• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI PETANI PROGRAM SLPTT DAN NON PROGRAM SLPTT DI DESA KALIBUAYA

METODE PENELITIAN

ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI PETANI PROGRAM SLPTT DAN NON PROGRAM SLPTT DI DESA KALIBUAYA

Analisis Biaya Usahatani Petani Progam SLPTT dan Non SLPTT Analisis biaya usahatani dilakukan untuk mengetahui biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh petani program SLPTT dan non SLPTT dalam melakukan kegiatan usahatani padi. Biaya usahatani terbagi menjadi dua, yaitu biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan. Biaya tunai usahatani terdiri dari benih, pupuk organik dan anorganik, pestisida, herbisida, upah tenaga kerja luar keluarga, upah aktivitas yang dilakukan secara borongan seperti sewa traktor, biaya penanaman, biaya pengolahan tanah, sewa mesin perontok, pajak lahan, sewa lahan, serta pembelian karung. Biaya yang diperhitungkan terdiri dari tenaga kerja dalam keluarga, benih dari hasil panen musim sebelumnya, sewa lahan yang diperhitungkan, serta penyusutan peralatan.

Biaya Tunai

Berikut ini adalah komponen biaya tunai usahatani padi petani program SLPTT dan non SLPTT di Desa Kalibuaya:

a. Biaya Benih Padi

Pada umumnya petani di Desa Kalibuaya baik petani program SLPTT maupun non SLPTT menggunakan varietas unggul baru (VUB) jenis Mekongga dan Ciherang. Benih yang digunakan tersebut adalah benih sebar label biru atau bersertifikat yang dianjurkan untuk penggunaan satu musim tanam. Terdapat beberapa sumber bagi petani untuk memperoleh benih, yaitu kios pertanian di dalam atau di luar Desa Kalibuaya, BP3K, Kecamatan Telagasari, benih yang dijual oleh ketua kelompok tani, serta benih dari hasil panen sebelumnya. Pada musim kering II ini persedian benih cukup banyak di kios pertanian, sehingga petani tidak mengalami kesulitan untuk memperolehnya. Harga pasaran benih label biru varietas Mekongga sebesar Rp 11 000/kg, sedangkan varietas Ciherang sebesar Rp 12 000/kg. Meskipun persediaan benih banyak, akan tetapi harga benih meningkat dari musim panen sebelumnya. Misalnya harga benih label biru varietas Ciherang pada musim tanam sebelumnya hanya Rp 3 000/kg. Total penggunaan benih padi VUB berlabel biru yang digunakan oleh petani program SLPTT sebanyak 22.38 kg/ha, sedangkan petani non SLPTT sebanyak 15.35 kg/ha. Perbedaan total penggunaan benih diantara kedua kelompok tersebut karena adanya anjuran jumlah benih yang harus digunakan bagi petani program SLPTT yakni 20 kg/ha. Selain itu, banyak petani non SLPTT yang menggunakan benih dari hasil panen sebelumnya. Total biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli benih padi pada petani program SLPTT lebih besar dibandingkan dengan petani non SLPTT. Total biaya benih petani program SLPTT untuk satu hektar sebesar Rp 210 810.56, sedangkan petani non SLPTT hanya sebesar Rp 173 243.38.

b. Biaya pupuk organik

Pupuk organik yang umum dipakai oleh petani program SLPTT dan non SLPTT adalah pupuk kandang atau kompos yang siap jadi dan dijual di kios pertanian. Pada program SLPTT pupuk organik dianjurkan sebagai komponen

utama dengan jumlah 2 000 kg/ha. Berdasarkan anjuran tersebut maka penggunaan pupuk organik petani program SLPTT lebih besar dibandingkan petani non SLPTT masing-masing sebanyak 700.01 kg/ha dan 364.75 kg/ha. Harga rata-rata pupuk organik di kios pertanian sebesar Rp 500/kg-Rp 800/kg. Total biaya pembelian pupuk organik petani program SLPTT untuk tiap satu hektar sebesar Rp 362 885.69, sedangkan petani non SLPTT sebesar Rp 184 808.83. Sebagian petani yang sudah menggunakan pupuk organik merasakan manfaat penggunaannya, karena dengan harga yang terjangkau petani dapat mengurangi penggunaan pupuk anorganik, lahan menjadi lebih subur sehingga berpengaruh terhadap produksi yang dihasilkan.

