• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN

KERAGAAN USAHATANI PAD

Keragaan Usahatani Padi Petani Program SLPTT dan Non SLPTT di Desa Kalibuaya

Keragaan usahatani padi merupakan keseluruhan aspek kegiatan budidaya padi sawah yang dilakukan oleh petani program SLPTT (Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu) maupun non SLPTT di Desa Kalibuaya, Kecamatan Telagasari, mulai dari kegiatan persiapan lahan hingga pada tahap pemasaran. Secara umum teknik budidaya yang dilakukan oleh petani program SLPTT maupun non SLPTT tidak jauh berbeda. Petani non SLPTT pada umumnya menerapkan teknik budidaya sesuai dengan pengalaman usahatani mereka, sedangkan petani program SLPTT menerapkan teknik budidaya sesuai yang didapat dari pendampingan penyuluh BP3K (Balai Penyuluh Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan) Kecamatan Telagasari.

Tahapan kegiatan budidaya padi pada dasarnya adalah persiapan lahan, persiapan benih dan persemaian, penanaman, penyiangan, pemupukan, penyemprotan, serta pemanenan. Walaupun secara umum sama, namun terdapat beberapa perbedaan penggunaan komponen teknologi dari tahapan budidaya antara petani program SLPTT dan non SLPTT di Desa Kalibuaya.

a. Persiapan Lahan

Tahapan persiapan lahan adalah kegiatan mempersiapkan lahan untuk penanaman padi musim tanam berikut pada saat setelah panen musim tanam sebelumnya hingga lahan siap ditanam. Tahapan ini terdiri dari beberapa kegiatan,

yaitu pembersihan lahan, menebarkan jerami, pergantian tanah atau pemopokan, pembajakan sawah dengan menggunakan traktor, nampingan dan meratakan tanah. 1. Pembersihan Lahan merupakan kegiatan untuk memudahkan pekerjaan pada

saat pengolahan lahan dilakukan. Pada kegiatan ini tidak ada perbedaan diantara petani SLPTT dan non SLPTT, dimana kegiatan yang dilakukan adalah membersihkan gulma, rerumputan dan bebatuan yang ada pada lahan. Pada umumnya untuk pembersihan lahan petani padi program SLPTT maupun non SLPPT dibantu oleh pekerja luar keluarga agar lebih mudah dan cepat.

Gambar 2. Pemberian pupuk organik

2. Menebarkan Jerami, setelah lahan sawah bersih maka kegiatan selanjutnya adalah menebarkan jerami yang berasal dari panen musim sebelumnya. Kegiatan ini dilakukan oleh 53.33 persen dari petani program SLPTT, sedangkan untuk petani non SLPTT hanya 46.67 persen. Jerami yang disebar di lahan sawah kemudian didiamkan sampai membusuk. Manfaat dari jerami yang telah dibusukkan akan menjadi pupuk organik sehingga dapat meningkatkan kesuburan tanah. Petani dengan tingkat kesadaran yang rendah akan manfaat jerami untuk kesuburan lahan, maka yang akan dilakukan adalah membakar jerami, digunakan sebagai pakan ternak, ataupun diberikan kepada orang lain. Selain dari jerami, sebagian petani menambahkan pupuk organik dalam bentuk pupuk kompos atau kandang. Sebagian besar petani program SLPTT memberikan komposisi pupuk organik sebanyak 756.66 kg/hektar. Komposisi ini masih kurang dari anjuran yang diberikan oleh penyuluh yaitu sebanyak 2 ton/hektar. Petani non SLPTT memberikan komposisi pupuk organik jauh lebih rendah yakni sebanyak 364.75 kg /hektar.

3. Perbaikan Pematang Sawah (Pemopokan), selanjutnya sekitar 14 -18 hari setelah jerami disebar, kegiatan yang dilakukan oleh petani SLPTT maupun petani non SLPTT adalah pemopokan atau pergantian tanah. Pemopokan adalah memperbaiki pematang dan parit sebelum lahan dibajak. Tujuan diperbaikinya pematang adalah untuk menahan air selama pengolahan tanah agar air tidak keluar dari petak sawah dan untuk menutup lubang hama seperti tikus. Tujuan memperbaiki parit adalah untuk memperlancar arus air serta mengurangi jumlah biji gulma yang akan terbawa masuk ke dalam petakan.

