• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Penerapan Program Slptt Terhadap Pendapatan Usahatani Padi Di Kecamatan Telagasari Kabupaten Karawang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak Penerapan Program Slptt Terhadap Pendapatan Usahatani Padi Di Kecamatan Telagasari Kabupaten Karawang"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK PENERAPAN PROGRAM SLPTT TERHADAP PENDAPATAN USAHATANI PADI DI KECAMATAN TELAGASARI

KABUPATEN KARAWANG

FAJAR FIRMANA H34110035

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Berjudul Dampak Penerapan Program SLPTT Terhadap Pendapatan Usahatani Padi Di Kecamatan Telagasari Kabupaten Karawang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing saya dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2015

Fajar Firmana H34110035

(4)

ABSTRAK

FAJAR FIRMANA. Dampak Penerapan Program SLPTT Terhadap Pendapatan Usahatani Padi Di Kecamatan Telagasari Kabupaten Karawang. Dibimbing oleh RITA NURMALINA.

Selama lima tahun terakhir, tingkat konsumsi beras penduduk Indonesia masih tergolong tinggi yaitu rata-rata 136.268 kg per kapita per tahun. Meskipun saat ini produksi beras di Indonesia mengalami peningkatan, akan tetapi sampai saat ini pemerintah masih melakukan impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Salah satu upaya pemerintah untuk mengatasi masalah ini yaitu dengan menerapkan program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT). Penelitian dilakukan dengan observasi langsung dan wawancara kepada petani sebagai responden di Desa Kalibuaya melalui metode purposive sampling. Terdapat beberapa perbedaan penggunaan komponen teknologi antara petani program SLPTT dan non SLPTT ketika melakukan kegiatan usahatani padi. Namun, di Desa Kalibuaya perlu ditingkatkan beberapa komponen teknologi pilihan dan dasar yang dianjurkan pada program SLPTT. Produktivitas dan pendapatan atas biaya total dari usahatani padi program SLPTT adalah 6.91 ton per hektar dan Rp 12 197 679.92, angka ini lebih tinggi daripada non program SLPTT yaitu 6.20 ton per hektar dan Rp 10 569 281.60. Usahatani padi program SLPTT lebih efisien dibandingkan dengan non program SLPTT dengan rasio R/C atas biaya total masing-masing sebesar 1.88 and 1.79.

Kata kunci: Beras, Pendapatan Usahatani Padi, R/C dan SLPTT.

ABSTRACT

FAJAR FIRMANA. The Impact of The Program SLPTT on the Paddy Farm Business Income in Telagasari Subdistrict, Karawang Regency. Supervised by RITA NURMALINA

Over the past five years, rice consumption level of Indonesian population is still relatively high, at an average of 136.268 kg per capita per year. Although rice production in Indonesia has increased, government still imports to meet domestic demand. One of government's efforts to solve the problem is by implementing the Field School of Integrated Crop Management (SLPTT). The purposes of this research are to describe the activity of technology on rice farming, to evaluate the implementation of SLPTT and non-SLPTT program, and to analyze the income of rice farm business from SLPTT and non-SLPTT program in Kalibuaya Village. The study was conducted with direct observation and interview to the rice farmers in Kalibuaya Village as respondents selected by purposive sampling method. There are some differences in the use of technology components between SLPTT and non-SLPTT program farmers when they do rice farming activities. However, in Kalibuaya village should be increased several primary and selection technology components SLPTT program. Productivity and income over total cost of rice farm business from SLPTT program are 6.91 tons per hectare and Rp. 12 197 679.92, higher than non-SLPTT program, 6.20 tons per hectare and Rp 10 569 281.60. Rice farm business of SLPTT program is more efficient than non-SLPTT program with ratios of R/C on total cost are 1.88 and 1.79, respectively.

(5)

DAMPAK PENERAPAN PROGRAM SLPTT TERHADAP PENDAPATAN USAHATANI PADI DI KECAMATAN TELAGASARI

KABUPATEN KARAWANG

FAJAR FIRMANA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)
(7)

PRAKATA

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2015 sampai Februari 2015 ini ialah Dampak Penerapan Program SLPTT Terhadap Pendapatan Usahatani Padi Di Kecamatan Telagasari Kabupaten Karawang.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Handoko selaku kepala UPTD Kecamatan Telagasari, serta para penyuluh BP3K Kecamatan Telagasari yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2015

(8)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN xi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

Ruang Lingkup Penelitian 6

TINJAUAN PUSTAKA 6

Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (SLPTT) 6 Biaya dan Penerimaan Usahatani Padi Program SLPTT dan Non SLPTT 8

Efisiensi Usahatani Padi Program SLPTT dan Non SLPTT 9

KERANGKA PEMIKIRAN 10

Kerangka Pemikiran Teoritis 10

Kerangka Pemikiran Operasional 12

METODE PENELITIAN 15

Lokasi dan Waktu Penelitian 15

Jenis dan Sumber Data 15

Metode Penentuan Responden 15

Metode Pengolahan dan Analisis Data 16

Biaya Usahatani 16

Penerimaan Usahatani 16

Pendapatan Usahatani 17

Efisiensi Usahatani 17

Uji Normalitas Data 18

Uji Mann-Whitney 19

Uji Beda T-Test 19

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 20

Gambaran umum Desa Kalibuaya 20

Karakteristik Petani Responden 22

Usia Petani 22

Tingkat Pendidikan 23

Pengalaman Berusahatani Padi 23

Luas Lahan Garapan 24

Status Kepemilikan Lahan 25

KERAGAAN USAHATANI PADI 25

(9)

Permasalahan Keragaan Usahatani Padi Petani Program SLPTT dan Non SLPTT

34

EVALUASI PENERAPAN KOMPONEN TEKNOLOGI PETANI PROGRAM SLPTT DAN NON SLPTT DI DESA KALIBUAYA

35

Mekanisme Pelaksanaan Program SLPTT Padi di Desa Kalibuaya 35 Penerapan Komponen Teknologi Program SLPTT di Desa Kalibuaya 36

Hasil Penerapan Program SLPTT di Desa Kalibuaya 48

ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI PROGRAM SLPTT DAN NON PROGRAM SLPTT DI DESA KALIBUAYA

48

Analisis Biaya Usahatani Petani Progam SLPTT dan Non SLPTT 48 Analisis Biaya yang Diperhitungkan Petani Program SLPTT dan Non SLPTT 56 Penerimaan Usahatani Petani Progam SLPTT dan Non SLPTT 58 Pendapatan Usahatani Petani Program SLPTT dan Non SLPTT 59 Analisis R/C Rasio Petani Program SLPTT dan Petani Non SLPTT 60

Uji Normalitas Data 61

1. Produktivitas padi di Indonesia 2009-2013 2

2. Luas tanam, produksi, produktivitas komoditas Padi Kabupaten Karawang tahun 2009-2013

4 3. Komponen perhitungan pendapatan usahatani dan nilai R/C rasio Desa

Kalibuaya, Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang tahun 2014

18 4. Sebaran penduduk Desa Kalibuaya berdasarkan mata pencaharian 21 5. Sebaran petani responden berdasarkan kelompok usia pada usahatani padi di

Desa Kalibuaya tahun 2014

22 6. Sebaran petani responden berdasarkan pendidikan terakhir pada usahatani padi

di Desa Kalibuaya tahun 2014

23 7. Sebaran petani responden berdasarkan pengalaman berusahatani padi di Desa

Kalibuaya tahun 2014

24 8. Sebaran petani responden berdasarkan luas lahan pada usahatani padi di Desa

Kalibuaya tahun 2014

24 9. Sebaran petani responden berdasarkan status kepemilikan lahan garapan pada

usahatani padi di Desa Kalibuaya tahun 2014

(10)

10.Sebaran petani berdasarkan penggunaan benih Varietas Unggul Baru padi program SLPTT dan non SLPTT di Desa Kalibuaya tahun 2014

37 11.Sebaran petani berdasarkan penggunaan benih berlabel biru padi program

SLPTT dan non SLPTT di Desa Kalibuaya tahun 2014

38 12.Sebaran petani berdasarkan penggunaan pupuk dan jerami padi program SLPTT

dan non SLPTT di Desa Kalibuaya tahun 2014

39 13.Sebaran petani berdasarkan penggunaan pupuk padi program SLPTT dan non

SLPTT di Desa Kalibuaya tahun 2014

40 14.Sebaran petani berdasarkan penggunaan pestisida organik padi program SLPTT

dan non SLPTT di Desa Kalibuaya tahun 2014

41 15.Sebaran petani berdasarkan frekuensi penyemprotan pestisida padi program

SLPTT dan non SLPTT di Desa Kalibuaya tahun 2014.

