• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNIVERSITAS INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UNIVERSITAS INDONESIA"

Copied!
187
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

PEMBERDAYAAN KADER DENGAN PENDEKATAN

INTERVENSI BERJENJANG DALAM PELAYANAN DAN

ASUHAN KEPERAWATAN KOMUNITAS PADA LANSIA

DENGAN GANGGUAN MOBILISASI AKIBAT REMATIK

DI KELURAHAN PGS KOTA DEPOK

KARYA ILMIAH AKHIR

Oleh :

Nandang Jamiat Nugraha

NPM. 0906504871

PROGRAM STUDI NERS SPESIALIS KEPERAWATAN KOMUNITAS FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK JULI, 2012

(2)

UNIVERSITAS INDONESIA

PEMBERDAYAAN KADER DENGAN PENDEKATAN

INTERVENSI BERJENJANG DALAM PELAYANAN DAN

ASUHAN KEPERAWATAN KOMUNITAS PADA LANSIA

DENGAN GANGGUAN MOBILISASI AKIBAT REMATIK

DI KELURAHAN PGS KOTA DEPOK

KARYA ILMIAH AKHIR

Disusun untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan pada Program Studi Ners Spesialis Keperawatan Komunitas

Nandang Jamiat Nugraha

NPM. 0906504871

PEMBIMBING :

Dra. Junaiti Sahar, M.AppSc.,PhD Etty Rekawati, S.Kp., MKM

PROGRAM STUDI NERS SPESIALIS KEPERAWATAN KOMUNITAS FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK JULI, 2012

(3)
(4)
(5)
(6)

Puji dan Syukur hanya milik Allah SWT yang telah memberikan karunia dan nikmat-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan Karya Ilmiah Akhir (KIA) dengan Judul : Pemberdayaan Kader dengan pendekatan Intervensi Berjenjang dalam Pelayanan dan Asuhan Keperawatan Komunitas pada Lansia dengan Gangguan Mobilisasi Akibat Rematik di Kelurahan Pasir Gunung Selatan Kota Depok

KIA ini dibuat berdasarkan proyek inovasi yang dikembangkan penulis dalam praktik residensi Program Studi Ners Spesialis Keperawatan Komunitas di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK UI) selama 9 bulan. Inovasi yang dikembangkan didasarkan pada teori model keperawatan dan manajemen pelayanan keperawatan komunitas.

Pelaksanaan kegiatan proyek inovasi penulis, telah mendapat banyak bantuan dari pihak lain. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada yang terhormat;

1. Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia

2. Dra. Junaiti Sahar., M.App.Sc, Ph.D, selaku Wakil Dekan FIK UI dan Pembimbing I, yang senantiasa bersabar membimbing dan memberikan arahan selama penulis mengikuti Program Studi Magister dan Ners Spesialis Keperawatan Komunitas di FIK UI

3. Astuti Yuni Nursasi, MN, Selaku Ketua Prodi Pasca Sarjana FIK UI dan Supervisor praktik residensi

(7)

komunitas

5. Sigit Mulyono, MN, selaku Pembimbing Akademik yang senantiasa memberikan inspirasi untuk selalu mengembangkan keilmuan keperawatan melalui teknologi

6. Wiwin Wiarsih,SKp.,MN; Widyatuti, S.Kp, M.Kep, Sp.Kom,; Henny Permatasari, S.Kp.M.Kep. Sp.Kom, dan dosen-dosen keperawatan komunitas dan dosen FIK UI lainnya

7. Kepala Dinas Kesehatan Kota Depok dan staf yang telah memberikan kesempatan untuk melaksanakan praktik manajemen keperawatan komunitas terkait kebijakan-kebijakan kesehatan di kota Depok

8. Kepala Puskesmas Pasir Gunung Selatan dan staf yang memberikan arahan dan membantu pelaksanaan asuhan keperawatan yang kami berikan kepada warga

9. Bapak Lurah Pasir Gunung Selatan dan jajarannya yang selalu siap membantu pelaksanaan kegiatan penulis

10.Ketua Paguyuban Kader Posbindu PGS yang senantiasa memberikan bantuan dan motivasi sehingga setiap pelaksanaan kegiatan penulis dapat dilaksanakan dengan baik

11.Kader-kader RW 07 dan RW binaan lainnya, yang telah membantu pelaksanaan kegaiatan dalam proyek inovasi ini

12.Keluarga binaan yang selalu siap menerima kehadiran pennulis untuk bekerjasama dalam pelaksanaan asuhan keperawatan keluarga

(8)

ini

14.Istri (Eti Kurniawati) dan anak-anakku tercinta (Syamil Ash-Shidiq dan Syafiq Al-Faruq) serta orangtua, atas doa dan perhatian yang sangat besar sehingga penulis selalu mendapatkan motivasi tinggi untuk menyelesaikan studi ini dengan optimal

15.Sahabat seperjuangan Komunitas 2009, yang senantiasa bahu membahu menyelesaikan praktik sehingga menjadi pengalaman yang tak terlupakan. 16.Pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga setiap

kebaikannya dibalas dengan kebaikan yang berlipat ganda

Penulis menyadari KIA ini masih terdapat keterbatasan, untuk itu penulis mengharapkan masukan sebagai upaya penyempurnaan KIA ini sehingga dapat berguna sebagaimana mestinya.

Depok, 9 Juli 2012 Penulis          

(9)
(10)

Pemberdayaan Kader dengan Pendekatan Intervensi Berjenjang dalam Pelayanan dan Asuhan Keperawatan Komunitas pada Lansia dengan Gangguan Mobilisasi Akibat Rematik di Kelurahan PGS Kota Depok.

Nandang Jamiat Nugraha

Juni 2012

Abstrak

Aggregate lansia merupakan kelompok berisiko dan rentan dengan kondisi penyakitnya, karena kurangnya mengakses pelayanan dan dukungan. Keterbatasan tersebut diperberat dengan adanya gangguan mobilisasi akibat rematik. Diperlukan dukungan dari kader kesehatan untuk membina kesehatan lansia terutama dalam upaya pencegahan gangguan mobilisasi dan kecacatan. Tujuan penulisan adalah memberikan gambaran pelaksanaan pemberdayaan kader dengan pendekatan intervensi berjenjang dalam pelayanan dan asuhan keperawatan komunitas pada lansia dengan gangguan mobilisasi. Karya tulis ini merupakan inovasi yang diaplikasikan dalam pengelolaan pelayanan keperawatan komunitas, asuhan keperawatan keluarga dan komunitas dengan mengintegrasikan model manajemen pelayanan kesehatan, model community as partner, model self care dan model family center nursing. Hasil implementasi adalah telah terbentuknya model intervensi berjenjang dengan memberdayakan kader dan didukung petugas puskesmas, peningkatan kemampuan kader dalam penatalaksanaan gangguan mobilisasi akibat rematik, meningkatnya kemandirian keluarga, meningkatnya kemampuan lansia, menurunnya tingkat nyeri, dan meningkatnya ADL lansia. Karya tulis ini diharapkan dapat menjadi alternatif acuan dalam pembinaan keluarga dan lansia di masyarakat.

(11)

Empowerment Cadres with Multilevel Intervention Approach in Community Nursing Services toward the Elderly with Impaired Mobilization Caused Rhematoid Artritis in PGS Depok City

Nandang Jamiat Nugraha

June 2012

Abstract

Aggregate risk groups and the elderly are a vulnerable group as well as the condition of the disease, due to lack of access to services and support are obtained. Limitations are compounded by the disruption caused by rheumatic mobilization. They are require the support from cadre to foster health of the elderly, especially in preventing impairment and disability mobilization. This paper goal is to provide a picture of the empowerment of cadres with of multilevel intervention approach in community care and nursing care of the elderly with impaired mobilization. Result of this paper the innovations applied in the management of community nursing services, nursing care families, and communities by integrating theory and models of health service management, a community as partner models, self-care models and family center nursing models. The results of the implementation multilevel intervention approach is formulated to empower cadres, increase the ability of cadres in the management of rheumatic disorders in the aggregate due to the mobilization of the elderly, increased family self-sufficiency, increasing the ability of the elderly, reduced levels of pain, and increased ADL elderly. This paper is expected to be a reference in building alternative families and elderly in the community.

Key words: cadre, multilevel intervention, impaired mobilization

     

(12)

COVER DALAM ………. i

PERNYATAAN KEASLIAN KIA ……….. ii

HALAMAN PERSETUJUAN ………. iii

HALAMAN PENGESAHAN ……….. iv

KATA PENGANTAR ……….. v

PERSETUJUAN PUBLIKASI ………. viii

ABSTRAK ……… ix

DAFTAR ISI ……… xi

DAFTAR SKEMA ………... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ……… xiv

BAB 1 PENDAHULUAN ……….. 1

1.1 Latar Belakang ………... 1

1.2 Tujuan Penulisan ……… 10

1.3 Manfaat Penulisan ……….. 11

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ………. 13

2.1 Konsep Sebagai Kelompok Risiko ……… 13

2.2 Perubahan Menua Pada Lansia Dengan Gangguan Mobilisasi ………. 17

2.3 Asuhan Keperawatan Pada Lansia dengan Gangguan Mobilisasi ………. 26

2.4 Strategi Intervensi Keperawatan Komunitas Pada Lansia Dengan Gangguan Mobilisasi ………. 30

2.5 Bentuk Intervensi Komunitas Pada Aggregate Lansia Dengan Gangguan Mobilisasi Akibat Rematik ……… 38

2.6 Pendekatan Intervensi Berjenjang Sebagai Bentuk Pelayanan dan Asuhan Keperawatan Komunitas Pada Lansia Dengan Gangguan Mobilisasi ………... 39

2.7 Teori dan Model Konseptual Dalam Pendekatan Intervensi Berjenjang Pada Aggregate Lansia Dengan Gangguan Mobilisasi ………. 43

2.8 Peran Perawat Komunitas Dalam Penatalaksanaan Gangguan Mobilisasi Pada Lansia ………... 52

BAB 3 KERANGKA KERJA PRAKTIK ……… 55

3.1 Kerangka Kerja Praktik ………. 55

3.2 Profil Wilayah ……… 58

BAB 4 PELAKSANAAN PENGELOLAAN PELAYANAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN KOMUNITAS ………. 60 4.1 Manajemen pelayanan keperawatan komunitas ……… 60

(13)

5.1 Analisis Pencapaian dan Kesenjangan ………... 99

5.2 Keterbatasan ………... 110

5.3 Implikasi ……… 111

BAB 6 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ………. 113

6.1 Kesimpulan ……… 113

6.2 Rekomendasi ……….. 114

(14)

Skema 3.1 Kerangka Kerja Pengelolaan dan Pelayanan Asuhan Keperawatan Komunitas Pada Lansia Dengan Gangguan Mobilisasi ………

57

Skema 4.1 Fish Bone Pengelolaan Asuhan Keperawatan Komunitas .. 66 Skema 4.2 Pohon Masalah Asuhan Keperawatan Keluarga dengan

Gangguan Mobilisasi ………..

