• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENETAPAN MAHAR PADA SUKU BUGIS DALAM PANDANGAN ISLAM PENETAPAN MAHAR PADA SUKU BUGIS DALAM PANDANGAN ISLAM (Studi Kasus di Maros dan Makassar Sulawesi Selatan) - Test Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PENETAPAN MAHAR PADA SUKU BUGIS DALAM PANDANGAN ISLAM PENETAPAN MAHAR PADA SUKU BUGIS DALAM PANDANGAN ISLAM (Studi Kasus di Maros dan Makassar Sulawesi Selatan) - Test Repository"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

i

PENETAPAN MAHAR PADA SUKU BUGIS DALAM PANDANGAN ISLAM

(Studi Kasus di Maros dan Makassar Sulawesi Selatan)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Hukum Islam

Oleh: Daniel Javar NIM: 21112046

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)

v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

Dimanapun Allah memudahkan rizqi di situlah kakiku berpijak.

PERSEMBAHAN

Untuk kedua orang tuaku,

para dosen-dosenku, saudara-saudaraku,

kekasihku, sahabat-sahabat seperjuanganku,

(6)

vi

KATA PENGANTAR

Segala puji penulis sampaikan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi Penetapan Mahar Suku Bugis dalam Pandangan Islam ini dengan baik. Shalawat dan salam semoga terus terlimpahkan kepada Rasulullah SAW, guru dan teladan utama kita semua. Dan semoga kita dapat meneladani dan menjalankan Sunnah-sunnah KBeliau sehingga kita layak mendapatkan syafa‟at Beliau SAW kelak padahari perhitungan amal. Aammiin…

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum. Skripsi ini merupakan hasil penelitian penulis tentang Penetapan Mahar Suku Bugis dalam Pandangan Islam studi kasus di Maros dan Makassar Sulawesi Selatan. Penulis meneliti tentang bagaimana prosedur penetapan mahar Suku Bugis beserta faktor-faktor yang mempengaruhi nominal tinggi rendahnya mahar perkawinan. Sehingga dapat di implementasikan dalam hukum perkawinan.

Akhirnya, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-sebesarnya kepada :

1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd. selaku rektor IAIN Salatiga.

2. Ibu Dr. Siti Zumrotun, M. Ag. selaku Dekan fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga.

(7)
(8)

viii ABSTRAK

Javar, Daniel. 2017. Penetapan Mahar pada Suku Bugis Dalam Pandangan Islam. Skripsi. Fakultas Syari‟ah. Program Studi Hukum Keluarga Islam. Institut Agama Islam Negeri Salatiga.

Pembimbing: Drs. Machfud, M.Ag.

Kata Kunci: Mahar, Suku Bugis, Pandangan Islam

Ketertarikan peneliti bermula ketika penulis mendapati bahwa ada salah satu suku di Indonesia yang berada di Sulawesi selatan yaitu suku Bugis. Pada suku tersebut Mahar wanita terkenal akan tinggi nominalnya. Padahal dalam ajaran islam di dalam hadit disebutkan: perkawinan yang paling besar berkahnya ialah yang paling ringan maskawinnya. (Riwayat Ahmad dari Aisyah). Begitu juga dalam HKI pasal 31 disebutkan: penentuan mahar berdasarkan atas asas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurakan oleh ajaran islam. Adapun rumusan masalahnya dapat diurikan sebagai berikut: (1) bagaimana penetapan mahar pada suku Bugis? (2) faktor-faktor apa saja yang mempengeruhi suku Bugis? (3) bagaimana pandangan Islam tentang mahar pada suku Bugis?

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, adapun teknik pengumpulan data penulis menggunakan teknik Wawancara untuk mengetahui bagaiman penetapan Mahar suku Bugis.,. Penulis melakukan tahap-tahap penelitian sebagai berikut: (1) mengumpulkan buku-buku yang membahas mahar dalam Islam, (2) mewawancarai pihak-pihak yang bersangkutan dalam penelitian ini, (3) melakukan analisis terhadap mahar dalam pandangan islam dan suku Bugis, (4) menyimpulkan mahar dalam islam dan adat Bugis.

(9)

ix DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

NOTA PEMBIMBING ……… ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN ……….. iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... viii

DAFTAR ISI.. ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Permasalahan ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 5

E. Penegasan Istilah ... ... 5

F. Tinjauan Pustaka ... ... 6

G. Metode Penelitian ... 7

1. Jenis Penelitian ... ... 7

(10)

x

a. Data Primer ... . 7

b. Data Sekunder ………... . 8

c. Data Tersier ………... . 8

3. Teknik Pengumpulan Data ……….... ... 8

a. Wawancara ………... . 8

b. Observasi ………. ... 8

c. Telaah Dokumen ... 9

4. Teknik Analisis Data ... 9

F. Sistematika Penulisan……… 9

BAB II KERANGKA TEORI ... ... 11

A. Pengertian Mahar ... 11

B. Dasar Hukum ... 13

C. Syarat dan Jenis Mahar ... 19

1. Syarat Mahar ... 19

a. Harta atau Benda Berharga ... 19

b. Barangnya Suci dan Bisa diambil Manfaat ... 20

c. Barangnya Suci Bukan Gosop ... 20

2. Jenis Mahar ………… ... 20

a. Mahar Musamma ……….... ... 20

b. Mahar Mitsil ……… .. 21

D. Kadar Maskawin ... 22

E. Hikmah disyariatkannya Mahar ... 28

(11)

xi

G. Gugurnya Kewajiban Membayar Maskawin ... 30

BAB III TATA CARA PERKAWINAN SUKU BUGIS ... 31

A. Proses Perkawinan Suku Bugis ………. .... 31

1. Makkapese‟- Pese dan Mattiro ……… ... 31

2. Ma‟duta ... 32

3. Mapettu Ada ... ... 33

a. Tanra Esso ... 33

b. Leko... 33

c. Sompa atau Sunrang ... 33

d. Ma‟pabotting atau Menre‟ Botting ... 34

B. Profil Keluarga Yang Melakukan Praktek Tingginya Penetapan Mahar ………. ... 36

1. Bapak Jamaluddin dan Ruki ... 36

2. Bapak Ahmad dan Ibu Jamilla ... 38

C. Pandangan Tokoh Tentang Penetapan Mahar Pada Suku Bugis 1. Tokoh Agama ... 39

2. Tokoh Adat dan Masyarakat ... 42

BAB IV ANALISIS MAHAR SUKU BUGIS BERDASARKAN PERSPEKTIF ISLAM ... 45

A. Analisis penetapan mahar suku Bugis ... 43

(12)

xii

BAB V PENUTUP……… ... 56

A. Kesimpulan ... 56

B. Saran ……… . 58

DAFTAR PUSTAKA ... ... 61

(13)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Allah SWT adalah Zat mulia, yang telah menciptakan semua maklukNya di dunia ini salin berdampingan dan berpasang-pasangan,semuanya berjalan atas kekuasaan dan kebesaranNya, Dia lah menciptakan adanya langit dan adanya bumi, adanya bulan adanya matahari, adanya siang dan adanya malam, adanya laki-laki dan adanya perempuan.

Di antara semua ciptaanNya yang ada di bumi ini, yang palin mulia di sisiNya adalah manusia, sehingga ALLAH mengabadikan manusia di dalam kitab suciNya Al‟quran dengan suatu istilah atau sebutan; kholifatul fil Ardhi, yaitu

suatu bentuk kekuasaan ataupun kepemimpinan yang Allah berikan kepada makhluknya untuk mengurus dan mengatur bumi ini.

Dalam menjalankan tugas yang diberikan oleh sang Kholik kepada makhluknya, Allah memerintahkan kepada manusia untuk berkembang biak atau beranak cucu agar kelestarian bumi ini berkelanjutan dan terus menerus, sehingga Allah memerintahkan kepada manusia untuk beranak cucu dengan melalui jalan perkawinan.

