasana yang dapat memotivasi, membina komunikasi organisasi, menangani konflik, memfaasilitasi kerjasama, dan negosiasi ; 4) pengendalian : evaluasi secara periodik pada elemen-elemen perencanaan (Marquis dan Houston, 2003). Salah satu elemen dalam pengorganisasian adalah pembagian tugas (peran dan fungsi) dari bagian sistem pelaksana pelayanan kesehatan, salah satunya adalah kader posbindu. Peran kader posbindu antara lain menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan posbindu, memberikan penyuluhan atau penyebaran informasi kesehatan (Depkes, 2010). Kemampuan kader dalam memberikan penyuluhan harus ditingkatkan agar informasi kesehatan lebih banyak diserap oleh

masyarakat. Berdasarkan wawancara dengan ketua paguyuban Posbindu, diperoleh data bahwa kegiatan penyuluhan kesehatan yang dilakukan oleh kader posbindu belum pernah dilakukan. Hal ini disebabkan faktor ketidakpercayaan diri kader, kurangnya mendapatkan informasi berupa pelatihan memberikan penyuluhan. Dinas kesehatan Kota Depok dalam mencapai misi meningkatkan promosi kesehatan dan kualitas sumber daya kesehatan telah berupaya melakukan kegiatan pelatihan bagi kader kesehatan. Namun kendala anggaran dan waktu pelaksanaan menyebabkan sebagian kecil saja kader posbindu yang mengikuti pelatihan tersebut. Hasil supervisi terhadap kader dalam melakukan penyuluhan kesehatan pada keluarga dan lansia dengan gangguan mobilisasi akibat rematik diperoleh rata-rata nilai sebesar 72.17%, dengan nilai tertinggi 91.30% dan terendah 60.87%. Kemampuan kader memberikan penyuluhan termasuk kategori Sangat Baik (67%-100%) (Muslich, 2009). Beberapa kekurangan dalam melakukan penyuluhan kesehatan langsung diinformasikan kepada kader agar kader mengetahui dan segera memperbaiki untuk kegiatan berikutnya. Kekurangan yang sering dilakukan kader adalah tidak mampu mempertahankan kontak mata dengan keluarga dan lansia. Hal ini disebabkan kader masih belum percaya diri bahwa mereka mampu menguasai materi. Namun karena hal ini pertama kali dilakukan maka rasa gugup dan kurang percaya diri akan muncul terlebih dahulu.

Keterampilan memberikan penyuluhan tentunya didasari pengetahuan yang baik. Hasil evaluasi kader terhadap pengetahuan rematik dan penataksanaannya meningkat sebesar 20.83%, dengan rata-rata 92.50% setelah pelatihan. Menurut Arikunto (1999), prosentase diatas 76% termasuk kategori Baik. Hal ini menjadi hal positif dari kegiatan pelatihan. Menurut Azwar (1996) pelatihan kader bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan kader sehingga lebih percaya diri dalam menyelenggarakan tugas berikutnya.

Perilaku dibentuk dari pengetahuan dan sikap (Hidayat, 2009). Suatu perilaku dapat dipertahankan secara gigih oleh seseorang apabila memiliki

pengetahuan yang kuat dan daya (keinginan dengan intensitas yang kuat). Perilaku/keterampilan kader dalam memberikan penyuluhan kepada keluarga dan lansia harus terus dibina agar perilaku positif tetap bisa dipertahankan.

Kemampuan kader memberikan penyuluhan kesehatan harus melalui praktik yang berulang kali. Domain praktik meliputi kemampuan seseorang untuk menampilkan tindakannya melalui koordinasi dengan sistem neuromuskular yang dapat terlihat secara nyata (Allender dan Spradley, 2005). Tiga kondisi yang harus diperhatikan atau menjadi pertimbangan perawat komunitas dalam mengajarkan praktik kesehatan kepada seseorang (kader), meliputi: 1) Seseorang diyakini memiliki kemampuan secara fisik, emosi dan intelektual untuk melakukan keterampilan yang diajarkan,sehingga derajat kompleksitas dari kemampuan yang diajarkan seharusnya sesuai dengan keberfungsian/kemampuan seseorang. Tahap perkembangan menjadi pertimbangan yang harus diperhitungkan dalam mengajarkan keterampilan pada seseorang. 2) Seseorang harus memiliki kemampuan imajinasi sensorik tentang bagaimana keterampilan tersebut ditampilkan. Kemampuan imajinasi sensorik tersebut meliputi melihat, mendengar, meraba, mencium, dan merasa. Imajinasi sensorik melihat biasanya diperoleh melalui demonstrasi. Keterbatasan imajinasi seseorang tentunya akan mempengaruhi kemampuan seseorang dalam menampilkan suatu keterampilan. 3) Seseorang harus memiliki kemampuan untuk mempraktikkan keterampilan yang dipelajari.