42 16.Sebaran petani berdasarkan penggunaan bibit muda padi program SLPTT dan

non SLPTT di Desa Kalibuaya tahun 2014

43 17.Sebaran petani berdasarkan jumlah bibit yang ditanam per lubang padi program

SLPTT dan non SLPTT di Desa Kalibuaya tahun 2014

44 18.Sebaran petani berdasarkan aturan tanam petani padi program SLPTT dan non

SLPTT di Desa Kalibuaya tahun 2014

44 19.Sebaran petani berdasarkan penggunaan alat gasrok untuk melakukan

penyiangan padi program SLPTT dan non SLPTT di Desa Kalibuaya tahun 2014 46 20.Sebaran petani berdasarkan waktu panen padi program SLPTT dan non SLPTT

di Desa Kalibuaya tahun 2014

47 21.Sebaran petani berdasarkan perontokan gabah padi program SLPTT dan non

SLPTT tahun 2014

47 22.Biaya tunai usahatani padi program SLPTT dan non SLPTT di Desa Kalibuaya

tahun 2014

55 23.Biaya yang diperhitungkan petani program SLPTT di Desa Kalibuaya, 2014 57 24.Biaya yang diperhitungkan petani non SLPTT di Desa Kalibuaya, 2014 57 25.Penerimaan usahatani padi petani program SLPTT dan non SLPTT di Desa

Kalibuaya tahun 2014

59 26.Penerimaan, Biaya, Pendapatan, serta R/C Rasio Usahatani Petani Program

SLPTT dan Non SLPTT per hektar per musim di Desa Kalibuaya, 2014

60 27.Hasil Uji Kenormalan Data Petani Program SLPTT dan Non SLPTT Per Hektar

pada Musim Kering II dengan Uji Shapiro-Wilk

61 28.Hasil uji perbedaan pendapatan dan R/C usahatani petani program SLPTT dan

non SLPTT per hektar pada musim kering II 2014 dengan uji Mann-Whitney

62 29.Hasil uji perbedaan produksi padi petani program SLPTT dan non SLPTT per

hektar pada musim kering II 2014 dengan uji T-test

63

DAFTAR GAMBAR

1. Kerangka pemikiran operasional 14

2. Pemberian pupuk organik 26

(11)

4. Hamparan lahan semai benih 28

5. Kegiatan penanaman (jajar legowo 2:1) 29

6. Kegiatan penyiangan (alat gasrok) 30

7. Kegiatan penyemprotan di lahan sawah 32

8. Kegiatan panen di lahan sawah 33

DAFTAR LAMPIRAN

1. Tabel pendapatan usahatani petani program SLPTT di Desa Kalibuaya musim tanam gadu II (Agustus 2014 –November 2014)

67 2. Tabel pendapatan usahatani petani non SLPTT di Desa Kalibuaya musim

tanam gadu II (Agustus 2014 –November 2014)

68

3. Volume berat bersih impor ekspor beras Indonesia tahun 2008-2012

4. Hasil uji normalitas data pendapatan atas biaya tunai per hektar petani SLPTT dan non SLPTT musim kering II tahun 2014

69

5. Hasil uji normalitas data pendapatan atas biaya total per hektar petani SLPTT dan non SLPTT musim kering II tahun 2014

69

6. Hasil uji normalitas data produksi padi per hektar petani SLPTT dan non SLPTT musim kering II tahun 2014

69

7. Hasil uji normalitas data R/C atas biaya tunai per hektar petani SLPTT dan non SLPTT musim kering II tahun 2014

70

8. Hasil uji normalitas data R/C atas biaya total per hektar petani SLPTT dan non SLPTT musim kering II tahun 2014

70

9. Hasil uji Mann-Whitney data pendapatan atas biaya tunai per hektar petani SLPTT dan non SLPTT musim kering II tahun 2014

70

10.Hasil uji Mann-Whitney data pendapatan atas biaya total per hektar petani SLPTT dan non SLPTT musim kering II tahun 2014

71

11.Hasil uji Mann-Whitney data R/C atas biaya tunai per hektar petani SLPTT dan non SLPTT musim kering II tahun 2014

71

12.Hasil uji Mann-Whitney data R/C atas biaya total per hektar petani SLPTT dan non SLPTT musim kering II tahun 2014

72

13.Hasil uji t-test data produksi padi per hektar petani SLPTT dan non SLPTT musim kering II tahun 2014

(12)
(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang besar. Pada tahun 2005-2010 laju pertumbuhan penduduk Indonesia sebesar 1.3 persen (BPS, 2014). Hal ini menjadi perhatian utama bagi pemerintah karena dengan jumlah penduduk yang besar, maka akan mempengaruhi ketersedian terhadap bahan pangan. Selain itu, dengan laju pertumbuhan yang tinggi maka pemerintah wajib memenuhi kebutuhan bahan pangan yang cukup, bergizi, dan aman sebagai kebutuhan dasar manusia dalam kelangsungan hidup. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang pangan1, menjelaskan bahwa pangan

merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Salah satu bahan pangan utama Indonesia adalah beras yang merupakan bahan pangan pokok bagi hampir seluruh penduduk Indonesia.

Penduduk Indonesia memiliki tingkat konsumsi yang tinggi terhadap bahan pangan beras. Selama lima tahun terakhir rata-rata tingkat konsumsi beras penduduk Indonesia sebesar 136.268 kg per kapita per tahun (BPS, 2014). Sebagai bahan pangan pokok, beras masih menjadi pilihan dibandingkan dengan bahan pangan lain seperti jagung, ubi, sagu dan bahan lainnya. Hal ini disebabkan beras memiliki kandungan nutrisi yang cukup, mudah disimpan dan disajikan, enak rasanya dan sudah menjadi budaya konsumsi sejak lama bagi seluruh penduduk Indonesia. Tingkat konsumsi beras Indonesia pada tahun 2013 termasuk tinggi yakni mencapai 139.15 kg per kapita per tahun. Hal ini berbeda apabila dibandingkan dengan tingkat rata-rata konsumsi beras dunia yang hanya 60 kg per kapita per tahun 2.

Berdasarkan amanah UU Pangan 18/2012, pemerintah dituntut untuk bisa meningkatkan produksi padi nasional guna memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Peningkatan produksi beras dapat dilakukan melalui upaya peningkatan produktivitas. Produktivitas padi di Indonesia cukup tinggi dibandingkan dari negara lain yang ada di Asia. Akan tetapi, hal itu tidak cukup untuk bisa memenuhi kebutuhan beras nasional yang selalu mengalami peningkatan. Diperlukan terobosan baru diantaranya melalui dukungan inovasi teknologi dan strategi untuk bisa meningkatkan produksi dan dapat berpengaruh terhadap pendapatan bagi petani. Berikut Tabel 1 adalah data mengenai produktivitas padi di Indonesia dalam bentuk gabah kering giling pada tahun 2008 – 2012.

Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa produktivitas padi yang ada di Indonesia cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan laju 0.76

1 BKPD Jabar. 2012. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan [Internet].

[Diunduh 2 April 2015]. Tersedia pada http://bkpd.jabarprov.go.id/file/2014/02/UU-PANGAN-NO-18-TAHUN-2012.pdf.

2 Rosalina. 2013. Konsumsi Beras Ditargetkan Turun 1.5 Persen. [Internet]. [Diunduh 17

(14)

persen per tahun, begitu juga dengan luas areal panen dan produksi gabah kering giling (GKG) yang mengalami peningkatan masing-masing dengan laju pertumbuhan 1.80 persen dan 2.57 persen per tahun. Selain itu, terjadi penurunan luas panen dan produktivitas pada tahun 2011 yang berdampak terhadap penurunan produksi. Berdasarkan Direktorat Pangan dan Pertanian (2013), penurunan produksi padi hanya terjadi di beberapa wilayah Pulau Jawa tidak untuk di luar Pulau Jawa. Penurunan luas panen padi terjadi karena mengalami kekurangan air pada musim kemarau yang relatif panjang sehingga menyebabkan lahan tidak bisa ditanami atau mundur tanam. Kekurangan air pada fase tertentu dapat menyebabkan jumlah anakan padi menjadi berkurang dan pembentukan bulir gabah kurang optimal3.

Tabel 1. Produktivitas padi di Indonesia 2009-2013.

Tahun Luas panen

Sumber: Direktorat Pangan dan Pertanian, tahun 2013, diolah

Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa produksi padi di Indonesia setiap tahun cenderung mengalami peningkatan. Akan tetapi sampai saat ini, untuk bisa memenuhi kebutuhan beras dalam negeri pemerintah tetap melakukan kebijakan impor. Semakin besar impor, disatu sisi bermanfaat untuk jangka waktu pendek karena dapat menyediakan kebutuhan rakyat suatu negara akan produk tersebut, namun dalam jangka waktu panjang dapat mematikan produk sejenis yang diproduksi dalam negeri. Hal penting yang harus diperhatikan apabila kebijakan impor terus dilakukan adalah dapat menguras devisa negara pengimpor. Oleh karena itu, kebijakan impor yang dilakukan pemerintah saat ini harus dilakukan secara sehat dengan tujuan mencukupi kekurangan produk dalam negeri, akan tetapi tetap memperhatikan kedaulatan pangan nasional.

Volume impor beras negara Indonesia setiap tahun tinggi sehingga dapat dikatakan sebagai negara net importir. Selama tahun 2008-2012, volume ekspor beras berfluktuasi dengan kecenderungan mengalami penurunan. Secara statistik terjadi penurunan volume ekspor rata-rata 18.87 persen per tahun. Sebaliknya, volume impor cenderung mengalami peningkatan, terutama pada tahun 2011 yakni mencapai sekitar 2.7 juta ton. Walaupun volume impor pada tahun 2012 terjadi penurunan, tetapi volume impor masih tinggi yakni sebesar 1.93 juta. Secara statistik, volume impor meningkat sangat cepat dengan rata-rata 61.85 persen per

3Suhari,Iswadi. 2011. Produksi Padi Tahun 2011 Diperkirakan Turun 1.63 Persen.

[Internet]. [Diunduh 17 Februari 2015]. Tersedia pada:

(15)

tahun selama tahun 2008-2012. Rincian mengenai seberapa besar volume berat bersih impor dan ekspor beras Indonesia tahun 2008-2012 terdapat pada Lampiran 3.