(14)

2

Di negara kita Indonesia ini, banyak sekali kita jumpai suku dan ras yang beraneka ragam, masing-masing meiliki corak kebudayaan yang merupakan ciri khas daerah tersebut, diantaranya mulai dari bidang sosial masyrakat, perekonomian, dan kebudayaan. Sihingga dari perbedaan inilah muncul adat istiadat ataupun tradisi yang merambat masuk ke dalam agama, salah satunya dalam hal perkawinan.

Suku-suku di Indonesia memiliki tradisi yang sangat beragam dalam hal perkawinan, sebagai contoh adat istiadat perkawinan suku aceh, Sumatra, jawa, begitupula adat istiadat perkawinan suku bugis.

Di dalam perkawinan tersebut terdapat kontrak social, yaitu sebuah hubungan timbal balik antar masyarakat yng satu dengan masyarakat yang lain, kelompok yang satu dengan kelompok yang lain, ras yang satu dengan ras yang lain, individu yang satu dengan individu yang lain, dan kepribadian yang satu dengan kepribadian yang lain, maka dari itu perkawinan merupakan sesuatu kegiatan yang sakral di mata agama maupun masyarakat, sehing perkawinan merupakan ajang untuk membangun sebuah rumah tangga yang mana di dalam nya akan menyatuhkan kelompok yang satu dengan kelompok lainnya.

Dalam perkawinan tersebut terdapat beberapa nilai-nilai yang luhur dan manfaat yang akan didapati oleh kedua insan yang ingin membangun sebuah rumah tangga, diantaranya keluarga yang sakinah, mawadah, dan warahmah.

(15)

3 Allah berfirman dalam surat al-rum ayat 21.

اَهْ يَلِإ اوُنُكْسَتِّل ًاجاَوْزَأ ْمُكِسُفنَأ ْنِّم مُكَل َقَلَخ ْنَأ ِوِتاَيآ ْنِمَو

َنوُرَّكَفَ تَ ي ٍمْوَقِّل ٍتاَي َلَ َكِلَذ ِفِ َّنِإ ًةَْحَْرَو ًةَّدَوَّم مُكَنْ يَ ب َلَعَجَو

Artinya: “dan diantara tanda-tanta kekuasaan allah ialah menciptakan untukmu istri-isri dari sejenismu sendiri, supaya kamu cendrung dan merasa tentram padanya, dan dijadikan-Nya di antramu raa kasih da sayang. akamu yang berpikir”.(QS Al-Arum 30: 21)

Ayat di atas jelas bahwa tujuan disyariatkanya perkawinan oleh sang Kholik agar manusia mendapatkan ketenangan dan ketentraman dalam menjalankan kehidupan dunia ini dengan suatu prosesi yang sakral yaitu perkawinan tersebut.

Di dalam melaksanakan suatu prosesi perkawinan, terdapat syarat-syarat dan rukun-rukun yang harus dipenuhi oleh kedua bela pihak terutama dari pihak laki-laki, salah satu syarat tersebut yang dimaksud adalah mahar.

(16)

4

Bagi sebagian kalangan mahar dianggap tidak begitu penting dan bukan pula suatu keharusan sehingga dalam pemberian mahar tidak dititiberatkan pada pihak laki-laki sehingga penyerahan atau pemberian mahar alakadarnya saja, tapi di sebagian kalangan mahar dianggap sebagai sesuatu yang sakral dan urgensi sehingga Persoalan mahar ini yang masih menjadi topik pembicaraan dan pembahasan sampai sekarang ini belum juga ditemui tititk terangnya, karena sebagian kalangan dan suku di negara Indonesia ini masih mempraktekan tingginya nilai mahar dalam perkawinan, salah satu nya adat istiadat suku Bugis.

Dalam perkawinan adat Bugis, sebelum sorang ingin menyunting seorang wanita maka terlebih dahulu pihak laki-laki memberikan mahar atau istilah bugis disebut PANA‟I suatu nominal sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan

oleh kedua belapihak dan disepakati oleh pihak laki-laki, ini yang melatar belakangi munculnya persoalan dalam mahar.

Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk meneliti tentang PENETAPAN MAHAR SUKU BUGIS DALAM PANDANGAN ISLAM. B. Rumusan Masalah.

Dari permasalahan yang penulis kemukakan diatas sehingga mengambil rumusan masalah sebagai berikut.

1. Bagaimana penetapan mahar pada suku Bugis?

(17)

5 C. Tujuan Penelitian.

1. Untuk Mengetahui bagaimana penetapan mahar suku Bugis

2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi mahar suku Bugis

3. Untuk Mengetahui bagaimana pandangan islam tentang mahar pada suku Bugis

D. Manfaat Penelitian.

Dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara akademis/teoritik maupun dalam masyarakat. Secara akademis, penelitian ini dapat menjadi salah satu pengembangan teori mengenai hal-hal yang berkaitan dengan mahar. khususnya kepada kalangan-kalangan tertentu yang masih berada dalam rana tingginya nominal mahar.

Selain itu, penelitian ini mampu memberikan banyak informasi kepada masyarakat mengenai konsep mahar suku Bugis mulai dari bagaimana penetapannya, faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi dan maslahat mafsadahnya bagaimana. yang demikian serta membuka wawasan yang luas bagi masyarakat bagaimana pandagan hukum islam mengenai konsep nilai mahar suku Bugis.

E. Penegasan Istilah.

(18)

6 1. Mahar.

Mas kawin, pemberian dari pempelai laki-laki kepada pengantin perempuan.(Suharso,2016:338)

2. Suku Bugis.

Suku yang berada di Sulawesi selatan.(Suharso,2016:97) 4. Pandangan Islam.

Suatu sudut pandang beragama yang mana kebenarannya berdasarkan pada Qur‟an dan hadits yang saheh.

F. Tinjauan Pustaka.

Dalam penyusunan proposal skripsi ini, penulis merujuk pada penelitian sebelumnya yaitu yang berjudul “ TATA CARA PENETAPAN MAHAR BAGI

PEREMPUAN NIAS “ studi kasus pada perempuan nias yang bekerja di sector informal di padang bulan, karya LOLA UTAMA SITOMPUL dan diterbitkan oleh UNIVERSITAS SUMATRA UTARA tahun 2009. Rujukan kedua yaitu skripsi yang berjudul “ MAHAR DAN PAENRE‟ DALAM ADAT BUGIS” studi

Etnografis Hukum Islam dalam Perkawinan Adat Bugis di Bulukumbang Sulawesi Selatan, karya ANDI ASYRAF dan diterbitkan oleh UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA tahun 2015.

(19)

7 G. Metode penelitian

1. Jenis Penelitian

Di dalam Penelitian ini merupakan studi kasus dengan metode penelitian kualitatif. Menurut Moleong (2009:6) penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain.

Penelitian kualitatif dimanfaatkan oleh peneliti yang berminat untuk menelaah atau menyelusuri sesuatu latar belakang misalnya tentang motivasi, peranan, nilai, sikap, dan persepsi. (Moleong,2009:7)

2. Sumber Data

Menurut Lofland (1984:47) dikutip dari Moleong (2009:157) sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Sumber data penelitian ini adalah sebagai berikut.

a. Data Primer

(20)

8 b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data pelengkap yang membantu peneliti dalam melakukan proses penelitian. Dalam penelitian ini, data sekunder berupa: ayat-ayat Qur‟an, hadits, pendapat para ulama, ijma‟ dan karangan berupa buku .

c. Data Tersier

Data tersier merupakan data penunjang yang dapat memberi petunjuk terhadap data primer dan data sekunder. Dalam hal ini data tersier yang digunakan adalah Kamus lengkap Bahasa Indonesia.