Gambar 3. Kegiatan pembajakan sawah

4. Pembajakan Sawah, kegiatan ini bertujuan untuk mempercepat proses pembusukan sisa tanam dengan membalikan tanah. Secara umum petani SLPTT dan non SLPTT melakukan pembajakan sawah dengan menggunakan traktor yang dilakukan oleh pekerja borongan. Biaya untuk seawa traktor termasuk upah borongan dan bahan bakar adalah sebesar Rp 700 000 - Rp 800 000 /hektar. Setelah lahan dibajak, maka lahan harus segera digenangi agar kondisi tanah menjadi lebih lembut.

5. Kegiatan Nampingan dan Meratakan Tanah, nampingan adalah membersihkan pematang sawah dengan menggunakan cangkul, pematang sawah dipapas dan menggantinya dengan tanah hasil pembajakan. Kegiatan terakhir adalah kegiatan meratakan tanah dengan tujuan meratakan permukaan lahan sehingga air irigasi yang ada di petakan tersebar merata. Secara umum petani program SLPTT dan non SLPTT melakukan kegiatan ini sama dengan menggunakan jasa pekerja borongan (biaya pengolahan) untuk kegiatan pemopokan, nampingan, serta meratakan tanah yang dilakukan oleh buruh tani dengan upah sebesar Rp 800 000/hektar.

b. Persemaian Benih

Sebelum menyemai, petani harus menentukan varietas benih apa yang akan ditanam. Pemilihan varietas benih untuk petani program SLPTT adalah varietas Mekongga karena varietas tersebut yang dianjurkan oleh penyuluh kepada petani untuk penanaman padi pada musim kering II. Kesepakatan antara petani dan penyuluh dalam pemilihan varietas Mekongga berdasarkan pertimbangan kualitas terhadap serangan hama serta penyakit. Lain halnya dengan petani non SLPTT yang memilih banyak varietas seperti Mekongga, Ciherang, Inpari 14, serta membeli benih dari daerah lain. Pada umumnya pada beberapa musim terakhir petani non SLPTT lebih banyak menggunakan benih Ciherang, sedangkan terdapat juga petani lain yang mencoba-coba benih lain pada musim ini seperti Inpari 14.

Penentuan luas lahan semai dan jumlah benih disesuaikan dengan luas lahan sawah yang akan digarap oleh petani. Tidak ada anjuran luasan yang diberikan oleh penyuluh kepada petani. Petani program SLPTT menyediakan lahan persemaian rata-rata seluas 150 m2 dan petani non program SLPTT seluas 134 m2 untuk 1 Ha luas lahan yang akan ditanami. Jumlah bibit yang ditanam berdasarkan anjuran dari penyuluh, yaitu sebanyak 20-25 kg per ha. Pada umumnya petani menyemai benih

menyesuaikan dengan keadaan untuk menghindari kelebihan atau kekurangan jumlah yang dinginkan. Beberapa permasalan selalu ada seperti banyaknya hama keong dan bibit yang mati atau tidak tumbuh. Hal lain yang perlu diperhitungkan adalah anjuran penggunaan bibit yang ditanam yaitu 1-2 rumpun per lubang tanam.

Penentuan umur bibit yang dianjurkan oleh penyuluh kepada petani program SLPTT adalah 10 – 20 hari setelah sebar benih. Sebagian besar petani program SLPTT sudah menerapkan anjuran yang diberikan, sedangkan untuk petani non SLPTT tidak demikian. Beberapa petani Non SLPTT menggunakan bibit muda dengan umur kurang dari 10 hari atau bahkan lebih dari 20 hari. Perbedaan umur bibit untuk petani non SLPPT disebabkan perbedaan pemilihan varietas yang ditanam.

Gambar 4. Hamparan lahan semai benih

Waktu yang digunakan untuk penanaman ketika bibit yang disemai mencapai umur 15-21 hari. Tahapan terakhir pada kegiatan ini adalah pencabutan bibit. Kegiatan pencabutan bibit pada umumnya dilakukan oleh bantuan pekerja yang diborong dengan biaya penanaman.

