• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNIVERSITAS INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UNIVERSITAS INDONESIA"

Copied!
261
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

KELOMPOK PENDUKUNG SAKA SEBAGAI STRATEGI

INTERVENSI KEPERAWATAN KOMUNITAS DALAM

PENCEGAHAN DIARE PADA AGGREGATE BALITA

DI WILAYAH CISALAK, PASAR-CIMANGGIS

KOTA DEPOK

KARYA ILMIAH AKHIR

OLEH ASTI NURAENI

1006755260

PROGRAM STUDI SPESIALIS KEPERAWATAN KOMUNITAS

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

(2)

UNIVERSITAS INDONESIA

KELOMPOK PENDUKUNG SAKA SEBAGAI STRATEGI

INTERVENSI KEPERAWATAN KOMUNITAS DALAM

PENCEGAHAN DIARE PADA AGGREGATE BALITA

DI WILAYAH CISALAK, PASAR-CIMANGGIS

KOTA DEPOK

KARYA ILMIAH AKHIR

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ners Spesialis Keperawatan Komunitas

OLEH ASTI NURAENI

1006755260

PEMBIMBING

Dra. Junaiti Sahar, S.Kp., Mapp.Sc., P.hD Henny Permatasari, S.Kp., M.Kep., Sp.Kep.Kom

PROGRAM STUDI SPESIALIS KEPERAWATAN KOMUNITAS

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Karya Ilmiah Akhir yang berjudul ”Kelompok Pendukung SAKA sebagai Strategi Intervensi Keperawatan Komunitas Dalam Pencegahan Diare Pada Aggregate Balita Di Wilayah Cisalak, Pasar-Cimanggis Kota Depok”, sebagai persyaratan untuk mendapatkan gelar Ners Spesialis Keperawatan Komunitas di Universitas Indonesia.

Pada proses penyusunan KIA ini, penulis menyadari banyak mendapat hambatan, namun berkat bantuan dan bimbingan dari:

1. Dra. Junaiti Sahar, S.Kp.,Mapp.Sc., P.hD., selaku Pembimbing I dan Wakil Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Indonesia

2. Henny Permatasari, S.Kp., M.Kep., Sp.Kep.Kom., selaku Pembimbing II

Penulis menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga kepada kedua pembimbing yang telah membimbing dengan penuh kesabaran, memotivasi dan senantiasa memberikan arahan yang inspiratif demi kesempurnaan hasil KIA ini.

Selain itu penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat :

1. Dewi Irawaty, MA, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

2. Wiwin Wiarsih, MN sebagai Manajer Pendidikan Fakultas Ilmu Keperawatan dan Pembimbing Akademik yang telah memberikan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan penyusunan KIA dan program pendidikan Spesialis Keperawatan Komunitas.

3. Astuti Yuni Nursasi, S.Kp., MN, selaku Ketua Program Studi Magister Fakultas Ilmu Keperawatan dan Pembimbing Praktek Residensi I dan yang telah memberikan masukan dan arahan untuk kesempurnaan penyusunan KIA.

(8)

yang telah memberikan masukan dan arahan untuk kesempurnaan penyusunan KIA.

6. Poppy Fitriyani, M.Kep., Sp.Kep.Kom, selaku Pembimbing Praktek Residensi II yang telah memberikan masukan dan arahan untuk kesempurnaan penyusunan KIA.

7. Dinas Kesehatan Kota Depok yang telah memberikan ijin pelaksanaan Praktik Residensi di wilayah Cisalak Pasar.

8. Seluruh staf dan kader Posyandu di Kelurahan Cisalak Pasar yang telah membantu dalam pelaksanaan Praktik Residensi.

9. Segenap dosen dan karyawan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

10. Suamiku Lutfhi Risya, ST yang dengan kesabaran dan keikhlasan mendampingi dan membantu penulis dalam menyelesaikan KIA ini serta jagoanku Dastin Risya yang selalu memotivasi penulis dalam segala hal. 11. Kedua orang tuaku, kedua mertuaku dan saudara-saudara yang selalu

mendoakan kelancaran proses pendidikan penulis.

12. Rekan-rekan residen 2 SAMA HATI (Sany, Pak Muin, Pak Aspian, Pak Hasbi, Pak Taufik dan Erjin) serta residen 1 (Pak Jajang, Bu Uswa, Lina, Ratna dan Intan) spesialis keperawatan komunitas yang senantiasa membantu dan memotivasi selama pelaksanaan praktik residensi.

13. Rekan-rekan di STIKES Telogorejo Semarang, khususnya di Prodi S.1 Keperawatan yang selalu memberi semangat.

14. Semua pihak yang telah membantu penulis dan tidak bisa disebutkan satu persatu.

(9)

Keperawatan khususnya Keperawatan Komunitas.

Depok, Juni 2013

(10)

ABSTRAK

Upaya deteksi dan pencegahan dini di keluarga menjadi salah peran perawat spesialis komunitas untuk mengatasi permasalahan diare balita. Karya Ilmiah Akhir ini bertujuan untuk menggambarkan kegiatan Kelompok Pendukung Sanitasi Anak Keluarga dan Area (SAKA) dalam pencegahan diare balita. SAKA merupakan integrasi dari program pencegahan diare yang sudah ada yaitu LINTAS diare dan Sanitation and Family Education (SAFE). Hasil p value 0.000 menunjukkan ada hubungan antara perilaku keluarga dalam penerapan SAKA terhadap penurunan angka kejadian diare balita di Kelurahan Cisalak Pasar. Kegiatan Kelompok Pendukung SAKA disarankan dilaksanakan sebagai upaya pemberantasan penyakit menular oleh Puskesmas dan Dinas Kesehatan karena efektif mengendalikan diare. Kata kunci: Kelompok Pendukung, diare, balita, keluarga

(11)

ABSTRACT

Early detection and prevention efforts in the family became one of the role of specialist community nurses to overcome the problems of toddlers’ diarrhea. This final scientific paper aims to describe support group activities of Children-Family-Neighborhood-Sanitation (CFNS) in the prevention of diarrhea in toddlers. CFNS is an integration of diarrhea prevention program uses existing LINTAS diarrhea and Sanitation and Family Education (SAFE). The result shows there is no relationship between family behavior in SFNS implementation to the decrease of diarrhea incidence among under five children at Cisalak Pasar (p value= 0.000). CFNS support group is suggested activities to be implemented.

(12)

Hal.

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... iv

KATA PENGANTAR... v

HALAMAN ABSTRAK... viii

DAFTAR ISI... ix

DAFTAR TABEL... xi

DAFTAR SKEMA ... xii

DAFTAR LAMPIRAN... xiii

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Tujuan ... 10

1.3 Manfaat ... 11

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Balita sebagai Populasi Berisiko ...14

2.2 Manajemen Pelayanan Keperawatan... 20

2.3 Asuhan Keperawatan Komunitas... 24

2.4 Asuhan Keperawatan Keluarga...33

2.5 Model Intervensi LINTAS Diare...40

(13)

BAB 4 PELAYANAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

4.1 Pengelolaan Manajemen... 53 4.2 Pengelolaan Asuhan Keperawatan Keluarga...75 4.3 Pengelolaan Asuhan Keperawatan Komunitas... 88

BAB 5 PEMBAHASAN

5.1 Analisis Pencapaian Kesenjangan... 98 5.2 Keterbatasan dalam Intervensi Keperawatan... 110 5.3 Implikasi Keperawatan... 111

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan... 115 6.2 Saran... 116

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(14)

Tabel 4.1 Tingkat Kemandirian Keluarga... 87 Gambar 2.1 Pengkajian Komunitas... 25

(15)

Skema 2.1 Skema Kerangka Kerja... 52

Skema 2.2 Skema Fish Bone... 63

Skema 3.1 Skema Web of Caution Keluarga ... 77

(16)

Lampiran 3. Penapisan Masalah Asuhan Keperawatan Keluarga Lampiran 2. Penapisan Masalah Asuhan Keperawatan Komunitas Lampiran 4. Kuesioner Pengkajian Asuhan Keperawatan Komunitas Lampiran 5. Modul KPS

Lampiran 6. Petunjuk Pelaksanaan Pemantauan Penerapan SAKA Diare Lampiran 8. Kontrak Pembelajaran Praktek Residensi

(17)

PENDAHULUAN

Bab 1 Pendahuluan menguraikan latar belakang beserta evidence based yang mendukung latar belakang, tujuan yang meliputi tujuan umum dan khusus, serta manfaat penulisan Karya Ilmiah Akhir.

1.1 Latar Belakang

Balita merupakan populasi yang berisiko terhadap masalah kesehatan, salah satunya adalah masalah diare pada balita. Balita merupakan kelompok yang memiliki kemungkinan lebih tinggi mengalami masalah kesehatan dibandingkan dengan kelompok karena beberapa faktor yang mempengaruhinya. Faktor yang mempengaruhi hal tersebut antara lain kurang keterpaparan terhadap informasi, tingkat pendidikan rendah, keterpaparan dengan lingkungan serta akibat perilaku manusia itu sendiri (Stanhope dan Lancaster, 2010). Stanhope dan Lancaster (2010) menjelaskan lebih lanjut karakteristik risiko yakni usia dan biologis, sosial, ekonomi, gaya hidup, serta kejadian dalam hidup.

Karakteristik pertama pertambahan usia dan perubahan biologis. Pertambahan usia balita berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbahan balita merupakan pertambahan jumlah dan ukuran sel yang tampak pada peningkatan berat badan dan tinggi badan. Perkembangan balita merupakan peningkatan kapasitas untuk berfungsi yang dicapai melalui proses pertumbuhan, pematangan dan pembelajaran (Whaley dan Wong, 1998). Pertumbuhan dan perkembangan balita merupakan masa yang paling berisiko terhadap timbulnya masalah kesehatan. Kondisi dapat berdampak pada gangguan pertumbuhan dan perkembangan balita. Masalah kesehatan yang masih perlu diwaspadai menyerang balita adalah gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit akibat diare (Warman, 2008).