81 Skema 4.3 Web Of Caution Masalah Rematik Pada Aggregate Lansia 89

(15)

Lampiran 1 : Prioritas Diagnosa Manajemen Pelayanan Keperawatan Komunitas

Lampiran 2 : Rencana Pengelolaan Pelayanan Keperawatan Komunitas Lampiran 3 : Prioritas Diagnosa Asuhan Keperawatan Komunitas Lampiran 4 : Rencana Asuhan Keperawatan Komunitas Pada Aggregate

Lansia dengan Gangguan Mobilisasi Lampiran 5 : Rencana Asuhan Keperawatan Keluarga Lampiran 6 : Angket

Lampiran 7 : Kuesioner Aktivitas Sehari-hari

Lampiran 8 : Rekapitulasi Kemampuan Lansia dalam Barthel Index Lampiran 9 : Skala Nyeri

Lampiran 10 : Rekapitulasi Asuhan Keperawatan Keluarga

Lampiran 11 : Angket Pengetahuan Tantang Penyakit rematik dan Penanganannya

Lampiran 12 : Pengetahuan Lansia Tentang Penyakit Rematik dan Penanganannya

Lampiran 13 : Evaluasi Hasil Tingkat Kemandirian Keluarga Pada Lansia Lampiran 14 : Pengetahuan Kader Tentang Penyakit dan Penanganannya Lampiran 15 : Hasil Evaluasi Penyuluhan Kesehatan Kader

Lampiran 16 : Frekuensi Kehadiran Kader dalam Pelatihan Lampiran 17 : Tabel Bahan Makanan Bagi Penderita Rematik Lampiran 18 : Cover Buku Support Group

Lampiran 19 : Format Evaluasi Penyuluhan Lampiran 20 : Kuesioner Evaluasi

Lampiran 21 : Daftar Riwayat Hidup

   

(16)

Bab I menguraikan mengenai latar belakang, tujuan dan manfaat pelaksanaan pemberdayaan kader melalui pendekatan intervensi berjenjang dalam pelayanan dan asuhan keperawatan komunitas pada lansia dengan gangguan mobilisasi akibat Rematik di Kelurahan Pasir Gunung Selatan (PGS) Kota Depok.

1.1 Latar Belakang

Pembangunan kesehatan telah berhasil menurunkan angka kematian bayi, ibu dan angka kesakitan serta menghasilkan perbaikan gizi masyarakat sehingga terjadi peningkatan jumlah lansia di Indonesia. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), hasil sensus penduduk Indonesia tahun 2010 adalah 237.641.326 jiwa. Jumlah lansia yang terdata sebesar 18.118.699 jiwa (7.62% dari jumlah penduduk). Berdasarkan data Lembaga Lanjut Usia Indonesia Provinsi Jawa Barat (LLI Jabar, 2010), diperoleh data lansia di Jawa Barat sebanyak 3.441.746. Sedangkan pada tahun 2011 jumlah lansia di Kota Depok sebesar 1.813.612 jiwa (BPS Kota Depok, 2012). Dampak positif yang dihasilkan adalah meningkatnya Umur Harapan Hidup (UHH) yang pada akhirnya akan mengakibatkan peningkatan jumlah dan proporsi penduduk usia lanjut. UHH Indonesia tahun 2011 adalah 69.4 tahun (www.menkokesra.go.id. Diunduh tanggal 18 April 2012). UHH provinsi Jawa Barat adalah 68.20 (www.jabarprov.go.id, diunduh tanggal 18 April 2011). Sedangkan UHH Kota Depok tahun 2011 sebesar 73.12 (BPS Kota Depok, 2012). Perubahan demografi ini akan berpengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan usia lanjut, baik secara individu maupun dalam kaitannya dengan keluarga dan masyarakat. Secara individu akibat bertambahnya usia terjadi proses menua yang menimbulkan berbagai masalah baik secara fisik, biologis/kesehatan, mental, maupun sosial ekonomi.

Menurut Stanhope dan Lancaster (2004), lansia merupakan kelompok yang mempunyai risiko terhadap gangguan biologi/kesehatan. Lansia termasuk

(17)

Universitas Indonesia

kelompok berisiko (at risk) karena pada lansia terdapat faktor-faktor resiko kesehatan yang mempengaruhi terjadinya penyakit atau tidak sehat yaitu : Biologic risk age (risiko usia dan biologi), Social risk (risiko sosial), Economic risk (risiko ekonomi), Life-style risk (risiko gaya hidup), Life-event risk (risiko kejadian dalam kehidupan). 

Faktor risiko usia dan biologi sesuai dengan teori konsekuensi. Menurut Miller (2004), Teori Konsekuensi mendalilkan bahwa lansia mengalami konsekuensi fungsional karena perubahan yang berkaitan dengan usia dan faktor risiko tambahan. Kombinasi dari perubahan yang berkaitan dengan usia dan faktor risiko ini dapat mengganggu kemampuan fungsional biologis tubuh. Salah satu sistem yang terpengaruh adalah sistem muskuloskeletal (otot rangka). Berdasarkan teori biologis, penuaan menyebabkan perubahan struktur sel dan jaringan dan akhirnya menimbulkan perubahan degeneratif. Proses degeneratif mempengaruhi efisiensi fungsional tulang sebelum kerangka tubuh mencapai maturitas, dan mempengaruhi tendon, ligamen serta cairan sinovial (Miller, 2004). Pada proses menua biasanya terjadi penurunan produksi cairan sinovial pada persendian, berkurangnya massa otot, osteoporosis, perubahan pada sistem saraf pusat tonus otot menurun, perubahan kemunduran bentuk jaringan penghubung, kartilago sendi menjadi lebih tipis dan ligamentum menjadi lebih kaku serta terjadi penurunan kelenturan (fleksibilitas), sehingga mengurangi gerakan persendian. Adanya keterbatasan pergerakan dan berkurangnya pemakaian sendi dapat memperparah kondisi tersebut (Miller, 2004). Penurunan kemampuan muskuloskeletal dapat menurunkan aktivitas fisik dan latihan, sehingga akan mempengaruhi lansia dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari (activity daily living atau ADL) (Westerterp & Meijer, 2001 dalam Miller, 2004).

Gangguan mobilisasi dapat mempengaruhi aktifitas sehari-hari dan pada akhirnya dapat mengganggu peran yang seharusnya dilakukan oleh klien. Masalah lain yang muncul adalah adanya resiko jatuh (falls) dan tidak aman (unsafe) (Mayer et al, 2002 dalam Miller, 2004). Resiko jatuh dan tidak aman selalu dikaitkan dengan konsekuensi fungsional negatif lansia karena

(18)

meningkatnya usia serta adanya penurunan daya tahan otot (endurance), penurunan koordinasi gerak, dan keterbatasan gerakan sendi (Morley, 2002, dalam Miller, 2004).

Perubahan sosial yang terjadi pada lansia adalah adanya kurangnya interaksi sosial, kematian teman, penyakit kronis yang diderita, pandangan stereotif pada lansia, kematian pasangan (Miller, 2004). Perubahan kejadian dalam kehidupan lansia meliputi : pekerjaan berat pada masa lalu yang berisiko terjadinya Rematik dan pola aktivitas berlebih. Perubahan gaya hidup pada lansia meliputi adanya perubahan pola makan yang berisiko terhadap terjadinya Rematik, serta kurangnya olahraga yang menyebabkan kekakuan pada persendian. Perubahan-perubahan diatas dapat berisiko terjadinya gangguan mobilisasi akibat Rematik.

Gangguan mobilisasi akan menyebabkan lansia menjadi rentan terhadap masalah kesehatan. Menurut Pender, Murdaugh, dan Parsons (2002), vulnerable (rentan) didefinisikan sebagai kelompok atau individu yang beresiko lebih besar terhadap kelemahan atau keterbatasan fisik, psikologis, atau kesehatan sosial. Polpulasi vulnerable lebih mudah untuk terjadinya masalah-masalah kesehatan. Berbagai bentuk yang digunakan untuk menggambarkan kelompok vulnerable meliputi : kelompok yang kurang mendapat pelayanan kesehatan, adanya penyakit, kelompok khusus, pengobatan yang merugikan, kelompok dengan kemiskinan. Masalah fisiologis lansia meliputi stress, penyakit kronis, tingkat kesehatan dan pembentukan kesehatan yang positif (Maurer & Smith, 2005). Terjadinya penyakit kronis pada pada usia lanjut dapat mempengaruhi terhadap kualitas kehidupan ( Allender & Spradley, 2005). Kelompok vulnerable memiliki resiko lebih besar terhadap kesakitan dan kematian. Kerentanan terjadi sebagai akibat dari interaksi faktor internal dan eksternal yang menyebabkan seseorang menjadi rentan mengalami kondisi kesehatan yang buruk (Stanhope & Lancaster, 2004).

Salah satu masalah/gangguan yang sering terjadi pada lansia adalah Rematik yang dapat mengakibatkan gangguan mobilisasi. Rematik adalah penyakit

(19)

Universitas Indonesia

sendi degeneratif dimana terjadi kerusakan tulang rawan sendi yang berkembang lambat dan berhubungan dengan usia lanjut, terutama pada sendi-sendi tangan dan sendi-sendi besar yang menanggung beban (Miller, 2004). Secara klinis Rematik ditandai dengan nyeri, deformitas, pembesaran sendi dan hambatan gerak pada sendi-sendi tangan dan sendi besar. Etiologi penyakit ini tidak diketahui secara pasti. Namun ada beberapa faktor resiko yang diketahui berhubungan dengan penyakit ini, antara lain; usia lebih dari 40 tahun, jenis kelamin wanita lebih sering, genetik, kegemukan dan penyakit metabolik, cedera sendi, pekerjaan dan olahraga, kelainan pertumbuhan, dan kepadatan tulang. (Gunadi dalam Garnadi, 2008). Rematik seringkali berhubungan dengan trauma maupun mikrotrauma yang berulang-ulang, obesitas, stress oleh beban tubuh dan penyakit-penyakit sendi lainnya (Gunadi dalam Garnadi, 2008). Davis (1988, dalam Luckenotte, 2006), penyebab utama peradangan pada sendi adalah keausan sendi akibat antara lain robek, cedera atau infeksi. Keadaan tersebut menyebabkan terjadinya penipisan bantalan sendi sehingga menimbulkan gesekan yang berakibat nyeri di dalam sendi. Sebanyak 80% penderita Rematik mengeluh nyeri.