c. Penanaman

Kegiatan penanaman atau tandur diawali dengan membuat garis-garis tanam di lahan sawah untuk menentukan barisan dan jarak tanam. Kegiatan ini disebut dengan pencaplakan dengan menggunakan alat caplak yang umumnya dimiliki oleh para pekerja. Kegiatan selanjutnya adalah pencabutan bibit dari lahan semai yang kemudian ditanam di lahan sawah yang sudah dipersiapkan. Anjuran penanaman di Desa Kalibuaya agar dilakukan secara serentak terutama jika petani tersebut tergabung dalam suatu kelompok tani. Pada umumnya petani dalam satu kelompok memiliki lahan yang berdekatan antar petani sehinga penanaman dapat dilakukan serentak untuk menghindari hama seperti tikus. Kegiatan penanaman dilakukan dengan bantuan para pekerja borongan tanam atau odong-odong baik wanita maupun pria. Pemberian upah disesuaikan dengan sistem tanam yang diterapkan oleh petani. Penanaman dengan legowo 2:1 atau legowo 4:1 tarif upah yang harus dibayar sebesar Rp 900 000 /hektar, sedangkan untuk sistem tanam pada umumnya seperti tegel tarif upahnya sebesar Rp 800 000.

Sistem tanam yang dilakukan oleh petani di Desa Kalibuaya beraneka ragam karena memiliki kebiasaan dan persepsi masing-masing. Petani program SLPTT dianjurkan untuk melakukan sistem tanam jajar legowo 2:1 dengan kriteria 50 cm x 25 cm x 12.5 cm; 50 cm x 25 cm x 15 cm; serta 40 cm x 25 cm x 15 cm. Fakta yang dijumpai pada penelitian ini hanya 13 orang (43.33 persen) petani program SLPTT yang telah mengikuti anjuran tersebut, sedangkan untuk petani non SLPTT bahkan tidak ada satupun yang menerapkan aturan tanam jajar legowo 2:1. Umumnya sistem tanam yang banyak dilakukan oleh petani khususnya petani Non SLPTT yaitu sistem jajar legowo 8:1 dan tegel dengan ukuran 25 cm x 25 cm atau 30 cm x 30 cm.

Gambar 5. Kegiatan penanaman (jajar legowo 2:1)

Sistem tanam jajar legowo adalah suatu rekayasa sistem tanam yang merupakan perubahan dari jarak tanam tegel, dengan adanya aturan jarak tanam rumpun dan antar barisan. Tujuan petani menerapkan sistem tanam ini agar terjadi pemadatan rumpun padi sehingga meningkatkan populasi tanam padi /hektarnya. Jumlah rumpun yang diharapkan pada sistem tanam jajar legowo 2:1 berjumlah 213 000 rumpun/hektar. Berbeda cukup besar apabila dibandingkan dengan tegel yang hanya berjumlah 160 000 rumpun per hahektar, legowo 4 berjumlah 170 000 hektar5.

Banyaknya petani memilih untuk melakukan tanam bibit lebih dari 2 rumpun karena tidak ingin mengambil resiko akan berkurangnya rumpun akibat dirusak oleh hama seperti keong. Banyaknya petani non SLPTT yang menerapkan tanam bibit 1-2 rumpun yakni sebanyak 19 petani (60 persen), sedangkan petani program SLPTT hanya 16 petani (53.33 persen) yang mengikuti anjuran tersebut. d. Pemeliharaan

Pemeliharaan adalah salah satu tahap penting yang harus diperhatikan oleh petani dalam melakukan pemantauan pertumbuhan tanaman padi yang ditanam. Tahapan ini terdiri dari beberapa kegiatan, yaitu penyiangan, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, serta pengairan atau irigasi.

5 Ikhwani., Pratiwi Restu Gagad, Paturrohman Eman, Makarim A.K. 2013. Peningkatan

Produktivitas Padi Melalui Penerapan Jarak Tanam Jajar Legowo. [Internet]. [diunduh 26 Februari 2015]. Tersedia pada: http://pangan.litbang.pertanian.go.id/files/03-IkhwaniIT0802.pdf.

1. Penyiangan

Penyiangan adalah menghilangkan rumput penggangu yang tumbuh di sekitar tanaman padi serta di pinggir pematang sawah. Penyiangan umumnya dilakukan dua kali dalam satu musim tanam. Peyiangan pertama dilakukaan pada saat tanaman padi berumur 15-20 hari setelah tanam, sedangkan yang kedua dilakukan tanaman padi berumum 25-30 hari. Alat yang digunakan pada kegiatan ini adalah parang dan gasrok sesuai dengan anjuran dari program SLPTT. Penggunaan gasrok diharapkan dapat membantu petani agar kegiatan penyiangan lebih cepat. Namun faktanya tidak banyak petani menggunakan gasrok karena petani lebih memilih penggunaan obat herbisida yang dinilai lebih baik dan mudah. Selain itu, untuk beberapa kondisi penggunaan gasrok dapat mengakibatkan kerusakan pada perakaran padi yang sedang tumbuh. Petani program SLPTT yang menggunakan alat gasrok berjumlah 4 orang (13.33 persen) dan petani non SLPTT berjumlah 11 orang (36.67 persen).