(18)

sesuatu yang kurang terjaga kebersihannya kedalam mulut, sehingga terjadi peningkatan risiko masuknya mikroorganisme yang menyebabkan balita mengalami diare (Stanhope dan Lancaster, 2010). Diare salah satunya disebabkan karena masuknya makanan yang terkontaminasi oleh bakteri. Bakteri yang masuk dalam saluran pencernaan tidak dapat diserap oleh usus menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meningkat sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit ke dalam rongga usus. Toksin pada dinding usus akan meningkat sekresi air dan elektrolit ke dalam rongga usus sehingga terjadi peningkatan isi rongga usus. Keadaan dalam usus akan terjadi hiperperistaltik atau pergerakan usus yang terlalu cepat sehingga akan menurunkan absorbsi usus menyerap makanan. Dampak diare lebih lanjut adalah kehilangan air dan elektrolit (terjadi dehidrasi) yang mengakibatkan gangguan keseimbangan asam basa (Whaley dan Wong, 1998).

United Nations Children's Fund (UNICEF) dan World Health Organization

(WHO) pada tahun 2009, menjelaskan bahwa diare merupakan penyebab kematian ke-3 pada bayi dan ke-2 pada balita di dunia. Penyakit diare merupakan penyakit endemis di Indonesia dan merupakan penyakit potensial terjadi KLB yang disertai dengan kematian. Penyakit diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi (31.4%) dan pada balita (25.2%) (Profil Kesehatan Indonesia, 2012). Profil Puskesmas Cimanggis kota Depok tahun 2010 berdasarkan pola penyakit penderita rawat jalan di Puskesmas Cimanggis (< 1 tahun) diare menempati urutan 2 yaitu 37,81%. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa balita termasuk dalam kelompok umur yang berisiko terkena diare di Indonesia.

Kejadian diare pada balita juga banyak dipengaruhi oleh faktor risiko sosial diperoleh dari lingkungan, terutama lingkungan terdekat balita. Lingkungan internal keluarga yang sehat merupakan pendukung tercapainya kesehatan untuk balita (Friedman, 2003). Faktor lingkungan yang mempunyai risiko balita terkena

(19)

saat balita BAB. Penggunaan air bersih merupakan salah satu upaya agar terhindar dari diare. Sumber air minum utama penting untuk diperhatikan sanitasinya. Kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui jalur fecal oral. Diare pada balita bisa disebabkan oleh masyarakat yang masih mengelola air minum rumah tangga yang tidak menggunakan sumber air minum yang bersih. Penggunaan air bersih yang sesuai dengan syarat kesehatan seperti penggunaan sumber air minum yang berasal dari PDAM dapat mengurangi resiko balitanya terkena diare (Apriyanti, 2009).

Balita di negara ASEAN mengalami rata-rata 3-4 kali kejadian diare per tahun atau hampir 15-20% waktu hidup anak dihabiskan untuk diare (Soebagyo, 2008). Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Survei morbiditas yang dilakukan oleh Subdit Diare, Departemen Kesehatan dari tahun 2000-2010 menemukan kecenderungan peningkatan insiden diare. Pada tahun 2000 angka kesakitan balita 1.278 per 1.000 penduduk turun menjadi 1.100 per 1.000 penduduk pada tahun 2003. Namun pada tahun 2006 naik menjadi 1.330 per 1.000 penduduk dan turun kembali di tahun 2010 menjadi 1.310 per 1.000 penduduk (Buletin diare, 2011).

Buletin Diare tahun 2011 memberikan gambaran peta diare di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi diare adalah 9.0% dengan rentang antara 4.2%-18.9%. Angka tertinggi di provinsi NAD yaitu 18.9% dan terendah di DI Yogyakarta 4.2%. Salah satu provinsi yang mempunyai prevalensi diare lebih dari 9.0% adalah Jawa Barat yaitu 10.2%. Hasil ini juga menunjukkan bahwa prevalensi tertinggi terdeteksi pada anak balita (1-4 tahun) yaitu 16.7% dan pada bayi kurang dari 1 tahun yaitu 16.5%. Kondisi ini sejalan dengan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2012 yang menunjukkan Jawa Barat sebagai salah satu dari 7 provinsi yang setiap tahun mengalami KLB diare pada tahun 2010 dan 2011.

(20)

tidak dapat memenuhi kebutuhan kesehatan untuk mengatasi balita yang terkena diare. Risiko ekonomi adalah ketidakseimbangan antara kebutuhan dengan penghasilan atau pendapatan dengan beban tanggungan, krisis ekonomi yang berkepanjangan mempengaruhi pemenuhan kebutuhan akan perumahan, pakaian, makanan, pendidikan dan kesehatan (Stanhope dan Lancaster, 2010). Permasalahan penyakit diawali masalah kesehatan berakar dari kemiskinan yang disebabkan oleh krisis ekonomi yang belum membaik (Khomsan, 2004). Sumber pendapatan keluarga menentukan kesanggupan untuk memperoleh pelayanan kesehatan bagi anggota keluarganya (Notoatmodjo, 2003).

Faktor risiko gaya hidup diperoleh dari keluarga yang tidak menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat sejak dini akan berisiko balita terkena diare (Friedman, 2003). Balita merupakan kelompok yang memiliki kemungkinan lebih tinggi mengalami masalah kesehatan dibandingkan dengan kelompok lain karena beberapa faktor yang mempengaruhinya. Balita memiliki resiko lebih besar mengalami masalah diare dikarenakan perilaku ibu dalam perawatan masalah kesehatan yang belum optimal. Faktor yang mempengaruhi hal tersebut antara lain kurang keterpaparan terhadap informasi, tingkat pendidikan rendah, keterpaparan dengan lingkungan serta akibat perilaku manusia itu sendiri (Stanhope dan Lancaster, 2010).

Hasil survey yang dilakukan di wilayah Kelurahan Cisalak Pasar dengan jumlah responden 97 orang pendidikan ibu rendah (55 %). Penyakit 3 bulan terakhir balita diare (51 %) sedangkan penyakit 6 bulan terakhir balita diare (47.4%). Perilaku ibu dalam pencegahan diare balita yang terdiri dari 3 domain menunjukkan pengetahuan kurang tentang pencegahan diare balita (36.1 %), sikap kurang 43 %, dan tindakan untuk pencegahan diare pada balita kurang (49 %.). Permasalah balita berisiko diare hasilnya tersebar di RW 1 (29%), RW 3 (26%) dan RW 5 (27%). Balita yang terkena diare sebagian besar umur 1-5 tahun (79 %).

(21)

seperti kehilangan anggota keluarga (Stanhope dan Lancaster, 2010). Keluarga yang kehilangan balita karena diare akan lebih memperhatikan pencegahan diare pada balita. Hal sebaliknya keluarga tidak ada perhatian khusus terhadap pencegahan diare serta menganggap diare balita suatu hal yang biasa. Pengaruh dari kurang keterpaparan informasi dan kurang kepedulian masyarakat tentang pencegahan diare pada balita akan berakibat kematian balita karena tidak dilakukan pencegahan diare secara dini. Pencegahan dan perawatan secara dini di dalam keluarga yang tidak diketahui oleh masyarakat mengakibatkan jumlah kematian balita diare akan semakin meningkat. Dampak lebih lanjut apabila kejadian diare balita tidak segera diatasi akan menyebabkan dehidrasi yang mengakibatkan kematian.

Kejadian diare pada anak di dunia mencapai 1 miliar kasus tiap tahun, kematian akibat diare sekitar 5 juta jiwa. Angka kematian balita di negara berkembang akibat diare ini sekitar 3,2 juta setiap tahun. Statistik menunjukkan bahwa setiap tahun diare menyerang 50 juta penduduk Indonesia, duapertiganya adalah balita dengan korban meninggal sekitar 600.000 jiwa (Warman, 2008). Target Pembangunan Milenium yang sedang diupayakan untuk dicapai di Indonesia adalah menurunkan kematian anak-anak dibawah usia lima tahun. Salah satu penyebab utama kematian balita adalah diare. Diare yang menyerang balita apabila tidak ditangani dengan serius akan berdampak pada pertumbuhan perkembangan balita. Penyakit diare di masyarakat Indonesia dikenal dengan istilah “Muntaber”. Penyakit ini menimbulkan kecemasan dan kepanikan apabila tidak segera diobati, dalam waktu singkat (± 48 jam) tidak segera diatasi akan menyebabkan kematian (Triatmodjo, 2008).

Pedoman Pengendalian Penyakit Diare merupakan sebuah model pelayanan kesehatan yang dikembangkan oleh Kementerian Kesehatan melalui Direktorat Jendral P2PL (Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan) untuk pencegahan penyakit diare. Pedoman pengendalian penyakit diare dapat

(22)

Pencegahan dan Penanggulangan Diare (P2D) memiliki perencanaan target dan waktu pelaksanaan program, sebagai pedoman dalam pelaksanaannya. Program P2D ini dapat berfungsi dan berjalan secara optimal, maka dibutuhkan tenaga kerja minimal seorang dokter, seorang perawat dan seorang petugas administrasi. Hal ini memang terpenuhi secara kuantitas, namun adanya tenaga kerja yang merangkap program puskesmas lainnya menjadikan pelaksanaan program P2D belum dapat terlaksana secara meyeluruh dan optimal. Petugas kesehatan yang masih merangkap program lain salah satu dampak karena keterbatasan sumber daya manusia. Kondisi ini akan mengakibatkan program tidak bisa berjalan secara optimal.