c. Biaya pupuk anorganik

Pupuk anorganik yang umumnya dipakai oleh petani program SLPTT dan non SLPTT adalah pupuk urea, NPK phonska, dan TSP. Pada musim kering II ini petani menghadapi masalah untuk memperoleh pupuk urea karena terjadi kelangkaan hampir di semua kios pertanian. Petani yang tidak cepat untuk membeli pupuk urea di awal musim maka akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan pupuk dan harganya mahal. Harga pupuk urea musim kering II sebesar Rp 2 600/kg, sedangkan musim sebelumnya hanya sebesar Rp 1 900/kg. Harga jenis pupuk NPK phonska dan TSP tidak dipermasalahkan oleh petani karena tersedia dan harganya yang tidak mengalami peningkatan, yakni masing-masing sebesar 2 300/kg dan 2 200/kg.

Total penggunaan rata-rata pupuk anorganik yang dilakukan oleh petani non SLPTT lebih banyak dibandingkan dengan petani program SLPTT, yakni sebesar 460.13 kg/ha dan 414.52 kg/ha. Penggunaan pupuk anorganik yang lebih banyak membuat petani non SLPTT lebih besar mengeluarkan biaya dibandingkan dengan petani program SLPTT, yakni sebesar Rp 1 123 023.56. Hal yang menyebabkan penggunaan pupuk anorganik petani program SLPTT lebih sedikit karena sudah adanya pemberian pupuk organik. Total biaya untuk pupuk anorganik petani program SLPTT sebesar Rp 1 005 363.47.

d. Obat-obatan padat

Obat-obatan padat yang digunakan oleh setiap petani tidak banyak berbeda karena jenis obat padat yang dijual tidak banyak pilihan seperti obat cair. Obat- obatan padat dapat diperoleh petani di beberapa kios pertanian di dalam atau di luar Desa Kalibuaya. Beberapa jenis obat padat yang banyak digunakan petani yaitu Furadan untuk menghindarkan benih padi dari cacing di tanah, Antracol untuk untuk mengendalikan penyakit daun terbakar pada tanaman padi, Ali +untuk mengendalikan gulma pada tanaman padi. Harga obat padat Antracol lebih mahal dibandingkan dengan harga obat lainnya yakni sebesar Rp 150 000/kg, sedangkan obat Furadan sebesar Rp 11 500/kg dan Ali + sebesar Rp 9 000/kg. Hanya beberapa petani yang menggunakan obat Antrakol karena harga yang mahal. Petani lain lebih banyak untuk menggunak obat Furadan.

e. Obat-obatan cair

Obat-obatan cair merupakan komponen input yang pasti digunakan oleh petani program SLPTT dan non SLPTT untuk merawat tanaman padi dari serangan berbagai hama dan penyakit. Setiap obat cair memiliki kegunaan dan harga yang berbeda sehingga banyak jenis obat cair yang dipilih oleh petani. Berikut ini adalah

berbagai jenis, kegunaan, dan harga obat cair yang digunakan oleh petani program SLPTT dan non SLPTT.

Terdapat beberapa merek insektisida yang digunakan oleh petani SLPTT dan non SLPTT untuk menghadapi serangan hama yang dapat merusak tanaman padi. Berikut ini adalah merek dari insektisida yang digunakan oleh petani:

1. Starban:Mengendalikan ulat grayak dan penggerek polong, harga per liter Rp 420 000.

2. Abacel: Mengendalikan hama ulat grayak pada tanaman padi, harga per liter Rp 25 000.

3. Sidabas: Mengendalikan penyakit virus tungro dan wereng hijau, harga per liter Rp 62 500.

4. Spontan: Mengendalikan hama penggerek batang, wereng cokelat, hama putih, lalat daun, serta hama putih palsu pada tanaman padi, harga per liter Rp 63 000. 5. Decis: Insektisida non sistemik untuk membunuh hama pengerat atau tikus pada

tanaman padi, harga per liter Rp 108 000.

6. Demolish: Mengendalikan hama Thrips sp, kutu daun, tungau, ulat daun, dan wereng coklat pada tanaman padi, harga per liter Rp 150 000.

7. Rizotin: Insektisida untuk mengendalikan hama wereng perusak daun pada tanaman padi, harga per liter Rp 50 000.

8. Superpam: Insektisida berbahan organik untuk mengendalikan hama perusak daun pada tanaman padi, harga per liter Rp 60 000.