Berdasarkan hasil penelitian Zeng et al (2008), prevalensi Rematik di Indonesia mencapai 23,6% hingga 31,3% (Pramudyo dalam http://www.harian-global.com). Berdasarkan data dari Dinas kesehatan Provinsi Jawa Barat, jumlah penderita Rematik tahun 2008 mencapai 2 juta orang, (Isbagio dalam www. dinkes provjabar.go.id).

Penyakit Rematik memang bukanlah penyakit yang dikelompokkan dalam penyakit mematikan secara langsung. Namun Rematik dapat mengakibatkan kecacatan (morbiditas), ketidakmampuan (disabilitas), penurunan kualitas hidup, serta dapat meningkatkan beban ekonomi maupun keluarganya (Junaidi, 2006). Masyarakat pada umumnya tidak peduli terhadap bahaya penyakit Rematik ini, padahal dalam kurun waktu yang singkat, yaitu kurang dari tiga tahun, Rematik dapat menimbulkan kecacatan serius pada persendian yang terkena dan dapat menimbulkan gangguan mobilisasi/aktifitas. Salah satu dampak dari Rematik adalah gangguan mobilisasi dan keamanan

(20)

(mobility and safety) (Miller, 2004). Kecenderungan yang dilakukan masyarakat bila mengalami keluhan-keluhan pada gangguan ini akan mengambil langkah praktis, yaitu dengan membeli obat-obat penawar yang belum tentu sesuai dan aman untuk digunakan, bahkan bersifat adiktif atau ketergantungan.

Penatalaksanaan gangguan mobilisasi akibat Rematik pada aggregate lansia diutamakan pada pengendalian faktor risiko mencakup perubahan gaya hidup yang meliputi diet dan olahraga dan penatalaksanaan nyeri. Perubahan gaya hidup lebih ditekankan pada pola aktifitas baik jenis kegiatan maupun ringan beratnya kegiatan tersebut. Pola makan harus diperhatikan sekali karena penyebab Rematik adalah dari konsumsi purin yang berlebih. Olahraga yang disarankan adalah olahraga ringan seperti stretching, pemanasan (warming up), senam lansia, senam khusus Rematik. Obat yang diberikan adalah analgetik (pereda nyeri), anti inflamasi (anti radang), relaxan otot, psikotropika, dan anti konvulsan (Dalimartha, 2008). Hasil penelitianTseng et al. (2006) melaporkan bahwa latihan gerak sendi (range of motion) berefek positif terhadap peningkatan kemampuan fisik dan psikososial lansia yang mengalami penyakit kronis.

Menurut Fitzcharles, Lussier, dan Shir (2010), manajemen penanganan nyeri pada rematoid artritis adalah : 1) non-pharmachological treatment meliputi : edukasi, intervensi psikososial, latihan/exercise, penurunan berat badan, pendampingan oleh ahli/praktisi, herbal dan diet. 2) pharmachological treatment meliputi : paracetamol (acetaminophen), NSAIDs (non steroid anti inflammation disease), opioids, obat narkose, dan topical treatment. Hal ini diperkuat lagi berdasarkan hasil penelitian Cho, Diane, dan Chau (2007) melaporkan bahwa penanganan non-pharmachological sangat efektif bagi penderita Rematik, yaitu : pendidikan kesehatan melalui Cognitive Behavioural Theraphy (CBT), latihan fisik, dan relaksasi dan distraksi.

Pengkajian pada aggregate lansia yang berisiko Rematik di lakukan berdasarkan keluhan yang dirasakan saat wawancara awal. Berdasarkan hasil pengkajian terhadap 44 lansia yang berisiko Rematik di kelurahan Pasir

(21)

Universitas Indonesia

Gunung Selatan (PGS) Kecamatan Cimanggis Kota Depok diperoleh data sebanyak : 75% mengeluhkan tanda-tanda Rematik (pegal dan nyeri pada persendian), serta 56.80% mempunyai kebiasaan tidak baik dalam pola makan (makan kacang-kacangan, jeroan, melinjo), 61.36% tidak mengetahui penyebab Rematik, 84.09% tidak mengetahui tanda gejala Rematik, 61.36% tidak mengetahui komplikasi Rematik. Kemudian berdasarkan sikap afektif keluarga terhadap lansia yang mengalami Rematik sebesar 54.55% menunjukkan sikap tidak afektif, 65.91% tidak memberikan biaya pengobatan, dan 50% tidak memberikan perawatan di rumah. Sebagian besar responden hasil pengkajian tersebut memunculkan masalah bahwa masyarakat belum memahami dengan baik Rematik dan cara perawatannya. Hal ini merupakan tantangan bagi kader posbindu untuk membantu warganya yang mengalami masalah kesehatan Rematik.

Pelayanan kesehatan bagi lansia dimasyarakat adalah posbindu. Hasil observasi di Posbindu RW 07 pada bulan November 2011, Posbindu hanya dihadiri 13 orang lansia. Ketua Paguyuban Kader Posbindu menyatakan bahwa kunjungan lansia ke posbindu masih kurang yakni rata-rata sekitar 30-40%. Keadaan tersebut menggambarkan pemanfaatan Posbindu oleh masyarakat masih kurang. Kemampuan mengakses pelayanan kesehatan oleh kelompok lansia cukup terbatas. Keterbatasan tersebut diperberat dengan adanya gangguan mobilisasi akibat Rematik. Oleh karena itu diperlukan dukungan sosial dari kader dan keluarga. Bentuk dukungan sosial yang dapat diberikan oleh kader dan keluarga meliputi : dukungan informasional, instrumental, emosional dan penghargaan (Pender, Murdaugh, & Parsons, 2002).

Pemerintah telah berupaya melaksanakan program pembinaan lansia melalui Posbindu Penyakit Tidak Menular (PTM) sebagai upaya mensikapi meningkatnya UHH. Program ini telah dilakukan pemerintah melalui pemberdayaan masyarakat yakni kader kesehatan (Depkes RI, 2008). Pemerintah seharusnya memfasilitasi berbagai upaya kesehatan yang bersumberdaya masyarakat, menyelenggarakan seminar dan pelatihan bagi

(22)

kader dalam masalah PTM dan pengendalian faktor resikonya, memilih posbindu dan kader posbindu teladan. Namun upaya tersebut masih belum berjalan secara optimal. Hasil pengkajian di kelurahan PGS juga diperoleh data bahwa pelaksanaan pelatihan bagi kader sudah dilaksanakan oleh dinas kesehatan kota Depok, namun masih terbatas jumlahnya. Kader posbindu yang belum mengikuti pelatihan masih cukup banyak. Kegiatan bimbingan dan arahan dari petugas puskesmas masih belum optimal, karena kesibukan pelayanan di dalam gedung.

Penanganan terhadap gangguan mobilisasi akibat Rematik dapat dilakukan oleh perawat komunitas. Perawat komunitas dapat melakukan upaya promotif dan preventif pada gangguan mobilisasi. Penanganan terhadap gangguan mobilisasi dapat dilakukan dengan melakukan pemberdayaan masyarakat melalui intervensi berjenjang (multilevel intervention). Penggunaan model intervensi berjenjang dilakukan untuk merubah kemampuan komunitas mengatasi masalah secara menyeluruh (Helvie, 1998). Sedangkan Downie, Tannahill, dan Tannahill (1996, dalam Stanhope & Lancaster 2004) menjelaskan bahwa intervensi berjenjang merupakan respon komunitas dalam promosi kesehatan secara sistematik terhadap individu, keluarga, kelompok atau aggregate, komunitas dan sosial. Intervensi berjenjang dimulai dari petugas kesehatan yang mentransfer pengetahuan dan keterampilan kepada kader, kemudian kader membina keluarga dan lansia yang mengalami gangguan mobilisasi.

Pendekatan intervensi berjenjang telah dilakukan oleh Asmadi (2009) tentang penanganan faktor resiko kekerasan pada lansia yang dilakukan oleh kader dan mempunyai dampak positif terhadap pencegahan kekerasan pada lansia. Intervensi berjenjang ini diterapkan pada pelaksanaan praktik pengelolaan pelayanan keperawatan komunitas, asuhan keperawatan komunitas, dan asuhan keperawatan keluarga untuk menangani gangguan mobilisasi akibat Rematik pada lansia di kelurahan Pasir Gunung Selatan dengan menggunakan integrasi fungsi manajemen, model Community as Partner, Self Care, dan

(23)

Universitas Indonesia Family Centre Nursing. Fungsi manajemen meliputi : perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan.

Fungsi manajemen digunakan untuk mengidentifikasi upaya pengelolaan yang dilakukan oleh stake holder dalam pelaksanaan program kesehatan yang telah dirancang sebelumnya dalam rencana strategis dan operasional. Model Community as Partner digunakan untuk mengkaji komunitas dan proses keperawatan komunitas, Model ini lebih berfokus pada perawatan kesehatan masyarakat yang merupakan praktek, keilmuan, dan metodenya melibatkan masyarakat untuk berpartisipasi penuh dalam meningkatkan kesehatannya (Anderson & Mc. Farlane, 2000). Fokus teori Self Care adalah perawatan diri yang didefinisikan sebagai praktik atau aktivitas individu memulai dan menunjukkan keperluan mereka sendiri dalam memelihara hidup, kesehatan, dan kesejahteraan (Orem, 2001 dalam Tomey & Alligood, 2006). Perawatan diri tidak terbatas pada seseorang yang memberikan perawatan untuk dirinya sendiri; hal ini termasuk perawatan yang ditawarkan oleh orang lain untuk keperluan orang lain. Perawatan mungkin ditawarkan oleh anggota keluarga atau orang lain hingga orang tersebut mampu untuk melakukan perawatan diri. Model Family Centre Nursing menjelaskan bahwa keperawatan keluarga bertujuan untuk membantu keluarga menolong dirinya sendiri mencapai tingkat fungsi keluarga yang tertinggi dalam konteks tujuan, aspirasi dan kemampuan keluarga (Friedman, Bowden and Jones, 2003). Oleh karena itu dalam praktik keperawatan keluarga pemberian asuhan dapat diberikan kepada keluarga dan anggota keluarga dalam keadaan sehat maupun sakit. Sedangkan proses keperawatan keluarga berguna sebagai sebuah kerangka bagi pemberian asuhan.