Pemerintah telah melakukan berbagai upaya dengan banyak mengeluarkan dana untuk investasi pada sektor pertanian, agar kebutuhan pangan dapat terpenuhi sesuai dengan perkembangan penduduk. Sudah banyak program pertanian seperti bantuan maupun subsidi benih, pupuk, jalan pertanian, dan alat dan mesin pertanian (alsintan) untuk kelancaran usahatani padi. Namun, menurut Herman Supriadi et al. (2012) sejauh ini masih sedikit upaya yang diberikan untuk memperhatikan pendidikan petani, seperti kegiatan belajar secara terstruktur, peningkatan pemahaman petani, inovasi, adopsi, serta pengambilan keputusan. Petani Indonesia ada saat ini umumnya masih kurang mampu dalam menganalisis situasi dan membuat inovasi baru. Hal ini membuat pemerintah berinisiatif melakukan upaya dan solusi alternatif salah satunya adalah memberikan program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT).

Program SLPTT pada tahun 1989 berasal dari gagasan mengenai strategi Pengendalian Hama Terpadu (PHT), selanjutnya berkembang menjadi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) yang mengintegrasikan beberapa hal yaitu potensi biofisik, sosial ekonomi dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani yang ada pada beberapa wilayah berpotensi di Indonesia. Program SLPTT menerapkan berbagai komponen teknologi usahatani melalui penggunaan input produksi yang efisien menurut spesifik lokasi, sehingga mampu menghasilkan produktivitas tinggi untuk menunjang peningkatan produksi yang berkelanjutan (Badan Litbang Pertanian, 2007).

Penerapan program SLPTT memerlukan dukungan dari berbagai instasi terkait, yakni pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan sampai dengan tingkat desa. Selain itu, diharapkan juga adanya dukungan dari pihak lain, seperti BUMN, swasta, serta lembaga swadaya masyarakat. Pelaksanaan program ini merupakan pedoman yang diterbitkan oleh pihak Direktorat Jenderal Tanaman Pangan mengenai langkah-langkah operasional pelaksanaan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) sebagai acuan bagi para pelaksana yang di provinsi, kabupaten/kota, serta instansi lain. Selanjutnya pihak-pihak tersebut dapat melakukan perincian secara teknis dengan menyesuaikan keadaan di setiap daerahnya masing-masing untuk ditentukan lokasi yang spesifik.

Kegiatan program SLPTT akan berjalan dengan lancar dan berhasil apabila adanya gerakan kerjasama, terkoordinasi, terpantau mulai dari pusat sampai dengan lapangan, pengembangan serta pemantapan. Namun akan menjadi masalah apabila pada faktanya program ini tidak bisa menjadi solusi alternatif untuk meningkatkan produktivitas padi dan tidak dapat mensejahterakan petani.

(16)

Perumusan Masalah

Jawa Barat merupakan salah satu sentra penghasil padi terbesar di Indonesia, sehingga memiliki peran penting untuk memenuhi kebutuhan konsumsi beras nasional. Salah satu daerah di Jawa Barat yang merupakan daerah penghasil padi adalah Kabupaten Karawang. Dikatakan sebagai daerah penghasil padi karena pertanian di Kabupaten Karawang memiliki luas tanam, produksi, produktivitas padi termasuk baik dibandingkan beberapa daerah lainnya. Berikut Tabel 2 merupakan data yang menunjukkan luas tanam, produksi, dan produktivitas padi di Kabupeten Karawang pada tahun 2009 – 2013.

Tabel 2. Luas tanam, produksi, produktivitas komoditas Padi Kabupaten Karawang tahun 2009-2013.

Tahun Luas Tanam (Ha) Luas Tanam (Ha) Produktivitas (Ton/Ha)

2009 196 635 1 085 267 5.853

2010 199 703 1 101 899 5.929

2011 198 702 1 126 073 6.017

2012 196 077 1 069 012 5.812

2013 191 324 1 139 206 6.090

Laju (%/th)

-0.68 1.22 1.00

Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat 2014, diolah

Berdasarkan data pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa hasil produksi dan produktivitas padi di Kabupaten Karawang masih bersifat fluktuatif karena sempat terjadinya penurunan produktivitas pada tahun 2012 dari tahun sebelumnya. Selanjutnya pada tahun 2013 produktivitas meningkat kembali meskipun peningkatan yang terjadi tidak begitu besar. Menurut Dinas Pertanian Kabupaten Karawang (2014), Sejak tahun 2009 sampai saat ini pertanian padi di Kabupaten Karawang sudah menerapkan program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT). Apabila pemerintah sebagai pihak pemberi kebijakan mampu menjaga konsistensi kebijakan ke arah pembangunan pertanian, dengan tujuan dan langkah yang jelas untuk mencapai swasmbada beras maka keinginan tersebut perlu dilanjutkan. Upaya peningkatan produksi tanaman padi masih terus menjadi prioritas utama pemerintah setiap tahunnya. Pemerintah telah melakukan berbagai program untuk bisa membantu petani dalam meningkatkan hasil produksi dengan harapan dapat memenuhi kebutuhan nasional.

Namun, pada umumnya sikap petani di Indonesia berbeda-beda terhadap beberapa program yang diberikan oleh pemerintah. Perbedaan sikap petani karena dipengaruhi oleh faktor lingkungan atau alam, masyarakat maupun penyuluh, serta modal. Seharusnya dengan diadakannya program SLPTT khususnya di Kabupaten Karawang selain dapat meningkatkan hasil produksi, tetapi dapat juga meningkatkan hasil pendapatan petani.

(17)

provinsi. Produktivitas padi di Kabupaten Karawang pada tahun 2013 sebesar 6.1 ton/ha, sedangkan jumlah produktivitas padi di Jawa Barat hanya 5.9 ton/ha4. Pada umumnya petani program SLPTT pada kawasan pemantapan tidak mendapatkan bantuan saprodi (pupuk dan benih) dari pemerintah, bantuan tersebut hanya diberikan kepada petani laboratorium lapangan (LL).

Pemilihan program SLPTT di Kabupaten Karawang karena termasuk daerah lumbung padi di Jawa Barat, maka hal ini dapat dijadikan bahan evaluasi apakah program ini sudah berjalan dan diterapkan dengan baik sehingga dapat tercapai tujuan akhir dari Program SLPTT. Salah satu wilayah yang menerapkan program SLPTT di Kabupaten Karawang adalah Desa Kalibuaya, Kecamatan Telagasari. Kecamatan Telagasari merupakan salah satu kecamatan yang memiliki luas lahan sawah terluas di Kabupaten Karawang. Selain itu, penerapan program SLPTT di Kecamatan Telagasari telah dilakukan sejak tahun 2009. Salah satu desa di Kecamatan Telagasari yang memiliki luas lahan terluas dan telah menerapkan program SLPTT adalah Desa Kalibuaya.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan dalam penelitian ini :

1. Bagaimana keragaan teknologi pada usahatani padi yang menerapkan program SLPTT dan non program SLPTT?

2. Bagaimana penerapan komponen teknologi program SLPTT yang dilakukan oleh petani?

3. Bagaimana pendapatan usahatani padi program SLPTT dan non program SLPTT?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah disebutkan sebelumnya, tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mendeskripsikan keragaan teknologi pada usahatani padi yang menerapkan program SLPTT dan non program SLPTT.

2. Mengevaluasi penerapan komponen teknologi program SLPTT dan non program SLPTT terhadap produksi padi.

3. Menganalisis pendapatan usahatani padi program SLPTT dan non program SLPTT.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Bagi pemerintah, sebagai bahan evaluasi mengenai penerapan program SLPTT dan dampaknya terhadap peningkatan produksi beras serta pendapatan petani.

4 Bps Provinsi Jawa Barat. Produksi Padi, Jagung, Dan Kedelai. [Internet]. [diunduh 17

(18)

2. Bagi petani dan kelompok tani yang ada di desa, sebagai rujukan untuk mengetahu bagaimana melakukan usahatani yang menguntungkan.

3. Bagi peneliti lainnya, sebagai rujukan untuk melanjutkan penelitian yang terkait dengan permasalahan beras, program SLPTT, dan pertanian di Kabupaten Karawang.

Ruang Lingkup Penelitian

Komoditas yang menjadi objek penelitian ini adalah komoditas padi. Penelitian ini menggunakan desain penelitian dengan menggunakan metode observasi, wawancara dan diskusi. Responden yang digunakan dalam penelitian ini adalah para petani padi program SLPTT dan non SLPTT di Desa Kalibuaya, Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang. Analisis penelitian ini dilakukan pada satu musim tanam yang sama antara petani program SLPTT dan non SLPTT yakni pada musim kering kedua tahun 2014 (Agustus – November 2014). Alat nalisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif untuk menjelaskan penerapan komponen teknologi SLPTT di Desa Kalibuaya, keragaan usahatani petani padi program SLPTT dan non SLPTT, serta analisis pendapatan usahatani, dan rasio R/C atas biaya.

TINJAUAN PUSTAKA

Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (SLPTT)

Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) padi adalah salah satu program metode alih teknologi yang diberikan kepada petani sebagai kegiatan pembelajaran untuk meningkatkan produksi padi dan swasembada beras di Indonesia. Pada tahun 2008, pemerintah berkomitmen membuat program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN). Bentuk implementasi dari program P2BN yaitu adanya pengenalan teknologi pengelolaan tanaman terpadu (PTT) yang dilakukan dengan pendekatan metode sekolah lapangan (SL). Pada dasarnya, SLPTT adalah tempat pendidikan non formal sebagai sarana bagi petani untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan berusahatani dengan menggali potensi sumber daya yang tersedia dan menerapkan beberapa komponen teknologi baru.

