• Tidak ada hasil yang ditemukan

ملسم و ىراخبلا Artinya : Dari Sahl bin Sa‟ad bahwa sesungguhnya Nabi SAW pernah didatangi

BERDASARKAN PERSPEKTIF ISLAM

B. Analisis penetapan Mahar suku Bugis Dalam Pandangan Islam

Dalam ajaran islam mahar merupakan sesuatu yang wajib diberikan oleh seorang laki-laki kepada calon istriya sebagai suatu pemberian berupa hadiah sekaligus penghormatan dan mengangkat derajat wanita, karna ini merupakan perintah Allah sehingga dalam Qur‟an Allah berfirman: dalam surat an-Nisa‟:4

48

ةلنح نهتق دص ءاسنلااوتاو

"

ائرم ائينى هولكف اسفن ونم ا ءيش نع مكل بنط ن اف

“Berikanlah mas kawin ( saduq atau nihlah ) sebagai pemberian yang wajib kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian maskawin itu dengan senang hati, maka guanakanlah (makanlah) pemberian itu dengan sedap atau

nikmat”.

Al-quran hanya mengatur hukum pemberian mahar itu sebagai sebuah kewajiban, tidak mengatur tentang nominal ataupun batasan nilai mahar tersebut, akan tetapi Rasulullah Muhammad telah mengatur hal tersebut.

Dalam beberapa hadits nabi Muhammad menjelaskan bahwasanya di dalam ajaran islam jika seorang ingin menjalin sebuah rumah tangga dengan ikatan pernikahan, maka haruslah dipermudah proses pernikan tersebut, akan tetapi realiata yang terjadi di sebagian wilayah di Indonesia, kadang kala menghambat pernikahan salah satunya adalah mahar. Bagi sebagian daerah di Indonesia mahar bukanlah sesuatu yang dijadikan permasalahan akan tetapi di sebagian daerah mahar dianggap sebagai sesuatu yang sangatlah urgensi sekali dalam pernikan sehingga nominal atau besar kecilnya mahar ini lah yang menghambat pernikahan seseorang.

Dalam kompilasi hukum islam mahar pun telah diatur, asas yang tertera pada pasal 30 dan 31 adalah asas kesederhanaan, maksudnya dalam penentuan mahar haruslah melihat situasi dan kondisi ekonomis maupun keluarga dari pihak laki-laki apakah laki-laki tersebut merupakan keluarga mampu atau tidak.

49

Jika ditinjau lebih lanjut dari KHI tersebut, didapati bahwasannya pasal yang tertera di dalamnya memberikan jalan terbaik, solusi, ataupun keringanan bagi siapa saja yang ingin membangun sebuah rumah tangga dengan tali pernikahan.

Kendatinya pernikahan adat Bugis bagi sebagaian orang merupakan sebuah topik pembahasan yang sangatlah fenomenal sekali, bagi sebagian kalangan diluar suku Bugis menganggap bahwasannya menikahi wanita-wanita Bugis sangatlah sulit disebabkan uang Panai atau maharnya yang terkenal begitu mahal.

Pembahasan mengenai mahar Jika dianalisis lebih lanjut sebenarnya ajaran islam berdasarkan Quran dan Hadits tidak melarang penentuan batasan nominal besar kecilnya mahar tersebut, begitu pula dengan kompilasi hukum islam, hanya saja dalam penentuan mahar haruslah melihat pada asas kesederhanaan. Ini semua dikarnakan perspektif huku islam mengutamakan maslahat dari pada mafsadahnya, Berdasarkan pada faktor-faktor tersebut tidak sedikit menimbulkan Mafsadah yang besar di bandingkan maslahatnya Sehingga dalam menganalisis persoalan ini penulis mengunakan Kaidah Fiqhiyyah sebagai alat ataupun landasan untuk dijadikan alat menganalisis teori dan fakta di lapangan mengenai mahar perkawinan.