9. Amezo: Insektisida untuk mengendalikan semua jenis hama perusak daun pada tanaman padi, harga per liter Rp 300 000.

Insektisida merek spontan lebih banyak digunakan oleh petani program SLPTT dan non SLPTT, yakni sebanyak 1.65 liter/ha dan 1.67 liter/ha. Spontan merupaka insektisida dengan harga yang terjangkau dan sebagian besar petani sudah percaya dengan kualitasnya. Insektisida yang tidak banyak digunakan oleh petani program SLPTT adalah merek amezo sebanyak 0.03 liter/ha, sedangkan petani non SLPTT adalah merek starban sebanyak 0.09 liter/ha. Hal ini karena dua merek insektisida tersebut tidak banyak diketahui oleh petani, harga yang mahal, dan tidak banyak dijual di kios pertanian.

Sebagian besar petani menggunakan fungisida ketika tanaman padi terserang penyakit yang disebabkan oleh bakteri. Berikut ini adalah merek dari fungisida yang digunakan oleh petani:

1. Nustar: Fungisida untuk mencegah atau membunuh penyakit jamur pada tanaman padi, harga per liter Rp 120 000.

2. Score: Fungisida dan zat pengatur tumbuh untuk mengendalikan penyakit yang ada di dalam tanaman padi agar lebih sehat dan hijau, harga per liter Rp 95 000. Penggunaan fungisida yang dilakukan oleh petani program SLPTT hanya merek nustar dengan penggunaan yang tidak begitu banyak, yakni sebanyak 0.09 liter/ha. Petani non SLPTT menggunakan dua merek fungisida yaitu nustar dan score. Penggunaan score lebih banyak dilakukan oleh petani non SLPTT yaitu sebanyak 0.29 liter/ha, sedangkan nustar hanya sebanyak 0.01 liter/ha. Penggunaan fungisi oleh petani program SLPTT lebih sedikit dibandingkan dengan petani non SLPTT, karena tanaman padi petani program SLPTT tidak banyak diserang oleh penyakit.

Pada umumnya semua merek herbisida memiliki kegunaan yang sama yaitu untuk memberantas tumbuhan gulma tanpa meracuni tanaman padi. Berikut ini adalah merek dari herbisida yang digunakan oleh petani:

1. Starmen: Harga per liter Rp 60 000. 2. Amezo: Harga per liter Rp 300 000. 3. Trobos: Harga per liter Rp 125 000. 4. Round up: Harga per liter Rp 50 000. 5. Poltus: Harga per liter Rp 35 000.

Penggunaan herbisida yang dilakukan oleh petani program SLPTT hanya merek trobos dan amezo, yakni sebanyak 0.42 liter/ha dan 0.03 liter/ha. Berbeda halnya dengan petani non SLPTT yang memilih untuk menggunakan beberapa merek herbisida, seperti starmen, poltus, serta round up. Total penggunaan poltus lebih banyak dibandingkan yang lainnya, yakni sebanyak 0.42 liter/ha. Beberapa petani tidak menggunakan herbisida karena akan menambah biaya yang harus dikeluarkan dan tidak ingin tanaman padi terkena racun ketika obat disemprot. f. Tenaga kerja luar keluarga (TKLK)

Biaya tenaga kerja yang digolongkan dalam biaya tunai adalah tenaga kerja luar keluarga. Terdapat beberapa kegiatan usahatani padi yang membutuhkan tenaga kerja banyak sehingga petani harus mengeluarkan biaya untuk tenaga kerja. Upah yang dibayarkan kepada pekerja sesuai dengan jenis pekerjaan, jam kerja, hari kerja, dan pekerja pria atau wanita. Upah pekerja harian di Desa Kalibuaya umumnya sama dalam satu musim tanam, yakni sebesar Rp 70 000 untuk pria dan Rp 35 000 untuk wanita per hari orang kerja (HOK). Upah tersebut sudah termasuk dengan keperluan lain dari pekerja, seperti makan dan minum. Selain itu, upah pria Rp 70 000 dan upah wanita Rp 35 000 adalah upah untuk sat hari kerja dengan jumlah jam kerja selama 8 jam.

Beberapa kegiatan usahatani padi yang membutuhkan pekerjaan harian yaitu pembersihan lahan sawah, pemupukan, penyemprotan, persemaian benih (kegiatan persemaian dan penaburan benih), dan pengolahan tanah (pemopokan, nampingan, dan meratakan tanah). Dalam satu hari pekerjaan usahatani dapat dilakukan selama kurang lebih 8 jam atau 4 jam, sehingga upah disesuaikan dengan jam pekerjaan. Jumlah pekerja harian setiap petani akan berbeda jumlah karena setiap petani mempunyai luas lahan yang berbeda dan saat ini jumlah pekerja harian sudah berkurang.