Gambar 6. Kegiatan penyiangan (alat gasrok)

Kegiatan Penyiangan umumnya dikakukan dengan bantuan tenaga kerja borongan dengan memberikan upah pembayaran sistem ceblok. Sistem ceblok adalah pekerja borongan melakukan pekerjaan tanpa dibayar dengan upah uang. Namun pekerja mendapatkan hak untuk ikut melakukan kegiatan panen dan menerima bagian tertentu dari hasil panen sesuai kesepakatan diantara kedua pihak. Pada umumnya di Desa Kalibuaya upah yang diterima pekerja ceblokan sebesa 1/6 bagian dari hasil panen. Terdapat beberapa manfaat yang dirasakan oleh petani apabila melakukan kegiatan penyiangan dengan ceblok. Manfaat pekerja ceblok yaitu adanya jaminan akan kebutuhan pekerja saat panen dan peyiangan sehinga tidak sulit mencari pekerja karena dapat mengatur waktu pada saat dibutuhkan, pekerja ceblok ikut membatu petani dalam hal pengawasan dan pemeliharan, serta adanya rasa kepercayaan diantara kedua pihak didasarkan pada perjanjian dan kesepakatan.

2. Pemupukan

Kegiatan pemupukan yang dianjurkan oleh program SLPTT adalah sebanyak tiga kali, yaitu pemupukan dasar, pemupukan susulan pertama (15 hari setelah tanam), serta pemupukan susulan kedua (30 hari setelah tanam). Dosis pupuk sesuai dengan rekomendasi analisis status hara tanah dengan memperhatikan Bagan Warna Daun (BWD) untuk menentukan waktu memupuk. Petani SLPTT

dianjurkan untuk memberikan pupuk organik seperti pupuk kompos atau kandang minimal 2 ton pada 1 hektar. Sebagian besar petani program SLPTT telah mengikuti anjuran jumlah pemupukan, waktu pemupukam, serta meningkatkan pemakaian pupuk organik, meskipun komposisi dosis pemupukan yang digunakan belum tepat sesuai anjuran. Kegiatan pemupukan umumnya dilakukan oleh petani sendiri dengan bantuan pekerja harian yang terdiri dari 1-2 pekerja/hektar.

Untuk pupuk inorganic, pada umumnya petani di Desa Kalibuaya menggunakan jenis pupuk padat seperti NPK Phonska, Urea, dan TSP. Umumnya Petani memperoleh pupuk dari kios-kios pertanian yan ada di Desa Kalibuaya. Pada musim kering II ini petani mengalami kesulitan karena adanya kelangkaan pupuk urea sehingga harga pupuk meningkat. Kelangkaan disebabkan karena distribusi pupuk di tingkat produsen ke kios pengecer belum stabil dan adanya keterlambatan pengiriman pupuk.

3. Pengendalian Hama dan Penyakit

Pengendalian hama dan penyakit yang dilakukan oleh petani di Desa Kalibuaya diharapkan dapat mengikuti ketentuan yang dianjurkan dalam program SLPTT yakni pengendalian hama terpadu (PHT). Salah satu anjuran dari program adalah menyemprotkan pestisida sesuai dengan kebutuhan. Pada musim tanam ini banyak petani merasakan banyaknya serangan hama dan penyakit sehingga umumnya penyemprotan dilakukan 7-8 kali. Beberapa jenis hama yang banyak dikeluhkan oleh petani adalah hama tikus, keong mas, burung, kupu-kupu, kepik, penggerek batang, serta wereng. Penyakit yang banyak menyerang tanaman padi seperti penyakit pucuk daun menguning serta penyakit daun merah.

Gambar 7. Kegiatan penyemprotan di lahan sawah

Obat yang digunakan petani berupa obat cair maupun padat yang sebagian besar merupakan obat kimiawi. Obat kimiawi terdiri dari beberapa jenis dan kegunaan didapatkan dari kios pertanian seperti spontan, demolish, rizotin, dan lain-lain. Petani program SLPTT tidak hanya menggunakan obat yang bersifat kimiawi karena adanya anjuran bagi petani untuk menggunakan obat organik. Pemberian obat organik terdiri dari obat yang terbuat dari bahan-bahan alami seperti kotoran kambing, sapi, serta obat siap jadi yang dijual di kios seperti superpam. Kesadaran petani program SLPTT akan penggunaan obat organik lebih baik dibandingkan dengan petani non SLPTT. Hal ini terjadi karena anggapan

petani non SLPTT bahwa obat kimiawi sudah cukup untuk mengatasi serangan hama dan penyakit serta mahalnya harga obat organik siap jadi seperti superpam.