Kata kaidah diambil dari Bahasa arab Qa‟idah, yang bentuk jamaknya adalah Qawa‟id. Kaidah berarti asas atau fondasi, baik yang bersifat kongkret, seperti kalimat Qawa‟id al-bait (fondasi-fondasi rumah) atau abstrak, seperti

50

kalimat Qawa‟id ad-din (fondasi-fondasi agama). (Fadal, 2008:1)

Adapun kata fiqh (fikih), secara Bahasa berarti pemahaman, sedangkan menurut istilah diartikan sebagai sebuah pengetahuan tentang hukum-hukum syar‟i yang bersifat praktis (amaliyyah) yang diperoleh melalui proses ijtihad. Dengan demikian Kaidah Fikih dapat diartikan sebagai dasar-dasar hukum mengenai perbuatan manusia yang diperoleh melalui proses ijtihad. (Fadal, 2008:2)

Mayoritas ulama fikih mendefinisikan kaidah fikih sebagai ketentuan-ketentuan hukum mengenai berbagai masalah yang bersifat umum. Kata umum di sini bukan berarti menyeluruh, tetapi lebih bersifat mayoritas, karena penetapan dilakukan melalui cara Ilhaq (mengambil sisi persamaan) atau Qiyas. (Fadal, 2008:2)

Syariat islam ibarat sebuah bangunan megah yang memilki beberapa menara. Adapun hukum-hukum islam ibarat satuan batuan permata yang dijadikan bahan penguat untuk bangunan tersebut.

Ilmu fikih adalah salah satu menaranya. Menurut para ulama, ilmu fikih merupakan bidang ilmu yang sangat penting diketahui setelah ilmu tauhid khususnya bagi kaum muslimin. Kaidah fikih dianggap sangat penting, karena hukum dari beberapa persoalan dapat diikat dalam satu pedoman kaidah tertentu. Hal ini dapat memudahkan bagi para pengkaji fikih untuk mengetahui ketentuan hukum dari berbagai persoalan kaidah fikih yang terus bermunculan melalui kaidah fikih, para mufti (pemberi fatwa) misalnya, dapat memutuskan hukum dari setiap masalah yang diajukan kepadanya meski tidak bersifat mutlak.(Fadal,

51 2008:11-12)

Secara rinci, beberapa kegunaan kaidah-kaidah fikih dapat diketahui sebagai berikut:

Dalam kaidah fikih disebutkan bahwa:

ِ ِلاَصَاا ِبْلَج ْنِم ْوَا ِدِااَفَاا ُءْرَد

Artinya: Menolak mafsadat adalah lebih utama daripada menarik (menggapai) kemaslahatan).

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering dihadapkan kepada mafsadah dan maslahat. Keduanya terjadi secara berkelindan maka maslahat harus dilakukan atau diutamakan, sedangkan yang mafsadah harus dijauhi, tetapi jika suatu ketika seseorang dihadapkan kepada dua pilihan, antara menghindari mafsadah di satu sisi dan menggapai kemaslahatan di sisi lain, maka yang harus didahuluskan adalah menghindari bahaya daripada melakukan hal yang yang dapat mendatangkan maslahat, meskipun pilihan tersebut dapat menyebabkan sebagian kebaikan menjadi terabaikan. Sebab, perhatian syariat terhadap larangan (yang harus ditiggalkan) lebih besar dari pada perintah yang harus dilaksanakan. (Fadal, 2008:58-59)

Berdasarkan pada kaidah fiqih tersebut sehingga penulis mengunakan untuk menganalisis mahar adat bugis berdasarkan perspektif hukum islam.Kita telah mengetahui secara seksama betapa pentingnya pernikahan sehingga Allah memerintahkan kepada hamba-hambanya untuk membangun rumah tangga antara laki-laki dan perempuan melalui jalan pernikahan, begitu juga Rasulullah

52

SAW, Beliau memerintahkan pada umatnya agar bersegera mungkin menikah apabila sudah mampu untuk menikah, hal ini diperintahkan agar umatNya tidak terjerumus kepada kemaksiatan dalam hal perjinahan, akan tetapi jika dikaitkan dengan fenomena yang ada dilapangan banyak sekali ditemui umat muslim khususnya ada beberapa kalangan yang masih dipersulit dan diperhambat pernikahannya yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu dengan alasan yang bermacam-macam.