Komponen input tenaga kerja luar keluarga merupakan salah satu komponen yang memiliki proporsi terbesar dalam biaya tunai baik untuk petani program SLPTT dan petani non SLPTT. Total biaya tenaga kerja luar keluarga petani program SLPTT lebih besar dibandingkan dengan petani non SLPTT, yakni masing-masing sebesar Rp 1 046 376.26 dan Rp 754 476.93 per hektar.

g. Biaya tanam

Biaya tanam merupakan biaya untuk melakukan kegiatan penanaman padi yang harus dikeluarkan oleh petani kepada pekerja borongan. Pekerja borongan tanam di Desa Kalibuaya dinamakan dengan pekerja odong-odong yang merupakan para petandur pria maupun wanita tergabung dalam kelompok kerja tanam padi yang dipimpin seorang ketua. Semua petani di Desa Kalibuaya baik petani program SLPTT maupun petani non SLPTT membutuhkan pekerja borongan untuk menanam padi. Hal ini karena kegiatan penanaman membutuhkan banyak pekerja, membutuhkan keahlian, dan lamanya waktu kegiatan. Menurut petani penanaman

dengan pekerja borongan akan lebih mudah ditemukan dan lebih murah dibandingkan dengan pekerja harian. Selain itu, petani tidak perlu banyak ikut membantu pekerjaan karena hanya berperan untuk mengawasi kegiatan.

Upah pekerja borongan tanam tidak sama karena disesuaikan dengan jarak tanam padi yang dikerjakan. Umumnya untuk jarak tanam padi yang sudah lama diterapkan oleh petani seperti legowo 8, legowo 10, dan tegel pekerja borongan diberikan upah sebesar Rp 800 000 per hektar. Jarak tanam yang membutuhkan keahlian, alat caplak baru, dan waktu lama seperti legowo 2:1 dan legowo 4:1 pekerja borongan diberikan upah sebesar Rp 900 000 per hektar. Upah tersebut sudah termasuk dengan keperluan lain dari pekerja, seperti makan dan minum. Jumlah pekerja borongan tanam umumnya berjumlah 10-15 pekerja per hektar yang terdiri dari pria dan wanita. Para pekerja borongan tanam berusaha untuk bisa menyelesaikan pekerjaan menanam selama satu hari agar penanaman dilakukan serentak, sehingga jumlah pekerja akan menyesuaikan dengan luas lahan petani.

Total biaya tanam yang harus dikeluarkan oleh petani program SLPTT lebih besar dibandingkan petani non SLPTT, yakni masing-masing sebesar Rp 843 333.33 dan Rp 818 333.33 per hektar. Hal ini karena lebih banyak petani program SLPTT yang menggunakan jarak tanam legowo 2 dan legowo 4 dibandingkan dengan petani non SLPTT.

h. Biaya pengolahan tanah

Biaya pengolahan tanah merupakan biaya untuk kegiatan pemopokan, nampingan, dan meratakan tanah yang harus dikeluarkan oleh petani kepada pekerja borongan. Petani program SLPTT dan non SLPTT yang memiliki lahan luas umumnya akan menggunakan jasa pekerja borongan dibandingkan dengan pekerja harian. Hal ini karena banyaknya pekerjaan olahan tanah yang harus dikerjakan dan tidak hanya dilakukan selama satu hari. Adanya pekerja borongan untuk pengolahan tanah maka petani tidak harus ikut membantu pekerjaan karena hanya berperan untuk mengawasi kegiatan.

Upah yang diberikan untuk pekerja borongan olahan tanah yakni sebesar Rp 700 000 sampai Rp 800 000per hektar. Umumnya untuk upah sebesar Rp 800 000 yang diberikan kepada pekerja sudah termasuk dengan keperluan lain dari pekerja, seperti makan dan minum, sedangkan Rp 700 000 tidak termasuk dengan keperluan lain pekerja. Jumlah pekerja borongan olahan tanah umumnya 10 pekerja per hektar yang didominasi oleh pria.