Pelaksanaan asuhan keperawatan komunitas selalu berdasarkan strategi intervensi. Menurut Ervin (2002), strategi intervensi keperawatan meliputi : pendidikan kesehatan, proses kelompok, pemberdayaan dan kemitraan. Salah satu pemberdayaan yang dimaksud adalah pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan peran kader posbindu. Kader adalah anggota masyarakat, baik pria maupun wanita, yang dipilih dari dan oleh masyarakat, mau dan mampu

(24)

bekerja sama dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan secara sukarela (Depkes, 2010). Pemberdayaan kader dapat dimodifikasi dengan menggunakan pendekatan intervensi berjenjang. Inovasi yang dikembangkan untuk memberdayakan kader dalam melaksanakan peran dan fungsinya. Kader harus memiliki kemampuan dalam memberikan pendidikan kesehatan kepada warga yang mengalami masalah kesehatan termasuk Rematik. Kemampuan yang diharapkan adalah penyampaian pesan (materi pendidikan kesehatan dan penatalaksanaan pada gangguan mobilisasi) yang dilakukan oleh petugas pelayanan kesehatan komunitas (perawat) kepada kader terlatih dan selanjutnya kader terlatih akan memberikan materi yang diperolehnya kepada kader lainnya, sehingga semua kader tersebut akan melakukan tugasnya untuk menyampaikan pesan yang telah diterimanya kepada keluarga dan lansia yang mengalami masalah kesehatan Rematik. Kader diberikan pelatihan terlebih dahulu sehingga dapat diukur kemampuannya dalam memberikan pendidikan kesehatan.

Peran kader sangat penting dalam membantu program pemerintah seperti pelaksanaan posyandu balita dan posbindu lansia. Berdasarkan hasil penelitian dari Salim dan Hasanbasri (2007) tentang implementasi pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan di Puskesmas Arso Barat Kabupaten Keerom, kader kesehatan telah mampu membuat perencanaan kegiatan secara mandiri, mampu melakukan rekrutmen kader dan memberikan bimbingan melalui “learning by doing”, serta kader mampu melakukan evaluasi sederhana dalam pelaksanaan kegiatannya. Peran petugas perkesmas telah nyata dibantu secara hampir menyeluruh oleh kader. Arahan dan bimbingan dari petugas puskesmas sangat diperlukan bagi kader kesehatan dalam upaya memberikan pelayanan kesehatan yang lebih baik dan optimal.

Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Ansari dan Andersson (2011) melaporkan bahwa terdapat keuntungan dari pemberdayaan kader yang telah dilakukan yaitu penekanan pada biaya (cost) dari program kesehatan di Inggris. Amendola (2011) juga melaporkan hasil penelitiannya, kader yang diberdayakan (empowerment) telah memberikan kontribusi yang sangat besar

(25)

Universitas Indonesia

di Amerika Serikat khususnya pada penduduk Hispanic/Latin. Kontribusi yang telah dihasilkan adalah adanya penerimaan positif dari warga dalam pemeliharaan kesehatannya, Middling et al (2011) menyebutkan adanya ketertarikan yang sangat tinggi dari kader, sehingga adanya peningkatan jumlah kader setelah proses rekruitmen yang dilakukan kader itu sendiri. Selain itu kader juga mendapatkan dukungan eksternal dari pemerintah distrik setempat (Manchester Inggris).

Keperawatan komunitas bertugas untuk memberikan asuhan keperawatan pada lansia sehat maupun sakit. Asuhan yang diberikan hendaknya sesuai dengan kaidah keilmuwan keperawatan yang ditunjang dengan kolaborasi tim kesehatan lain untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi lansia khsususnya yang mengalami gangguan mobilisasi akibat Rematik. Keperawatan komunitas bertanggung jawab untuk mengutamakan pelayanan yang bersifat upaya promotif, protektif dan preventif sesuai dengan kewenangannya, berkolaborasi dengan tim lain, menggerakkan dan memberdayakan masyarakat, sehingga terwujud masyarakat mandiri yang mampu mengatasi permasalahannya. Pelaksanaan asuhan keperawatan komunitas dapat dilakukan dengan menggunakan model keperawatan atau pendekatan intervensi.

Berdasarkan uraian diatas telah diyakini bahwa peran kader kesehatan sangat besar dalam memberikan pelayanan bagi masyarakat. Pemberdayaan kader posbindu harus dilakukan secara terpadu antara mahasiswa praktik, dan petugas puskesmas terutama dalam pelaksanaan asuhan keperawatan komunitas dan keluarga yang dilakukan melalui pelaksanaan fungsi manajemen untuk mengatasi masalah Rematik pada lansia. Untuk mengelola kegiatan pelayanan kesehatan komunitas maka perlu digunakan suatu pendekatan intervensi berjenjang.

1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan umum

Memberikan gambaran pelaksanaan pemberdayaan melalui pendekatan intervensi berjenjang dalam pelayanan dan asuhan keperawatan

(26)

komunitas pada lansia dengan gangguan mobilisasi di kelurahan Pasir Gunung Selatan Kota Depok.

1.2.2 Tujuan khusus

a) Tersusunnya pendekatan intervensi berjenjang dengan memberdayakan kader

b) Meningkatnya kemampuan (pengetahuan, keterampilan dan sikap) kader dalam penatalaksanaan gangguan mobilisasi akibat Rematik pada aggregate lansia secara berjenjang

c) Meningkatnya kemandirian keluarga dalam merawat lansia dengan gangguan mobilisasi akibat Rematik

d) Meningkatnya kemampuan (pengetahuan, sikap, dan psikomotor) aggregate lansia dalam mengatasi gangguan mobilisasi akibat Rematik

e) Penurunan tingkat nyeri pada aggregate lansia dengan gangguan mobilisasi akibat Rematik

f) Peningkatan ADL aggregate lansia setelah mengikuti intervensi berjenjang penatalaksanaan gangguan mobilisasi akibat Rematik

1.3 Manfaat

1) Pelayanan keperawatan komunitas a. Perawat komunitas

Karya Ilmiah Akhir ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perawat komunitas sebagai evidence based practice dalam melakukan asuhan keperawatan keluarga maupun komunitas berkenaan pemberdayaan kader kesehatan untuk menangani masalah kesehatan lansia dengan menggunakan pendekatan intervensi berjenjang

b. Puskesmas

Manfaat karya ilmiah akhir ini untuk puskesmas adalah adanya upaya pengembangan manajemen pelayanan kesehatan lansia melalui supervisi kader dan pemberdayaan kader

(27)

Universitas Indonesia

c. Dinas Kesehatan

Hasil karya ilmiah akhir ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam membuat keputusan berkenaan dengan masalah kesehatan penyakit tidak menular pada lansia termasuk Rematik dengan menetapkan pedoman penatalaksanaan bagi kader kesehatan terkait masalah gangguan mobilisasi akibat Rematik

2) Perkembangan keperawatan

Hasil karya ilmiah akhir ini dapat digunakan dalam mengembangkan keilmuan keperawatan untuk meningkatkan keilmuan keperawatan terutama dalam mengintegrasikan model asuhan keperawatan yang dapat dilaksanakan pada agregat lansia. Manfaat lain adalah dapat dijadikan sebagai bahan dasar bagi penelitian terkait dengan topik perawatan pada lansia dengan masalah penyakit tidak menular baik pada lansia, keluarga/caregiver, kader kesehatan maupun pada petugas perkesmas di puskesmas.

(28)

Bab II ini akan dipaparkan tentang tinjauan pustaka yang menjadi landasan teori dalam pelaksanaan praktek residensi di Kelurahan Pasir Gunung Selatan (PGS). Landasan teori mencakup : konsep at risk; perubahan menua; penatalaksanaan gangguan mobilisasi; strategi intervensi keperawatan komunitas; bentuk intervensi berjenjang, model yang digunakan dalam praktik serta peran dan fungsi perawat komunitas.

2.1 Lansia sebagai Kelompok Berisiko

At risk merupakan kemungkinan munculnya suatu kejadian, seperti status kesehatan karena terpapar oleh faktor tertentu (Swanson dan Nies,1997). At risk tidak hanya berlaku pada individu tetapi juga berlaku terhadap kelompok. Population at risk adalah sekelompok kelompok yang berisiko untuk mengalami kondisi tertentu (Mc. Kie et al, 1993 dalam Mc Murray, 2003). Sedangkan menurut Hitchock, Schubert, dan Thomas (1999) population at risk merupakan kumpulan dari orang-orang yang memiliki beberapa kemungkinan yang telah jelas teridentifikasi atau telah ditentukan meskipun sedikit terhadap munculnya suatu peristiwa. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa population at risk (kelompok berisiko) adalah peluang munculnya suatu kejadian penyakit pada suatu kelompok tertentu karena adanya faktor resiko.

Risiko terpaparnya penyakit atau kemungkinan timbulnya bahaya dapat terjadi pada orang, jenis pekerjaan atau jenis aktivitas. Penyebab dari risiko tersebut adalah adanya faktor predisposisi internal maupun eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang ada pada diri individu yang dapat mempengaruhi timbulnya penyakit atau masalah kesehatan. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang terkait dengan lingkungan yang dapat mempengaruhi

(29)

keterpaparan terhadap penyakit atau masalah kesehatan. Apabila faktor risiko tersebut secara terus menerus bersinggungan terhadap individu maka dapat meningkatkan angka kesakitan, kematian. Oleh sebab itu faktor-faktor tersebut sangat penting untuk diperhatikan karena akan mempengaruhi timbulnya penyakit atau masalah kesehatan, baik individu atau kelompok (Stanhope & Lancaster, 2004).