Berdasarkan fakta di lapangan yang penulis teliti sebenarnya adat perkawinan bugis tidak terlalu bertentangan dengan syariat islam, hanya saja ada beberapa sisi yang dianggap kurang sesuai dengan ajaran islam salah satunya dalam penetapan nominal tinggi dan rendahnya mahar berdasarkan survei di lapagan penulis mendapati bahwa dari persoalan mahar tersebut bisa menimbulkan mafsadah yang besar di bandingkan maslahatnya.

Berdasarkan data yang didapatkan dari salah satu nara sumber di lapangan disebutkan bahwa pada suku Bugis masih ditemukan pihak-pihak yang melakukan hamil di luar nikah dan nikah dibawah tanggan ini semua terjadi karna penetapan nominal maharnya yang tinggi di luar batas kemampuan pihak keluarga laki-laki, fenomena ini telah jelas dan bisa dijadikan bukti bahwa apabila seseorang telah mampu untuk menikah tapi dikarnakan alasan tertentu sehingga menghambat pernikahannya maka jalan satu-satunya yang dipilih adalah hamil di luar nikah atau nikah dibawa tangan, mafsadahnya tidak sampai di situ saja di salah satu suku Bugis yang berada di daerah Waju Sulawesi selatan, di sana apabila didapati sesorang menghamili anak perempuannya

53

sebelum terjadi pernikahan lebih dulu maka halal darahnya atau kata lain dibunuh.

Inilah mafsadah yang akan terjadi apabila seseorang terhambat pernikahannya orang akan lebih sering memilih jalan pintas yaitu hamil di luar nikah atau nikah di bawah tangan, padahal hal tersebut di larang oleh agama karna dianggap tidak ssesuai dan bertentangan dengan ajaran islam berdasarkan firman Allah SWT:

ليِبَا َءاَاَو ًةَشِحاَف َناَك ُوَّنِإ اَنِّزلا اوُبَرْقَ ت َلََّو

Dan janganlah kalian mendekati zina; Sesungguhnya zina itu

adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.”

(Al-Israa’: 32)

Ayat ini jika dikaji secara seksama telah jelas bahwasannya melakukan perzinahan merupakan sesuatu yang dilarang dalam agama dan sangat dimurkai oleh Allah SWT.

Di dalam kaidah fikih yang lain juga disebutkan bahwa:

ٌةَمَّكَُمُّ ُةَداَعْلَا

Artinya: Adat/ tradisi (masyarakat) dapat dijadikan alasan untuk

54

Kaidah ini memiliki rujukan dalam nash Al-Qur‟an, salah satu dasar dari kaidah ini adalah firman Allah swt. Dalam surat al-A‟ruf: 199.

َينِلِىاَْاا ِنَع ْرِرْعَأَو ِ ْرُعْلاِب ْرُمْأَو َوْفَعْلا ِ ُخ

Artinya: Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf‟ serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.

Dalam istilah Bahasa arab, „adah berarti tradisi. Istilah lain dari tradisi adalah „ufr. Kedua istilah ini secara umum memiliki pengertian yang tidak jauh berbeda. Dalam pembahasan ini, adah atau uruf dipahami sebagai suatu kebiasaan yang telah berlaku secara umum di tengah-tengah masyarakat di seluruh penjuru negeri atau pada suatu masyarakat tertentu yang berlangsung sejak lama.(Fadal, 2008:69)

Dari definisi tersebut, para ulama menetapkan bahwa sebuah tradisi yang bisa dijadikan pedoman hukum adalah:

1. Tradisi yang telah berjalan sejak lama yang dikenal masyarakat umum.

2. Diterima akal sehat sebagai sebuah tradisi yang baik.Tidak bertentangan dengan nash Al-quran dan hadits Nabi saw.

3. Menurut para ulama „adah (tradisi) bisa dijadikan dasar untuk menetapkan hukum syar‟i apabila tradisi tersebut telah berdlaku secara umum di masyarakat tertentu. Sebaliknya, jika sebuah tradisi tidak berlaku secara umum, maka ia tidak dapat dijadikan pedoman dalam meenentukan boleh atau tidaknya tradisi

55 tersebut dilakukan.