Domain praktik memiliki derajat tingkatan keterampilan sederhana hingga tingkatan keterampilan yang sulit (komplek). Seseorang membutuhkan latihan dan proses aplikasi keterampilan yang didapat secara konsisten untuk mencapai tingkatan keterampilan yang komplek. Berdasarkan teori tersebut, maka sangatlah tepat penulis menyelenggarakan kegiatan pelatihan berupa penyegaran kader posbindu yang bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan tentang tehnik memberikan penyuluhan kepada individu, kelompok dan masyarakat. Adanya

peningkatan pengetahuan dari pre test dan post test sebesar 20% telah memberikan keberhasilan dari kegiatan tersebut. Demikian pula saat perwakilan kader melakukan demonstrasi penyuluhan kesehatan dengan materi yang telah dipelajari telah memberikan dampak hasil pelatihan kader tersebut. Menurut Ketua Paguyuban Posbindu, kader yang telah melakukan penyuluhan dalam pelatihan tersebut telah mampu menampilkan harapan yang positif bagi peningkatan peran kader dalam menginformasikan kesehatan kepada warga, walaupun masih terdapat beberapa kekurangan. Kegiatan pelatihan kader posbindu merupakan evaluasi terhadap fungsi manajemen berupa : pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian/pengawasan. Fungsi pengorganisasian berupa adanya pemahaman yang meningkat bagi kader akan perannya untuk memberikan penyuluhan bagi masyarakat. Fungsi pengarahan berupa pemberian motivasi dan komunikasi yang efektif dari ketua paguyuban posbindu yang memberikan perhatian lebih kepada kader, disamping kehadiran kepala puskesmas dalam kegiatan tersebut. Fungsi pengendalian berupa adanya supervisi penilaian langsung dari ketua kader posbindu.

Pengetahuan tentang metode dan media sangat berpengaruh terhadap keberhasilan penyuluhan kesehatan. Metode yang digunakan harus sesuai dengan kebutuhan warga masyarakat. Penggunaan media harus disesuaikan dengan sumber daya yang ada terutama dana. Kader dapat menggunakan media lembar balik dalam memberikan penyuluhan kesehatan. Selain mudah dibuat, media tersebut tidak memerlukan banyak biaya. Elgar Dale (dalam Notoatmodjo, 2003) menjelaskan alat peraga (media pendidikan kesehatan) harus disusun berdasarkan prinsip bahwa pengetahuan yang ada pada setiap manusia itu diterima atau ditangkap melalui panca indera. Semakin banyak indera yang digunakan untuk menerima sesuatu maka semakin banyak dan jelas pula pengetahuan yang diperoleh.

Selain metoda dan media, faktor yang paling penting yang harus dilakukan kader adalah penguasaan materi. Penulis terus memotivasi kader untuk melakukan persiapan 1-2 hari sebelum memberikan penyuluhan kesehatan.

Hasil yang diperoleh adalah tampak kemampuan kader lebih meningkat saat memberikan penyuluhan di keluarga Bp. N di RW 07. Kader lebih menguasai materi, serta mampu melakukan evaluasi diri terhadap aktifitas yang dilakukannya.