3. Teknik Pengumpulan Data a. Wawancara

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik atau metode wawancara mendalam (in depth interview). Dengan wawancara mendalam, bisa digali apa yang tersembunyi di sanubari seseorang, apakah yang menyangkut masa lampau, masa kini maupun masa sekarang. (Bungin, 2010 : 67). Adapun objek yang diwawancarai yang pertama pelaku-pelaku yang melakukan praktek penetapan mahar, yang kedua tokoh agama, yang ketiga tokoh adat atau masyarakat.

b. Observasi

(21)

9

memungkinkan observer untuk melihat dunia sebagaimana dilihat oleh subjek penelitian.

c. Telaah Dokumen

Telaah dokumen yang dimaksud adalah segala catatan baik berbentuk catatan dalam kertas (hardcopy) maupun elektronik (softcopy). Dokumen dapat berupa buku, artikel media massa, catatan harian, manifesto, undang-undang, notulen, blog, halaman web, foto, dan lainnya. (Sarosa, 2012:61)

4. Teknik Analisis Data

Analisis data dilakukan dalam suatu proses. Proses berarti

pelaksanaannya sudah mulai dilakukan sejak awal pertama kali pengumpulan data dilakukan dan dikerjakan secara intensif sesudah meninggalkan lapangan penelitian. (Moleong,2009:281)

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pendekatan analisis atau analytical approach.

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi merupakan garis besar penyusunan untuk mempermudah jalan pikiran pembaca dalam memahami secara keseluruhan isi skripsi.

(22)

10

Bab II merupakan pembahasan yang berisi tentang Pengertian Mahar, Dasar Hukum, Syarat dan Jenis Mahar, Kadar Maskawin, Hikmah disyariatkannya Mahar, Akad Nikah Tanpa Maskawin dan. Gugurnya Kewajiban Membayar Maskawin.

Bab III merupakan paparan data dan temuan peneliti meliputi : Proses Perkawinan Suku Bugis, Profil Keluarga Yang Melakukan Praktek Tingginya Penetapan Mahar dan Pandangan Tokoh Tentang Penetapan Mahar Pada Suku Bugis.

Bab IV merupakan analisis data mengenai Konsep Mahar Dalam Perspektif Islam dan Analisis Mahar Suku Bugis Berdasarkan Kaidah Fiqh.

(23)

11 BAB II

KERANGKA TEORI

A. Pengertian Mahar

Di zaman Jahilliyah hak perempuan itu dihilangkan dan disia-siakan, sehingga walinya dengan semena-mena dapat menggunakan hartanya dan tidak memberikan kesempatan untuk mengurus hartanya dan menggunakanya. Kemudian Islam datang menghilangkan belenggu ini, kepadanya diberi mahar. (Sayyid Sabiq, 1981:53)

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan mahar dengan “pemberian

wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah”. Hal ini sesuai dengan tradisi yang

berlaku di Indonesia bahwa mahar itu diserahkan ketika berlangsungnya akad nikah.( Syarifuddin, 2009:84)

Mahar secara Bahasa berarti maskawin (Yunus,1990:431). Secara istilah, mahar ialah “pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan cinta kasih calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya.( Ghazaly, 2006:84)

(24)

12

Nuruddin, 2014 mengartikan Mahar sebagai ”Harta yang menjadi hak istri dari suaminya dengan adanya akad atau dukhul”. Mahar didefinisikan oleh

kalangan Hanabila yaitu ”Suatu imbalan dalam nikah baik yang disebutkan di dalam akad ataupun yang diwajibkan sesudahnya dengan kerelaan kedua belah pihak atau hakim, atau imbalan dalam hal-hal yang menyerupai nikah seperti

wat‟i syubhat dan wat‟i yang dipaksakan. (Nuruddin, 2014:64)

Mahar sudah dikenal pada masa jahiliyyah kala, jauh sebelum datangnya Islam, akan tetapi mahar sebelum datangnya Islam bukan diperuntukkan untuk calon istri melainkan kepada ayah atau kerabat dekat laki-laki dari pihak istri, karena konsep yang berlaku pada saat itu sama halnya dengan jual beli, yakni jual beli antara calon suami sebagai penjual sedangkan ayah atau keluarga dekat calon istri sebagai pemilik barang.

Ketika Al-quran datang mahar tetap dilanjutkan hanya saja konsepnya yang berbeda, kalau dahulu mahar dibayarkn atau diserahkan pada orang tua (ayah) calon istri sedangkan sekarang mahar tersebut diperuntukkan calon istri, dengan demikian Alquran mengubah status perempuan sebagai “ komoditi ”

barang dagangan menjadi subyek yang ikut terlibat dalam suatu kontrak. (Umar, 1999:25)

(25)

13 B. Dasar Hukum Mahar

Islam mendudukan perempuan sebagai makhluk terhormat dan mulia, maka diberikan hak untuk menerima mahar, bukan pihak yang sama-sama memberi mahar, mahar merupakan salah satu bentuk hadiah yang diberikan seorang pria sebagai ungkapan kesetian cintanya kepada calon istrinya. (Al-musayyar, 2008:12)

Ekualitas laki-laki dan perempuan bukan diimplementasikan dengan cara pemberian mahar, karena mahar bukanlah lambang jual beli, akan tetapi lambang penghormatan terhadap perempuan sekaligus sebagai lambang kewajiban tanggung jawab suami memberi nafkah kepada istrinya, selain lambang cinta, kasih sayang suami dan juga tanggung jawab terhadap istri, sebagaimana dikemukakan oleh ulama Syafi‟iyah. (Djubaidah, 2010:124)

Berbeda dengan mahar kata-kata yang disebutkan pertama al-saduq, Nihlah, faridah, dan Ajr. Secara eksplisit diungkapkan dalam Alquran seperti:

Di dalam surat an-Nisa‟: 4 Allah SWT berfirman

ةلنح نهتق دص ءاسنلااوتاو

"

ائرم ائينى هولكف اسفن ونم ا ءيش نع مكل بنط ن اف

“Berikanlah mas kawin ( saduq atau nihlah ) sebagai pemberian yang wajib kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian maskawin itu dengan senang hati, maka guanakanlah (makanlah) pemberian itu dengan sedap

(26)

14

Pada surat yang sama ayat 24 Allah berfirman

و

“dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali

budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha

(27)

15 Di dalam hadits pun disebutkan bahwa”

ِوْيَلَع ْتَ َرَعَ ف َمَّلَا َو ِوْيَلَع للها ىَّلَص َِبَِّنلا ْتَتَا ًةَأَرْما ْنَأ ُوْنَع ُللها َيِ َر ِدْعَا ِنْب ِلْهَا ْنَع

َلاَق اِهيِنْخَوَز ِللها ُلْوُاَر اَي ٌلُجَر َلاَقَ ف ٍةَجاَح ْنِم ِءاَسِّنلا ِفِ َمْوَ يْلا ِلِاَم َلَاَقَ ف اَهَسْفَ ن

اَمَف َلاَق ٌءْيَش ىِدْنِعاَم َلاَق ٍدْيِدَح ْنِم اًَتَاَخْوَلَو اَهْ يِطْعَأ َلاَق ٍءْيَش ىِدْنِعاَم َلَاَق َكِدْنِعاَم

َنآْرُقْلا َنِم َكَعَم اَِ اَهَكُتْكَلَم ْدَقَ ف َلاَق اَ َكَو اَ َك َلاَق َنآْرَقْلا َنِم َكَدْنِع

Artinya : Dari sahl bin sa‟di radiallahu „anhu, bahwa seorang wanita mendatangi nabi SAW. Dan menawarkan dirinya pada beliau, maka beliau pun

bersabda:” Hari ini aku tak berhasrat pada wanita.” Tiba-tiba seseorang

laki-laki berkata,” wahai Rasulullah, nikahkanlah aku dengannya.” Maka beliau

bertanya:” apa yang kamu miliki(mahar)?” ia pun menjawab,” aku tidak punya apa-apa.” Beliau bersabda: Berikan mahar walaupun dengan cincin terbuat dari

besi.” Lalu laki-laki itu berkata,” aku tak punya apa-apa.” Akhirnya beliau

bertanya.” Apa yang kamu hafal dari Qur‟an?” lantas laki-laki itu menjawab,”

surat ini dan ini.” Beliau bersabda:” Aku telah menikahkanmu dengan wanita itu.