Syarat lain yang terpenting adalah tidak bertentangan dengan nash. artinya, sebuah tradisi bisa dijadikan pedoman hukum apabila tidak bertentangan dengan nash Qur‟an maupun hadits nabi saw. Karena itu sebuah tradisi yang tidak memenuhi syarat ini harus ditolak dan tidak bisa dijadikan pijakan hukum bagi masyarakat.. nash yang dimaksud disini adalah nash yang bersifat qot‟i

(pasti) yakni nash yang sudah jelas dan tegas kandungan hukumnya, sehingga tidak memungkinkan adanya takwil atau penafsiran lain.(Fadal, 2008:71)

Berangkat dari kaidah ini jika digunakann untuk menganalisis mahar suku Bugis, di sana tidak kita dapatkan kesesuaian, dikarnakan mahar suku Bugis merupakan sebuah tradisi yang sudah menjadi adat istiadat, namun bilamana kita kaitkan dengan syarat kapan sebuah adat bisa dikategorikan sebagai pijakan atau penetapan hukum maka adat penetapan mahar suku Bugis tidak termasuk dalam tiga syarat tersebut, oleh karena itu jika adat-istiadat suku manapun yang didalamnya bertentangan atau tidak sesuai dengan syariat Islam maka ditolak.

56 BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari penelitian yang dilakukan oleh penulis terhadap pihak-pihak yang menerapkan tinggi nominal mahar dapat menghasilkan kesimpulan yang merupakan gambaran menyeluruh dari pembahasan dalam skripsi ini yang dapat ditemukan sebagai berikut:

1. Penetapan mahar pada suku Bugis

Dalam adat Bugis sebelum mahar perkawaianan di tentukan maka kedua belah pihak harus melewati beberapa langkah.

langkah pertama: tahap pijakan, maksudnya perwakilan dari keluarga laki-laki mulai mencari tau perempuan mana yang akan dilamar oleh calon mempelai laki-laki. Sebaliknya juga pihak perwakilan dari perempuan mencari laki-laki mana yang ingin dijadikan calon suami wanita tersebut.

Langkah kedua: (Ta‟aruf) biasa juga di sebut Mabajalaleng (buka jalan) yaitu: pihak laki-laki mengutus seorang delegasi kepada pihak perempuan untuk menanyakan wanita tersebut apakah wanita tersebut sudah ada yang masuk melamar atau belum.

Langkah ketiga: (kesepakatan) yaitu: kesepakatan yang terjadi antara kedua bela pihak dalam hal penetapan jumah mahar, tanggal pernikahan atau resepsinya. hal ini terjadi apabila pada saat ta‟aruf pihak delegasi laki-laki dan pihak wanita telah berbincang-bincang mengenai

57

berapa nominal mahar yang harus diberikan kepada wanita tersebut, biasanya dikasih jenjang waktu sampai 3 hari agar delegasi laki-laki kembali ke pihak wanita dalam rangka Pettu Ada (kesepakatan).

Langkah keempat: (nikah) ijab qobul, Dalam adat perkawinan suku Bugis ijab qobul sama halnya seperti suku-suku lain nya diluar suku Bugis, hanya saja ada sedikit perbedaan dalam tata cara pernikahannya. 2. Dalam adat Bugis biasanya juga penetapan mahar dipengaruhi oleh

beberapa faktor yang bisa menjadikan nominal mahar wanita tersebut tinggi atau rendah. antara lain: faktor keturunan maksudnya apakah wanita tersebut dari kalangan bangsawan apa bukan, Faktor pendidikan, faktor keluarga dekat, faktor harga sembako dan faktor kedudukan kedua orang tua di masyarakat apakah orang kaya atau bukan.