Fungsi pengawasan berupa penilaian dalam bentuk supervisi untuk melihat langsung proses penyuluhan merupakan bentuk pengawasan bagi stake holder. Selain ketua posbindu, seharusnya penanggung jawab program perkesmas puskesmas PGS memberikan penilaian. Namun dengan alasan kurangnya personal dan waktu yang terbatas, hal tersebut (penilaian) masih belum dilakukan. Evaluasi langsung yang diberikan sangat bermanfaat bagi kader untuk memperbaiki dikemudian hari. Keuntungan lain dari supervisi adalah adanya monitoring secara periodik terhadap peran kader dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Keterlibatan PJ wilayah dalam kegiatan supervise telah ditunjukkan dengan kehadirannya pada setiap kegiatan Lokakarya Mini. Pada kegiatan tersebut PJ wilayah berkesempatan memberikan arahan dan informasi terkait program kegiatan puskesmas pada kader yang hadir. Motivasi juga selalu diberikan oleh Ketua Paguyuban Kader Posbindu Kelurahan PGS, yang senantiasa menghadiri setiap kegiatan posbindu disetiap RW. Fungsi pengarahan menekankan pada kemampuan manajer dalam mengarahkan dan menggerakkan semua sumber daya untuk mencapai tujuan yang telah disepakati termasuk didalamnya memotivasi bawahan supaya bekerja dengan optimal (Marquis & Houston, 2003).

Dukungan harus selalu diberikan kepada kader oleh PJ wilayah dan Ketua Paguyuban Kader. Hal ini akan meningkatkan motivasi kader dalam menghadiri kegiatan-kegiatan di posbindu serta kegiatan sosial lainnya. Kegiatan supervisi yang berkesinambungan akan meningkatkan kepercayaan diri bagi kader.

5.1.2 Asuhan Keperawatan Keluarga

Berdasarkan hasil asuhan keperawatan keluarga, diperoleh hasil bahwa nyeri merupakan keluhan yang paling banyak dari lansia yang mengalami gangguan akibat rematik. Nyeri yang dirasakan antara lain nyeri leher dan punggung, nyeri bahu, nyeri bokong dan nyeri pada kaki (Miller, 2004). Keluhan ini merupakan keluhan utama. Nyeri biasanya bertambah dengan gerakan dan sedikit berkurang dengan istirahat. Beberapa gerakan tertentu kadang-kadang menimbulkan rasa nyeri yang lebih dibandingkan gerakan yang lain. Untuk mengukur nyeri dapat digunakan skala 0 – 5 dari Wong/Baker Faces Rating Scale (Loretz, 2005).

Hasil pembinaan keluarga pada keluarga Bp E adalah adanya kemampuan keluarga menyebutkan pengertian, penyebab, dan tingkatan nyeri. Selain itu Ibu M juga mampu menyebutkan akibat nyeri yang dirasakan pada persendiannya. Kecacatan merupakan hal yang paling ditakuti Ibu M. Ibu m sudah mampu melakukan tehnik relaksasi untuk menurunkan nyeri. Sesuai kebiasaan dan agama Kristen yang dianutnya, Ibu M sering berdoa, sehingga Ibu M mengatakan tehnik relaksasi sama dengan berdoa. Kemampuan motorik Ibu M juga sangat baik. Ibu M sudah mampu melakukan kompres hangat dan dingin.

Gunadi (2008, dalam Garnadi, 2008) menyatakan bahwa gejala utama dari rematik adalah adanya nyeri pada sendi yang terkena, terutama waktu bergerak. Umumnya timbul secara perlahan-lahan. Mula-mula terasa kaku, kemudian timbul rasa nyeri yang berkurang dengan istirahat. Terdapat hambatan pada pergerakan sendi, kaku pagi, krepitasi, pembesaran sendi dan perubahan gaya jalan. Lebih lanjut lagi terdapat pembesaran sendi dan krepitasi. Dampak lanjut dari nyeri yang tidak ditangani adalah adanya risiko jatuh (Mayer et. al, 2002).