Pelaksanaan program P2D yang meliputi: pengobatan diare, penyuluhan, dan pelatihan serta pembinaan kader, merupakan faktor penentu keberhasilan program. Pengobatan diare yang kurang memenuhi standar pelayanan dapat mengakibatkan munculnya stigma yang buruk mengenai pelayanan diare di puskesmas sehingga masyarakat tidak mau berkunjung ke Puskesmas. Hal ini berimbas pada rendahnya angka cakupan pelayanan diare. Tidak adanya penyuluhan kesehatan mengenai diare juga berdampak pada kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap pencegahan dan penanganan diare di rumah, serta kapan waktu yang tepat untuk berobat. Kurangnya kader yang terlatih menyulitkan pelaksanaan program terutama dalam melakukan tugas eksternal seperti penyuluhan di masyarakat dan penanganan awal diare.

Upaya untuk pencegahan diare di tingkat rumah tangga khususnya dalam memberdayakan peran keluarga belum mencapai tujuan yang diharapkan, karena kejadian penyakit diare masih belum menurun secara optimal. Penanganan diare pada balita bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja tetapi masyarakat pun diharapkan dapat ikut serta menanggulangi dan mencegah terjadinya diare pada balita. Keluarga memiliki peran penting dalam pencegahan diare. Keluarga harus mampu memenuhi tugas perkembangan keluarga salah satunya balita adalah

(23)

Usaha yang dilakukan keluarga dengan optimalisasi pertumbuhan anak dalam pencegahan diare. Keluarga memiliki tanggungjawab untuk dapat melakukan pencegahan diare yang tepat untuk balita. Keluarga yang mampu melaksanakan tanggungjawab tersebut maka balita tidak berisiko terkena diare.

Strategi pengendalian penyakit diare yang dilaksanakan pemerintah meliputi melaksanakan tatalaksana penderita diare yang standar di sarana kesehatan melalui Lima Langkah Tuntaskan Diare (LINTAS Diare), meningkatkan tata laksana penderita diare di rumah tangga yang tepat dan benar, dan penanggulangan KLB diare, melaksanakan upaya kegiatan pencegahan yang efektif serta melaksanakan monitoring dan evaluasi (Buletin Diare, 2011). Menurut Kemenkes RI (2011) prinsip tatalaksana diare pada balita adalah LINTAS DIARE (Lima Langkah Tuntaskan Diare). Rehidrasi bukan satu satunya cara untuk mengatasi diare tetapi memperbaiki kondisi usus serta mempercepat penyembuhan menghentikan diare dan mencegah anak kekurangan gizi akibat diare juga menjadi cara untuk mengobati diare. Adapun program LINTAS DIARE yaitu (1) Rehidrasi menggunakan Oralit. (2) Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut. (3) Teruskan pemberian ASI dan Makanan. (4) Pemberian antibiotik secara selektif dan (5) Nasehat pada orang tua tentang tanda-tanda lebih lanjut bahaya diare.

Strategi untuk pencegahan diare juga dikembangkan oleh USAID untuk proyek inovasi dalam mencegah penyakit diare pada balita. Model intervensi SAFE adalah suatu proyek inovasi yang dikembangkan di Bangladesh untuk menurunkan angka kejadian diare pada balita. Program ini akan mengembangkan strategi intervensi yang bisa diterapkan di masyarakat. SAFE merupakan inovasi yang sudah dilakukan di Bangladesh yang efektivitas program ini sangat bermakna hasilnya dengan penurunan angka kejadian diare pada balita. Komponen dalan SAFE adalah penggunaan air bersih, penggunaan jamban, kebersihan makanan, pemberian ASI, dan pemberian oralit.

(24)

LINTAS diare mempunyai kelebihan yaitu komponen pengobatan redehidrasi yang lebih diunggulkan. Kelemahan yang bisa dilihat bahwa LINTAS diare tidak memberikan secara jelas upaya yang bisa dilakukan keluarga untuk pencegahan diare. Hal yang sama juga pada program SAFE mempunyai kelebihan program ini sudah spesifik menjelaskan upaya keluarga dalam pencegahan diare balita. Hambatan yang yang ditemukan untuk program SAFE lebih menonjolkan faktor lingkungan yang lebih dominan untuk pencegahan diare pada balita. Berdasarkan hal yang positif dari pencegahan diare dengan LINTAS dan SAFE, penulis mencoba melakukan inovasi dalam pencegahan diare yang diberi nama SAKA. SAKA merupakan inovasi pencegahan diare pada balita yang memodifikasi program pencegahan diare antara LINTAS dan SAFE diharapkan mampu menghasilkan inovasi terbaru yang lebih aplikatif bisa dilakukan keluarga dalam menurunkan insiden balita diare di masyarakat.

SAKA diare adalah suatu inovasi yang terdiri dari 10 langkah atasi diare. SAKA terdiri empat komponen yaitu sanitasi, anak, keluarga dan area. Komponen sanitasi terdiri dari penggunaan air minum, penggunaan jamban. Komponen anak yang harus difokuskan disini adalah pemberian ASI, pemberian makanan serta terapi gurita dan senam balita. Komponen keluarga sebagai pendukung terbesar yaitu kebiasaan mencuci tangan, pengolahan makan dan pemberian cairan pengganti oralit dan pemberian zink selama 10 hari. Komponen yang terakhir yang diperhatikan adalah area yaitu pembuangan sampah dan pembuangan limbah.

Perawat komunitas mempunyai peranan besar untuk melakukan upaya pencegahan diare pada balita. Peran perawat komunitas sebagai pemberi asuhan keperawatan, pendidik, manajer, kolabolator, pemimpin, dan peneliti (Helvie, 1998). Perawat sebagai pemberi perawatan memberikan perawatan langsung pada balita yang terkena diare dan balita yang berisiko terkena diare. Perawat dapat memberikan informasi pada kelompok pendukung SAKA tentang penerapan

(25)

manfaat, cara penerapan SAKA diare. Perawat sebagai manajer berperan dalam monitoring dan evaluasi pelaksanaan penerapan SAKA diare yang dilakukan oleh kader kesehatan.

Penemuan kasus termasuk penemuan balita diare, perawat harus dapat mengidentifikasi komunitas yang mempunyai populasi balita terbanyak serta menentukan wilayah yang mempunyai angka kejadian diare balita tertinggi. Perawat sebagai pemimpin harus mempunyai kemampuan untuk mengarahkan dan mempengaruhi komunitas untuk melakukan perubahan terhadap perilaku yang kurang mendukung penerapan SAKA diare. Perawat berperan dalam mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan SAKA diare sehingga dapat ditemukan strategi intervensi keperawatan yang sesuai untuk mengoptimalkan penerapan SAKA diare pada balita

Intervensi dalam keperawatan komunitas yang terdiri dari Proses kelompok adalah suatu bentuk intervensi keperawatan komunitas yang dilakukan bersamaan dengan masyarakat melalui pembentukan peer atau social support berdasar kondisi dan kebutuhan masyarakat (Stanhope dan Lancaster, 2010, Hitchock, Schuber dan Thomas, 1999). Pendidikan kesehatan adalah suatu kegiatan dalam rangka upaya promotif dan preventif dengan melakukan penyebaran informasi dan meningkatkan motivasi masyarakat untuk berperilaku sehat (Stanhope dan Lancaster, 2010). Empowering adalah suatu kegiatan keperawatan komunitas dengan melibatkan masyarakat secara aktif untuk menyelesaikan masalah yang ada di komunitas, masyarakat sebagai subjek dalam menyelesaikan masalah (Stanhope dan Lancaster, 2010, Hitchock, Schuber dan Thomas, 1999).

Kelompok pendukung merupakan karakteristik intervensi dan implementasi dalam keperawatan komunitas yang berfokus pada pengembangan suatu kreativitas dan visi melalui suatu pendekatan yang baru (Ervin, 2002). Kelompok Pendukung SAKA merupakan inovasi terhadap berbagai istilah kelompok yang

(26)

menekankan penanganan secara dini balita diare terhadap dampak yang ditimbulkannya secara fisik, psikososial dan ekonomi bagi keluarga dengan balita diare. Pelayanan yang diberikan berupa dukungan secara fisik, informasi, dan sosial untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku dalam pencegahan diare pada balita.

Kegiatan Kelompok Pendukung SAKA dalam pencegahan diare pada balita di dalam keluarga memberikan kontribusi yang besar terhadap penurunan angka kejadian diare pada balita. Kegiatan kelompok pendukung SAKA melakukan kunjungan rumah dengan pemantauan kartu penerapan SAKA diare keluarga. Kelompok Pendukung SAKA melakukan pemberian asuhan langsung pada balita diare serta melakukan penyuluhan SAKA diare. Kelompok pendukung sebagai salah satu bentuk intervensi keperawatan yang dapat meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku hidup dengan melakukan penerapan SAKA untuk mengatasi masalah balita dengan diare. Berdasarkan fenomena tersebut penulis mencoba membuat inovasi pencegahan dan deteksi dini diare dengan menggunakan Kelompok Pendukung SAKA sebagai strategi intervensi keperawatan komunitas di Kelurahan Cisalak Pasar, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok.

1.2 Tujuan Umum dan Tujuan Khusus 1.2.1 Tujuan Umum

Memberikan gambaran tentang implementasi pelaksanaan Kelompok Pendukung SAKA pada aggregat balita dengan diare mencakup manajemen pelayanan dan asuhan keperawatan di Kelurahan Cisalak Pasar, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok, Jawa Barat.

1.2.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus penulisan karya ilmiah akhir adalah teridentifikasi: 1.2.2.1 Terbentuknya Kelompok Pendukung SAKA untuk balita diare.