Program SLPTT melibatkan beberapa institusi yang memiliki fungsinya masing-masing dan berada di bawah naungan Kementrian Pertanian, yaitu diantaranya Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Badan Sumberdaya Manusia Pertanian, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, serta Dinas Pertanian Provinsi/Kabupaten/Kota.

(19)

masalah di beberapa wilayah yang menerapkan program tersebut. Peran dari pemerintah diperlukan dalam hal kelancaran akses modal, akses informasi teknologi maupun pasar, ketersediaan maupun distribusi benih dan pupuk secara tepat sesuai kebutuhan petani. Upaya untuk meningkatkan produksi beras nasional melalui program SLPTT diperlukan program aksi yang langsung berdampak nyata seperti adanya intensifikasi padi dengan komponen teknologi, ekstensifikasi padi di daerah luar Pulau Jawa, rekayasa sosial dan peran kelembagaan petani, serta dukungan kebijakan pemerintah yang membantu dan memihak petani. Pemerintah seharusnya tidak hanya membuat program, tetapi dapat menjamin kelancaran akses modal, akses informasi teknologi maupun pasar, ketersediaan dan distribusi komponen input secara tepat sesuai dengan kebutuhan petani.

Pelaksanaan kegiatan program SLPTT harus memperhatikan dan melaksanakan beberapa prinsip yang terkandung dalam PTT (Supriadi et al., 2012), yaitu:

a. Terpadu, adalah suatu pendekatan agar sumber daya tanaman, tanah dan air dapat dikelola dengan sebaik-baiknya secara terpadu.

b. Sinergis, adalah memanfaatkan komponen teknologi pertanian, dengan memperhatikan keterkaitan yang saling mendukung antar komponen teknologi. c. Spesifik lokasi, adalah memperhatikan kesesuaian teknologi dengan lingkungan

fisik maupun sosial budaya dan ekonomi petani setempat.

d. Partisipatif, dimana petani turut berperan serta dalam memilih dan menguji teknologi yang sesuai dengan kondisi setempat dan kemampuan petani melalui proses pembelajaran dalam bentuk laboratorium lapangan.

Supriadi et al. (2012), program SLPTT diperlukan konsepsi kebijakan pendampingan dan pengawalan, persepsi responden terhadap konsepsi dan kebijakan program, implementasi, dampak program, serta reorientasi kebijakan. Permasalahan pelaksanaan program SLPTT dari awal program tahun 2008 sampai 2011 yaitu keterlambatan benih dan kualitas benih, tidak diminati petani karena tidak mampu menerapkan komponen teknologi, akses komponen input yang terbatas, dan kemampuan manajemen petani. Namun, petani menyadari bahwa program SLPTT dinilai akan bermanfaat sehingga perlu disempurnakan dengan adanya koordinasi dan komunikasi antar institusi yang berperan.

Alokasi luas lahan SLPTT terdiri dari beberapa tahap kawasan yaitu kawasan pertumbuhan, pengembangan, dan pemantapan. Kawasan pertumbuhan adalah daerah yang tingkat produktivitasnya masih di bawah rata-rata produktivitas provinsi atau daerah suboptimal, pemanfaatan lahan belum optimal, tingkat kehilangan hasil masih tinggi. Kawasan pengembangan adalah daerah yang tingkat produktivitasnya hampir sama dengan rata-rata produktivitas provinsi, pemanfaatan lahan hampir optimal, tingkat kehilangan hasil sedang, akan tetapi mutu hasil belum optimal.

(20)

namun belum optimal. Hal ini disebabkan karena tingginya harga benih dan pupuk, tingginya serangan hama keong dan tungro, kurangnya tenaga kerja, banyaknya peserta program SLPTT yang tidak menerapkan komponen teknologi, serta menurunnya produksi panen akibat musim hujan.

Program SLPTT padi Kabupaten Karawang saat ini berada pada kawasan pemantapan karena tingkat produktivitasnya di atas rata-rata produktivitas provinsi, mutu hasil belum optimal, efisiensi usaha belum berkembang dan optimalisasi pendapatan melalui produksi subsektor tanaman sudah maksimal. Penelitian yang dilakukan oleh Ariyono (2011), produktivitas padi di Kabupaten Karawang pada tahun 2011 sebesar 7.4 ton/ha per musim tanam. Produktivitas tersebut berada di atas rata-rata produktivitas provinsi Jawa Barat pada tahun 2011 yakni sebesar 6.02 ton/ha.

Berdasarkan penelitian terdahulu dapat disimpulkan bahwa penerapan program SLPTT akan bermanfaat apabila komponen teknologi dilakukan secara optimal. Selain itu, program SLPTT perlu disempurnakan dengan adanya koordinasi dan komunikasi antar institusi yang berperan. Penerapan komponen teknologi SLPTT bagi petani bertujuan untuk meningkatkan produktivitas padi di semua daerah Indonesia.

Biaya dan Penerimaan Usahatani Padi Program SLPTT dan Non SLPTT

Perbedaan komponen teknologi dalam kegiatan usahatani padi program SLPTT berimplikasi terhadap perbedaan biaya yang dikeluarkan dan produksi yang dihasilkan sehingga berpengaruh terhadap penerimaan petani.

Penelitian yang dilakukan oleh Timoniar (2013) menunjukkan bahwa biaya usahatani padi program SLPTT lebih besar dibandingkan dengan non SLPTT karena usahatani padi program SLPTT menggunakan komponen input yang lebih banyak dibandingkan non SLPTT. Komponen biaya tenaga kerja memiliki proporsi terbesar dalam biaya tunai yang dikeluarkan oleh petani SLPTT dan non SLPTT. Selain itu, komponen input lain petani SLPTT yang lebih besar dibandingkan dengan petani non SLPTT adalah penggunaan pupuk organik, pestisida cair, pestisida padat, sewa traktor, serta biaya panen.

Penelitian lain dilakukan oleh Asnawi (2013) menunjukkan bahwa pengunaan biaya produksi usahatani padi petani SLPTT di Kabupaten Pesawaran, Lampung lebih besar dibandingkan dengan petani non SLPTT. Komponen input petani SLPTT yang lebih besar dibandingkan dengan petani non SLPTT adalah total biaya saprodi. Perbedaan yang nyata dalam penggunaan input diatara petani SLPTT dan non SLPTT adalah dosis anjuran pupuk N, P, dan K. Rata-rata penggunaan pupuk pada petani non SLPTT yaitu Urea 206.25 kg/ha, SP-18 137.5 kg/ha, Ponska 106.25 kg/ha, sedangkan pada petani SLPTT yaitu Urea 276.55 kg/ha, SP-18 216.25 kg/ha, Ponska 465.63 kg/ha.

(21)

yakni sebesar Rp 141.2/kg gabah kering panen. Gabah yang dihasilkan oleh petani program SLPTT memiliki kualitas bulir yang baik, yakni lebih berisi dibandingkan usahatani dengan cara yang lama sebelum mengikuti program SLPTT. Namun, karena tidak semua komponen teknologi diterapkan dalam kegiatan usahatani, maka selisih harga yang terjadi tidak terlalu besar.

Penerimaan usahatani petani program SLPTT di Kabupaten Pesawaran, Lampung lebih besar dibandingkan dengan petani non SLPTT terjadi juga pada penelitian Asnawi (2013). Perbedaan benih VUB yang dilakukan oleh petani SLPTT dan petani non SLPTT menyebabkan adanya perbedaan produktivitas karena pemilihan benih petani SLPTT disesuaikan dengan kondisi di lapangan sesuai dengan musim tanam. Selain itu, komponen teknologi yang banyak diterapkan oleh petani program SLPTT adalah pemupukan berimbang dan penerapan sisten tanam jajar legowo 2:1 atau jajar legowo 3:1.

Analisis Efisiensi Usahatani Padi Program SLPTT dan Non SLPTT

Analisis efisiensi usahatani dapat diukur salah satunya dengan mengetahui nilai R/C usahatani yaitu membandingkan antara biaya dan penerimaan dari kegiatan usahatani. Petani padi program SLPTT seharusnya dapat menghasilkan nilai R/C rasio yang tinggi dari penggunaan faktor produksi yang dimiliki. Beberapa penelitian terdahulu mengenai nilai R/C biaya total petani SLPTT dan non SLPTT di beberapa wilayah Indonesia.

Marsudi (2009) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat efisiensi usahatani di Kabupaten Ngawi sebelum dan sesudah penerapan program SLPTT padi terlihat dari perbandingan R/C sebelum SLPTT adalah sebesar 1.56, sedangkan setelah SL-PTT adalah sebesar 1.88. Selisih nilai R/C biaya total sebelum dan sesudah program SLPTT sebesar 0.32. Selisih nilai R/C biaya total yang besar terjadi diantara petani program SLPTT dan non SLPTT pada penelitian Asnawi (2013) di Kabupaten Pesawaran, Lampung yaitu sebesar 0.81. Petani program SLPTT memiliki nilai R/C biaya total sebesar 3.15, sementara petani non SLPTT sebesar 2.34. Selanjutnya selisih nilai R/C biaya total yang tidak begitu besar terjadi diantara petani program SLPTT dan non SLPTT pada penelitian Timoniar (2013) di Kabupaten Cianjur yaitu sebesar 0.21. Petani program SLPTT memiliki nilai R/C biaya total sebesar 1.87, sementara petani non SLPTT sebesar 1.66.