Alat yang digunakan untuk kegiatan penyemprotan adalah semprotan manual dan semprotan mesin. Umumnya petani di Desa Kalibuaya baik petani program SLPTT maupun non SLPTT sudah memiliki seprotan manual sendiri karena harganya yang terjangkau yakni Rp 300 000 – Rp 400 000. Lain halnya dengan semprotan mesin memiliki harga yang cukup mahal yakni sekitar Rp 850 000. Kegiatan penyemprotan umumnya dilakukan langsung oleh petani dengan bantuan pekerja harian yakni terdiri dari 1-2 pekerja/hektar.

4. Pengairan atau Irigasi

Pengairan lahan sawah di Desa Kalibuaya berasal dari sumber pengairan BTLS IV dan BTLS V. Petani program SLPTT dan non SLPTT tidak mengalami kesulitan dalam memperoleh air untuk mengairi sawahnya walaupun pada musim musim kemarau II. Selain itu, terdapat peran dari P3A (Perkumpulan Petani Pemakai Air) dan Mitra Cai dalam pengelolaan kebutuhan air untuk mengontrol pengairan di Desa Kalibuaya. Namun menurut petani peran dan fungsi pengurus P3A dan Mitra Cai masih kurang dalam melakukan pengontrolan sarana pengairan.

Kegiatan pengairan dilakukan untuk menyesuaikan kapasitas air yang ada dalam petakan lahan sawah sesuai dengan kebutuhan petani di setiap tahap kegiatan budidaya. Komponen pengairan berselang tidak ditekankan oleh penyuluh kepada petani program SLPTT di Desa Kalibuaya. Pengairan berselang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan menekan keracunan seperti kandungan besi (Fe). Petani program SLPTT masih belum bisa menerapkan komponen pengairan berselang secara baik seperti kedalaman air, waktu pengairan, serta tahapan kegiatannya. Pengairan yang banyak dilakukan oleh petani program SLPTT dan non SLPTT adalah pengairan secara terus menerus yang dilakukan dengan memberikan air kepada tanaman dan dibiarkan tergenang ketika beberapa hari setelah tanam (3-15 HST) hingga beberapa hari menjelang panen (3-5 hari sekali). Pengairan dengan cara ini dilakukan dengan mempertimbangkan waktu pemupukan, menekan pertumbuhan gulma, ketika ada serangan hama, serta menghemat tenaga untuk pengolahan tanah.

e. Pemanenan

Pemanenan merupakan tahap akhir dari keragaan usahatani padi. Prosen pemanenan padi harus dilakukan pada waktu yang tepat, karena ketepatan waktu tersebut mempengaruhi jumlah dan mutu gabah yang dihasilkan. Waktu pemanenan setiap petani dalam satu kelompok umumnya dilakukan secara serempak karena waktu tanam yang sama. Petani program SLPTT dan non SLPTT melakukan waktu panen saat padi berumur 95-115 HST. Pekerja yang dibutuhkan untuk kegiatan panen adalah pekerja ceblok dengan menggunakan alat sabit dan karung.

Pada saat tanaman padi selesai dipanen, gabah dirontokkan dengan menggunakan mesin perontok yang disewa oleh petani dengan harga Rp 170 000 – Rp 180 000/ton GKP (Gabah Kering Panen) yang dihasilkan. Proses perontokan panen yang dilakukan oleh petani SLPTT tidak semua sesuai dengan anjuran program SLPPT yang menyarankan untuk dirontokkan secara langsung, tetapi didiamkan terlebih dahulu.

Gambar 8. Kegiatan panen di lahan sawah

Petani program SLPTT dan non SLPTT menjual hasil panennya dalam bentuk GKP kepada beberapa pembeli. Umumnya pembeli merupakan calo, dimana calo akan mencari gabah yang sesuai dan sudah ada kesepakatan harga dengan pihak penggilingan. Pembeli lainnya adalah pengumpul tingkat desa serta pedang besar atau tengkulak.

Permasalahan Keragaan Usahatani Padi Petani Program SLPTT dan Non SLPTT

Petani program SLPTT maupun non SLPTT di Desa Kalibuaya tentunya mengalami beberapa permasalahan dalam melaksanakan kegiatan usatani padi. Permasalahan setiap musim akan berbeda karena kondisi yang selalu berubah di setiap subsistem.