(27)

Kelompok Pendukung SAKA tentang pencegahan diare pada balita. 1.2.2.3 Peningkatan kemampuan (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) keluarga

dalam pencegahan diare pada kelompok ibu balita dengan penerapan SAKA Diare di Kelurahan Cisalak Pasar, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok.

1.2.2.4 Peningkatan kemandirian keluarga dalam pencegahan dan perawatan balita dengan diare di Kelurahan Cisalak Pasar, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok.

1.2.2.5 Penurunan insiden diare pada aggregate balita yang dibina dalam keluarga dan komunitas di Kelurahan Cisalak Pasar, Kecamatan Cimanggis, Kota Depok.

1.3 Manfaat

1.3.1 Pelayanan Kesehatan Dalam Keperawatan 1.3.1.1 Dinas Kesehatan Kota Depok

Kelompok Pendukung SAKA sebagai salah satu intervensi keperawatan untuk pengembangan program pencegahan penyakit diare. Kelompok Pendukung SAKA sebagai upaya preventif dan promotif untuk menurunkan angka kejadian diare balita. Kelompok Pendukung SAKA sebagai dasar merumuskan kebijakan pengembangan program pencegahan dan penanggulangan diare.

1.3.1.2 Puskesmas Kecamatan Cimanggis

Kelompok Pendukung SAKA dapat memberikan pelayanan secara menyeluruh baik itu promotif, preventif dan kuratif dengan melakukan penerapan SAKA diare. Kegiatan Kelompok Pendukung SAKA dapat dijadikan sebagai salah satu kegiatan pokok Posyandu yaitu kegiatan pencegahan diare dengan sasaran pembinaan kepada ibu balita di Kelurahan Cisalak Pasar, Kecamatan Cimanggis, kota Depok.

(28)

Perawat komunitas dapat merancang pembinaan kesehatan balita dengan sasaran pembinaan ibu balita dan keluarga lebih komprehensif melalui kegiatan penerapan SAKA Diare. Kelompok Pendukung SAKA sebagai bentuk intervensi dalam upaya pembinaan keperawatan keluarga dan kelompok balita dengan diare. Kelompok Pendukung SAKA dapat memperluas jangkauan pelayanan dalam pencegahan dan deteksi dini diare, sehingga masalah diare dapat tertangani sedini mungkin dan dapat menekan angka kematian akibat diare di Kelurahan Cisalak Pasar, Kecamatan Cimanggis, kota Depok..

1.3.1.4 Keluarga dan Masyarakat

Pelaksanaan kegiatan penerapan SAKA Diare dapat meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu balita serta kemandirian keluarga dalam pencegahan diare pada balita. Program Kelompok Pendukung SAKA juga dapat meningkatkan peran, fungsi serta pemberdayaan kader secara optimal melalui kegiatan Posyandu dalam memberikan pengetahuan, sikap dan perilaku pencegahan diare pada balita di tingkat masyarakat dalam berpartisipasi mensukseskan program pemerintah LINTAS diare di Kelurahan Cisalak Pasar, Kecamatan Cimanggis, kota Depok.

1.3.2 Perkembangan Ilmu Keperawatan

Pengembangan program praktik keperawatan komunitas, melalui Kelompok Pendukung SAKA sebagai strategi intervensi keperawatan komunitas yang efektif dengan sasaran keluarga dan komunitas dalam upaya promotif, preventif, dan kuratif pada balita diare. Kelompok Pendukung SAKA dapat dijadikan dasar untuk mengembangkan intervensi keperawatan komunitas yang lebih efektif dalam upaya menurunkan angka kejadian diare pada balita. Penerapan SAKA diare di keluarga dan komunitas melalui Kelompok Pendukung SAKA dapat

(29)

diare balita. Kelompok Pendukung SAKA sebagai salah satu strategi intervensi keperawatan komunitas yang pelaksanaannya melalui pemberdayaan kader kesehatan melalui pembinaan keluarga dan komunitas dengan balita diare.

(30)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Bab II Tinjauan Pustaka menguraikan berbagai teori dan konsep yang berkaitan dengan balita sebagai populasi berisiko, kejadian diare balita, model Community

as Partner, Model Intervensi SAFE dan teori Family Center Nursing, Kelompok

Pendukung SAKA sebagai bentuk intervensi keperawatan komunitas pada

aggregate balitadengan diaredalam memberikan asuhan keperawatan komunitas pada agregat balita dengan diare.

2.1. Balita Sebagai Populasi Berisiko 2.1.1. Definisi Populasi Berisiko

Populasi yang berisiko adalah kelompok populasi yang berisiko lebih tinggi menderita suatu penyakit dibandingkan dengan populasi yang lain (Stanhope dan Lancaster, 2010). Populasi yang berisiko adalah sekelompok orang yang berisiko masalah kesehatan tertentu akibat interaksi berbagai faktor yang mempengaruhinya (Allender dan Spradley, 2010). Berdasarkan beberapa pendapat dapat disimpulkan bahwa populasi berisiko adalah kelompok populasi yang berisiko lebih tinggi mempunyai masalah kesehatan dibandingkan kelompok lain. Kelompok yang memiliki risiko tinggi terhadap masalah kesehatan akibat dari interaksi berbagai faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut meliputi kurang keterpaparan terhadap informasi, tingkat pendidikan rendah, keterpaparan dengan lingkungan serta akibat perilaku manusia sendiri. Kelompok berisiko meliputi bayi , anak-anak, remaja dan dewasa muda, dewasa menengah, lanjut usia (Stanhope dan Lancaster, 2010).

2.1.2. Karakteristik Balita sebagai Populasi Berisiko

Stanhope dan Lancaster (2010) menjelaskan bahwa faktor risiko kesehatan adalah faktor yang mempengaruhi atau menentukan terjadinya penyakit atau kondisi yang tidak sehat. Faktor risiko kesehatan terdiri dari risiko usia dan biologis (biological and age risk), risiko sosial (social risk), risiko ekonomi (economic

(31)

risk), risiko gaya hidup (lifestyle risk), dan risiko yang peristiwa dalam kehidupan

(life events risk). Kontribusi faktor risiko tersebut terhadap munculnya masalah kesehatan pada balita adalah sebagai berikut:

2.1.2.1. Risiko Usia dan Biologi

Faktor biologi merupakan faktor genetik atau fisik yang berkontribusi terhadap timbulnya risiko tertentu yang mengancam kesehatan (Stanhope dan Lancaster, 2010). Balita berisiko mengalami masalah kesehatan jika dilihat dari faktor usia. Kelompok balita terbagi menjadi neonatus (0-1 bulan), infant (1 bulan-1 tahun),

toddler (1-3 tahun), dan preschool (3-5 tahun) (Stanhope dan Lancaster, 2010).

Faktor usia seringkali dihubungkan dengan tahapan perkembangan, tahapan perkembangan yang terjadi dapat berkontribusi terhadap timbulnya risiko masalah kesehatan. Pada usia balita pertumbuhan dan perkembangan dilihat dari aspek fisik, kognitif, dan psikososial. Pada usia ini balita senang memasukkan segala sesuatu kedalam mulutnya sehingga terjadi peningkatan risiko masuknya mikroorganisme seperti virus dan bakteri yang mengakibatkan balita memiliki risiko lebih besar untuk mengalami masalah kesehatan (Stanhope dan Lancaster, 2010). Perkembangan secara fisik untuk sistem kekebalan tubuh pada balita belum matang.

Usia merupakan karakter yang memiliki pengaruh paling besar dalam hal hubungannya dengan penyakit, kondisi cidera, penyakit kronis, dan penyakit lain. Usia merupakan salah satu variabel yang dipakai untuk memprediksikan perbedaan dalam hal penyakit, kondisi dan peristiwa kesehatan dan jika saling diperbandingkan maka kekuatan umur menjadi lebih mudah dilihat (Widyastuti, 2005). Pada usia balita terjadi keseimbangan antara perkembangan yang juga diikuti dengan meningkatnya risiko terhadap terjadinya masalah kesehatan. Pertumbuhan dan perkembangan pada balita terdiri dari fisik, kognitif dan psikososial (Potter dan Perry, 2003). Usia balita mengalami perkembangan motorik yang pesat seperti ketrampilan balita dalam berjalan, berlari dan

(32)

berlompat. Sistem kekebalan tubuh balita yang belum matang meningkatkan risiko balita untuk mengalamai masalah kesehatan (Whaley dan Wong, 1995).

Faktor biologi pada balita yang mengalami masalah kesehatan akan meningkatkan risiko terjadinya masalah kesehatan lainnya. Penyakit diare ini penularannya dapat melalui kontaminasi agent (penyebab penyakit) seperti virus, bakteri dan sebagainya dengan makanan, minuman yang kemudian dimakan oleh orang sehat. Penyakit ini biasanya juga termasuk dalam penyakit yang sumber penularannya melalui perantaraan air atau sering disebut sebagai water borne diseases. Agent penyebab penyakit diare sering dijumpai pada sumber-sumber air yang sudah terkontaminasi dengan agent penyebab penyakit, air yang sudah tercemar apabila digunakan oleh orang sehat bisa membuat orang tersebut terpapar dengan agent penyebab penyakit diare (Whaley dan Wong, 1995).

Kuman penyebab diare dapat ditularkan melalui kontaminasi makanan atau air dari tinja atau muntahan penderita yang mengandung kuman penyebab. Kuman pada kotoran dapat langsung ditularkan pada orang lain apabila melekat pada tangan dan kemudian dimasukkan ke mulut atau dipake untuk memegang makanan. Kontaminasi dari alat-alat rumah tangga yang tidak terjaga kebersihannya, tidak memakai sabun pada saat mencuci alat-alat makan dan minum, mencuci pakaian penderita di sekitar sungai dan sumber air lainnya (Departemen Kesehatan, 2007).