Kemampuan Ibu M merupakan hasil yang sangat positif. Kemampuan melakukan kompres merupakan pelaksanaan tugas kesehatan keluarga yang ketiga, yaitu keluarga mampu memberikan perawatan pada anggota

keluarga yang sakit. Kompres panas dan dingin merupakan stimulasi kutaneus. Stimulus kutaneus adalah stimulasi kulit yang dilakukan untuk menghilangkan nyeri. Pilihan terapi panas dan dingin bervariasi menurut kondisi lansia. Misalnya panas lembab menghilangkan kekakuan pada pagi hari akibat artritis, tetapi kompres dingin mengurangi nyeri akut dan sendi yang mengalami peradangan akibat penyakit tersebut (Ceccio, 1990 dalam Perry & Potter, 2002, dalam Hamdiana, 2010). Massase dengan menggunakan kantong es dan kompres menggunakan kantung es merupakan dua jenis terapi dingin yang sangat efektif untuk menghilangkan nyeri. Massase dengan menggunakan sebuah blok es yang diletakkan di kulit dengan memberikan tekanan yang kuat, tetap dan dipertahankan. Kompres dingin dapat dilakukan di dekat lokasi nyeri, di sisi tubuh yang berlawanan tetapi berhubungan dengan lokasi nyeri dan memakan waktu 5 sampai 10 menit.

Hasil dari diagnosa kedua dari Ibu M adalah bahwa keluarga Bp E sudah mampu memelihara kesehatan dengan efektif. Hal ini dapat dibuktikan dengan kemampuan keluarga menyebutkan konsep rematik dengan baik, yang meliputi pengertian, penyebab, tanda dan gejala serta akibat rematik. Kemampuan melakukan perawatan diri dan pemeliharaan kesehatan keluarga sudah baik. Ibu M dan Bp E mampu melakukan latihan gerak sendi.

Gangguan mobilisasi dapat mempengaruhi aktifitas sehari-hari dan pada akhirnya dapat mengganggu peran yang seharusnya dilakukan oleh klien. Masalah lain yang muncul adalah adanya resiko jatuh (falls) dan tidak aman (unsafe) (Mayer et al, 2002). Gangguan mobilisasi juga berdampak pada aktivitas sehari-hari (Activity Daily Living/ADL). ADL yang terganggu akan mengakibatkan defisit perawatan diri. Defisit perawatan diri merupakan suatu kondisi seseorang mengalami gangguan kemampuan dalam perawatan diri yang meliputi mandi, berganti pakaian, makan dan toileting (Wilkinson, 2007).

Latihan gerak sendi latihan fisik yang diberikan pada lansia yang mengalami risiko atau keterbatasan mobilisasi. Latihan Range of Motion merupakan salah satu jenis latihan fisik, komponen kebugaran jasmani yang dapat dilatih adalah kelenturan (flexibility) yang merupakan kemampuan untuk menggerakkan otot dan sendi pada seluruh pergerakan. Latihan fisik yang dapat dilakukan untuk meningkatkan dan memperbaiki kelenturan. Manfaat latihan ROM ini anatara lain; mengoptimalkan gerak otot dan sendi; meningkatkan kebugaran jasmani; mengurangi risiko cedera otot dan sendi; mengurangi ketegangan dan nyeri otot. (Perry & Potter, 2002)  Lansia yang berusia lebih dari 60 tahun perlu mempertahankan kebugaran jasmani untuk memelihara dan mempertahankan kesehatan sangat bermanfaat bagi semua golongan umur termasuk lansia. Latihan yang teratur akan meningkatkan kekuatan otot, meningkatkan kepadatan tulang, memperbaiki keseimbangan, koordinasi neuromuskular, meningkatkan daya tahan, mengurangi tekanan darah, memperbaiki mood dan mencegah risiko jatuh (Beers & Berkow, 2000 dalam Nies & McEwen, 2007 dalam Hamdiana, 2010). Latihan/exercise akan meningkatkan ketahanan tubuh agar terhindar dari penyakit lainnya (Edelman & Mandle , 2006).

Selain itu Ibu M sudah mampu memilih jahe sebagai obat tradisional yang dapat mengatasi nyeri persendiannya. Obat tradisional berkhasiat untuk pengobatan, karena terdapat zat ekstrak yang khasiatnya dapat dimanfaatkan untuk penyembuhan (Adi, 2006).