Total biaya olahan tanah yang harus dikeluarkan oleh petani program SLPTT lebih besar dibandingkan petani non SLPTT, yakni masing-masing sebesar Rp 606 666.67 dan 630 000.00 per hektar. Hal ini karena lebih banyak petani program SLPTT yang menggunakan jasa pekerja borongan olahan tanah dibandingkan dengan petani non SLPTT.

i. Biaya sewa traktor

Traktor merupakan tenaga kerja mesin untuk membantu mengolah tanah agar mempercepat proses pembusukan sisa tanam melalui proses membalikan tanah. Rata-rata biaya untuk sewa traktor per hektar sebesar Rp 750 000-Rp 900 000 tergantung dengan kualitas traktor dan tingkat kekerasan tanah. Biaya sewa sudah termasuk dengan bahan bakar solar dan upah tenaga kerja yang mengoperasikan traktor. Biaya sewa traktor akan selalu meningkat setiap musim tanam karena pengaru dari kenaikan bahan bakar minyak. Total biaya sewa traktor

antara petani program SLPTT dan petani non SLPTT tidak berbeda jauh, yakni masing-masing sebesar Rp 790 000 dan Rp 796 666.67 per hektar.

j. Biaya mesin perontok

Mesin perontok (power thresher) merupakan tenaga kerja mesin untuk perontokan padi agar gabah dapat terlepas dari ilalang padi yang selanjut akan dikumpulkan dalam karung. Kegiatan perontokan dilakukan setelah petani melakukan pemotongan pada saat panen. Pada umumnya petani SLPTT dan petani non SLPTT harus menunggu untuk dapat menggunakan mesin perontok karena keterbatasan mesin, sehingga harus antri dengan petani lainnya. Hal ini menyebabkan banyak petani tidak merontok padi secara langsung pada saat hari panen dan memilih untuk mengumpulkan padi selama beberapa hari. Rata-rata biaya sewa mesin perontok per ton sebesar Rp 160 000-180 000 tergantung dengan kualitas mesin perontok dan hari perontokan.

Total biaya mesin perontok yang harus dikeluarkan oleh petani program SLPTT lebih besar dibandingkan dengan petani non SLPTT, yakni masing-masing sebesar Rp 1 190 777.55 dan Rp 1 079 688.35. Hal ini karena beberapa petani program SLPTT melakukan perontokan pada saat hari panen meskipun biaya sewa lebih mahal.

k. Pajak lahan

Pajak lahan merupakan biaya kewajiban yang harus dikeluarkan oleh petani program SLPTT dan petani non SLPTT. Pajak lahan yang dibayar setahun sekali akan dikonversikan dalam satu musim per hektar. Rata-rata biaya pajak yang harus dibayar tergantung dengan jumlah petani yang memiliki lahan sendiri atau lahan milik orang lain. Beberapa petani penggarap dengan sistem bagi hasil melakukan pembayaran pajak meskipun pembayaran dibagi dua dengan pemilik lahan.

Total biaya untuk pajak lahan yang harus dikeluarkan petani non SLPTT lebih besar dibandingkan dengan petani program SLPTT, yakni masing-masing sebesar Rp 32 667.67 dan Rp 30 000.00 per musim. Hal ini karena petani program SLPTT yang memiliki lahan sendiri sebanyak 12 orang, sedangkan petani non SLPTT sebanyak 16 orang.

l. Sewa lahan

Pada usahatani petani program SLPTT, terdapat satu orang petani yang melakukan usahatani padi dengan menyewa lahan dari pihak lain. Petani tersebut tidak melakukan sewa lahan dari luasan lahan yang digarapnya karena terdapat luasan lahan miliknya sendiri. Petani program SLPTT yang melakukan sewa lahan membayar secara tunai sebesar Rp 1 827 957 per musim per hektar.

Sementara petani non SLPTT, terdapat satu orang petani yang melakukan usahatani padi dengan menyewa lahan dari pihak lain. Petani tersebut melakukan sewa lahan dari semua luasan lahan yang digarapnya musim ini. Petani non SLPTT yang melakukan sewa lahan membayar secara tunai sebesar Rp 1 200 00 per musim per hektar.