(22)

tepatuntuk mencapai usahatani padi ladang yang lebih produktif dan menguntungkan.

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis

Konsep Usahatani

Definisi ilmu usahatani menurut Hernanto (1996) adalah ilmu yang mempelajari hal ikhwal inter usahatani yang meliputi organisasi, operasi, pembiayaan dan penjualan, perihal usahatani itu sebagai unit atau satuan produksi dalam keseluruhan organisasi. Menurut Shinta (2011), ilmu usahatani adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan orang melakukan pertanian dan permasalahan yang ditinjau secara khusus dari kedudukan pengusahanya sendiri, atau ilmu usahatani yaitu menyelidiki cara-cara seorang petani sebagai pengusaha dalam menyusun, mengatur dan menjalankan perusahaan itu.

Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan usahatani adalah usaha yang dilakukan oleh petani atau produsen untuk menghasilkan pendapatan dengan cara memanfaatkan sumber daya alam, tenaga kerja, dan modal, serta mengorganisasikan beberapa sarana produksi pertanian dan komponen teknologi dalam usaha yang dijalankan terkait dengan usaha bidang pertanian seperti usaha pada tanaman dan usaha hewan ternak.

Produktivitas kegiatan usahatani akan semakin baik apabila petani atau produsen dapat mengalokasian faktor-faktor produksi berdasarkan prinsip efisien teknis dan efisien harga, serta adanya pengelolaan yang tepat. Berikut uraian faktor produksi dalam kegiatan usahatani menurut Shinta (2011) dan Hernato (1996), yaitu:

a. Lahan

Lahan merupakan tempat atau lokasi yang dipilih oleh petani untuk dijadikan kegiatan produksi. Jenis lahan yang harus diperhatikan terkait dengan luas, kesuburan, kemiringan, serta pemilihan lokasi. Kondisi tanah yang harus diperhatikan seperti ketersedian air, udara atau suhu tanah yang dapat meningkatkan kehidupan tanah, unsur tanah dengan unsur hara dalam jumlah yang seimbang dan mencukupi tanpa adanya unsur-unsur toksis. Faktor lain yang harus diperhatikan oleh petani adalah komoditi yang ditanam sesuai dengan kondisi tanah, penerapan teknologi, kesuburan tanah, dan lain sebagainya. Faktor alam yang harus disesuaikan yaitu keadaan iklim. Keadaan iklim menjadi sangat penting untuk diperhatikan karena sebagai faktor penentu pemilihan komoditas dan penerapan teknologi yang akan digunakan oleh petani.

b. Tenaga Kerja

(23)

serta anak. Tenaga kerja dalam keluarga adalah jumlah tenaga kerja yang tersedia pada satu keluarga petani. Tenaga kerja luar keluarga adalah tenaga kerja yang diperoleh dengan cara upahan dari petani atau berupa tolong-menolong. Penggunaan tenaga kerja dalam dan luar keluarga memiliki hubungan dengan skala kegiatan usahatani yang dilakukan. Usahatani skala kecil pada umumnya menggunakan tenaga kerja keluarga,sedangkan usahatani skala besar menggunakan tenaga kerja luar keluarga dan tenaga kerja ahli.

c. Modal

Modal merupakan unsur pokok usahatani yang juga berperan penting untuk kesuksesan kegiatan usahatani. Pengertian modal secara ekonomi adalah barang yang memiliki nilai ekonomi digunakan untuk menghasilkan tambahan kekayaan atau untuk bisa meningkatkan produksi suatu usaha yang dijankan. Modal dalam kegiatan usahatani adalah tanah, bangunan, alat-alat pertanian, tanaman, ternak, saprodi, piutang dari bank dan uang tunai (Shinta, 2011). Sumber modal petani dapat berasal dari milik petani, melakukan pinjaman (kredit, pinjaman pada pihak lain), warisan, modal dari usaha lain, dan kontrak sewa.

d. Manajemen

Untuk mencapai tujuan produksi yang diharapkan diperlukan kemampuan dari petani dalam pengelolaan usahatani seperti kemampuan merencanakan, mengorganisir, mengarahkan, mengkoordinasikan dan mengawasi. Beberapa kemampuan tersebut harus dapat bersinergi dengan baik dari awal hingga akhir kegiatan. Manajemen dalam usahatani terkait dengan peran petani sebagai manajer dan pihak tenaga kerja yang digunakan. Petani yang baik dalam hal manajemen adalah petani yang memiliki kemampuan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman, serta pengambilan keputusan yang baik dalam bidang usaha pertanian.

Konsep Pendapatan Usahatani

Pendapatan usahatani terdiri dari pendapatan tunai usahatani dan pendapatan total usahatani. Pendapatan tunai usahatani adalah hasil selisih antara penerimaan dan pengeluaran usahatani. Pendapatan total usahatani adalah hasil dari pendapatan yang dilakukan oleh petani dari seluruh pengeluaran biaya usahatani. Sehingga pendapatan bersih usahatani diperoleh dari selisih antara penerimaan usahatani dengan biaya total usahatani. Pendapatan bersih usahatani mengukur imbalan yang diperoleh keluarga petani dari penggunaan faktor-faktor produksi.

Tujuan analisis pendapatan usahatani adalah untuk mengetahui tingkat keberhasilan dan ukuran dari keuntungan kegiatan usahatani sehingga dapat digunakan untuk membandingkan keragaan beberapa usahatani, serta ukuran tingkat kesejahteraan petani. Hasil akhir dari nilai pendapatan dikatakan untung apabila selisih antara penerimaan usahatani dan biaya usahatani bernilai positif.Para petani tentunya berharap akan dapat meningkatkan pendapatanya dari hasil kegiatan usahatani, karena pendapatan merupakan hal terpenting bagi petani untuk kebutuhan hidup. Besar pendapatan tidak dapat dikatakan memiliki efisiensi yang baik karena bisa saja pendapatan yang besar diperoleh dari investasi yang jumlahnya besar pula.

(24)

jumlah produksi total dengan harga satuan dari produksi tersebut. Penerimaan usahatani dapat dibedakan menjadi dua, yaitu penerimaan tunai dan penerimaan non tunai. Menurut Soekartawi et al. (1985), penerimaan tunai usahatani adalah nilai yang diterima dari penjualan produk usahatani. Sementara penerimaan non tunai (diperhitungkan) adalah hasil penerimaan petani yang berasal dari kosumsi sendiri atau digunakan untuk bibit. Selanjutnya penerimaan total adalah gabungan jumlah dari penerimaan tunai dan non tunai.

Pengeluaran usahatani adalah nilai dari penggunaan faktor-faktor produksi yang dilakukan oleh petani dalam melakukan kegiatan usahatani. Sementara menurut Soekartawi et al. (1985), pengeluaran usahatani terdiri dari pengeluaran tunai dan pengeluaran total. Pengeluaran tunai adalah jumlah pengeluaran uang yang harus dikeluarkan oleh petani untuk membeli kebutuhan (barang dan jasa) usahatani. Sementara pengeluaran total adalah semua yang habis dikeluarkan oleh petani dalam melakukan kegiatan usahatai termasuk biaya yang diperhitungan, seperti penyusutan alat, sewa lahan, serta tenaga kerja dalam keluarga.

Biaya dalam usahatani dibedakan menjadi dua, yaitu biaya tunai dan biaya non tunai. Biaya tunai adalah biaya yang harus dikeluarkan oleh petani secara tunai, biaya ini terdiri dari beberapa komponen kegiatan usahatani yaitu pembelian benih, pupuk, pestisida, upah tenaga kerja luar keluarga, sewa traktor, iuran, serta pajak dan sewa lahan. Biaya non tunai (diperhitungkan) adalah biaya yang tidak termasuk ke dalam biaya tunai, akan tetapi biaya tersebut diperhitungkan dalam usahatani. Biaya non tunai terdiri dari tenaga kerja dalam keluarga, benih yang didapatkan dari hasil panen sendiri, sewa lahan yang diperhitungkan untuk petani pemilik, dan penyusutan peralatan.

Efisiensi Pendapatan Usahatani

Menurut Hernanto (1996), besar dari hasil pendapatan usahatani yang diperoleh petani belum cukup untuk menggambarkan tingkat efisiensi. Oleh sebab itu, diperlukan ukuran untuk mengetahui tingkat efisiensi penghasilan usahatani. Salah satu ukuran efisiensi pendapatan usahatani adalah dengan menghitung nilai rasio imbangan penerimaan dan biaya (rasio R/C) atau melalukan perbandingan antara penerimaan dan biaya. R/C menunjukkan berapa rupiah penerimaan usahatani yang akan diperoleh petani dari setiap rupiah biaya yang dikeluarkan dalam kegiatan usahatani. Semakin tinggi nilai dari rasio R/C maka semakin tinggi pula penerimaan usahatani yang akan diperoleh untuk setiap rupiah biaya yang telah dikeluarkan dan hal tersebut menunjukkan bahwa kegiatan usahatani menguntungkan bagi petani.

Kerangka Pemikiran Operasional

(25)

SLPTT (Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu) merupakan bentuk implementasi program P2BN. Pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) telah diadopsi oleh Direktorat Jenderal Tanaman Pangan melalui program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu dalam upaya pencapaian sasaran produksi padi, jagung, dan kedelai melalui peningkatan produktivitas tanaman.