Faktor yang menentukan atau mempengaruhi terjadinya penyakit atau tidak sehat disebut risiko kesehatan (At risk). Menurut Stanhope dan Lancaster (2004), At risk terdiri dari beberapa kategori, yaitu :

(a) Risiko Usia dan Biologi, adalah adanya faktor genetik atau kondisi-kondisi biologi (fisik) yang dapat menyebabkan risiko terhadap gangguan kesehatan. Bila salah satu anggota keluarga menderita suatu penyakit, maka akan terjadi penyakit yang sama (repetisi) pada anggota keluarga lainnya.

Adanya faktor-faktor resiko terhadap gangguan kesehatan pada lansia sesuai dengan teori Konsekuensi. Menurut Miller (2004), Teori Konsekuensi mendalilkan bahwa orang dewasa yang lebih tua (lansia) mengalami konsekuensi fungsional karena perubahan yang berkaitan dengan usia dan faktor risiko tambahan. Kombinasi dari perubahan yang berkaitan dengan usia dan faktor risiko ini dapat mengganggu kemampuan fungsional dari lansia sejauh bahwa orang berhenti melakukan kegiatan tertentu atau melakukan mereka dalam cara yang tidak aman. Untuk melawan fungsional konsekuensi negatif ini, intervensi dapat disarankan oleh seorang perawat gerontik.

Peran perawat gerontik adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan konsekuensi negatif yang fungsional dan memulai intervensi yang akan mengakibatkan yang positif. Tujuan akhir dari intervensi ini adalah untuk memungkinkan lansia untuk berfungsi di tingkat mereka meskipun kehadiran perubahan yang berkaitan dengan usia

(30)

dan faktor risiko. Hasil dari intervensi ini adalah konsekuensi fungsional positif dari fungsi peningkatan dan lebih aman dari lansia. Selain itu, kualitas hidup mungkin ditingkatkan karena konsekuensi fungsional yang positif.

(b) Risiko Sosial, adalah kondisi lingkungan sosial yang dapat menyebabkan risiko terhadap gangguan kesehatan. Maurer dan Smith (2005) menyebutkan bahwa kondisi perubahan lingkungan fisik seperti cuaca, iklim, cahaya, udara, makanan, air, dan penyebaran zat racun, dapat menyebabkan gangguan terhadap kesehatan termasuk lansia. Selain lingkungan fisik, lingkungan sosiokultural dapat mempengaruhi kesehatan karena disebabkan adanya faktor risiko berupa sejarah budaya kehidupan tempat tinggalnya, nilai yang dianut keluarga, institusi sosial (seperti : pemerintah, sekolah, kepercayaan komunitas), kelas sosioekonomi, okupasi, dan peran-peran sosial. Menurut Miller (2004) lansia berisiko mengalami perubahan psikososial yaitu : kurangnya interaksi sosial, kematian teman, penyakit kronis yang diderita, pandangan stereotif pada lansia, kematian pasangan.

(c) Risiko Ekonomi, adalah adanya ketidakseimbangan antara pendapatan keuangan keluarga dengan pengeluaran dapat menyebabkan risiko gangguan kesehatan. Bila keluarga memiliki sumber keuangan yang memadai/adekuat, maka keluarga tersebut dapat membeli keperluan terkait dengan kesehatan seperti rumah, pakaian, makanan, pendidikan, dan perawatan pada kondisi sehat maupun sakit. Risiko ekonomi pada lansia disebabkan lansia sudah tidak mempunyai pekerjaan dan tidak mendapatkan pendapatan. Lansia bergantung pada bantuan ekonomi dari anggota keluarga lainnya.

(d) Risiko Gaya Hidup, adalah gaya hidup atau perilaku yang dapat menyebabkan risiko gangguan kesehatan. Perilaku tersebut berupa keyakinan terhadap kesehatan, kebiasaan hidup sehat, persepsi terhadap risiko kesehatan, pengaturan terhadap pola tidur dan makanan,

(31)

perencanaan kegiatan keluarga, penentuan penanganan terhadap anggota keluarga yang sakit. Kebiasaan tidak berolah raga dan mengkonsumsi makanan yang mengandung purin tinggi dapat berisiko terjadinya rematik pada lansia.

(e) Risiko kejadian dalam kehidupan, adalah adanya kejadian dalam kehidupan yang dapat menimbulkan risiko gangguan kesehatan, seperti : pindah tempat tinggal, adanya anggota keluarga yang baru, pemecatan dari tempat kerja, adanya kematian angggota keluarga.

Lansia yang berisiko terhadap gangguan mobilisasi akan mengalami kerentanan (vulnerable) terhadap penyakit atau gangguan lain. Kelompok vulnerable (rentan) didefinisikan sebagai kelompok individu yang beresiko lebih besar terhadap kelemahan atau keterbatasan fisik, psikologis, atau kesehatan sosial (Pender, 2002) . Kelompok vulnerable lebih mudah untuk berkembangnya masalah- masalah kesehatan , biasanya dikaitkan dengan hasil dari pengalaman terhadap kesehatan sebelumnya dan bagaimana sumber – sumber yang dimiliki untuk memperbaiki kondisi mereka. Berbagai bentuk yang digunakan untuk menggambarkan kelompok vulnerable meliputi : kelompok yang kurang mendapat pelayanan, kelompok khusus, pengobatan yang merugikan, kelompok dengan kemiskinan (Maurer & Smith, 2005). Kelompok vulnerable (rawan) memiliki resiko lebih besar terhadap kesakitan dan kematian.(Allender & Spradley, 2005). Sementara menurut Stanhope dan Lancaster (2004), rawan (vulnerable) adalah jika seseorang/kelompok berhadapan dengan penyakit, bahaya, atau outcome negatif. Faktor pencetus dapat berupa genetik, biologis atau psikososial.. Kerentanan terjadi sebagai akibat dari interaksi faktor internal dan eksternal yang menyebabkan seseorang menjadi rentan mengalami kondisi kesehatan yang buruk ( Stanhope & Lancaster, 2004)

Stanhope dan Lancaster (2004) menyatakan bahwa untuk menilai risiko gangguan kesehatan meliputi lima area yaitu: 1) risiko biologi dapat

(32)

diidentifikasi berdasarkan genogram. Genogram dapat menjadi informasi dasar dalam komposisi keluarga, hubungan dalam keluarga, serta pola sehat dan sakit dalam keluarga; 2) risiko sosial dapat dinilai berdasarkan karakteristik anggota keluarga, tetangga dan komunitas tempat keluarga tinggal; 3) risiko ekonomi dapat dinilai melalui pemanfaatan sumber finansial untuk perawatan kesehatan atau pengobatan; 4) risiko gaya hidup dapat dinilai melalui self efficacy atau keyakinan diri dalam upaya promosi kesehatan, perlindungan bagi kesehatan, serta pemanfaatan pelayanan kesehatan sebagai upaya preventif; 5) risiko transisi kejadian kehidupan dapat dinilai melalui adanya kejadian normatif seperti adanya bayi yang akan mengakibatkan perubahan struktur dan peran dalam keluarga. Lansia termasuk kelompok berisiko terjadinya sesuatu penyakit karena dipengaruhi salah satu faktor yaitu proses menua.

2.2 Perubahan Menua pada Lansia dengan Gangguan Mobilisasi 2.2.1 Proses Menua

Berdasarkan teori biologis penuaan, perubahan struktur sel dan jaringan akan menimbulkan perubahan degeneratif. Proses degeneratif mempengaruhi efesiensi fungsional tulang dimulai pada dekade ketiga sebelum kerangka tubuh mencapai maturitas, dan mempengaruhi tendon, ligamen serta cairan sinovial (Miller, 2004). Pada proses menua biasanya terjadi penurunan produksi cairan sinovial pada persendian, berkurangnya massa otot, osteoporosis, perubahan pada sistem saraf pusat tonus otot menurun, perubahan kemunduran bentuk jaringan penghubung, kartilago sendi menjadi lebih tipis dan ligamentum menjadi lebih kaku serta terjadi penurunan kelenturan (fleksibilitas), sehingga mengurangi gerakan persendian. Adanya keterbatasan pergerakan dan berkurangnya pemakaian sendi dapat memperparah kondisi tersebut (Miller, 2004). Penurunan kemampuan muskuloskeletal dapat menurunkan aktivitas fisik dan latihan, sehingga akan mempengaruhi lansia dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari

(33)

(activity daily living atau ADL) (Westerterp & Meijer, 2001 dalam Miller, 2004).

2.2.2 Rematik

Rematik adalah penyakit infeksi pada sendi yang terjadi secara degeneratif dimana terjadi kerusakan tulang rawan sendi yang berkembang lambat dan berhubungan dengan usia lanjut, terutama pada sendi-sendi tangan dan sendi besar yang menanggung beban (Dalimarta, 2008). Secara klinis rematik ditandai dengan nyeri, deformitas, pembesaran sendi dan hambatan gerak pada sendi-sendi tangan dan sendi besar. Seringkali berhubungan dengan trauma maupun mikrotrauma yang berulang-ulang, obesitas, stress oleh beban tubuh dan penyakit-penyakit sendi lainnya (Gunadi dalam Garnadi, 2008). Davis (1988, dalam Luckenotte, 2006), penyebab utama peradangan pada sendi adalah keausan sendi akibat antara lain robek, cedera atau infeksi. Keadaan tersebut menyebabkan terjadinya penipisan bantalan sendi sehingga menimbulkan gesekan yang berakibat nyeri di dalam sendi. Sebanyak 80% penderita rematik mengeluh nyeri.

Etiologi penyakit ini tidak diketahui secara pasti. Menurut Dalimarta (2008), terdapat beberapa faktor resiko yang diketahui berhubungan dengan penyakit ini, antara lain;

(a) Usia lebih dari 40 tahun

Dari semua faktor resiko untuk timbulnya rematik, faktor penuaan adalah yang terkuat. Akan tetapi perlu diingat bahwa rematik bukan akibat penuaan saja. Perubahan tulang rawan sendi pada penuaan berbeda dengan perubahan pada rematik.

(b) Jenis kelamin wanita lebih sering

Wanita lebih sering terkena rematik pada lutut dan sendi. Sedangkan laki-laki lebih sering terkena rematik pada paha, pergelangan tangan dan leher. Secara keseluruhan, dibawah 45 tahun, frekuensi rematik kurang lebih sama antara pada laki-laki dan wanita, tetapi diatas usia 50 tahun (setelah menopause) frekuensi rematik lebih banyak pada wanita

(34)

daripada pria. Hal ini menunjukkan adanya peran hormonal pada patogenesis rematik.