Kemampuan Ibu M dalam mengatur nutrisi sangat baik. Ibu M mampu memilih jenis makanan yang dapat dikonsumsi atau tidak dapat dikonsumsi. Diet untuk menurunkan berat badan dapat mengurangi timbulnya keluhan. Tujuan pemberian diet ini adalah untuk mengurangi pembentukan asam urat dan menurunkan berat badan, bila terlalu gemuk dan mempertahankannya dalam batas normal (Dalimartha, 2008).

Secara keseluruhan dari pembinaan keluarga pada 9 keluarga lainnya adalah diperoleh hasil adanya penurunan tingkat nyeri : 80% menurun, 10% tetap, dan 10% meningkat tingkat nyerinya. Penurunan tingkat nyeri

tersebut berhasil dilakukan klien setelah melakukan gerakan latihan sendi, relaksasi progresif, dan kompres hangat dan dingin. Adanya peningkatan nyeri pada klien Bp In disebabkan adanya komplikasi kolestreol yang tinggi 255 mg/dl dan asam urat 10.9 ,mg/dl. Bp In tidak berobat ke pelayanan kesehatan tapi memeriksakan ke tabib sesuai kebiasaan dan keyakinan dari keluarganya

Kemampuan mobilisasi klien juga mengalami peningkatan. Adanya peningkatan angka pada Barthel Index pada 60% keluarga, 30% angka BI tetap, dan 10% angka BI menurun menunjukkan bahwa klien mampu melakukan latihan gerak sendi dengan baik dan terjadwal. Selain itu pula pola makan klien dapat diatur sesuai intervensi dalam asuhan yang diberikan. Penurunan angka BI terdapat pada Bp In karena komplikasi kolesterol yang dideritanya. Bp In pada akhir pertemuan tampak bedrest dan menjalani perawatan di rumah.

Tingkat kemandirian keluarga hasil intervensi mengalami peningkatan. Pada awal pengkajian diperoleh Keluarga Mandiri tingkat III sebesar 70% dan KM tingkat II sebesar 30%. Pada akhir intervensi diperoleh hasil tingkat KM IV sebesar 80%, dan tingkat KM III sebesar 20%. Terdapat dua keluarga binaan yang belum mencapai KM IV karena belum mampu melakukan promosi kesehatan. Kondisi sakit yang kronis dan adanya komplikasi serta kondisi ekonomi yang rendah menyebabkan dua keluarga tersebut belum mencapai KM IV.

Friedman, Bowden, dan Jones (2003) menyatakan bahwa keluarga perlu dilibatkan dalam memberikan bantuan pada anggota keluarga yang sakit (masalah kesehatan) sebagai upaya pelaksanaan tugas kesehatan keluarga. Keluarga juga harus mendapat dukungan dari lingkungan sosial terutama kelompok kader yang telah terlatih. Intervensi berjenjang dapat dilakukan dari kader pada keluarga dan akhirnya keluarga mampu memberikan perawatan pada lansia yang mengalami gangguan mobilisasi akibat rematik. Kader dan keluarga harus terus bekerjasama dalam meningkatkan kemampuan optimal dari lansia.

5.1.3 Asuhan Keperawatan Komunitas

Strategi intervensi yang digunakan dalam asuhan keperawatan komunitas adalah Pendidikan kesehatan berupa penyuluhan kesehatan, penyebaran leaflet dan konseling dan Pemberdayaan berupa pembentukan kelompok Support Group. Anderson dan Mc.Farlane (2000) menjelaskan bahwa perawat komunitas bertanggung jawab terhadap berbagai program kesehatan termasuk program pendidikan kesehatan di masyarakat terkait dengan resiko dan dampak dari penyakit. Pendidikan kesehatan perlu dirancang secara baik dan komprehensif selain menarik untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat agar tahu, mau dan mampu untuk hidup sehat. Peningkatan pemahaman masyarakat tidak hanya untuk mencegah timbulnya penyakit, tetapi diharapkan terjadi perubahan perilaku sehat.