Perbedaan harga sewa lahan diantara petani program SLPTT dan non SLPTT disebabkan oleh beberapa hal seperti perbedaan lokasi petani dan perbedaan pihak penyewa lahan. Pada umumnya penyewa lahan sebagai pemiliki lahan bukan merupakan warga dari Desa Kalibuaya, tetapi warga kota Karawang atau Jakarta. m.Karung

Karung merupakan salah satu kebutuhan bagi petani program SLPTT dan non SLPTT untuk melakukan kegiatan usahatani. Kegunaan karung yaitu untuk

menyimpan hasil gabah yang sudah di potong dan gabah yang akan dijual kepada pembeli. Karung umumnya digunakan untuk sekali musim panen dan tidak diganti sehingga termasuk dalam komponen biaya tunai. Sumber pembelian karung petani di Desa Kalibuaya adalah warung di Desa Kalibuaya dan pasar Telagasari, untuk harga karung pada musim ini sebesar Rp 2000-Rp 2 500/satuan. Alasan beberapa petani program SLPTT dan non SLPTT untuk tidak membeli karung karena ada beberapa pekerja ceblok yang telah menyediakan karung atau menggunakan karung dari hasil pemakaian pupuk. Total biaya untuk pembelian karung oleh petani program SLPTT dan non SLPTT masing-masing sebesar Rp 29 017.17 dan Rp 44 227.05

n. Biaya Bagi Hasil

Biaya bagi hasil untuk petani program SLPTT dan non SLPTT termasuk dalam komponen biaya tunai. Petani program SLPTT dengan status kepemilikan lahan bagi hasil terdiri dari 15 orang, sedangkan petani non SLPTT 13 orang. Pembagian hasil panen berupa gabah kering panen kepada pemilik lahan sesuai dengan kesepakatan yaitu dibagi dua dari jumlah gabah yang dihasilkan. Dari seluruh responden petani program SLPTT dan non SLPTT, biaya yang harus dikeluarkan dalam melakukan usahatani ditanggung sendiri oleh petani sakap, kecuali pajak lahan.

Total biaya untuk bagi hasil petani program SLPTT lebih besar dibandingkan dengan petani non SLPTT, yakni masing-masing sebesar Rp 5 315 366.16 dan Rp 5 068 379.64. Perbedaan total biaya disebabkan petani sakap program SLPTT lebih banyak dibandingkan dengan petani sakap non SLPTT. Tabel 22. Biaya tunai usahatani padi program SLPTT dan non SLPTT di Desa

Kalibuaya tahun 2014. Komponen

Biaya Tunai

Petani SLPTT Petani Non SLPTT

Jumlah Harga/ satuan Total biaya (Rp) Jumlah Harga/ satuan Total biaya (Rp) Benih 22.38 9 420.00 210 810.56 15.35 11 283.33 173 243.38 Pupuk Anorganik Urea 201.82 2 580.00 520 690.91 251.11 2 590.00 650 386.95 TSP 116.26 2 233.33 259 693.20 121.19 2 180.00 264 433.20 NPK 96.44 2 333.33 225 019.36 87.82 2 373.33 208 433.20 Pupuk Organik 700.10 518.33 362 885.69 364.75 506.67 184 808.83 Obat Cair 340 913.94 520 285.92 Obat Padat 296 525.19 159 332.28 TKLK 1 046 376.26 754 476.93 Biaya Tanam 843 333.33 818 333.33 Biaya Olahan Tanah 606 666.67 630 000.00 Sewa Traktor 790 000.00 796 666.67 Sewa Perontok 1 190 777.55 1 079 688.35 Pajak Lahan 30 000.00 32 666.67 Sewa Lahan 60 931.90 80 000.00 Karung 29 017.17 44 227.05

Bagi Hasil 5 315 366.16 5 068 379.64

Total Biaya Tunai

12 128 976.88 11 465 122.60

Berdasarkan Tabel 22 dapat dilihat bahwa total biaya tunai usahatani padi petani program SLPTT sebesar Rp 12 128 976.88, sedangkan untuk petani non SLPTT sebesar Rp 11 465 122.60. Total biaya tunai usahatani padi petani SLPTT lebih besar dibandingkan dengan petani non SLPTT dengan selisih sebesar Rp 944 111.11. Hal ini terjadi karena petani program SLPTT terdapat beberapa komponen biaya tunai yang lebih besar dibandingkan dengan petani non SLPTT, seperti pembelian benih, pupuk organik, pestisida padat, tenaga kerja luar keluarga, biaya tanam, sewa perontok, serta bagi hasil.

Petani program SLPTT seharusnya dengan melakukan anjuran komponen teknologi dapat menghemat biaya, namun yang terjadi justru petani harus mengeluarkan biaya lebih besar. Misalnya komponen pembelian benih antara petani program SLPTT dan petani non SLPTT memiliki selisih sebesar Rp 37 567.18 karena jumlah benih yang digunakan petani program SLPTT lebih banyak meskipun harga benih murah. Harga benih lebih murah terjadi karena terdapat beberapa petani program SLPTT yang mendapatkan benih subsidi dari pemerintah.

Dokumen terkait