Dan sebagai maharnya adalah hafalan Qur‟anmu. (shahih al-bukhori nomor

(28)

16

Dari „Amir bin Rabi‟ah, bahwa sesungguhnya pernah ada seorang wanita dari Bani Fazarah yang dinikah dengan (mahar) sepasang sandal, lalu Rasulullah SAW bertanya, “Ridlakah kamu atas dirimu dan hartamu dengan (mahar) sepasang sandal ?”. Ia menjawab, “Ya”. Maka Rasulullah SAW memperkenankannya”. (HR. Ahmad)

Dalam riwayat Ahmad juga disebutkan:

ةَنْؤُم ُهُرَاََْيَأ ًةَكَرَ ب ِحا َكَّنلا َمَظْعَأ َّنِإ

Pernikahan yang paling besar keberkahannya ialah yang paling mudah maharnya.

Fathimah, maka Rasulullah SAW bersabda kepada Ali, “Berilah ia sesuatu !”. Ali

menjawab, “Saya tidak punya apa-apa”. Rasulullah SAW bertanya, “Mana baju

(29)

17 Dalam hadits yang lain disebutkan bahwa:

ْتَلاَق َو ٌةَأَرْما ُوْتَ ئاَج ص َِّبَِّنلا َّنَا ٍدْعَا ِنْب ِلْهَا ْنَع

seorang wanita lalu berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku menyerahkan

diriku untukmu”. Lalu wanita itu berdiri lama. Kemudian berdirilah seorang laki

-laki dan berkata, “Ya Rasulullah, kawinkanlah saya dengannya jika engkau

sendiri tidak berminat kepadanya”. Kemudian Rasulullah SAW bertanya,

“Apakah kamu mempunyai sesuatu yang dapat kamu pergunakan sebagai mahar

untuknya ?”. Ia menjawab, “Saya tidak memiliki apapun melainkan pakaian ini”.

(30)

18

tidak berpakaian lagi. Maka carilah sesuatu yang lain”. Kemudian laki-laki itu

berkata, “Saya tidak mendapatkan sesuatu yang lain”. Lalu Nabi SAW bersabda,

“Carilah, meskipun cincin dari besi”. Lalu laki-laki itu mencari, tetapi ia tidak mendapatkannya. Kemudian Nabi SAW bertanya kepadanya, “Apakah kamu memiliki hafalan ayat Al-Qur‟an ?”. Ia menjawab, “Ya. Surat ini dan surat ini”. Ia menyebutkan nama-nama surat tersebut, kemudian Nabi SAW bersabda

kepadanya, “Sungguh aku telah menikahkan kamu dengannya dengan apa yang kamu miliki dari Al-Qur‟an itu”. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim]

Berangkat dari ayat dan hadits di atas, para ulama telah menetapkan bahwa mahar itu hukumnya wajib berdasarkan al-Qur‟an, Sunnah, dan ijmak para ulama. Mahar oleh para ulama ditempatkan sebagai syarat sahnya suatu pernikahan seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Rusyd di dalam Bidayah al Mujtahidnya. (Nuruddin, 2014: 65).

Di dalam KHI, mahar diatur dalam pasal 30 dan pasal 31. (Nurudin, 2014:66)

Pada pasal 30 disebutkan bahwa: Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk, dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.

(31)

19

Pengaturan Mahar Dalam KHI Bertujuan. (Harahap, 2007:40)

1. Untuk menertibkan masalah mahar. 2. Menetapkan kepastian hukum.

3. Menetapkan etika mahar atas asas kesederhanaan dan kemudahan, bukan didasarkan pada asas prinsip ekonomi, status dan gengsi.

4. Menyeragamkan konsepsi yuridis dan etika mahar agar terbina ketentuan dan persepsi yang sama di kalangan masyarakat dan aparat penegak hukum.

Dengan demikian kendatipun mahar itu hukumnya wajib, namun dalam penentuan tetaplah harus memperhatikan asas kesederhanaan dan kemudahan. Maksudnya bentuk dan harganya mahar tidak boleh memberatkan sang suami atau melebihi kapasitas kemampaun suami dan begitu pula tidak boleh memesan asal ada atau apa adanya, sehingga calon istri tidak merasa diremehkan atau disepelehkan. (Nuruddin, 2014: 66)

C. Syarat-Syarat Dan Jenis-Jenis Mahar 1. Syarat-Syarat Mahar

Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

(32)

20

b) Barangnya suci dan bisa diambil manfaat. Tidak sah mahar dengan khamr, babi, atau darah karena semua itu haram dan tidak berharga. c) Barangnya bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang

milik orang lain tanpa seizinnya, namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena berniat untuk mengembalikannya di kemudian hari. Memberikan mahar dengan barang hasil ghasab tidak sah, tetapi akadnya sah.

Bukan barang yang tidak jelas keadaannya. Tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya. (Ghozaly, 2006:2)

2. Jenis Mahar

Mahar dapat dilihat dari dua sisi, Mahar Musamma dan Mahar Mitsil.

a. Mahar Musamma

Mahar musamma ialah mahar yang besarnya ditentukan atau disepakati kedua bela pihak dan dibayarkan secara tunai atau ditangguhkan atas persetujuan istri.(Nuruddin,2014:66)

(33)

21

Hal-hal yang termasuk ke dalam mahar musamma dalam akad adalah apa saja yang diberikan oleh suami untuk istrinya menurut adat sebelum pesta pernikahan atau sesudahnya, seperti gaun pengantin atau pemberian yang diberikan sebelum dukhul atau sesudahnya. Karena yang ma‟ruf dalam masyarakat seperti yang disyaratkan dalam akad adalah secara lafdziyah. Pemberian itu wajib disebutkan pada saat akad. Suami harus menyebutkan kecuali bila disyaratkan untuk tidak disebutkan dalam akad.

Menurut ulama Malikiyah, apa yang diberikan kepada istri sebelum akad atau pada saat akad dianggap sebagai mahar, meskipun tidak disyaratkan sebelumnya. Demikian juga barang yang diberikan kepada walinya sebelum akad. Seandainya istri ditalak sebelum dukhul, maka suami berhak mengambil separo dari apa yang telah diberikan. Adapun yang telah diberikan kepada wali setelah akad, maka hal itu telah menjadi milik wali secara khusus sehingga tidak ada hak bagi istri atau suami untuk mengambil darinya.(Nurjannah, 2003:42)

b. Mahar Mitsil

Mahar mitsil ialah mahar yang disesuaikan dengan umur si perempuan, kecantikannya, kekayaannya, kepandaiannya, agamanya, kegadisannya dan ukuran lainnya yang menyebabkan perbedaan nilai maskawinnya.(Al-Hamdani, 2011:140)

(34)

22

diterima oleh saudara-saudaranya, saudara perempuan, bibinya dan sebgainya. Imam Ahmad berkata: disesuaikan dengan maskawin saudara-saudaranya dari kelompok ashabah dan dzawil arhamnya. Mahar mitsil ini wajib dibayar apabila si perempuan sudah dicampuri atau perempuan yang sudah dicampuri itu sudah meninggal atau apabila si perempuan itu beli belum pernah dicampuri akan tetapi suaminya sudah meninggal, maka si perempuan itu berhak meminta mahar mitsil dan berhak waris.