2.1.2.2. Risiko Sosial

Faktor sosial yaitu lingkungan merupakan salah satu faktor risiko terjadinya masalah kesehatan. Lingkungan sosial anak terdiri dari lingkungan keluarga dan lingkungan disekitarnya. Peranan ibu sangat dominan dalam hal pengasuhan dan perawatan balita. Karakteristik ibu sepert usia dan pendidikan ibu mempengaruhi perilaku kesehatan balita (Friedman, 2003). Usia ibu yang sudah dewasa berpengaruh pada peningkatan motivasi untuk merubah perilaku tidak baik menjadi baik (Siagian, 1995). Tingkat pendidikan ibu mempengaruhi kesadaran

(33)

akan pentingnya arti kesehatan untuk balita dan lingkungan sehingga akan mendorong kebutuhan akan pelayanan kesehatan (Muhaimin, 1996).

Lingkungan yang tidak sehat seperti penggunaan sumber air yang tercemar, pembuangan sampah dan limbah sembarangan dan minimnya fasilitas kesehatan merupakan salah satu faktor yang berisiko terjadinya masalah kesehatan pada keluarga (Stanhope dan Lancaster, 2010). Paparan virus dan bakteri di lingkungan yang tidak sehat pada saat bermain dapat meningkatkan risiko balita mengalami masalah kesehatan (Stanhope dan Lancaster, 2010). Lingkungan internal keluarga yang sehat merupakan sistem pendukung tercapainya kesehatan fisik dan psikologis bagi seluruh anggota keluarga (Friedman, 2003). Lingkungan sebagai karakteristik orang-orang disekitar tempat tinggal beserta sumber dan faislitas yang tersedia (Bowden dan Jones, 2003).

Usia balita terjadi peningkatan kemampuan sosial dan sosialisasi dengan teman sebaya dalam aktivitas bermain (Whaley dan Wong, 1998). Lingkungan yang terbuka meningkatkan terpaparnya virus dan bakteri sehingga saaat anak bermain risiko tinggi balita mengalami masalah kesehatan (Stanhope dan Lancaster, 2010). Risiko sosiakultural meliputi tingkat pendidikan dan akses pelayanan kesehatan (Allender dan Spradley, 2010). Pendidikan memegang peranan cukup penting dalam kesehatan masyarakat. Pendidikan masyarakat yang rendah menjadikan mereka sulit menerima informasi tentang pentingnya kebersihan perorangan dan sanitasi lingkungan untuk mencegah diare. Masyarakat yang pendidikannya rendah sulit menerima penyuluhan, menyebabkan mereka tidak peduli terhadap upaya pencegahan diare (Sander, 2005).

2.1.2.3. Risiko Ekonomi

Risiko ekonomi adalah ketidakseimbangan antara kebutuhan dengan penghasilan atau pendapatan dengan beban tanggungan, krisis ekonomi yang berkepanjangan mempengaruhi pemenuhan kebutuhan akan perumahan, pakaian, makanan, pendidikan dan kesehatan (Stanhope dan Lancaster, 2010). Faktor ekonomi

(34)

merupakan faktor yang memiliki hubungan secara langsung terhadap kemampuan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan (Friedman, 2003). Keluarga yang memiliki sumber keuangan yang cukup dapat memenuhi kebutuhan anggota keluarganya khususnya dalam masalah kesehatan. Balita yang tumbuh dalam keluarga yang mengalami kesulitan masalah ekonomi lebih berisiko mengalami masalah kesehatan (Stanhope dan Lancaster, 2010).

Permasalahan penyakit diawali masalah kesehatan berakar dari kemiskinan yang disebabkan oleh krisis ekonomi yang belum membaik (Khomsan, 2004). Sumber pendapatan keluarga menentukan kesanggupan untuk memperoleh pelayanan kesehatan bagi anggota keluarganya (Notoatmodjo, 2003). Faktor risiko ekonomi pada balita diperoleh dari orang tua yang hidup dalam kemiskinan yang menyebabkan keluarga tidak mampu melakukan perawatan kesehatan (Maitland, 2011).

2.1.2.4. Risiko Gaya Hidup

Risiko gaya hidup adalah kebiasaan atau gaya hidup yang berdampak terhadap risiko terjadinya penyakit termasuk keyakinan terhadap kesehatan, kebiasaan hidup sehat, pengaturan pola makan, dan kegiatan atau aktivitas keluarga. Keluarga merupakan faktor utama pembentuk gaya hidup positif anggotanya (Stanhope dan Lancaster, 2010). Keluarga merupakan faktor penentu keberhasilan dalam penanaman perilaku hidup sehat bagi keluarganya. Keluarga yang tidak menerapkan dan memperkenalkan perilaku hidup sehat sejak dini akan berisiko mempunyai masalah kesehatan lebih besar jika dibandingkan keluarga yang mampu menerapkan perilaku hidup sehat sejak dini (Friedman, 2003).

Perilaku yang dapat meningkatkan risiko terjadinya diare pada balita adalah tidak memberikan ASI secara penuh 4-6 bulan pertama pada kehidupan. Pada balita yang tidak diberi ASI risiko menderita diare lebih besar daripada balita yang diberi ASI penuh, dan kemungkinan menderita dehidrasi berat lebih besar. Menggunakan botol susu. Penggunaan botol ini memudahkan pencemaran oleh

(35)

kuman karena botol susah dibersihkan. Penggunaan botol yang tidak bersih atau sudah dipakai selama berjam-jam dan dibiarkan di lingkungan yang panas, sering menyebabkan infeksi usus yang parah karena botol dapat tercemar oleh kuman-kuman atau bakteri penyebab diare (Departemen Kesehatan, 2007).

Pengolahan makan terkait menyimpan makanan masak pada suhu kamar, bila makanan disimpan beberapa jam pada suhu kamar, makanan akan tercermar dan kuman akan berkembang biak. Penggunaan air minum yang tercemar dan Tidak mencuci tangan sesudah buang air besar dan sesudah membuang tinja anak atau sebelum makan dan menyuapi anak. Kebiasaan balita BAB disembarang tempat meningkatkan risiko balita terkena diare (Buletin Diare, 2011). Pembuangan air limbah yang tidak dikelola dengan baik dan memenuhi syarat kesehatan dapat mengkontaminasi air permukaan maupun air tanah dan dapat digunakan perindukan vektor penyakit, sehingga dapat menjadi sumber penularan penyakit (Departemen Kesehatan, 2007).

2.1.2.5. Risiko Peristiwa dalam Kehidupan

Risiko life events adalah kejadian dalam kehidupan yang dapat beresiko terjadinya masalah kesehatan seperti kehilangan anggota keluarga (Stanhope dan Lancaster, 2010). Transisi peristiwa kehidupan dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit. Transisi peristiwa kehidupan yang dapat dilalui dengan baik oleh keluarga jika keluarga mampu mengidentifikasi sumber-sumber yang dibutuhkan, atau mengantisipasi dan mempersiapkan peristiwa yang terjadi beserta akibatnya (Stanhope dan Lancaster, 2010). Faktor risiko terjadinya masalah kesehatan bukan dari faktor risiko tunggal namun kombinasi beberapa faktor risiko lain yang lebih meningkatkan terjadinya penyakit. Jumlah anggota keluarga yang bertambah khususnya balita membuat bertambahnya risiko mengalami masalah kesehatan (Murage, 2012). Proporsi balita yang mengalami kejadian diare lebih banyak terjadi pada balita yang keluarganya mempunyai balita lebih dari 2 orang (Hamdani, 2001).

(36)

Berdasarkan penjelasan karakteristik balita sebagai populasi berisiko terkena masalah kesehatan khususnya diare diperlukan suatu pengelolaan manajemen pelayanan keperawatan dan asuhan keperawatan keluarga, komunitas dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit diare.

2.2. Manajemen Pelayanan Keperawatan dan Asuhan Keperawatan Komunitas dalam Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Diare Manajemen keperawatan adalah suatu proses koordinasi dan integrasi sumber-sumber melalui fungsi perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, pengarahan, dan pengontrolan di suatu unit pelayanan keperawatan. Manajemen keperawatan ini melibatkan penerapan keterampilan dan penggunaan sumber-sumber yang ada untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Proses dalam manajemen keperawatan akan bekerja melalui individu, kelompok ataupun sumber lain seperti peralatan dan teknologi untuk mencapai tujuan organisasi (Huber, 2010). Menurut Swansburg (1993) manajemen keperawatan yaitu manajemen yang berhubungan dengan semua kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pengaturan staf, kepemimpinan dan pengendalian. Pengetahuan manajemen keperawatan meliputi konsep-konsep, prinsip dan teori yang berlaku di semua situasi manajemen keperawatan. Berdasarkan beberapa pendapat yang disampaikan bahwa manajemen adalah manajemen adalah ilmu atau seni tentang bagaimana menggunakan sumber daya secara efisien, efektif, dan rasional untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya.

Fungsi manajemen terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, personalia, pengarahan dan pengawasan (Swansburg 1999). Fungsi manajemen keperawatan yang dilakukan seorang manajer harus melaksanakan empat fungsi manajemen yaitu perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), mengarahkan (coordinating or directing), dan pengendalian (controlling) (Robins dan Coulter, 2007). Manajemen keperawatan merupakan suatu proses keperawatan yang menggunakan konsep-konsep manajemen yang di dalamnya meliputi

(37)

perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Unsur-unsurnya dikelola oleh seorang manajer yang meliputi orang, metode, materi, anggaran, waktu dan pemasaran (Kusnanto, 2006). Fungsi manajemen yang lazim digunakan dalam keperawatan komunitas adalah perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan.