Pemasalahan pada subsistem hulu adalah meningkatknya harga benih dan pupuk. Contohnya adalah harga benih VUB Mekongga label biru pada musim sebelumnya Rp 9 000/ kg menjadi Rp 10 000/kg. Beberapa jenis pupuk mengalami peningkatan harga yang begitu besar. Peningkatan harga ini karena terjadinya kelangkaan pupuk sehingga banyak petani tidak mendapatkan pupuk sesuai dengan jumlah yang diinginkan. Sebagai contoh pupuk urea pada musim sebelumnya harganya Rp 1 900/kg menjadi Rp 2 600/kg. Permasalahan lain adalah ketersediaan tenaga kerja tani (buruh tani) yang semakin sedikit di Desa Kalibuaya. Hal ini terjadi karena buruh tani lebih banyak berada pada usia tua, sedangkan tenaga kerja yang masih berpotensi banyak beralih profesi pekerjaan ke sektor non pertanian.

Petani program SLPTT maupun petani non SLPTT lebih memilih kelompok pekerja borongan untuk membantu setiap kegiatan usahataninya. Pada musim ini upah borongan pekerja mengalami peningkatan dibandingkan pada musim sebelumnya yaitu dari Rp 700 000/ha menjadi Rp 800 000/ha. Selain itu, petani yang menerapkan legowo 2:1 dan legowo 4:1 harus membayar upah lebih mahal dibandingkan aturan tanam lainnya, yakni sebesar Rp 900 000/ha. Perbedaan upah tanam borongan disebabkan buruh tani membutuhkan keahlian, tenaga lebih banyak, serta alat garis tanam yang sesuai dengan anjuran dari petani.

Pada subsistem on-farm, permasalahan yang sangat merugikan petani adalah serangan hama seperti tikus, keong mas, burung, kupu-kupu, kepik, penggerek batang, serta wereng. Hama tikus dan penggerek batang lebih banyak dikeluhkan oleh petani karena jumlahnya yang banyak. Petani hanya menerapkan beberapa perangkap tikus untuk bisa mengurangi hama tikus. Banyaknya hama seperti penggerek batang membuat sebagian petani harus menyemprot lahan sawah setiap minggu untuk satu musim tanam. Permasalahan lain adalah kondisi saluran air yang banyak mengalami kerusakan, penyempitan, serta pendangkalan. Selain itu, beberapa petani mengeluhkan kondisi air yang kotor tercemar oleh banyak sampah. Pengelolaan air yang belum optimal mempengaruhi kesuburan dan menurunnya produktivitas lahan. Permasalahan selanjutnya adalah sewa traktor dan sewa mesin perontok. Biaya sewa traktor mengalami peningkatan pada musim sebelumnya Rp 700 000/ha menjadi Rp 800 000/ha. Peningkatan biaya sewa ini karena adanya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Permasalahan pada sewa mesin perontok adalah beberapa petani melakukan perontokan pada waktu yang tidak sesuai dengan yang diinginkan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan pekerja sewa mesin perontok yang ada di Desa Kalibuaya.

Pada sub sistem off-farm, permasalahan yang pertama adalah penjualan hasil panen tidak adanya jaminan harga yang menguntungkan petani walaupun pemerintah sudah menentukan harga dasar gabah. Posisi tawar petani masih lemah ketika berhadapan dengan pembeli sehingga yang menentukan harga adalah pembeli. Permasalahan kedua adalah kehadiran anggota kelompok tani pada waktu kegiatan pertemuan, khususnya petani program SLPTT masih kurang. Hal ini akan mempengaruhi informasi yang disampaikan oleh pihak penyuluh kepada setiap petani sehingga masih ada beberapa petani program SLPTT yang tidak menerapkan anjuran program. Permasalah ketiga adalah koperasi unit desa (KUD) serta koperasi kelompok tani (KKT) yang sudah tidak bergerak dalam menjalankan perannya untuk membantu perekonomian di Desa Kalibuaya. Permasalahan terakhir adalah tidak adanya keinginan petani untuk mengadakan kemitraan dengan pihak perbankan atau swasta karena petani masih merasakan kesulitan dalam hal memenuhi persyaratan untuk mengakses permodalan dari pihak bank.

EVALUASI PENERAPAN KOMPONEN TEKNOLOGI PETANI

Dokumen terkait