Berdasarkan hadits Ibnu Mas‟ud yang artinya:

Dalam hal ini saya berpendapat , menurut hemat saya, kalau benar dari Allah dan kalau salah dari saya sendiri, menurut saya, perempuan itu berhak menerima maskawin tidak kurang dan tidak lebih, perempuan itu tidak berhak

„iddah dan mempunyai hak waris. Kemudian Ma‟qil bin Yasar

berdiri dan berkata: saya bersaksi sungguh kamu telah memberi keputusan seperti keputusan Rasulullah SAW tentang yang dialami Burwa, binti Wasyiq. (Riwayat Abu Dawud) Pendapat ini juga di pegangi oleh Abu Hanifah, Ahmad dan Dawud serta salah satu pendapat yang terkuat dari pendapat imam Syafi‟i.( Al-Hamdani, 2012:141)

D. Kadar Maskawin

(35)

23

menurut adat yang berlaku di kalangan mereka, menurut kemampuan. nash Al-Qur‟an dan hadits hanya menetapkan bahwa maskawin itu harus berbentuk dan

manfaat tanpa melihat sedikit atau banyaknya, karena itu dapat berupa cincin besi, seperti yang diriwatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

ْتَلاَق َو ٌةَأَرْما ُوْتَ ئاَج ص َِّبَِّنلا َّنَا ٍدْعَا ِنْب ِلْهَا ْنَع

Artinya : Dari Sahl bin Sa‟ad bahwa sesungguhnya Nabi SAW pernah didatangi

seorang wanita lalu berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku menyerahkan

diriku untukmu”. Lalu wanita itu berdiri lama. Kemudian berdirilah seorang

laki-laki dan berkata, “Ya Rasulullah, kawinkanlah saya dengannya jika engkau

sendiri tidak berminat kepadanya”. Kemudian Rasulullah SAW bertanya,

“Apakah kamu mempunyai sesuatu yang dapat kamu pergunakan sebagai mahar

(36)

24

Lalu Nabi bersabda, “Jika pakaianmu itu kamu berikan kepadanya maka kamu

tidak berpakaian lagi. Maka carilah sesuatu yang lain”. Kemudian laki-laki itu

berkata, “Saya tidak mendapatkan sesuatu yang lain”. Lalu Nabi SAW bersabda,

“Carilah, meskipun cincin dari besi”. Lalu laki-laki itu mencari, tetapi ia tidak

mendapatkannya. Kemudian Nabi SAW bertanya kepadanya, “Apakah kamu

memiliki hafalan ayat Al-Qur‟an ?”. Ia menjawab, “Ya. Surat ini dan surat ini”. Ia menyebutkan nama-nama surat tersebut, kemudian Nabi SAW bersabda

kepadanya, “Sungguh aku telah menikahkan kamu dengannya dengan apa yang

kamu miliki dari Al-Qur‟an itu”. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim]

Maskawin dapat berupa pengajaran Al-Qur‟an, seperti yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW. Beliau mengawinkan sahabatnya dengan maskawin bacaan Al-Qur‟an. Demikian pula dengan pakaian, seperti yang diterangkan dalam hadits sahih, bahwa beliau mengawinkan salah seorang sahabatnya dengan maskawin sepasang sandal. Beliau bertanya kepada pihak perempuan.„‟ Apakah engkau rela dikawinkan dengan maskawin sepasang sandal?‟‟ perempuan itu menerimanya”

(Alhamdani, 2911:133)

(37)

25

ةَنْؤُم ُهُرَاََْيَأ ًةَكَرَ ب ِحا َكَّنلا َمَظْعَأ َّنِإ

Perkwinan yang paling besar berkahnya ialah yang paling ringan maaskawinnya (Riwayat Ahmad dari AIsyah).(Alhamdani, 2011:134)

Amirul mukminin Umar bin khatab pernah akan mengubah peraturan tentang maskawin, Ia berpidato di atas mimpbar, ia akan membatasi maskawin dengan kadar tertentu agar tidak lebih dari 400 dirham, tetapi kemudian ditentang oleh seorang wanita dari suku quraiys. Perempuan itu berkata: apakah engkau tidak pernah mendengar firman Allah yang artinya:

Dan engkau memberikan kepada seorang istrimu denga satu qintar.( QS. 4, An Nisa: 20)

Umar menjawabnya: ya Allah, maafkan saya. Ada orang yang lebih faqih dari pada Umar. Kemudian dia kembali naik ke podium dan berkata: saya telah melarangmu supaya tidak berlebihan maskawin dari 400 dirham, tetapi sekarang siapa yang kamu boleh memberikan maskawin sesukanya.(Alhamdani, 2011:135)

(38)

26

Dari hadits-hadits di atas telah jelas bahwa tidak ada batasan jumlah tertentu dalm pemberian maskawin, sedikit atau banyaknya. Tetapi ada ulama yang membatasi dengan 10 dirham. Seperti ulama Hanafiyah. Ada yang menentukan dengan 3 dirham seperti ulama Malikiyah. Mereka semua tau bahwa Umar telah mencabut peraturan pembatasan kadar maskawin sesudah dibantah oleh seorang perempuan daru suku Quraiys.

Al- hafizh Ibnu hajar Al- Asqolani berkata: kami dapati dalam hadits-hadits tentang batas sedikitnya ,maskawin tetapi tidak ada satu pun hadits-hadits yang kuat. Ibnu Qayyim setelah menerangkan hadits-hadits mengenai maskawin lalu beliau berkata: pilihan Umu Sulaim yang mengambil manfaat masuk islamnya Abu Thalhah dan penyerahan dirinya kepada Abu Thalhah dengan syarat ia bersedia masuk islam, pilihan itu lebih ia sukai daripada kekayaan suaminya. Maskawin itu pada dasarnya adalah hak untuk memanfaatkan sesuatu bagi perempuan, apabila ia ridha dengan ilmu, agama, atau masuk islamnya si suami atau dengan bacaan Al-qur‟an, maskawin itu lebih utama dan lebih bermanfaat serta lebih luhur. Akadnya tidak lepas dari maskawin, karena itu dengan dasar apa, maka kadar maskawin ditetapkan batasnya dengan tiga atau sepuluh dirham.

Ringkasnya ialah, bahwa tidak ada batasan dalam syariat Islam tentang banyak atau sedikitnya maskawin. Seorang tokoh tabi‟in, yaitu Sa‟id bin

(39)

27

membiarkannya, lain dengan pendapat ulama Hanafiyah yang menetapkan maskawin tidak boleh kurang dari sepuluh dirham.(Al-Hamdani: 2011.136)

Mahar adalah pemberian sesuatu dari pihak pria sesuai dengan permintaan perempuan dengan batas-batas yang ma‟ruf. Besarnya mahar tidak dibatasi. Islam memberikan prinsip pokok yaitu “secara ma‟ruf”. Artinya dalam batas yang wajar

sesuai kemampuan dan kedudukan suami yang dapat diperkirakan oleh isteri. (Sudarsono, 1991:78-790)

(40)

28 E.Hikmah di Syariatkannya Mahar

Mahar itu merupakan pemberian pertama suami kepada istrinya yang dilakukan pada waktu akad nikah. Dikatakan yang pertama karena sesudah itu akan timbul beberapa kewajiban materiil yang harus dilaksanakan suami selama masa perkainan untuk berlangsunkan kehidupan perkawinan itu. Dengan pemberian mahar itu suami dipersiapkan dan dibiasakan untuk menghadapi kewajiban materiil berikutnya. Diberlakukan mahar di dalam islam memiliki hikmah yang cukup dalam antara lain. (Nuruddin, 2014:67)

Syariat mahar di dalam islam memiliki hikmah yang sangat cukup dalam seperti:

1. Untuk menghalalkan hubungan antara pria dan wanita karena keduanya sling membutuhkan satu sama lain.

2. Untuk memberi penghargaan terhadap wanita, dalam arti bukan sebagai alat tukar yang mengesankan pembelian.

3. Untuk menjadi pegangan istri bahwa perkawinan mereka telah diikat dengan perkawinan yang memiliki kekuatan hukum (mitsaqon golidzon), sehingga suami tidak mudah menceraikan istrinya sesukanya.

4. Untuk kenangan dan pengikat kasih sayang antara suami dan istri. 5. Menunjukan pentingnya posisi akad, dan memuliakan perempuan.