Perencanaan adalah keseluruhan proses pemikiran dan penentuan secara matang hal-hal yang akan dikerjakan dimasa mendatang selama periode tertentu dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan sampai dengan menyusun dan menetapkan rangkaian kegiatan untuk mencapainya (Gillies, 2000).Tujuan yang dilakukan selama perencanaan adalah analisis, pengkajian suatu sistem, penyusunan tujuan jangka panjang (strategi) dan jangka pendek (operasional) serta memprioritaskan aktivitas termasuk alternatif (Swansburg, 1999). Elemen dalam perencanaan terdiri dari (1) visi dan misi (2) penetapan tujuan (3) rencana operasional (4) biaya (5) SDM dan SDA (6) metode dan kegiatan (7) penentuan strategi (8) kebijakan program(Marquis dan Huston, 2006).

Fungsi pengorganisasian suatu program berupa pembentukan struktur sebagai pelaksana rencana program, menentukan program pelayanan yang sesuai, pengelompokan aktivitas untuk mencapai tujuan masing-masing unit, bekerja dalam struktur organisasi, memahami, menggunakan kekuatan yang sesuai (Marquis dan Huston, 2006). Tujuannya adalah mendapatkan SDM, perlengkapan, sumber material untuk menggerakkan, mengorganisasi, dan bekerja, sehingga tujuan organisasi dapat dicapai dengan hubungan erat antara tenaga kerja dengan lingkungan (Fayol, 2010). Pengorganisasian meliputi proses memutuskan tingkat organisasi yang diperlukan untuk mencapai objektif divisi keperawatan, departemen atau pelayanan, dan unit (Swansburg, 2000).

Huber (200) menyatakan bahwa pengorganisasian adalah fungsi manajemen yang berhubungan dengan mengalokasi dan mengatur sumber daya untuk menyelesaikan tujuan yang dicapai. Peran manajer dalam fungsi

(38)

pengorganisasian adalah menentukan, tugas yang akan dikerjakan, individu yang akan mengerjakan, pengelompokkan tugas, struktur pertanggungjawaban, dan proses pengambilan keputusan. Manajer bertanggung jawab juga dalam merancang pekerjaan staf yang digunakan untuk mencapai sasaran organisasi (Robins dan Coulter, 2007). Elemen dalam pengorganisasian adalah struktur organisasi, uraian tugas, kerjasama lintas sektor dan program, serta koordinasi (Marquis dan Huston, 2006).

Fungsi pengarahan lebih menekankan pada kemampuan manajer dalam mengarahkan dan menggerakkan semua sumber untuk mencapai tujuan yang telah disepakati(Gillies, 2000). Pengarahan yang diberikan dapat berupa motivasi melalui komunikasi yang baik dalam suatu organisasi sebagai suatu umpan balik dari implementasi kegiatan organisasi (Marquis dan Huston, 2006). Pengarahan dan bimbingan adalah kegiatan menciptakan, memelihara, menjaga atau mempertahankan dan memajukan organisasi melalui setiap personil, baik secara struktural maupun fungsional, agar langkah-langkah operasionalnya tidak keluar dari usaha mencapai tujuan organisasi. Handoko (2000) menyatakan pada dasarnya fungsi pengarahan adalah membuat atau mendapatkan para karyawan melakukan apa saja diinginkan dan harus mereka lakukan.

Elemen dalam pengarahan meliputi proses komunikasi, motivasi, pelatihan, pendelegasian, supervisi dan rujukan (Marquis dan Huston, 2006). Pengarahan yang diberikan dapat berupa motivasi melalui komunikasi yang baik dalam suatu organisasi sebagai suatu umpan balik dari implementasi kegiatan organisasi. Pemberikan umpan balik yang berupa penguatan ataupun penghargaan yang efektif dalam organisasi yaitu (1) penguatan positif dapat diberikan untuk kinerja yang relevan dengan perencanaan (2) penguatan positif dapat diberikan sesegera mungkin setiap kinerja positif dimunculkan (3) adanya sistem penghargaan yang dapat dicapai oleh setiap anggota organisasi dan (4) penghargaan dapat diberikan secara tidak terduga ataupun secara terus menerus. Pengarahan yang baik melalui

(39)

komunikasi dan motivasi dapat mengarahkan pada delegasi tugas yang baik sehingga akan mencegah konflik dalam suatu organisasi.

Fungsi pengawasan merupakan evaluasi dalam manajeman keperawatan. Fungsi pengawasan bertujuan agar penggunaan sumber daya dapat lebih efisien, dan tugas-tugas staf untuk mencapai tujuan program dapat lebih diefektifkan (Marquis dan Huston, 2006). Elemen dalam pengawasan terdiri dari monitoring evaluasi program, kendali mutu dan penilaian kinerja. Pengawasan sebagai suatu program evaluasi dalam suatu manajemen pelayanan dapat dilakukan dengan kontrol pelayanan organisasi. Kontrol organisasi dapat dilakukan melalui (1) penentuan kriteria standar evaluasi, (2) menginformasikan setiap penyusunan standar kerja organisasi, dan (3) adanya proses pembelajaran melalui monitor dan evaluasi dari setiap pencapaian standar yang ditentukan (Marquis dan Huston, 2006).

Manfaat fungsi pengawasan untuk mengetahui sejauhmana kegiatan program sudah dilaksanakan oleh staf sesuai standar atau rencana kerja. Adanya kegiatan pengawasan dalam manajemen keperawatan akan membantu identifikasi efisiensi kegiatan program, adanya penyimpangan-penyimpangan selama proses kegiatan dan penyebabnya sehingga dapat disusun rencana tindak lanjut untuk memperbaiki dan keberlanjutan program (Swansburg, 1999). Kegiatan yang dapat dilakukan dalam pengawasan adalah monitoring dan evaluasi (Marquis dan Huston, 2006). Monitoring dapat dilakukan oleh pihak dalam maupun luar organisasi. Tahapan yang dapat dilakukan dalam monitoring adalah (1) memutuskan informasi apa yang akan dikumpulkan (2) mengumpulkan data dan menganalisisnya (3) memberikan umpan balik hasil monitoring (Marquis & Huston, 2006). Pengawasan merupakan usaha yang sistematik membandingkan kerja nyata dengan tujuan dan standar yang disusun serta menilai penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Kegiatan evaluasi untuk melihat efektifitas dan efisiensi program yang sedang atau yang telah dilakukan, sehingga dapat mengidentifikasi masalah atau hambatan yang muncul selama pelaksanaan program (Evin, 2002).

(40)

Pengelolaan manajemen pelayanan keperawatan dalam pencegahan dan penanggulangan diare balita akan dilanjutkan dengan pemberian asuhan keperawatan komunitas.

2.3. Asuhan Keperawatan Komunitas Pada Aggregate Balita 2.3.1. Pengkajian

Model pengkajian yang akan dikembangkan pada aggregate balita adalah aplikasi dari community as partner yang dikembangkan oleh Anderson dan Mc Farlan dari teori Betty Neuman (Anderson dan Mc Farlane, 2004). Model ini lebih berfokus pada perawatan kesehatan masyarakat adalah praktek, keilmuan, dan metodenya melibatkan masyarakat untuk berpartisipasi penuh dalam meningkatkan kesehatannya. Pada pengkajian model ini mempunyai dua komponen utama yaitu core dan subsistem. Pada model community as partner terdapat dua faktor utama yaitu fokus pada komunitas sebagai mitra dan proses keperawatan (Anderson dan Mc Farlane, 2004).

Pada pengkajian komunitas terdapat core dan 8 (delapan) subsistem dari masyarakat. Core yang terdiri dari riwayat terbentuknya aggregat, demografi, suku, nilai, dan kepercayaan. Sedangkan pada subsistem terdapat lingkungan fisik, pelayanan kesehatan dan sosial, ekonomi, transportasi dan keamanan, politik dan pemerintahan, komunikasi, pendidikan, dan rekreasi. Pada model

community as partner masyarakat dikelilingi oleh tiga garis pertahanan, yaitu;

garis pertahanan fleksibel, normal, resisten. Garis pertahanan fleksibel adalah kesehatan yang dinamis hasil dari respon terhadap stressor yang tidak menetap seperti mobiliasi tetangga dan stressor lingkungan. Garis pertahanan normal adalah angka kematian, tingkat ekonomi masyarakat. Garis pertahanan resisten adalah mekanisme internal terhadap stressor (Anderson dan Mc Farlane, 2004).

(41)

Sumber: Anderson McFarlan, Community as Partner, 2004

Gambar 2.1

2.3.2. Diagnosa Keperawatan Komunitas

Diagnosa keperawatan yaitu respon individu pada masalah kesehatan baik yang aktual maupun potensial. Diagnosa keperawatan komunitas akan memberikan gambaran tentang masalah dan status kesehatan masyarakat baik yang nyata dan yang mungkin terjadi. Diagnosa ditegakkan berdasarkan tingkat masalah komunitas terhadap stresor yang ada. Diagnosa keperawatan dirumuskan dalam tiga komponen, yaitu problem atau masalah (P), etiologi atau penyebab (E), dan

symptom atau manifestasi atau data penunjang (S) (Nanda, 2010). Problem

merupakan kesenjangan atau penyimpangan dari keadaan normal yang seharusnya terjadi. Etiologi merupakan penyebab masalah kesehatan atau

(42)

keperawatan yang dapat memeberikan arah terhadap intervensi keperawatan.

Symptom merupakan tanda atau gejala yang tampak menunjang masalah yang

terjadi. Diagnosis keperawatan komunitas memberikan arah terhadap tujuan dan intervensi keperawatan. Tujuan berasal dari stressor, pengurangan stressor dan penguatan resistensi komunitas melalui garis pertahanan. Berdasarkan derajat reaksi, perawat dapat merencanakan intervensi untuk menguatkan garis resistensi dengan menerapkan salah satu jenis pencegahan (Anderson dan Mc Farlane, 2004).