Program SLPTT di Kabupaten Karawang sudah diterapkan sejak tahun 2009 sampai dengan saat ini. Program ini sudah cukup lama berjalanan karena SLPTT menjadi program andalan yang dilakukan oleh pemerintah pusat bagi para petani padi. Menurut pihak Dinas Pertanian Karawang, dampak positif program SLPPT adalah penerapan program secara intensifikasi secara menyeluruh sudah berjalan dengan baik di beberapa wilayah Kabupaten Karawang. Tahap dari program SLPTT yang ada di Karawang adalah tahap pengembangan dan pemantapan. Tahap pengembangan diterapkan bagi beberapa wilayah yang baru menerapkan program SLPTT dan tahap pemantapan diterapkan bagi beberapa wilayah yang sudah lama menerapkan program SLPTT. Luas lahan yang digunakan untuk program SLPTT padi seluas 38.000 hektar dan beberapa wilayah yang baru memulai untuk menerapkan program. Jumlah kelompok tani yang sudah menerapkan program SLPTT di Kabupaten Karawang berjumlah 797 tersebar di beberapa wilayah kecamatan.

Kecamatan Telagasari merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Karawang yang telah menerapkan program SLPTT padi. Kecamatan ini terdiri dari 14 desa dengan total luas wilayah 4 368 hektar yang terdiri dari tanah darat 443 hektar dan tanah sawah 3 925 hektar. Beberapa alasan Kecamatan Telagasari berkesempatan untuk menerapkan program SLPTT padi yakni karena secara umum warga Kecamatan Telagasari bekerja sebagai petani padi, sudah terbentuk kelompok tani padi berjumlah 26, serta memiliki total lahan yang luas dan sesuai dengan penerapan program SLPTT yakni berjumlah 1.150 hektar. Terdapat satu desa yang memiliki luas lahan SLPTT lebih luas dibandingkan desa lainnya yakni Desa Kalibuaya. Desa ini memiliki total luas lahan padi 264 hektar dan mempunyai 16 kelompok tani.

(26)

Gambar 1. Kerangka pemikiran operasional penelitian Penerapan Program SLPTT dan Non Program SLPTT Padi di Desa Kalibuaya, Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang.

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Program SLPTT padi diterapkan pada beberapa provinsi sentra produksi padi di Indonesia

Saran Pengembangan Program SLPTT Padi

Beras sebagai bahan pangan utama Indonesia dengan tingkat konsumsi yang tinggi

 Penerapan komponen teknologi program SLPTT

 Analisi keragaan usahatani

 Analisis pendapatan usahatani

 Analisi R/C rasio

Komponen teknologi SLPTT dilakukan oleh petani dengan tujuan produktivitas padi dan pendapatan usahatani

Penerapan program SLPTT padi di Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat sebagai daerah potensi padi

(27)

Penelitian dilaksanakan di Desa Kalibuaya, Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang, Provinisi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian ini secara sengaja (purposive), dengan pertimbangan bahwa Desa Kalibuaya merupakan salah satu desa yang memiliki luas lahan terluas di Kecamatan Telagasari, memiliki sebagian besar masyarkatnya berprofesi sebagai petani padi, dan desa dengan sebagian kelompok tani yang telah menerapkan program SLPTT. Waktu pengumpulan data dimulai dari bulan Januari hingga Februari 2015.

Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder dan data primer. Data sekunder yang diperoleh dari berbagai bahan pustaka yang terkait dengan penelitian, antara lain textbook, hasil penelitian, internet, jurnal dan data dari berbagai lembaga pemerintahan yaitu BPS Indonesia, BPS Jawa Barat, Badan Litbang Pertanian, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Jawa Barat, Dinas Pertanian Kabupaten Karawang, serta BP3K (Balai Penyuluh Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan) Kecamatan Telagasari.

Data primer yang diperoleh melalui hasil wawancara langsung dengan pihak dinas pertanian, kepala UPTD Kecamatan Telagasari, penyuluh BP4K Kecamatan Telagasari, dan petani sebagai responden utama. Data primer yang diperoleh terkait dengan keragaan usahatani, penerapan komponen teknologi program SLPTT, komponen biaya tunai dan non tunai, serta komponen penerimaan tunai dan non tunai. Petani yang diwawancarai adalah petani yang merupakan peserta program SLPTT dan petani non program SLPTT di Desa Kallibuaya. Teknik wawancara yang digunakan adalah melakukan wawancara terstruktur dengan menggunakan kuesioner yang telah disusun dalam penelitian ini.

Metode Penentuan Responden

Responden dalam penelitian ini adalah para petani padi yang tergabung dalam beberapa kelompok tani di Desa Kalibuaya, pemilihan sampel penelitian dilakukan melalui metode purposive sampling. Metode purposive sampling yaitu pemilihan petani yang dijadikan sebagai responden secara sengaja dengan kriteria yang sesuai pada penelitian ini. Responden terdiri dari petani yang menerapkan program SLPTT sebanyak 30 orang dan petani yang tidak menerapkan program SLPTT sebanyak 30 orang, sehingga total responden sebanyak 60 orang.

Metode Pengolahan dan Analisis Data

(28)

serta penerapan komponen teknologi dari peserta program SLPTT dan petani non SLPTT. Analisis kuantitatif dilakukan untuk melakukan perhitungan mengenai analisis biaya usahatani, penerimaan usahatani, pendapatan usahatani, dan R/C yang didapatkan melalui pengolahan data primer. Pengolahan data primer menggunakan bantuan software microsoft excel dan SPSS 17, selanjutnya hasil dari pengolahan data tersebut dapat disajikan dalam bentuk tabel sehingga dapat diinterpretasikan.

Biaya usahatani

Analisis biaya usahatani digunakan untuk mengetahui berapa biaya-biaya yang dikeluarkan oleh petani dalam kegiatan usahatani yang dilakukan petani program SLPTT dan petani non SLPTT. Biaya dalam kegiatan usahatani dapat dibedakan menjadi dua jenis biaya, yakni biaya tunai dan biaya tidak tunai. Biaya usahatani adalah hasil penjumlahan biaya secara keseluruhan yang dikeluarkan dalam kegiatan usahatani baik biaya tunai maupun tidak tunai. Perhitungan biaya usahatani adalah sebagai berikut:

TC = C + NC Keterangan:

TC = Total Biaya C = Total Biaya Tunai NC = Total Biaya Non Tunai

Biaya tunai terdiri dari pembelian benih, pupuk, pestisida, upah tenaga kerja luar keluarga, sewa traktor, iuran desa, pajak, sewa lahan, serta beberapa komponen tenaga kerja. Biaya non tunai terdiri dari tenaga kerja dalam keluarga, benih yang didapatkan dari hasil panen sendiri, sewa lahan yang diperhitungkan untuk petani pemilik, dan penyusutan peralatan. Menurut Suratiyah (2009) perhitungan penyusutan berdasarkan metode garis lurus (straight line method) adalah dengan membagi hasil antara nilai pembelian dengan nilai sisa yang selanjutnya dibagi oleh umur ekonomi dari alat tersebut.

Penerimaan Usahatani

Analisis penerimaan usahatani digunakan untuk mengetahui berapa besarnya penerimaan yang diperoleh oleh petani dalam kegiatan usahatani petani program SLPTT dan petani non program SLPTT. Penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Pernyataan tersebut secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut (Soekartawi, 1995):

TR= Y x Py

Keterangan:

TR = Total Penerimaan (Rupiah)

(29)

Penerimaan dalam kegiatan usahatani terdiri dari dua jenis sumber penerimaan, yakni penerimaan tunai dan penerimaan tidak tunai. Penerimaan tunai adalah penerimaan yang didapatkan dari hasil kegiatan produksi usahatani yang dijual. Penerimaan tidak tunai adalah hasil produksi yang tidak dijual oleh petani, namun hasil tersebut digunakan untuk keperluan lain, seperti untuk konsumsi atau benih. Sehingga penerimaan total usahatani merupakan hasil keseluruhan nilai produksi yang usahatani yang dijual, dikonsumsi keluarga, serta yang dijadikan persediaan.

Pendapatan Usahatani

Pendapatan usahatani adalah balas jasa yang didapatkan oleh petani atas penggunaan faktor produksi, seperti lahan, modal, serta tenaga kerja. Pendapatan usahatani terdiri dari pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total. Pendapatan atas biaya tunai merupakan biaya yang harus dikeluarkan langsung oleh petani. Perhitungan dari pendapatan atas biaya tunai adalah selisih antara total penerimaan dengan biaya tunai. Sementara pendapatan atas biaya total adalah total biaya yang harus dikeluarkan oleh petani termasuk dengan semua input yang dimiliki petani diperhitungkan sebagai biaya. Perhitungan dari pendapatan atas biaya total adalah selisih antara total penerimaan dengan total biaya.

Efisiensi Usahatani

Analisis efisiensi pendapatan usahatani digunakan untuk mengetahui perhitungan efisiensi usahatani berdasarkan pendapatannya. Menurut Hernanto (1991) perhitungan efisiensi pendapatan usahatani salah satunya menggunakan rasio imbangan penerimaan dan biaya (R/C Rasio), yaitu sebagai berikut:

R/C Rasio = Penerimaan (Rp)Biaya (Rp)

Analisis rasio imbangan penerimaan dan biaya digunakan untuk melihat berapa penerimaan yang diperoleh oleh petani dari setiap rupiah yang telah dikeluarkan untuk usahataninya sebagai manfaat. Terdapat beberapa kriteria keputusan yang digunakan untuk melihat hasil dari analisis R/C rasio adalah sebagai berikut:

 R/C rasio > 1 : Usahatani menguntungkan, dikatakan efisien karena setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih besar daripada tambahan biayanya.