(41)

29

memberikan mahar kepadanya bukan kepada ayahnya. Mahar yang telah dibayarkan suami kepada isterinya menjadi hak milik isterinya, oleh karena itu isteri berhak membelanjakan,menghibahkan dan sebagainya tanpa harus izin dari suami atau walinya. (Saleh. 2008:309)

F. Akad nikah tanpa maskawin.

Perkawinan tanpa menyebutkan maskawin pada dasarnya hukumnya sah berdasarkan firman Allah:

Tidak ada sesuatupun (mahar) atas kamu jika kamu kamu menceraikan istri-istri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. (Qs.2, Al-Baqarah: 236)

Artinya, tidaklah berdosa atas orang yang menceraikan istrinya yang sebelum disentuhnya dan sebelum ditentukan maskawinnya sedangkan thalaq itu tidak terjadi sebelum adanya akad nikah.(Al hamdani,2011:139)

Apabila terjadi perkawinan tanpa menyebutkan maskawin, misalnya kawin dengan syarat tanpa memberikan maskawin, maka perkawinan itu tidak sah. Demikian pendapat Malikiyah dan Ibnu Hazm. Malik berkata: Apabila dalam perkawinan itu disyaratkan tanpa maskawin maka perkawinannya batal demi hukum, berdasarkan firman Allah:

Berikanlah maskawin itu kepada perempuan-perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian yang penuh kerelaan.(Qs:4, An Nisa: 4)

(42)

30 G. Gugurnya kewajiban membayar maskawin

Kita mengetahui bahwa maskawin adalah hak perempuan yang wajib dibayar suami kepada istrinya, akan tetapi apabila ada sesuatu sebab tertentu, maka maskawin dapat gugur, dan suami tidak wajib membayarnya.

Sebab-sebab yang menggugrkan maskawin itu ialah:

1. Terjadi perceraian sebelum berhubungan kelamin, dan sebabnya datang dari sang istri.

2. Si perempuan mengajukan fasakh, misalnya karena suami miskin atau cacat.

3. Suami mengajukan fasakh karena si perempuan itu cacat.

Dengan sebab-sebab diatas kewajiban memberi mut‟ah juga gugur. Karena yang akan diganti sudah lenyap sebelum diterimakan, maka tidak ada kewajiban ganti rugi, seperti penjual yang kehilangan barangnya sebelum barang tersebut diterimakan.

(43)

31 BAB III

TATA CARA PERKAWINAN SUKU BUGIS

A. Proses Perkawinan Suku Bugis

Bagi masyarakat Bugis, perkawinan berarti siala “saling mengambil satu sama lain”. Jadi, perkawinan adalah ikatan timbal-balik. Walaupun mereka

berasal dari status sosial berbeda, setelah menjadi suami-istri mereka merupakan mitra. Hanya saja, perkawinan bukan sekadar penyatuan dua mempelai semata, akan tetapi suatu upacara penyatuan dan persekutuan dua keluarga yang biasanya telah memiliki hubungan sebelumnya untuk mempereratnya (ma‟pasideppe‟ mabelae atau mendekatkan yang sudah jauh).

Hal ini juga sering ditemukan dua sahabat atau mitra usaha yang bersepakat menikahkan turunan mereka, atau menjodohkan anak mereka sejak kecil. (Pelras, 2006:180)

Perkawinan (mappabotting) bagi masyarakat Bugis-Makassar adalah sesuatu yang sangat sakral dan merupakan simbol status sosial yang dihargai. Diiringi aturan adat serta agama sehingga membentuk rangkaian upacara yang unik, penuh tata krama, dan sopan santun serta saling menghargai satu sama lain. Dalam pelaksanaannya terdapat beberapa tahap yang harus dilalui yaitu:

1. Makkapese’-kapese’ dan Mattiro

(44)

32

keluarga juga akan mencari tahu tentang calon pengantin perempuan yang akan dilamar, apakah ia sempurna secara fisik atau memiliki kekurangan tertentu.

Setelah itu bagi kaum bangsawan, garis keturunan perempuan dan laki-laki diteliti secara saksama untuk mengetahui status kebangsawanan mereka sesuai atau tidak. Jangan sampai tingkat pelamar lebih rendah dari tingkat perempuan yang akan dilamar.

2. Ma’duta

Setelah kunjungan resmi pertama untuk mengajukan pertanyaan secara tidak langsung dan halus, apabila keluarga perempuan menyambut baik niat kunjungan pertama dari pihak laki-laki, maka kedua pihak menentukan hari untuk mengajukan lamaran (ma‟duta) secara resmi.

(45)

33 3. Mapettu Ada

Mapettu ada‟ ialah memutuskan dan meresmikan segala hasil pembicaraan yang diambil pada waktu pelamaran dilakukan, dalam bahasa Bugis dinamakan “mappasiarekkeng” seperti uang belanja, leko, maskawin, hari akad nikah, dan lain-lain sebagainya. mapettu ada‟ ini dilaksanakan dalam bentuk dialog antara juru bicara pihak pria dengan juru bicara pihak perempuan. Adapun yang dibicarakan dalam rangkaian acara mapettu ada‟ adalah sebagai berikut;

a. Tanra Esso, penentuan acara puncak atau hari pesta pernikahan sangat perlu mempertimbangkan beberapa faktor, seperti sewaktu-waktu yang dianggap luang bagi keluarga. Jika keluarga, baik laki-laki atau perempuan itu petani, biasanya mereka memilih waktu sesudah panen. (Nurnaga, 2001:18)

b. Leko (seserahan) Adapula hadiah-hadiah yang biasa disebut dengan leko. Leko ini diberikan pada waktu mengantar pengantin laki-laki ke rumah pengantin perempuan untuk melaksanakan akad nikah. Biasanya leko ini berisikan seperti kelengkapan untuk pengantin perempuan yang terdiri dari make up, sepatu, dan lain sebagainya. (Nurnaga, 2001:51)

(46)

34

yang manis; buah nangka (panasa) diibaratkan dekat atau kenalan yang dihormati orang tuanya, tetapi kedua orang tua dan calon pengantin sendiri tidak ikut hadir. Juru bicara pihak laki-laki kemudian membahas kembali hal-hal yang telah disepakati, kemudian dijawab oleh wakil pihak perempuan, lalu ditentukanlah hari pesta pernikahan. Setelah itu, hadiah- hadiah yang dibawa diedarkan kepada wakil pihak perempuan untuk diperiksa, pertama-tama oleh kaum pria kemudian perempuan, selanjutnya dibawa ke kamar calon mempelai perempuan.

d. Ma‟pabottingatau Menre‟ Botting “NaiknyaMempelai”

Ma‟pabotting atau menre‟ botting “naiknya mempelai” adalah mengantar pengantin pria ke rumah pengantin wanita untuk melaksanakan akad nikah. Dalam acara menre‟ botting mempelai pria datang bersama pengiringnya kemudian harus melewati berbagai macam rintangan simbolik (mallawa botting), seperti melewati pagelaran silat, permainan sepak raga di depan rumah mempelai perempuan. Iring- iringan mempelai laki-laki baru bisa lewat apabila telah memberikan hadiah kepada orang-orang yang menghalangi jalannya tersebut.

(47)

35

Islam. Setelah para saksi dan wali serta pihak penghulu hadir maka kedua mempelai laki-laki diminta oleh penghulu untuk mengucapkan kalimat syahadat. Kemudian penghulu mengucapkan ijab dengan kalimat upannikako sibawa hanna sompana 88 rial (saya nikahkan kamu dengan Hanna dengan mahar 88 rial).

Kemudian mempelai laki-laki menyatakan menerima (kabul) dengan mengucapkan Utarimai nikkana Hanna sompana 88 rial (saya terima nikahnya Hanna dengan mahar 88 rial). Setelah menanyakan kepada saksi, penghulu kemudian menutupnya dengan doa.