(c) Suku bangsa

Nampak perbedaan prevalensi rematik pada masing-masing suku bangsa berbeda. Hal ini mungkin berkaitan dengan perbedaan pola hidup maupun perbedaan pada frekuensi kelainan kongenital dan pertumbuhan tulang.

(d) Genetik

Rematik termasuk dalam kategori multifactorial disorders. Penyakit reumatik adalah salah satu autoimmune diseases, yaitu suatu kategori penyakit dimana tubuh, secara abnormal, membentuk respons imun berlebihan terhadap sel dan jaringan yang memang secara normal ada dalam tubuh sendiri (Sasongko, 2010). Tubuh membangun sistem pertahan yang menyerang dirinya sendiri. Sejalan dengan hal ini, penelitian-penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor genetik yang memberi kontribusi pada timbulnya penyakit-penyakit autoimun adalah faktor-faktor genetik yang berperan pada sistem imunitas.

(e) Kegemukan dan penyakit metabolik

Berat badan yang berlebih, nyata berkaitan dengan meningkatnya resiko untuk timbulnya rematik, baik pada wanita maupun pria. Kegemukan ternyata tidak hanya berkaitan dengan rematik pada sendi yang menanggung beban berlebihan, tapi juga dengan rematik sendi lain (tangan atau sternoklavikula). Oleh karena itu disamping faktor mekanis yang berperan (karena meningkatnya beban mekanis), diduga terdapat faktor lain (metabolit) yang berperan pada timbulnya kaitan tersebut.

(f) Cedera sendi, pekerjaan dan olahraga

Pekerjaan berat maupun dengan pemakaian satu sendi yang terus menerus berkaitan dengan peningkatan resiko rematik tertentu.

(35)

Olahraga yang sering menimbulkan cedera sendi yang berkaitan dengan resiko rematik yang lebih tinggi.

(g) Kelainan pertumbuhan

Kelainan kongenital dan pertumbuhan paha telah dikaitkan dengan timbulnya rematik pada usia muda.

(h) Kepadatan tulang

Tingginya kepadatan tulang dikatakan dapat meningkatkan resiko timbulnya rematik. Hal ini mungkin timbul karena tulang yang lebih padat (keras) tidak membantu mengurangi benturan beban yang diterima oleh tulang rawan sendi. Akibatnya tulang rawan sendi menjadi lebih mudah robek.

Menurut Gunadi (2008 dalam Garnadi, 2008), gejala utama dari rematik adalah adanya nyeri pada sendi yang terkena, terutama waktu bergerak. Umumnya timbul secara perlahan-lahan. Mula-mula terasa kaku, kemudian timbul rasa nyeri yang berkurang dengan istirahat. Terdapat hambatan pada pergerakan sendi, kaku pagi, krepitasi, pembesaran sendi dan perubahan gaya jalan. Lebih lanjut lagi terdapat pembesaran sendi dan krepitasi.

Tanda-tanda peradangan pada sendi tidak menonjol dan timbul belakangan, mungkin dijumpai karena adanya sinovitis, terdiri dari nyeri tekan, gangguan gerak, rasa hangat yang merata dan warna kemerahan, antara lain : 1) Keluhan nyeri sendi merupakan keluhan utama. Nyeri biasanya bertambah dengan gerakan dan sedikit berkurang dengan istirahat. Beberapa gerakan tertentu kadang-kadang menimbulkan rasa nyeri yang lebih dibandingkan gerakan yang lain. Untuk mengukur nyeri dapat digunakan skala 0 – 5 dari Wong/Baker Faces Rating Scale (Loretz, 2005). Nilai 0 = tidak ada nyeri yang dirasakan; nilai 1 = nyeri ringan; nilai 2 = nyeri yang membuayt tidak nyaman; nilai 3 = nyeri bertambah dan mengganggu ; nilai 4 = nyeri yang menimbulkan sakit; nilai 5 = nyeri sekali sampai meneteskan air

(36)

mata. Skala Nyeri dapat dilihat pada lampiran ke 9.; 2) Gangguan gerakan sendi biasanya semakin bertambah berat dengan pelan-pelan sejalan dengan bertambahnya rasa nyeri; 3) Kaku pagi dapat menimbulkan immobilisasi; 4) Krepitasi atau rasa gemeretak pada sendi yang sakit; 5) Pembesaran sendi (deformitas); 6) Perubahan gaya berjalan dan gangguan fungsi sendi yang lain merupakan ancaman yang besar untuk kemandirian pasien yang umumnya tua (lansia).

2.2.3 Gangguan Mobilisasi akibat Rematik a) Pengertian

Menurut North American Nursing Diagnosis Assosiation, pengertian mobilisasi adalah suatu keterbatasan dalam kemandirian, pergerakan fisik yang bermanfaat dari tubuh atau satu ekstremitas atau lebih (Wilkinsons, 2007). Pengertian ini dapat menggambarkan bahwa individu dengan keterbatasan kemampuan melakukan pergerakan fisik secara mandiri, seperti kemampuan untuk menggerakkan lengan, tungkai, dan kelemahan otot secara umum.

b) Penyebab

Peningkatan usia pada lansia mengakibatkan perubahan pada semua sistem tubuh termasuk sistem muskuloskeletal. Pada proses menua biasanya terjadi penurunan produksi cairan sinovial pada persendian, berkurangnya massa otot, osteoporosis, perubahan pada sistem saraf pusat tonus otot menurun, perubahan kemunduran bentuk jaringan penghubung, kartilago sendi menjadi lebih tipis dan ligamentum menjadi lebih kaku serta terjadi penurunan kelenturan (fleksibilitas), sehingga mengurangi gerakan persendian. Adanya keterbatasan pergerakan dan berkurangnya pemakaian sendi dapat memperparah kondisi tersebut (Miller, 2004).

Berdasarkan teori konsekuensi fungsional perubahan secara fisiologis terjadi pada lansia bervariasi berkaitan dengan kemunduran, progresif,

(37)

intrinsik dan bersifat universal dengan kecepatan yang berbeda dan dipengaruhi oleh faktor resiko, antara lain penyakit, lingkungan, gaya hidup, support systems, psikososial, pengobatan yang tidak cocok dan sikap yang didasari oleh kurang pengetahuan (Miller, 2004). Konsekuensi fungsional akan bernilai positif jika lansia mudah mencapai tingkat kemandirian dengan sedikit jumlah ketergantungan, sebaliknya akan bernilai negatif ketika lansia mengalami gangguan dan tingkat kemandirian menurun. Konsekuensi fungsional negatif digambarkan dengan berkurangnya kekuatan otot, daya tahan dan koordinasi serta mengalami keterbatasan ROM (range of motion) sebagai akibat dari penurunan fungsi muskuloskeletal (Miller, 2004).

c) Tanda dan Gejala

Penurunan fungsi muskuloskeletal menyebabkan terjadinya perubahan otot dengan keluhan yang dirasakan seperti nyeri, kekakuan, gangguan pergerakan dan tanda-tanda inflamasi mengakibatkan terjadinya immobilisasi. Nyeri yang dirasakan antara lain nyeri leher dan punggung, nyeri bahu, nyeri bokong dan nyeri pada kaki (Miller, 2004).

d) Dampak Yang Ditimbulkan Akibat Gangguan Mobilisasi

Gangguan mobilisasi dapat mempengaruhi aktifitas sehari-hari dan pada akhirnya dapat mengganggu peran yang seharusnya dilakukan oleh klien. Masalah lain yang muncul adalah adanya resiko jatuh (falls) dan tidak aman (unsafe) (Mayer et al, 2002). Resiko jatuh dan tidak aman selalu dikaitkan dengan konsekuensi fungsional lansia karena meningkatnya usia serta adanya penurunan kemampuan tubuh. Terdapat penyebab gangguan mobilisasi yang dapat mengakibatkan resiko jatuh yaitu pengobatan (medications), faktor lingkungan (environmental factors), Aktifitas fisik (physical restraints) (Morley, 2002, dalam Miller, 2004). Gangguan mobilisasi juga berdampak pada aktivitas sehari-hari (Activity Daily Living/ADL). ADL yang terganggu akan mengakibatkan defisit perawatan diri. Defisit perawatan diri merupakan suatu kondisi seseorang mengalami

(38)

gangguan kemampuan dalam perawatan diri yang meliputi mandi, berganti pakaian, makan dan toileting (Wilkinson, 2007). Untuk mengukur tingkat kemampuan aktivitas lansia dapat menggunakan Barthel Index (Loretz, 2005)

Barthel Index (BI) merupakan alat evaluasi yang dapat digunakan untuk menilai kemampuan lansia dalam melakukan ADL. Pengkajian dengan menggunakan BI sangat akurat untuk menilai kemampuan dan keterbatasan yang dialami klien lansia. BI terdiri dari 10 item aktivitas yaitu : personal hygiene, mandi, makan, penggunaan toilet, menggunakan tangga, berpakaian, eliminasi buang air besar, buang air kecil, ambulasi atau berpindah. Skala yang digunakan adalah 0 – 100 (Loretz, 2005). Skala pengukuran BI dapat dilihat pada lampiran ke 7.

Ganggunan mobilisasi memerlukan penatalaksanaan yang komprehensif. Menurut Dalimartha (2008), penatalaksanaan pada gangguan mobilisasi akibat rematik adalah sebagai berikut :

(a) Medikamentosa

Tidak ada pengobatan medikamentosa yang spesifik, hanya bersifat simtomatik. Obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) bekerja hanya sebagai analgesik dan mengurangi peradangan, tidak mampu menghentikan proses patologis

(b) Istirahatkan sendi yang sakit, dihindari aktivitas yang berlebihan pada sendi yang sakit.