Berdasarkan hasil penyuluhan kesehatan yang telah dilakukan pada kelompok pengajian Ibu – Ibu diperoleh peningkatan pengetahuan sebesar 17%. Pemberian pendidikan kesehatan baik itu penyuluhan maupun konseling harus dirancang secara komprehensif. Tujuan dari pendidikan kesehatan yang diberikan adalah adanya perubahan menjadi perilaku sehat. Antusime Ibu ibu dalam memberikan pertanyaan menunjukkan hal yang positif karena dengan demikian warga ingin mengetahui lebih jauh tentang rematik. Pertanyaan berkisar pada pengobatan dan perawatan.

Pemberdayaan masyarakat diartikan sebagai suatu proses pemberian kemauan dan kemampuan kepada masyarakat agar mampu memelihara dan meningkatkan kesehatannya (Depkes, 2002). Pemberdayaan kader posbindu RW 07 merupakan proses pemberdayaan masayarakat yang harus dilakukan di wilayah lainnya. Hasil dari pemberdayaan kader yang tampak adalah kader mampu menyampaikan pesan kepada rekan kader yang lainnya dalam wilayah yang lebih kecil (rukun tetangga).

Kemampuan mengajak warga dan lansia merupakan hasil pelatihan yang diberikan. 70% kader RW 07 mengatakan bahwa mereka sudah percaya diri

untuk melakukan kunjungan rumah. Hasil pelatihan sangat dirasakan manfaatnya oleh kader. Proses pemberdayaan ini memerlukan dukungan dari semua unsur atau sektor yang terlibat dalam proses peningkatan kesehatan masyarakat, tidak hanya sektor kesehatan semata, akan tetapi meliputi sektor terkait seperti sektor pendidikan, pemerintahan, dunia usaha dan lembaga swadaya masyarakat lainnya. Semua sektor yang berkonstribusi terhadap pemberdayaan masyarakat diharapkan mempunyai satu visi dan misi yaitu memandirikan masyarakat untuk hidup sehat. Lebih lanjut Wallerstein (1992) dalam Helvie (1998) menjelaskan bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan proses kegiatan yang menekankan pada aspek peningkatan partisipasi masyarakat dalam mengorganisir suatu permasalahan yang ada baik secara individu maupun kelompok dengan tujuan menciptakan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat. Partisipasi masyarakat merupakan bagian penting dalam membangun pemberdayaan masyarakat dengan melibatkan masyarakat secara penuh mulai dari identifikasi masalah kesehatan dan menyusun rencana penanggulangannya, sehingga masyarakat bukan hanya sebagai objek tetapi juga subjek dalam upaya mewujudkan masyarakat yang mandiri (Parker, 1994 dalam Helvie, 1998).

Hasil dari intervensi berjenjang yang dilakukan kader terhadap lansia yang dibinanya adalah sebagai berikut : 1) adanya penurunan tingkat nyeri pada 5 orang lansia (62.5%), 2) berkurangnya bengkak pada 2 orang lansia (66.7%) dari lansia yang mengalami bengkak sebelumnya, 3) pegal pegal berkurang pada 4 orang lansia (50%), 4) adanya perubahan kebiasaan berolahraga pada 6 orang lansia (75%), 5) lansia yang memilih jahe sebagai obat tradisional untuk mengatasi nyeri sebanyak 6 orang lansia (75%). Hasil ini menunjukkan bahwa kader telah mampu memotivasi lansia untuk

berubah perilakunya, terutama dalam beraktifitas latihan/exercise dan mengatasi nyeri. Peran kader sangat penting dalam membina keluarga dan lansia, sehingga lansia dapat beraktifitas secara optimal. Kelompok lansia sudah mampu melakukan perawatan diri (self care). Orem (2001, dalam

Tomey & Alligood, 2006) pemberian supportif edukatif pada individu dapat meningkatkan motivasi untuk melakukan perawatan pada dirinya. Bantuan yang diberikan oleh orang lain ((partly compensatory) dapat diberikan keluarga bila lansia tidak mampu melakukan sebagian aktifitas hariannya. Selain itu Friedman, Bowden, dan Jones (2003), keluarga memerlukan dukungan sosial. Hal ini telah didapat keluarga dan lansia dari kader yang telah memberikan intervensi secara baik.

Dalam dokumen UNIVERSITAS INDONESIA (Halaman 116-127)

Dokumen terkait