(48)

36

B. Profil Keluarga Yang Melakukan Praktek Tingginya Penetapan Mahar

1. Bapak Jamaluddin dan Ibu Ruki

Bapak Jamaluddin dan Ibu Ruki merupakan salah satu contoh keluarga yang melakukan praktek penetapan tingginya mahar suku bugis di Maros RT 001 RW 003 kelurahan/desa: bontoa. Kecamatan: mandai. Maros sulawesi selatan. Dari hasil perkawinan Bapak jamaluddin dan ibu ruki dikaruniai tiga orang anak diantaranya satu orang laki-laki dan 3 orang perempuan. Setiap hari Bapak Jamaluddin bekerja sebagai seorang kontraktor mobil-mobil besar pada sebuah perusahan di Maros, sedangkan ibu Ruki setiap hari bekerja pada sebuah pabrik tekstil di maros.

Pada 5-Desember-2015 Bapak Jamaluddin dan Ibu ruki menikahkan anaknya yang bernama Imah Rismawati yang lahir pada 13-April-1993 dengan Burhan yang lahir pada 7-Maret-1991.

Imah Rismawati merupakan anak kedua dari Bapak Jamaluddin dan Ibu Ruki, Imah Rismawati beragama Islam, memiliki tinggi badan kurang lebih 150 cm, berkulit putih dan berambut bergelombang, adapun jenjang pendidikan yang di tempuh oleh Imah Rismawati hanya tamatan SMA.

(49)

37

Dari hasil perkawinan antara Imah Rismawati dan Burhan dikaruniai seorang putra yang bernama Sadiq umur 2 tahun. Imah Rismawati setiap hari berprofesi sebagai ibu rumah tangga sedangkan Burhan berprofesi sebagai karyawan toko bangunan di Maros. Adapun sompa (mahar) yang diberikan oleh keluarga Burhan kepada keluarga Imah Rismawati sebagai berikut:

Tabel 1 : jenis sompa (mahar) yang diberikan.

No

Nama pasangan Wali nikah Sompa (Mahar)

Imah Rismati dan Burhan

Jamaluddin Seperangat alat sholat - Uang tunai 30 juta - Cincin emas 4 gram

-Seserahan lain yang dibawa senilai 2 juta

- Beras 50 Kg

-Erang-erang atau Bosara (Bugis) berupa:

. Kue . buah

(50)

38 2. Bapak Ahmid dan Ibu Jamila

Bapak Ahmid dan Ibu Jamila merupakan contoh kedua dari keluarga yang menetapkan tingginya nilai mahar suku Bugis di jln: Abu Bakar Lambobo, Kelurahan Barabaraya, Kecamatan Makassar, Sulawesi selatan. Bapak Ahmid setiap hari bekerja sebagai pedagang atau pemilik toko sembako yang berukuran sangat besar di Makassar sedangkan Ibu Jamillah setiap hari bekerja sebagai supervisor pada sebuah pabrik yang memproduksi makan-makan ringan di makassar.

Dari hasil pernikahan bapak Ahmid dan Ibu Jamila melahirkan seorang anak tungal yang bernama Elfira Ahmid biasa dipanggil dengan nama sapaan Ayu. Pada tahun 2014 lebih tepatnya pada tangal 6-oktober-2014 Bapak Ahmid dan Ibu Jamila menikahkan anaknya Elfira Ahmid yang lahir pada tangal 7-juli-1991 dengan Syu‟aib yang lahir pada tangal 5-agustus-1989. Elfira Ahmid memiliki tinggi badan kurang lebih 150 cm, berkulit putih dan berambut lurus,sedangkan jenjang pendidikan yang ditempuh oleh Elfira Ahmid hanya sampai pada jenjang SMA. Elfira Ahmid setiap hari berprofesi sebagai ibu rumah tangga.

Syu‟aib memiliki tinggi badan kurang lebih 160 cm, berkulit putih dan

beranbut agak bergelombang, jenjang pendidikan yang di tempuh oleh Syu,aib hanya sampai pada jenjang SMA. Syu‟aib setiap hari berprofesi sebagai penjual HP di conter miliknya.

Pada tahun 2015 dari hasil pernikahan antara Elfira Ahmid dan Syu‟aib

(51)

39

Sompa (mahar) yang diberikan sebagai berikut: Tabel: jenis sompa (mahar) yang diberikan.

NO

Nama pasangan Wali nikah Sompa (mahar)

Elfira Ahmid dan Syu‟aib

Ahmid Seperangkat alat sholat Emas 5 gram

Uang Tunai 35 juta

Uang belanja untuk keperluan wanita 11 juta

Erang-erang atau Bosara (Bugis) make up wanita

kue khas bugis

C. Pandangan Tokoh Tentang Konsep Penetapan Mahar Pada Suku Bugis 1. Tokoh Agama Ustad Muhammad

Ustad Muhammad Nur bertempat tinggal di Pemukiman Bataram, kelurahan Taroada, kecamatan Turikale, kabupaten Maros Sulawesi selatan. Ustad Muhammad Nur merupakan tokoh agama di daerah tersebut, setiap hari beliau sebagai seorang Da‟I baik itu di sekolah-sekolah yang berbasis

islam maupun di masjid-masjid.

(52)

factor-40

faktor apa saja yang mempengaruhi tinggi dan rendahnya sompa wanita bugis.

a. Proses penetapan mahar

Ma‟duta yaitu: pihak utusan dari laki-laki mendatangangi pihak

perempuan dalam rangka lamaran pada saat itu kadang-kadang dibahaslah mahar wanita tersebut, hari ijab qobul, dan apa-apa saja yang perlu dibawa dan persiapkan untuk diserahakan kepada pihak wanita, kadang- kadang di suku Bugis memiliki beragam fariatif dalam penetapan mahar seperti Bugis Waru dan Wajo, daerah- daerah tersebut terkenal dengan tinggi uang sompa paling minim uang sompanya 50 juta keatas sedangkan khususnya Bugis Maros Uang sompa 25 keatas.

b. Faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya sompak wanita Bugis. Adapun faktor-faktornya ialah:

1) Dilihat dari sisi keturunan perempuan apakah dia keturunan bangsawan atau tidak.

2) Biasanya factor keturunan ini sangat mempengaruhi tinggi dan rendahnya Sompa wanita tersebut misalnya wanita tersebut kebetulan lahir dari kalangan bangsawan maka uang sompanya pun tinggi.

3) Dilihat dari pendidikan wanita apakah wanita tersebut hanya tamatan SMA ataukah S1.

(53)

41

5) Biasanya juga sompa wanita dipengaruhi oleh harga sembako pada saat itu, misalnya kebutuhan sandang pangan pada saat itu mahal, maka sompa wanita tersebut akan menjadi tinggi pula. 6) Biasanya juga sompa seorang wanita dipengaruhi oleh

keluarga-keluarga dekat wanita tersebut, misalnya dipengaruhi oleh paman dan bibinya, dikarnakan mengacu kepada uang sompa sebelumnya pada saat adik ataupun kaka dari wanita tersebut menikah dan nilai sompa yang diterima pada saat itu. 7) Biasanya juga sompa dilihat dari kedua orang tua wanita

tersebut, apabila orang tua wanita tersebut merupakan orang kaya atau juragan, maka sompa yang dimintapun akan mejadi tinggi.

Ustad Muhammad Nur di dalam hasil wawancara dengan penulis beliau menjelaskan bahwa Ia pernah melamarkan seorang temannya yang bernama Ahmad dengan seorang wanita Bugis bernama diana, pada waktu mahar yang beliau berikan sebanyak 8 juta, hal ini beliau menganggap mahar wanita bugis tersebut sangat murah disebabkan orang tua dari wanita tersebut merupan individu-individu yang memahi akan ajaran agama, dari faktor ini lah yang menyebabkan wanita tersebut mendapatkan nominal mahar rendah atau sedikit.

(54)

42

tidak mampu dan yang terjadi setelah itu hamil diluar nikah atau nikah dibawah tangan maka resiko yang akan diterima oleh laki-laki tersebut adalah halal darahnya atau dalam kata lain dibunuh, persoalan ini biasa terjadi di daerah Bugis Jeneponto.