(c) Mandi dengan air hangat untuk mengurangi rasa nyeri (d) Lingkungan yang aman untuk melindungi dari cedera (e) Dukungan psikososial dari keluarga dan masyarakat sekitar (f) Pemakaian kompres panas dan dingin

Kompres panas dan dingin merupakan stimulasi kutaneus. Stimulus kutaneus adalah stimulasi kulit yang dilakukan untuk menghilangkan nyeri. Pilihan terapi panas dan dingin bervariasi menurut kondisi lansia. Misalnya panas lembab menghilangkan kekakuan pada pagi hari akibat

(39)

artritis, tetapi kompres dingin mengurangi nyeri akut dan sendi yang mengalami peradangan akibat penyakit tersebut (Ceccio, 1990 dalam Perry & Potter, 2002, dalam Hamdiana, 2010). Massase dengan menggunakan kantong es dan kompres menggunakan kantung es merupakan dua jenis terapi dingin yang sangat efektif untuk menghilangkan nyeri. Massase dengan menggunakan sebuah blok es yang diletakkan di kulit dengan memberikan tekanan yang kuat, tetap dan dipertahankan. Kompres dingin dapat dilakukan di dekat lokasi nyeri, di sisi tubuh yang berlawanan tetapi berhubungan dengan lokasi nyeri dan memakan waktu 5 sampai 10 menit.

(g) Latihan ROM

Latihan fisik merupakan salah satu bentuk terapi modalitas yang sesuai diberikan pada lansia yang mengalami risiko atau keterbatasan mobilisasi. Lansia yang berusia lebih dari 60 tahun perlu mempertahankan kebugaran jasmani untuk memelihara dan mempertahankan kesehatan sangat bermanfaat bagi semua golongan umur termasuk lansia. Latihan yang teratur akan meningkatkan kekuatan otot, meningkatkan kepadatan tulang, memperbaiki keseimbangan, koordinasi neuromuskular, meningkatkan daya tahan, mengurangi tekanan darah, memperbaiki mood dan mencegah risiko jatuh (Beers & Berkow, 2000 dalam Nies & McEwen, 2007 dalam Hamdiana, 2010).

Latihan Range of Motion merupakan salah satu jenis latihan fisik, komponen kebugaran jasmani yang dapat dilatih adalah kelenturan (flexibility) yang merupakan kemampuan untuk menggerakkan otot dan sendi pada seluruh pergerakan. Latihan fisik yang dapat dilakukan untuk meningkatkan dan memperbaiki kelenturan. Manfaat latihan ROM ini anatara lain; mengoptimalkan gerak otot dan sendi; meningkatkan kebugaran jasmani; mengurangi risiko cedera otot dan sendi; mengurangi ketegangan dan nyeri otot (Perry & Potter, 2002).

(40)

Selain ROM, klien dengan gangguan mobilisasi akibat rematik dapat melakukan senam rematik. Menurut Tulaar dan Nuhonni (2008), senam rematik dapat menurunkan rasa nyeri, menguatkan otot, melancarkan peredaran darah. Pada penderita rematik, latihan senam harus di bawah pengawasan dokter, terapis, instruktur atau pasien itu sendiri. Perhatikan tiap sendi dan waspadai bila ada tanda-tanda radang. Waktu dan jenis latihan juga dibedakan tergantung stadium penyakit dan ada tidaknya radang. Secara umum gerakan-gerakan senam rematik dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan gerak, fungsi, kekuatan dan daya tahan otot, kapasitas aerobik, keseimbangan, biomekanik sendi dan rasa posisi sendi. Senam rematik ini merupakan latihan gerak atau program olahraga yang sedang, berlangsung sekitar 20 hingga 30 menit dan terdiri dari empat tahapan yakni pemanasan, latihan inti I, latihan inti II dan pendinginan.

(h)

Akupresure

Pelayanan kesehatan tradisional merupakan suatu upaya kesehatan yang banyak diminati masyarakat (Kemenkes RI, 2011). Akupresur merupakan bentuk fisioterapi dengan memberikan pemijatan dan stimulasi pada titik-titik tertentu pada tubuh. Berguna untuk mengurangi bermacam-macam sakit dan nyeri serta mengurangi ketegangan, kelelahan dan penyakit. Akupresur menyembuhkan sakit dan nyeri yang sukar disembuhkan, nyeri punggung, spondilitis, kram perut, gangguan neurologis, artritis. Titik-titik akupresur terletak pada kedua telapak tangan begitu juga pada kedua telapak kaki.

(i) Penggunaan obat tradisional dan herbal yang sudah teruji

Obat tradisional berkhasiat untuk pengobatan, karena terdapat zat ekstrak yang khasiatnya dapat dimanfaatkan untuk penyembuhan (Adi, 2006). Terdapat lebih dari 100 macam obat/tanaman tradisional yang dapat mengurangi rasa nyeri pada sendi akibat rematik.

(41)

(j) Diet untuk menurunkan berat badan dapat mengurangi timbulnya keluhan

Tujuan pemberian diet ini adalah untuk mengurangi pembentukan asam urat dan menurunkan berat badan, bila terlalu gemuk dan mempertahankannya dalam batas normal (Dalimartha, 2008). Bahan makanan yang boleh dan yang tidak boleh diberikan pada penderita rematik dapat dilihat pada lampiran ke 17.

2.3 Asuhan Keperawatan pada Lansia dengan Gangguan Mobilisasi Asuhan keperawatan komunitas merupakan bentuk pelayanan keperawatan yang diberikan kepada komunitas dengan menggunakan proses keperawatan. Proses keperawatan komunitas dipakai untuk membantu perawat dalam melakukan praktek asuhan keperawatan secara sistematis dalam memecahkan masalah keperawatan yang berkaitan dengan masalah kesehatan masyarakat.

Tujuan pemberian asuhan keperawatan komunitas adalah untuk mencapai kemandirian masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatan dengan melakukan upaya promotif dan preventif yang dilakukan secara berkesinambungan.

2.3.1 Pengkajian

Aspek yang perlu dikaji pada kelompok dan komunitas dengan menggunakan Model Community as Partner adalah:

a) Core atau inti yaitu data demografi kelompok atau komunitas yang terdiri dari umur, pendidikan, jenis kelamin, pekerjaan, agama, nilai-nilai, keyakinan serta riwayat timbulnya kelompok atau komunitas. b) Delapan sub sistem yang mempengaruhi komunitas

(1) Perumahan : yang dihuni oleh penduduk, Penerangan, Sirkulasi, Kepadatan.

(42)

(2) Pendidikan : Apakah ada sarana pendidikan yang dapat digunakan untuk meningkatkan pengetahuan.

(3) Keamanan dan keselamatan di lingkungan tempat tinggal:Apakah tidak menimbulkan stress.

(4) Politik dan kebijakan pemerintah terkait kesehatan: Apakah cukup menunjang sehingga memudahkan komunitas mendapat pelayanan di berbagai bidang termasuk kesehatan.

(5) Pelayanan kesehatan yang tersedia untuk melakukan deteksi dini, merawat atau memantau apabila gangguan sudah terjadi.

(6) Sistem komunikasi : Sarana komunikasi apa saja yang dapat dimanfaatkan di komunitas tersebut untuk meningkatkan pengetahuan terkait dengan peyakit misalnya televisi, radio, koran atau leaflet yang ada di komunitas.

(7) Ekonomi : Tingkat sosial ekonomi komunitas secara keseluruhan apakah sesuai dengan UMR (Upah Minimum Regional), di bawah atau di atas sehingga upaya pelayanan kesehatan yang diberikan dapat terjangkau, misalnya anjuran untuk konsumsi jenis makanan sesuai status ekonomi tersebut.

(8) Rekreasi : pemanfaatan waktu luang oleh lansia, apakah tersedia sarana rekreasi yang dapat dipergunakan oleh lansia di komunitas, kapan saja dibuka, biayanya apakah terjangkau oleh komunitas serta bagaimana pemanfaatannya oleh lansia.

2.3.2 Diagnosa keperawatan komunitas atau kelompok dan analisa data Setelah dilakukan pengkajian yang sesuai dengan data-data yang dicari, maka kemudian dikelompokkan dan dianalisa seberapa besar stressor yang mengancam masyarakat dan seberapa berat reaksi yang timbul pada masyarakat tersebut. Berdasarkan hal tersebut di atas dapat disusun diagnosa keperawatan komunitas yang terdiri dari masalah kesehatan, karakteristik kelompok, dan karakteristik lingkungan.

(43)

Perencanaan

Menurut Ervin (2002), diagnosa keperawatan merupakan suatu pernyataan terhadap resiko kelompok, kecendrungan, masalah potensial, kekuatan dan keadaan yang tersembunyi. Tujuan dari diagnosa keperawatan adalah untuk menganalisa secara kritis suatu keadaan secara alami dan menghubungkan sebuah kesimpulan dari suatu analisa. Jadi diagnosa keperawatan komunitas merupakan suatu pernyataan atau hipotesis hasil dari analisa dan sintesis data serta informasi yang diperoleh selama pengumpulan data komunitas. Keefektifan suatu program kesehatan hampir selalu dimulai dari diagnosa yang menggunakan data untuk mengidentifikasi keakuratan status kesehatan komunitas.

2.3.3

Untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam memecahkan masalah kesehatan yang dihadapi, diperlukan pengorganisasian komunitas yang dirancang untuk membuat suatu perubahan yaitu dalam bentuk lokakarya mini berisi penyajian hasil pengkajian dan bersama-sama merumuskan alternatif pemecahan masalah. Pendekatan ini dirancang untuk mengembangkan masyarakat berdasarkan sumber daya dan sumber dana yang dimiliki serta mampu mengurangi hambatan yang ada. Selain itu untuk menumbuhkan kondisi, kemajuan sosial dan ekonomi masyarakat dengan partisipasi aktif masyarakat dan dengan penuh percaya diri dalam memecahkan masalah-masalah kesehatan yang dihadapi

2.3.4 Pelaksanaan (Implementasi)

Perawat bertanggung jawab untuk melaksanakan tindakan yang telah direncanakan berupa bantuan untuk mengatasi masalah kesehatan, mempertahankan kondisi seimbang atau sehat dan meningkatkan kesehatan; mendidik komunitas tentang perilaku sehat; advokasi dan memfasilitasi terpenuhinya kebutuhan komunitas.

Pada kegiatan praktek keperawatan komunitas berfokus pada tingkat pencegahan, yaitu:

(44)

a) Pencegahan primer yaitu pencegahan sebelum sakit dan difokuskan pada kelompok sehat, mencakup pada kegiatan kesehatan secara umum dan perlindungan khusus terhadap penyakit. Contohnya olahraga secara teratur

b) Pencegahan sekunder yaitu kegiatan yang dilakukan pada saat terjadinya perubahan derajat kesehatan masyarakat dan ditemukan masalah kesehatan. Pencegahan sekunder ini menekankan pada diagnosa dini dan tindakan untuk menghambat proses penyakit.

c) Pencegahan tertier yaitu kegiatan yang menekankan pengembalian individu pada tingkat berfungsinya secara optimal dari ketidakmampuan keluarga.