2.3.3. Perencanaan Keperawatan Komunitas

Perencanaan program kesehatan komunitas pada aggregate balita dengan diare berdasarkan Community as Partner Model difokuskan pada tiga tingkat pencegahan yaitu primer, sekunder, dan tersier (Anderson dan McFarlane, 2004). Perencanaan diawali dengan merumuskan tujuan yang ingin dicapai serta rencana tindakan untuk mengatasi masalah yang ada. Tujuan dirumuskan untuk mengatasi atau meminimalkan stresor dan intervensi dirancang berdasarkan tiga tingkat pencegahan. Pencegahan primer untuk memperkuat garis pertahanan fleksibel, pencegahan sekunder untuk memperkuat garis pertahanan normal, dan pencegahan tersier untuk memperkuat garis pertahanan resisten (Anderson dan Mc Farlane, 2000). Aktivitas dari program kesehatan komunitas yang direncanakan difokuskan untuk memperkuat tiga garis pertahanan pada komunitas yaitu garis pertahanan normal, fleksibel, dan resisten melalui tiga tingkat pencegahan. Aktivitas dalam perencanaan tersebut dapat dijalankan melalui strategi intervensi program yaitu pendidikan kesehatan, proses kelompok,

empowering, dan partnership.

Strategi intervensi keperawatan komunitas adalah (1) kemitraan (partnership), (2) pemberdayaan (empowerment), (3) pendidikan kesehatan, dan (4) proses kelompok (Hitchcock, Schubert dan Thomas 1999, Helvie, 1998).

(43)

Kemitraan memiliki definisi hubungan atau kerja sama antara dua pihak atau lebih, berdasarkan kesetaraan, keterbukaan dan saling menguntungkan atau memberikan manfaat ((Departemen Kesehatan, 2005). Perawat komunitas perlu membangun dukungan, kolaborasi, dan koalisi sebagai suatu mekanisme peningkatan peran serta aktif masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi implementasi. Mekanisme kolaborasi perawat komunitas dengan masyarakat adalah hubungan kemitraan yang dibangun memiliki dua manfaat sekaligus yaitu meningkatnya partisipasi aktif masyarakat dan keberhasilan program kesehatan masyarakat (Lezin dan Young, 2000). Mengikutsertakan masyarakat dan partisipasi aktif mereka dalam pembangunan kesehatan dapat meningkatkan dukungan dan penerimaan terhadap kolaborasi profesi kesehatan dengan masyarakat (Sienkiewicz, 2004). Dukungan dan penerimaan tersebut dapat diwujudkan dengan meningkatnya sumber daya masyarakat yang dapat dimanfaatkan, meningkatnya kredibilitas program kesehatan, serta keberlanjutan kemitraan perawat komunitas dengan masyarakat (Bracht, 1990).

Pemberdayaan dapat dimaknai secara sederhana sebagai proses pemberian kekuatan atau dorongan sehingga membentuk interaksi transformatif kepada masyarakat, adanya dukungan, pemberdayaan, kekuatan ide baru, dan kekuatan mandiri untuk membentuk pengetahuan baru (Hitchcock, Scubert dan Thomas, 1999). Pemberdayaan dan kemitraan memiliki hubungan yang kuat dan mendasar. Perawat ketika menjalin suatu kemitraan dengan masyarakat maka dirinya juga harus memberikan dorongan kepada masyarakat. Membangun kesehatan masyarakat tidak terlepas dari upaya-upaya untuk meningkatkan kapasitas, kepemimpinan dan partisipasi masyarakat (Nies dan Mc Ewan, 2001).

Pemberdayaan adalah suatu bentuk kemitraan dan kerjasama dalam membantu keluarga mengambil keputusan yang tepat dalam kehidupan. Pemberdayaan keluarga memberikan kesempatan pada keluarga untuk memilih dan mengambil keputusan secara bebas dan bertanggungjawab. Pemberdayaan keluarga bertujuan

(44)

untuk meningkatkan pengetahuan, kapasitas dan ketrampilan sehingga keluarga mampu mengambil keputusan yang tepat terkait masalah kesehatan (Friedman, 2003). Peberdayaan keluarga akan menghasilkan kekuatan dan hubungan saling ketergantungan yang sehat serta meningkatkan rasa saling menghargai otonomi dan menhormati antar anggota keluarga (Friedman, 2003).

Pendidikan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan dan mengurangi disabilitas serta mengaktualisasikan potensi kesehatan yang dimiliki oleh individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat (Swanson dan Nies, 1997). Pendidikan kesehatan dapat dikatakan efektif apabila dapat menghasilkan perubahan pengetahuan, menyempurnakan sikap, meningkatkan ketrampilan, dan bahkan mempengaruhi perubahan di dalam perilaku atau gaya hidup individu, keluarga, dan kelompok (Pender, Murdaugh dan Parsons, 2002). Pendidikan kesehatan dapat dilakukan secara individu, kelompok, maupun komunitas. Upaya pendidikan kesehatan di tingkat komunitas penting dilakukan dengan beberapa alasan yaitu individu akan mudah mengadopsi perilaku sehat apabila mendapatkan dukungan sosial dari lingkungannya terutama dukungan keluarga, intervensi di tingkat komunitas dapat mengubah struktur sosial yang kondusif terhadap program promosi kesehatan, unsur-unsur di dalam komunitas dapat membentuk sinergi dalam upaya promosi kesehatan (Meillier, 1996).

Proses kelompok merupakan salah satu strategi intervensi keperawatan yang dilakukan bersama-sama dengan masyarakat melalui pembentukan sebuah kelompok atau kelompok swabantu. Intervensi keperawatan di dalam tatanan komunitas menjadi lebih efektif dan mempunyai kekuatan untuk melaksanakan perubahan pada individu, keluarga dan komunitas apabila perawat komunitas bekerja bersama dengan masyarakat. Kelompok di masyarakat dapat dikembangkan sesuai dengan inisiatif dan kebutuhan masyarakat. Kegiatan pada kelompok ini disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan yang ingin dicapai (Depkes RI, 1992).

(45)

Berdasarkan strategi intervensi keperawatan komunitas yang sudah dijabarkan, penulis akan membahas lebih fokus pada kelompok pendukung. Pembentukan kelompok merupakan suatu bentuk intervensi keperawatan komunitas yang melibatkan keluarga, masyarakat serta kelompok berisiko atau bekerja sama dengan kelompok yang telah ada untuk meningkatkan kualitas kerja (Stanhope dan Lancaster, 2010). Sistem dukungan sosial diketahui berfungsi signifikan dalam memberi perawatan profesional melalui promosi kesehatan, pencegahan penyakit dan perawatan penyakit (Pender, 2006). Sistem dukungan sosial yang relevan terhadap kesehatan meliputi sistem kelompok pendukung alamiah, sistem kelompok pendukung organisasi keagamaan, sistem kelompok pendukung organisasi pemberi pelayanan atau asisten tenaga kesehatan, dan organisasi kelompok pendukung tidak langsung melalui tenaga kesehatan professional.

Sistem dukungan terorganisir yang tidak diarahkan dari tenaga kesehatan meliputi kelompok pelayanan sukarela dan kelompok bantuan saling menguntungkan antara lain berasal dari masyarakat yang peduli terhadap kesehatan balita seperti kader kesehatan. Kelompok pendukung adalah sekelompok orang secara sukarela berbagi pengalaman, situasi, atau masalah dan setiap orang memberikan dukungan emosional dan dukungan lainnya seperti pengetahuan, keterampilan, dan pengambilan keputusan. Kegiatan kelompok meliputi diskusi, berbagi informasi dan pengalaman, dan kegiatan lain yang meningkatkan motivasi dan pemberdayaan (Heisler, 2006). Kelompok pendukung merupakan sekumpulan orang-orang yang berencana, mengatur dan berespon secara langsung terhadap isu-isu dan tekanan yang khusus maupun keadaan yang merugikan. Tujuan awal didirikan kelompok ini adalah memberikan dukungan dan memfasilitasi masalah isolasi sosial terhadap anggotanya (Hunt, 2004).

(46)

Fasilitator kelompok pendukung merupakan petugas yang terlatih dalam pekerjaan sosial, psikologi, keperawatan dan lainnya yang dapat memberikan arti dan aturan kepemimpinan yang benar dalam kelompok. Kelompok pendukung merupakan karakteristik intervensi dan implementasi dalam keperawatan komunitas yang berfokus pada pengembangan suatu kreativitas dan visi melalui suatu pendekatan yang baru (Ervin, 2002). Berikut ini akan diuraikan mengenai tahapan pembentukan kelompok melalui lima fase yaitu (Hitchcock, 1999):

2.3.3.1. Fase Orientasi.

Pada tahap ini, perawat diharapkan mampu melihat hal-hal yang dinginkan oleh masyarakat, mengidentifikasi faktor pendukung maupun faktor penghambat terbentuknya suatu kelompok. Fungsi dari fase ini adalah untuk mengkaji arah, tujuan, bentuk kelompok pendukung yang diinginkan dari kelompok.

2.3.3.2. Fase Konflik

Fase ini menggambarkan sebagai masa perjuangan antar anggota. Pada tahap ini terjadi banyak perbedaan antar kelompok dan adanya keinginan yang berbeda sering menjadi penyebab konflik pada kelompok baru yang dibentuk. Tahap ini sangat memerlukan seorang pemimpin yang untuk menyelesaikan konflik.

2.3.3.3. Fase Kohesif

Tahapan ini mulai terjadi proses adaptasi terhadap peran, aturan kelompok yang diekspresikan melalui adanya hubungan yang harmonis antar anggota kelompok. Pemimpin kelompok hanya sebagai pemberi petunjuk dan membantu mencapai tujuan dengan mengarahkan anggotanya.