3. Mahar dalam Pandangan Islam

Pembahasan mengenai mahar diatur dalam Al-Qur‟an pada surat An-Nisa ayat 4, di dalam ayat tersebut Dapat disimpulkan bahwa memberi mahar perkawinan pada seorang wanita merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang laki-laki dan mahar hanya diperuntuhkan untuk wanita semata tidak boleh pihak tertentu interfrensi (campur tangan) dalam penerimaan mahar. Pembahasan mengenai mahar diperkuat dalam KHI (Komplikasi Hukum Islam) pada pasal 30 dan 31. Berdasarkan pada surat An-Nisa ayat 4 dan KHI dapat disimpulkan bahwa: kendatipun mahar itu hukumnya wajib, namun dalam penentuan tetaplah harus memperhatikan asas kesederhanaan dan kemudahan. Maksudnya bentuk dan harganya mahar

58

tidak boleh memberatkan sang suami atau melebihi kapasitas kemampaun suami dan begitu pula tidak boleh terkesan asal ada atau apa adanya, sehingga calon istri tidak merasa diremehkan atau disepelehkan. Karna hal tersebut tidak sesuai dengan naluri akal sehat dan ajaran agama.

Dalam penulisan ini penulis menyimpulkan secara keseluruhan bahwa: dalam hal penetapan mahar, tidak semua adat istiadat Bugis bertentangan dengan syari‟at Islam, salah satu bukti bisa dilihat dalam penetapan mahar, di sana ditemui langkah-langkah yang harus dilewati antara lain: Ta‟aruf

(perkenalan) dan Ma‟duta (kesepakatan) yang terjadi antara kedua bela pihak antara pihak laki-laki dan pihak perempuan dalam hal penetapan mahar, hanya saja adat istiadat suku Bugis tidak menerapkan asas kesederhanaan dan kemudahan sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Nabi dan KHI.

B. Saran

1. Tokoh Agama dan Tokoh Adat

Hendaklah parah tokoh-tokoh baik itu tokoh agama atau adat untuk saling mendukung ataupun memotifasi satu sama lain sehingga terjadilah klolektifitas ( kebersamaan) dan satu tujuan dalam hatural apapun sehingga apa yang telah menjadi suatu ketetapan adat kedudukannya tidak lebih dari norma-norma yang ada dalam ajaran agama, sehingga tidak terkesan bertentangan dengan ajaran agama ataupun norma-norma hukum yang telah diatur.

lebih khususnya kepada tokoh agama untuk lebih memaksimalkan lagi dalam hal penyuluhan ataupun penyiaran agama sehingga masyarat

59

yang beraga islam khuususnya agar lebih mengetahui tentang sya‟riat yang telah di tentukan agama, ada kemungkinan juga biasanya masyarakat melakukan sesuatu yang sekiranya melanggar norma-norma agama dikarnakan kurangnya penyuluhan tentang agama sehingga masyarakat buta akan hal-hal yang telah ditetapkan oleh agama.

Maka di sinilah pentingnya peran para tokoh agama dan tokoh adat untuk saling menjalin komunikasi yang singkron sehingga peraturan atau norma-norma agama di mengerti dan dipraktekan oleh masyarat secara baik.

2. Masyarakat

Bagi masyarakat hendaklah selalu mengutamakan norma-norma yang telah ditentukan agama dan norma-norma hukum, karna apa yang telah ditentukan oleh ajaran agama dan norma-norma hukum selalu membawa kebaikan dan maslahat bagi umat.

Bukanlah yang diutaman terlebih dahulu adalah egonya ataupun sesuatu yang telah menjadi adat istiadat karna apa yang telah dijadikan adat istiadat belum tentu semuanya di mata agama baik dan memeberikan manfaat, akan tetapi peraturan agama selalu mendatangkan kebaikan dan solusi, lebih khususnya lagi bagi masyarakat yang beragama islam agar selalu memutusakan atau menetapkan segala sesuatu haruslah ajaran agama yang menjadi landasan ataupun pijakan pertama, karna

60

sesungguhnya apa yang telah ditetapkan dalam ajaran agama akan selalu mendatangkan kebaikan dan manfaat yang sangat besar bagi umat.

Bilamana masyarat khususnya yang beragama muslim mempraktekkan ajaran-ajaran agama yang telah ditentukan dalam syariat, maka tidak lagi terjadi hal-hal yang mendatangkan mafsadah ataupun merugikan terhadap pihak-pihak tertentu ataupun golongan-golongan tertentu.

61

Dokumen terkait