5. Evaluasi

Evaluasi merupakan penilaian terhadap program yang telah dilaksanakan dengan membandingkan dengan tujuan semula dan dapat dijadikan dasar untuk memodifikasi rencana berikutnya. Evaluasi yang dilakukan dengan menggunakan evaluasi struktur, evaluasi proses, dan evaluasi hasil. Sedangkan fokus dari evaluasi pelaksanaan asuhan keperawatan komunitas adalah:

a. Relevansi atau hubungan antara kenyataan yang ada dengan target pelaksanaan.

b. Perkembangan atau kemajuan proses. Kesesuaian dengan perencanaan, peran staf atau pelaksana tindakan, fasilitas dan jumlah peserta.

c. Efisiensi biaya. Bagaimanakah pencarian sumber dana dan penggunaannya serta keuntungan program.

d. Efektifitas kerja. Apakah tujuan tercapai dan apakah klien atau masyarakat puas terhadap tindakan yang dilaksanakan.

e. Dampak. Apakah status kesehatan meningkat setelah dilaksanakan tindakan, apa perubahan yang terjadi dalam 6 bulan atau 1 tahun.

(45)

Secara garis besar proses evaluasi adalah menilai respon verbal dan non verbal komunitas setelah intervensi dilakukan dan mencatat adanya kasus baru yang dirujuk ke rumah sakit atau Puskesmas.

Berdasarkan uraian diatas, pemberdayaan masyarakat melalui kader posbindu untuk memberikan pelayanan kesehatan pada lansia dengan masalah rematik merupakan suatu solusi dari masalah pengelolaan dan asuhan keperawatan komunitas. Keterlibatan kader posbindu sangat besar perannya dalam meningkatkan kesehatan serta mencegah terjadinya suatu penyakit dan mendeteksi dini penyakit tidak menular.

2.4 Strategi Intervensi Keperawatan Komunitas pada Lansia dengan Gangguan Mobilisasi

Pelaksanaan asuhan keperawatan komunitas memerlukan strategi intervensi. Menurut Ervin (2002), terdapat strategi intervensi yang digunakan dalam asuhan keperawatan komunitas ini, yaitu:

a) Pendidikan kesehatan

Anderson dan Mc.Farlane (2000) menjelaskan bahwa perawat komunitas bertanggung jawab terhadap berbagai program kesehatan termasuk program pendidikan kesehatan di masyarakat terkait dengan resiko dan dampak dari penyakit menular. Pendidikan kesehatan perlu dirancang secara baik dan komprehensif selain menarik untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat agar tahu, mau dan mampu untuk hidup sehat. Peningkatan pemahaman masyarakat tidak hanya untuk mencegah timbulnya penyakit, tetapi diharapkan terjadi perubahan perilaku sehat. Clark (2003) menjelaskan prinsip umum dalam pendidikan kesehatan, yaitu pemberi materi atau learner harus mahir dan mampu memotivasi orang lain serta memahami peserta atau masyarakat secara fisik, psikologis atau emosionalnya; memperhatikan situasi atau kondisi masyarakat; memperhatikan isi atau materi yang akan disampaikan; serta

(46)

memberikan reward sekaligus berupaya mempertahankan dan atau meningkatkan perilaku sehat yang telah dilakukannya.

Coates (1999 dalam Clark, 2003) menjelaskan bahwa dalam pendidikan kesehatan terdapat beberapa prinsip yang menjadi kunci keberhasilan proses pemberian pendidikan kesehatan terhadap masyarakat. Beberapa prinsip tersebut adalah:

1) Pengajar atau pemateri, diharapkan pemateri adalah seseorang yang menguasai topik pembicaraan, mempunyai motivasi yang tinggi untuk berubah dan mampu menjadi pendengar yang baik.

2) Situasi pembelajaran diharapkan dalam situasi yang tenang dan menyenangkan.

3) Topik pembicaraannya menarik, sesuai dengan issue yang terjadi di masyarakat dan menggunakan bahasa sederhana.

4) Mempertahankan kondisi yang telah dicapai dan memberikan pujian atas prestasi yang diperoleh masyarakat. Secara umum prinsip pembelajaran khususnya di masyarakat sangat terkait dengan relevansi, fasilitas, umpan balik dan reinforcement sehingga masyarakat mampu menerima informasi yang disampaikan sebagai salah satu faktor untuk merubah perilaku masyarakat.

b) Kemitraan (Partnership)

Partnership adalah hubungan antara profesi kesehatan dan partnernya baik individu, keluarga dan masyarakat yang memiliki kekuatan. Hubungan ini bersifat fleksibel, mengutamakan saling percaya, saling menguntungkan dan selalu meningkatkan kapasitas dan kemampuan individu, keluarga dan masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat (Cornes, 1998 dalam Helvie, 1998). Keterbukaan, fleksibel dan saling percaya penting untuk dipahami oleh anggota atau komponen masyarakat yang terlibat atau dengan

(47)

kata lain mampu memberikan keuntungan kepada semua pihak. Partnership di dalam masyarakat saat ini sudah dilaksanakan sebagai salah satu upaya memperbaiki pelayanan kesehatan di saat kemampuan finansial baik dari pemerintah atau masyarakat berkurang.

Courtney (1994 dalam Helvie,1998), menjelaskan bahwa peran profesi kesehatan dalam partnership lebih bersifat penguatan kemampuan atau keterampilan dan kapasitas partnernya. Sementara peran partner bersifat aktif dalam pencapaian hasil berupa peningkatan efektifitas partner dalam penyelesaian masalah. Adapun proses partnership adalah:

1) Mencari partner yang potensial yang diharapkan dapat terlibat aktif dalam masyarakat.

2) Mengundang partner untuk mendiskusikan tugas, tanggung jawab dan resiko yang dapat terjadi.

3) Pelaksanaan partnership meliputi inisiasi, bekerjasama dan mengevaluasi bentuk kerjasama secara keseluruhan

c) Pemberdayaan Masyarakat (Community Empowerment)

Pemberdayaan masyarakat diartikan sebagai suatu proses pemberian kemauan dan kemampuan kepada masyarakat agar mampu memelihara dan meningkatkan kesehatannya (Depkes, 2002). Menurut Rappaport (1984 dalam Helvie, 1998), pemberdayaan sebagai suatu proses yang memberikan penguatan pada individu, komunitas dan organisasi terhadap kehidupannya. Sedangkan menurut Shardlow (1998, dalam Roesmidi & Risyanti, 2008) pemberdayaan adalah membahas bagaimana individu, kelompok ataupun komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan menguasakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Menurut Hitchock, Schubert dan Thomas (1999) pemberdayaan merupakan proses pemberian kekuatan atau dorongan sehingga membentuk

(48)

interaksi transformatif kepada komunitas. Berdasarkan pengertian-pergertian diatas dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan adalah proses penguatan pada individu , kelompok dan komunitas untuk mengendalikan kehidupan sehingga membentuk perubahan pada komunitas.

Proses ini memerlukan dukungan dari semua unsur atau sektor yang terlibat dalam proses peningkatan kesehatan masyarakat, tidak hanya sektor kesehatan semata, akan tetapi meliputi sektor terkait seperti sektor pendidikan, pemerintahan, dunia usaha dan lembaga swadaya masyarakat lainnya. Semua sektor yang berkonstribusi terhadap pemberdayaan masyarakat diharapkan mempunyai satu visi dan misi yaitu memandirikan masyarakat untuk hidup sehat. Lebih lanjut Wallerstein (1992, dalam Helvie 1998), menjelaskan bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan proses kegiatan yang menekankan pada aspek peningkatan partisipasi masyarakat dalam mengorganisir suatu permasalahan yang ada baik secara individu maupun kelompok dengan tujuan menciptakan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat. Partisipasi masyarakat merupakan bagian penting dalam membangun pemberdayaan masyarakat dengan melibatkan masyarakat secara penuh mulai dari identifikasi masalah kesehatan dan menyusun rencana penanggulangannya, sehingga masyarakat bukan hanya sebagai objek tetapi juga subjek dalam upaya mewujudkan masyarakat yang mandiri (Parker, 1994 dalam Helvie, 1998).

Parker (1994 dalam Helvie, 1998), mengidentifikasi 8 kompetensi yang harus dimiliki masyarakat dalam pemberdayaan, yaitu adanya : 1) Partisipasi atau keikutsertaan masyarakat dalam menetapkan tujuan

dan merencanakan tindakan; 2) Komitmen dari masyarakat; 3) Kesadaran diri untuk menumbuhkan kesadaran orang lain terhadap

Gambar

Tabel 2. Prioritas Diagnosa Asuhan Keperawatan Komunitas    Pentingnya  untuk  dipecahkan :  1=rendah,         2= sedang,  3=tinggi   Perubahan  positif untuk masyarakat jika  dipecahkan : 0 = tidak ada,  1=rendah,  2=sedang,           3 = tinggi  Peningka

Referensi

Dokumen terkait

31 Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna setelah diberikan terapi, yaitu berupa asuhan keperawatan pada klien, FPE pada keluarga dan

Telenursing (pelayanan asuhan keperawatan jarak jauh) adalah upaya penggunaan tehnologi informasi dalam memberikan pelayanan keperawatan dalam bagian pelayanan kesehatan dimana

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti pengaruh pemberian asuhan keperawatan kepada klien, FPE pada keluarga dan

Telenursing merupakan hasil dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama teknologi informasi yang bisa diterapkan dalam pemberian asuhan keperawatan kepada

Stimulasi perkembangan anak usia sekolah yang telah diberikan dalam bentuk asuhan keperawatan jiwa spesialis berupa Terapi Kelompok Terapeutik (TKT) pada 23 orang

Pengaruh Motivasi Berprestasi terhadap Kinerja Perawat dalam Asuhan Keperawatan Pasien Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara,

viii ABSTRAK Hubungan Motivasi Kerja Eksternal Dengan Kinerja Dalam Pemberian Asuhan Keperawatan Di Rumah Sakit Sari Mulia Banjarmasin Mursada 1, Muhammad Basit 2, Nurhamidi 3

Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Klien Skizofrenia Dengan Risiko Bunuh Diri.. Usaha Bunuh Diri Berdasarkan Teori Ekologi