2.2.2.4. Fase Kerja.

Fase ini adalah tahapan utama kelompok, dimana proses terapi dimulai. Setiap anggota kelompok mulai menjalankan peranannya masing-masing untuk memberikan dukungan terhadap keluarga yang balitanya terkena diare. Perawat

(47)

perlu memfasilitasi anggota kelompok untuk menjaring dan membina sejumlah keluarga untuk mengoptimalkan kerja kelompok pendukung.

2.2.2.5. Fase Terminasi.

Tahap terminasi merupakan tahap terakhir dan dapat dilakukan secara individual atau kelompok. Beberapa hal yang dilakukan dalam tahap terminasi adalah mengeksplorasi perasaan anggota kelompok, mengevaluasi pencapaian harapan, eksplorasi perasaan kehilangan kelompok dan umpan balik.

3.2.3. Peran Perawat dalam Keperawatan Komunitas Pada Aggregate Balita Diare.

Peran perawat komunitas sebagai pemberi asuhan keperawatan, pendidik, manajer, kolabolator, pemimpin, dan peneliti. Dalam keperawatan komunitas, perawat mempunyai 5 peran (Helvie, 1998), yaitu :

3.2.3.1. Pemberi Asuhan Keperawatan

Perhatian pelayanan pada seting perawatan di masyarakat menyangkut pelayanan primer, pelayanan kesehatan fisik dan support emosional atau pendidikan pada level individu, keluarga dan komunitas. Memberikan asuhan keperawatan melalui mengkaji masalah keperawatan yang ada, merencanakan tindakan keperawatan, melaksanakan tindakan keperawatan dan mengevaluasi pelayanan yang telah diberikan kepada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat. Perawat sebagai pemberi perawatan memberikan perawatan langsung pada balita yang terkena diare dan balita yang berisiko terkena diare.

3.2.3.2. Peran Pendidik dan Konselor

Peran perawat melakukan tindakan pencegahan yang dilakukan sebelum terjadi penyakit sehingga derajat kesehatan masyarakat pada kondisi sehat optimal (Potter dan Perry, 2003). Memberikan pendidikan kesehatan kepada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat baik di rumah, puskesmas, dan di

(48)

masyarakat secara terorganisir dalam rangka menanamkan perilaku sehat untuk pencegahan diare, sehingga terjadi perubahan perilaku seperti yang diharapkan dalam menurunkan angka kejadian diare balita.

3.2.3.3. Peran sebagai Case Manager

Fungsi pengelola kasus adalah perawat mengelola kasus, dan melaksanakan 5 (lima) tahap proses dalam pengambilan keputusan dalam pelayanan keperawatan pada individu, keluarga, dan kelompok usia dewasa yaitu pengkajian, perencanaan, mengadakan kerjasama (merujuk, koordinasi dan advokasi), memonitoring dan melakukan evaluasi. Perawat komunitas diharapkan dapat mengelola berbagai kegiatan pokok dalam Posyandu salah satunya pencegahan diare pada balita.

2.2.3.4. Peran sebagai Penemu Kasus

Penemuan kasus termasuk penemuan balita diare, yang membutuhkan pelayanan kesehatan. Dalam melakukan penemuan pada kasus diare balita, perawat harus dapat mengidentifikasi komunitas yang mempunyai populasi balita terbanyak serta menentukan wilayah yang mempunyai angka kejadian diare balita tertinggi. Pengkajian secara komprehensif yang dilakukan kemudian akan dilakukan tindakan keperawatan sesuai prioritas masalah untuk mengatasi masalah diare pada balita. Melaksanakan monitoring terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat yang menyangkut masalah-masalah kesehatan dan keperawatan yang timbul serta berdampak terhadap status kesehatan melalui kunjungan rumah, pertemuan-pertemuan, observasi dan pengumpulan data.

2.2.3.5. Peran sebagai Peneliti

Perawat sebagai peneliti berperan menemukan kasus baru atau permasalahan baru terkait pencegahan diare pada balita. Perawat sebagai peneliti berperan dalam mengidentifikasi masalah kesehatan balita dan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya diare pada balita sehingga dapat ditentukan strategi intervensi yang

(49)

tepat dan efektif untuk mencegah terjadinya diare pada balita. Perawat berperan sebagai peneliti dalam mengembangkan intervensi keperawatan untuk melakukan pencegahan diare pada balita.

Pencegahan dan penanggulangan diare balita yang diberikan melalui pelaksanaan asuhan keperawatan komunitas akan dilanjutkan pada pemberian asuhan keperawatan keluarga.

2.4. Asuhan Keperawatan Keluarga Pada Aggregate Balita Diare 2.4.1. Pengkajian

Perawat keluarga adalah perawat yang berperan membantu individu dan keluarga untuk menghadapi penyakit dan disabilitas kronik dengan meluangkan sebagian waktu bekerja di rumah pasien dan bersama keluarganya. Keperawatan keluarga dititik beratkan pada kinerja perawat bersama dengan keluarga karena keluarga merupakan subyek. Menurut Neis dan Mc Ewen (2007). Keperawatan keluarga dapat difokuskan pada anggota keluarga individu, dalam konteks keluarga, atau unit keluarga. Terlepas dari identifikasi klien, perawat menetapkan hubungan dengan masing-masing anggota keluarga dalam unit dan memahami pengaruh unit pada individu dan masyarakat. Perawat yang melakukan kunjungan ke rumah memiliki perhatian yang menyeluruh terhadap masalah kesehatan yang ditemukan atau diidentifikasi dari keluarga tertentu atau sekelompok keluarga.

Keluarga mempunyai peranan besar dalam pencegahan diare pada bayi dan balita. Keluarga sebagai entry point untuk melakukan pencegahan diare pada balita. Model Family Center Nursing merupakan model yang dapat digunakan dalam menerapkan strategi intervensi pemberdayaan keluarga. Pengkajian individu sebagai anggota keluarga yang meliputi biologis, psikologis, sosial, spiritual. Pengkajian keluarga terkait sosiokultural, data lingkungan, struktur, fungsi dan strategi koping yang digunakan untuk menentukan rencana tindakan untuk mengatasi masalah kesehatan keluarga (Friedman, 2003).

(50)

Perawat bekerjasama dengan keluarga untuk meningkatkan derajat kesehatan keluarga dengan mengiptimalkan struktur dan fungsi dan tugas perawatan kesehatannya. Struktur keluarga merupakan pola organisasi dalam keluarga. Struktur keluarga terdiri dari empat unsur yaitu struktur peran, nilai, proses komunikasi dan pengambilan keputusan (Friedman, 2003). Struktur keluarga bertujuan untuk memfasilitasi pencapaian fungsi keluarga.

2.2.3. Fungsi keluarga dalam pencegahan kejadian diare meliputi (Friedman, 2003):

2.2.3.1. Fungsi Afektif

Fungsi afektif merupakan suatu fungsi internal keluarga yang menjadi dasar pembentukan dan kesinambungan keluarga (Friedman, 2003). Keluarga berfungsi sebagai sumber kasih sayang, dukungan, pengakuan dan penghargaan bagi anggota keluarga lainnya. Fungsi afektif dalam keluarga dapat menunjukkan kasih sayang dengan memberikan kondisi yang nyaman untuk perkembangan perilaku yang sehat.

2.2.3.2. Fungsi Sosialisasi

Keluarga merupakan tempat untuk belajar bersosialisasi. Sosialisasi dalam keluarga untuk mengajarkan anak mengenal bahasa, peran, norma, budaya dan moral yang akan mempengaruhi perilaku. Lingkungan keluarga merupakan tempat anak untuk mengembangkan kemampuan sosialisasinya (Friedman, 2003). Sosialisasi dengan lingkungan dapat memberikan dampak atau memungkinkan anak terpapar hal positif dan negatif.

2.2.3.3. Fungsi Perawatan Kesehatan

Keluarga melakukan pemenuhan tugas perawatan keluarga terkait pencegahan diare yang meliputi:

a. Untuk mengetahui kemampuan keluarga mengenal masalah diare, yang perlu dikaji adalah sejauhmana keluarga mengetahui mengenai fakta-fakta dari

Gambar

Tabel 4.1 Tingkat Kemandirian Keluarga................................................

Referensi

Dokumen terkait

Hubungan Pengetahuan Ibu Tentang Sanitasi Makanan Dengan Kejadian Diare Pada Balita di Lingkup Kerja Puskesmas Klirong 1.. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan,

Hubungan Kepadatan Lalat, Personal Hygiene dan Sanitasi Dasar Dengan Kejadian Diare Pada Balita di Lingkungan I Kelurahan Paya Pasir Kecamatan Medan Marelan Kota

Data WHO 2007 menunjukkan bahwa dengan memperbaiki pola perilaku kebersihan dapat menurunkan angka kejadian diare sebesar 32Yo denganmeningkatkan akses masyarakat

5.2.1 Pengaruh Umur Ibu terhadap Angka Kejadian Diare pada Balita Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan selama bulan Juli 2016 pada ibu yang memiliki balita yang

Untuk dapat menurunkan angka kejadian stunting, penulis ingin mengetahui apa saja faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kejadian stunting pada balita usia 24-60

Hubungan Antara Sanitasi Lingkungan dengan Kejadian Diare pada Balita di Kecamatan Jatipuro Kabupaten Karanganyar.. Jurnal

Berdasarkan hasil studi pendahuluan angka kejadian diare pada tahun 2012 di Puskesmas Secang didapatkan 665 balita yang menderita diare, dan berdasarkan data yang didapat

“Hubungan kejadian stunting dengan frekuensi penyakit ISPA dan diare pada balita usia 12-48 bulan di wilayah kerja Puskesmas Gilingan Surakarta,” Univ.. Muhammadiyah Surakarta,