 R/C rasio = 1 : Usahatani impas, dikatakan kegiatan usahatani berada pada kondisi impas (keuntungan normal).

 R/C rasio < 1 : Usahatani rugi, dikatakan tidak efisien karena setiap tambahan biaya yang dikeluarkan kan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih kecil.

(30)

atas pendapatan tunai merupakan hasil pengurangan penerimaan tunai dengan biaya tunai. Total biaya adalah penjumlahan dari biaya tunai dan biaya diperhitungkan. Total biaya perlu diperhitungkan karena biaya yang dikeluarkan oleh petani sebenarnya tidak hanya menilai biaya secara tunai, tetapi juga biaya yang diperhitungkan.

Tabel 3. Komponen perhitungan pendapatan usahatani dan nilai R/C rasio Desa Kalibuaya, Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang tahun 2014. A. Penerimaan Tunai Harga x hasil panen yang dijual

B. Penerimaan Diperhitungkan

Harga x hasil panen yang dikonsumsi

C. Total Penerimaan Penerimaan tunai + penerimaan diperhitungkan D. Biaya Tunai Benih, pupuk anorganik dan organik, obat

padat dan cair, komponen tenaga kerja, karung, bagi hasil, pajak lahan, serta sewa lahan.

E. Biaya diperhitungkan Tenaga kerja dalam keluarga (TKDK), penyusutan alat, sewa lahan, benih hasil panen F. Total Biaya Biaya tunai + biaya diperhitungkan

G. Pendapatan atas biaya tunai

Total penerimaan – biaya tunai H. Pendapatan atas biaya total Total penerimaan – total biaya I. Pendapatan tunai Penerimaan tunai – biaya tunai

J. R/C rasio atas biaya tunai Penerimaan tunai : penerimaan diperhitungkan K. R/C rasio atas biaya total Penerimaan tunai : biaya tunai

Uji Normalitas Data

Analisis data yang dilakukan pada penelitian ini terdiri dari uji normalitas data dan uji Mann-Whitney. Analisis uji normalitas data dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk. Uji tersebut salah satu uji normalitas yang digunakan untuk jumlah data ≤ 50, dimana pada penelitian ini data yang digunakan untuk petani program SLPTT dan non SLPTT masing-masing berjumlah 30.

Apabila hasil dari uji normalitas memiliki sebaran data yang normal (p > 0.05), maka langkah selanjutnya dengan menggunakan analisis statistik parametrik (uji T). Apabila hasil dari dari uji normalitas memiliki sebaran data yang tidak menyebar secara normal (p < 0.05), maka langkah selanjutnya dengan menggunakan analisis statistik non-parametrik (Uji Mann-Whitney). Hipotesis uji normalitas adalah sebagai berikut:

H0 : Data berdistribusi secara normal

H1 : Data berdistribusi secara tidak normal

Uji Mann-Whitney

(31)

petani program SLPTT dengan usahatani petani non SLPTT. Pengujian hipotesis pada penelitian ini adalah sebagai berikut (Harimini, 2009):

Dalam bentuk kalimat:

H0 : Tidak terdapat perbedaan antara petani program SLPTT dengan petani non

SLPTT.

H1 : Terdapat perbedaan antara petani program SLPTT dengan petani non SLPTT.

Uji Mann-Whitney dilakukan perhitungan statistik uji dengan melakukan peringkat data pada sampel populasi. Berdasarkan data sampel selanjutnya dilakukan peringkat tanpa membedakan asal sampel yaitu petani program SLPTT dan petani non SLPTT. Setelah sampel diberikan peringkat selanjutnya dilakukan uji hipotesis dengan statistik uji. Analisis dilakukan dengan alat analisis SPSS dan disimpulkan melalui output SPSS. Taraf nyata yang digunakan ialah (α = 5 %). Pada output SPSS dapat dilihat informasi nilai Exact Sig (2-tailed). Apabila nilai Exact Sig (2-tailed) lebih kecil dari nilai α maka dapat disimpulkan tolak H0.

Apabila nilai Exact Sig (2-tailed) lebih besar dari nilai α maka dapat disimpulkan terima H0. Hipotesis statistik diuji melalui statistik uji dengan model sebagai

berikut:

Z= U-

n1 n2

2

√ n1 n2 (n1 + n2+1)

12

Keterangan:

Z : Nilai Z hitung U : Jumlah peringkat

n1 : Jumlah sampel 1 (petani program SLPTT)

n2 : Jumlah sampel 2 (petani non SLPTT)

Uji Beda T-Test

Uji beda t-test digunakan untuk membandingkan beberapa komponen data antara petani program SLPTT dan non SLPTT apakah terdapat perbedaan signifikan secara statistik. Terdapat beberapa asumsi yang harus dipenuhi untuk analisis uji beda t-test yaitu sampel data berdistribusi secara normal, memiliki varians sama, dan datanya bersifat interval atau rasio. Untuk intepretasi uji beda t -test terlebih dahulu ditentukan uji hipotesis, uji hipotesis pada uji beda t-test yaitu sebagai berikut:

H0 : Tidak terdapat perbedaan antara petani program SLPTT dengan petani non

SLPTT.

H1 : Terdapat perbedaan antara petani program SLPTT dengan petani non SLPTT

Analisis dilakukan dengan alat analisis SPSS dan disimpulkan melalui output SPSS. Kriteria uji ini dengan cara membandingkan nilai Sig (2-tailed) dan nilai alfa dengan nilai alfa sebesar 0.05. Apabila hasil menunjukkan bahwa nilai Sig (2-tailed) > alfa, maka H0 diterima. Apabila hasil menunjukkan bahwa Sig (2-tailed) < alfa, maka H0 ditolak. Taraf nyata yang digunakan ialah (α = 5 %).

(32)

t = X1 – X2 σ gab √n11+ n1

2

σ gab=√ n1+1 σn12 + (n2 + 1) σ22

1+n2 -2

Keterangan:

t : Nilai t hitung

X1 : Rata-rata data petani program SLPTT X2 : Rata-rata data petani non SLPTT n1 : Jumlah petani program SLPTT n2 : Jumlah petani non SLPTT

σ12 : Simpangan baku petani program SLPTT σ22 : Simpangan baku petani non SLPTT

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Gambaran Umum Desa Kalibuaya

Penelitian ini dilakukan di Desa Kalibuaya, Kecamatan Telagasari, Kabupaten Karawang yang terdiri dari 3 dusun, 6 Rukun Warga (RW), dan 16 Rukun Tetangga (RT). Secara administratif wilayah penelitian Desa Kalibuaya berbatasan dengan:

a. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Pasirkuning dan Desa Kalijaya. b. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Talagasari dan Desa Talagamulya. c. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Pasirmukti.

d. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Cadaskertajaya.

Berdasarkan agroekologi wilayah penelitian Desa Kalibuaya mempunyai luas wilayah kurang lebih 496 hektar yang terdiri dari lahan sawah 448 hektar dan luas lahan darat 48 hektar, sedangkan untuk sarana jalan terdiri dari jalan berbatu 3 km dan jalan aspal 25 km. Selain padi sawah, komoditi lain yang cukup dominan ditanam oleh petani adalah sayuran terdiri dari mentimun seluas 1.5 hektar, pare seluas 1 hektar, terong seluas 1.5 hektar, kacang panjang seluas 3 ha, serta emes seluas 1 hektar. Terdapat juga beberapa masyarakat yang melakukan usaha peternakan walaupun tidak begitu dominan seperti ternak bebek, ayam, serta sapi.

Desa Kalibuaya berada pada bagian utara Provinsi Jawa Barat dan secara geografis berada pada 107°12’-107°40’ Bujur Timur (BT) dan 5°56’- 6°34’ Lintang Selatan (LS). Ketinggian pada wilayah penelitian Desa Kalibuaya antara 1- 4 m di atas permukanaa laut (dpl), sedangkan pH tanah berkisar 5.8 - 6.2, serta kondisi topografi datar. Frekuensi curah hujan sebesar 1 222 mm/tahun, dengan frekuensi curah hujan rata-rata terbesar terjadi pada bulan Desember hingga April.

(33)

hektar, tegalan 3.4 hektar, kolam 1.6 hektar serta kuburan 1 hektar. Keadaan lahan berdasarkan struktur tanah, tekstur tanah, pH tanah, kedalaman air tanah dan kedalaman solum tanah di wilayah penelitian Desa Kalibuaya adalah sebagai berikut:

a. Jenis tanah : Aluvial Kelabu.

b. Struktur tanah : Gembur. c. Tekstur tanah : Remah. d. Kedalaman air tanah : 8 - 12 m. e. Kedalaman solum tanah : 1 m.

f. pH tnah : 5.8 – 6.2

(sumber: Profil Desa Kalibuaya 2014)

Jumlah penduduk Desa Kalibuaya berjumlah 4 630 jiwa terdiri dari laki-laki berjumlah 2 290 jiwa dan perempuan berjumlah 2 340 jiwa, sedangkan jumlah Kepala Keluarga (KK) 1 304 jiwa di dalamnya termasuk Kepala Keluarga Tani (KKT) berjumlah 231 jiwa.

Tabel 4. Sebaran penduduk Desa Kalibuaya berdasarkan mata pencaharian pada tahun 2014.

No Uraian Jumlah (Orang) Persentase (%)

Bidang Pertanian

1. Petani pemilik 154 4.40

2. Petani pemilik penggarap 245 7.00

3. Petani penggarap 89 2.54

4. Buruh tani 2 772 79.18

Bidang Non Pertanian

1. PNS 13 0.37

2. Pedagang 82 2.34

3. Jasa angkutan 57 1.63

4. Jasa tukang 89 2.54

Total 3 501 100.0

Sumber: Profil Desa Kalibuaya 2014

Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa sebagian besar mata pencaharian penduduk Desa Kalibuaya bergerak pada bidang pertanian. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4, dimana pekerjaan pada bidang pertanian terdiri dari 4.40 persen sebagai petani pemilik, 7.00 persen sebagai petani pemilik penggarap, 2.54 persen sebagai petani penggarap, dan 79.18 persen sebagai buruh tani. Selanjutnya pada bidang non pertanian terdiri dari 0.37 persen sebagai Pegawai Negeri Sipil, 2.34 persen sebagai pedagang, 1.63 persen sebagai jasa angkutan, dan 2.54 persen sebagai jasa tukang.

Karakteristik Petani Responden

Usia Petani

(34)

SLPTT, jumlah persentase terbesar berada pada kelompok usia 35-44 tahun sebesar 40 persen dan persentase terkecil berada pada kelompok usia 65-74 tahun sebesar 10.00 persen. Petani non SLPTT yang termasuk dalam kelompok usia 35-44 tahun dan 45-54 tahun memiliki jumlah persentase yang sama, yaitu masing-masing sebesar 26.67 persen dan persentase terkecil berada pada kelompok usia kurang dari 35 tahun.

Jumlah petani yang termasuk dalam usia produktif lebih banyak terdapat pada petani program SLPTT, yaitu sebanyak 22 dari 30 petani, sedangkan pada petani non SLPTT hanya sebanyak 18 dari 30 petani. Kelompok usia produktif akan lebih baik dalam beberapa hal seperti tenaga yang dihasilkan lebih besar dalam melakukan kegiatan di sawah, serta lebih cepat dalam hal adopsi inovasi yang akan diterima walaupun minim dalam hal pengalaman. Selain itu, usia produktif bagi petani program SLPTT mempunya manfaat untuk bisa menerapkan komponen teknologi yang dianjurkan dan diinformasikan oleh penyuluh.

Rata-rata usia petani SLPTT dan non SLPTT masing-masing sebesar 46.10 dan 50.73 tahun. Rata-rata usia keduanya berada di atas 45 tahun menunjukkan bahwa penduduk sebagai generasi muda yang ada di Desa Kalibuaya tidak banyak untuk menjadi seorang petani. Pada umumnya pekerjaan yang lebih diinginkan diluar bidang pertanian seperti pegawai buruh pabrik, pedagang, serta pekerjaan dibidang transportasi. Bagi sebagian petani yang berada di usia kurang dari 35 tahun adalah petani yang bekerja untuk meneruskan jejak keluarganya, terutama apabila keluarga petani tersebut memiliki lahan sendiri untuk digarap. Karakteristik petani berdasarkan kelompok usia dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Sebaran petani responden berdasarkan kelompok usia pada usahatani padi di Desa Kalibuaya tahun 2014.

Kelompok Usia (Tahun)

Petani SLPTT Petani Non SLPTT

Jumlah

Tingkat pendidikan merupakan jumlah tahun mengikuti pendidikan formal yang ditempuh oleh petani responden. Pendidikan petani SLPTT maupun non SLPTT tergolong dalam kategori rendah karena persentase terbesar masing-masing 46.67 persen dan 40.00 persen berada pada kelompok 5-8 tahun atau hanya tamat tingkat sekolah dasar. Bahkan terdapat beberapa petani yang tidak dapat melanjutkan sekolah hingga tamat sekolah dasar, yaitu sebanyak 10.00 persen bagi petani SLPTT dan 20.00 persen bagi petani non SLPTT.

(35)

petani non SLPTT menyebar pada beberapa tingkatan sekolah yaitu Sekolah Dasar (SD) atau Sekolah Rakyat (SR), Sekolah Menengah Pertama (SMP), serta Sekolah Menengah Atas (SMA). Namun, terdapat perbedaan yakni sebanyak 2 orang (6.67 persen) petani non SLPTT yang telah menempuh pendidikan lebih tinggi hingga Sarjana (S1). Pada umumnya, petani dengan tingkat pendidikan tinggi beralasan untuk bekerja menjadi petani karena meneruskan usahatani keluarganya yang memiliki lahan sendiri.

Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi perilaku dan tingkat adopsi petani dalam mengaplikasikan tekonologi yang telah diberikan. Beberapa hal yang menyebabkan tingkat pendidikan petani rendah karena kurangnya kesadaran untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi, keterbatasan biaya keluarga untuk biaya sekolah, serta keinginan untuk langsung mencari pekerjaan. Selain itu, petani beranggapan bahwa keterampilan dasar bertani yang didapatkan secara turun menurun dari keluarga dapat membekali petani untuk menjadi petani. Berikut ini karakteristik petani berdasarkan tingkat pendidikan terakhir dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Sebaran petani responden berdasarkan pendidikan terakhir pada usahatani padi di Desa Kalibuaya tahun 2014.

Pendidikan Terakhir (Tahun)

Petani SLPTT Petani Non SLPTT

Jumlah

Pengalaman berusahatani merupakan pengetahuan yang dimiliki petani dalam melakukan budidaya padi dalam kurun waktu tertentu. Tingkat pengalaman berusahatani yang sudah cukup lama terdapat pada petani non SLPTT, di mana persentase terbesar 40.00 persen didominasi dengan pengalaman petani lebih dari 20 tahun. Lain halnya dengan petani SLPTT yang memiliki persentase terbesar 80.00 persen didominasi dengan pengalaman petani kurang dari 20 tahun. Rata-rata pengalaman berusahatani pada petani non SLPTT lebih lama yaitu 20.13 tahun, sedangkan petani SLPTT hanya 13.07 tahun.

(36)

Tabel 7. Sebaran petani responden berdasarkan pengalaman berusahatani padi di Desa Kalibuaya tahun 2014.

Pengalaman Usahatani Padi

(Tahun)

Petani SLPTT Petani Non SLPTT

Jumlah

Luas lahan garapan merupakan keseluruhan luas lahan yang dijadikan tempat untuk melakukan kegiatan usahatani padi serta digarap oleh petani, baik lahan milik sendiri, menyewa ataupun bagi hasil. Desa Kalibuaya salah satu desa yang mempunyai luas lahan sawah terluas di Kecamatan Telagasari yaitu seluas 448 ha. Oleh sebab itu, tidak heran apabila banyak petani baik petani program SLPTT dan non SLPTT memiliki luas lahan garapan lebih dari 1 ha.

Pada penelitian ini petani program SLPTT menggarap lahan sawah dengan luas mulai dari 0.5 hektar sampai dengan 5 ha dengan rata-rata luas lahan yang digarap oleh 30 petani sebesar 1.185 ha. Selanjutnya untuk petani non SLPTT luas lahan mulai dari 0.3 ha sampai dengan 3 ha dengan rata-rata luas lahan yang digarap oleh 30 petani sebesar 0.87 ha. Berikut ini karakteristik petani berdasarkan luas lahan garapan padi yang dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Sebaran petani responden berdasarkan luas lahan garapan pada usahatani padi di Desa Kalibuaya tahun 2014.

Luas Lahan Garapan (Hektar)

Petani SLPTT Petani Non SLPTT

Jumlah

Status kepemilikan lahan sawah yang digarap oleh petani program SLPTT dan non SLPTT terdiri dari lima kategori status, yaitu lahan milik sendiri, bagi hasil atau maro, sewa, gadai, serta kontrak. Sebagian besar petani baik program SLPTT maupun non SLPTT memiliki lahan sendiri yaitu masing-masing sebanyak 13 orang (43.33 persen) dan 14 orang (46.67 persen) dari total jumlah sampel masing masing 30 orang.

Gambar

Gambar 1. Kerangka pemikiran operasional penelitian Penerapan Program SLPTT dan
Tabel 4. Sebaran penduduk Desa Kalibuaya berdasarkan mata pencaharian pada
Gambar 3. Kegiatan pembajakan sawah
Gambar 6. Kegiatan penyiangan (alat gasrok)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kemudian krisis global di seluruh dunia yang terjadi pada akhir tahun 2007 mengakibatkan penurunan rata- rata dividen pada tahun 2007 sebesar 5,926 dan pada tahun 2008

Dalam sumber yang sama, dijelaskan bahwa dengan membiasakan siswa mengerjakan soal-soal tipe PISA akan meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa (Aisyah,

Apabila salah seorang pesero meninggal dunia, perseroan tidak harus dibubarkan, tetapi (para) pesero yang masih ada bersama-sama dengan (para) ahli waris dari

Sedangkan untuk manfaat quasi menggunakan teknik-teknik: (1) Value Linking: digunakan untuk mengevaluasi manfaat yang merepresentasikan ripple effect dari peningkatan

Penulis menghaturkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas kasih karunia, anugerah dan bimbingan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini dengan

Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah memberikan segala referensi, mendoakan, serta memberikan semangat dalam menyelesaikan tugas akhir

Rataan perbandingan jenis kelamin jantan terhadap betina (sex ratio) anak puyuh pada tetua yang diberi pakan tersuplementasi mineral Zn dan vitamin E dapat dilihat pada

Dari tiga komponen-indikator IDI yang relevan sebagai pertanggungjawaban penyediaan informasi kepatuhan syariah menurut para akuntan dan manajer bank syariah adalah