2. Tokoh Adat dan Masyarakat Bapak H, Iqbal S

H. Iqbal. S adalah seorang tokoh masyarakat sekaligus tokoh agama,praktisi dan hakim di bidang Mu‟amalah, Beliau beralamat di

BTN Pemukiman Bataram, Kelurahan Taroada, Kecamatan Turikale, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.

H. Iqbal. S merupakan sosok vigur yang dijadikan panutan sekaligus contoh masyarakat di situ. Dari hasil wawancara penulis dengan warga sekitar situ, mereka menjelaskan bahwa H Iqbal. S merupakan sosok yang dermawan,ramah,santun dan Taat beribadah.

Setiap hari Beliau berprofesi sebagai hakim di bidang Mu‟amalah

sekaligus pengurus pondok pesantren Darussalm di daerah situ. H. Iqba. S memiliki usaha Toko bangunan dan memiliki 2 orang anak. Dari hasil wawancara penulis dengan H. Iqbal. S sebagai berikut:

a. Proses penetapan mahar

Dalam adat pernikahan Bugis sebelum seorang laki-laki mau meminang seorang wanita maka ada langkah-langkah yang harus dilalui sebagai berikut:

(55)

43

perempuan untuk menanyakan wanita tersebut. dalam bahasa Bugis dikatakan: kira-kira ada yang mau melamarki anakta dan berapa dipasang harga sompana.

Dari sinilah mulai adanya tawar menawar mahar dan penetapan mahar wanita tersebut.

Pettu Ada (kesepakatan) yaitu: penetapan jumah mahar, tanggal pernikahan atau resepsinya. hal ini terjadi apabila pada saat ta‟aruf pihak

delegasi laki-laki dan pihak wanita telah berbincang-bincang mengenai berapa nominal nilai mahar yang harus diberikan kepada wanita tersebut, biasanya dikasih jenjang waktu sampai 3 hari agar delegasi laki-laki kembali ke pihak wanita dalam rangka Pettu Ada (kesepakatan). Setelah semuanya telah sepakat maka langkah keberikuytnya

Manika (nikah) ijab qobul. Dalam adat perkawinan suku Bugis ijab qobul sama halnya seperti suku-suku lain nya diluar suku Bugis, hanya saja ada sedikit perbedaan dalam tata cara pernikahannya.

c. Faktor-faktor yang pengaruhi tingginya mahar wanita suku Bugis sebagai berikut;

Dari hasil wawancara penulis dengan H. Iqbal. S dapat diuraikan bahwa tinggi atau rendahnya mahar wanita bugis biasanya dipengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut:

(56)

44 rendahnya mahar wanita disuku Bugis.

Dilihat dari status sosial dari wanita tersebut, biasanya dilihat dari sisi keturunannya apakah wanita tersebut dari bangsawan apakah tidak, apabila dari mangsawan maka mahar nya pun akan semakin tinggi.

Dilihat dari sisi pendidikan wanita tersebut, biasanya mahar dipengaruhi oleh tingkat pendidikan wanita apabila jenjang pendidikan wanita itu tinggi, maka maharnyapun oleh orang tua wanita akan menetapkan tinggi mahar anaknya.

Dilihat dari keluarga perempuan apakah orang tuanya merupakan orang kaya apa hanya masyarakat biasa, hal ini biasa dilihat dari sisi apakah orang tua dari wanita tersebut sudah menunaikan ibadah Haji apakah belum, maka mahar yang ditetapkan untuk anaknya pun akan semakin tinggi.

(57)

45 BAB IV

ANALISIS MAHAR SUKU BUGIS

BERDASARKAN PERSPEKTIF ISLAM

Dalam penulisan ini penulis menganalisis dari dua aspek, yang pertama: analisis mengenai penetapan mahar pada suku Bugis dan yang kedua: bagaimana pandangan Islam tentang penetapan mahar suku Bugis.

A. Analisis penetapan pada Mahar Suku Bugis

Dalam adat pernikahan Bugis sebelum seorang laki-laki mau meminang seorang wanita maka ada langkah-langkah yang harus dilalui sebagai berikut:

1. Mamanu-manu (Ta‟aruf) biasa juga di sebut Mabajalaleng (buka jalan) yaitu: pihak laki-laki mengutus seorang delegasi kepada pihak perempuan untuk menanyakan wanita tersebut. dalam bahasa Bugis dikatakan: kira-kira ada yang mau melamarki anakta dan berapa dipasang harga sompana. Dari sinilah mulai adanya tawar menawar mahar dan penetapan mahar wanita tersebut.

(58)

46

3. Pettu Ada (kesepakatan) yaitu: penetapan jumah mahar, tanggal pernikahan atau resepsinya. hal ini terjadi apabila pada saat ta‟aruf pihak delegasi laki-laki dan pihak wanita telah

berbincang-bincang mengenai berapa nominal nilai mahar yang harus diberikan kepada wanita tersebut, biasanya dikasih jenjang waktu sampai 3 hari agar delegasi laki-laki kembali ke pihak wanita dalam rangka Pettu Ada (kesepakatan). Setelah semuanya telah sepakat maka langkah keberikuytnya

4. Manika (nikah) ijab qobul. Dalam adat perkawinan suku Bugis ijab qobul sama halnya seperti suku-suku lain nya diluar suku Bugis, hanya saja ada sedikit perbedaan dalam tata cara pernikahannya.

Adapun Faktor-faktor yang pengaruhi tingginya mahar wanita suku Bugis sebagai berikut

1. Biasanya orang tua wanita menetapkan tinggi mahar anaknya untuk menguji seberapa cinta, kasih sayang dan pengorbanan laki-laki tersebut terhadap anaknya, hal seperti ini biasa nya akan pengaruhi tinggi rendahnya mahar wanita disuku Bugis. 2. Dilihat dari status sosial dari wanita tersebut, biasanya dilihat

(59)

47

3. Dilihat dari sisi pendidikan wanita tersebut, biasanya mahar dipengaruhi oleh tingkat pendidikan wanita apabila jenjang pendidikan wanita itu tinggi, maka maharnyapun oleh orang tua wanita akan menetapkan tinggi mahar anaknya.

4. Dilihat dari keluarga perempuan apakah orang tuanya merupakan orang kaya apa hanya masyarakat biasa, hal ini biasa dilihat dari sisi apakah orang tua dari wanita tersebut sudah menunaikan ibadah Haji apakah belum, maka mahar yang ditetapkan untuk anaknya pun akan semakin tinggi.

Dari hasil wawancara penulis terhadap para nara sumber didapatkan bahwa dari faktor-faktor yang mempengaruhi mahar wanita Bugis maka banyak menimbulkan mafsadah yang sangat besar di antaranya‟‟ apabila sompak (mahar) telah ditetapkan akan tetapi dikemudian hari pihak dari laki-laki memundurkan diri dengan berdalih tidak mampu dan yang terjadi setelah itu hamil diluar nikah atau nikah dibawah tangan maka resiko yang akan diterima oleh laki-laki tersebut adalah halal darahnya atau dalam kata lain dibunuh, persoalan ini biasa terjadi di daerah Bugis Jeneponto.

B. Analisis penetapan Mahar suku Bugis Dalam Pandangan Islam

(60)

48

ةلنح نهتق دص ءاسنلااوتاو

"

ائرم ائينى هولكف اسفن ونم ا ءيش نع مكل بنط ن اف

“Berikanlah mas kawin ( saduq atau nihlah ) sebagai pemberian yang wajib kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian maskawin itu dengan senang hati, maka guanakanlah (makanlah) pemberian itu dengan sedap atau

nikmat”.

Al-quran hanya mengatur hukum pemberian mahar itu sebagai sebuah kewajiban, tidak mengatur tentang nominal ataupun batasan nilai mahar tersebut, akan tetapi Rasulullah Muhammad telah mengatur hal tersebut.

Dalam beberapa hadits nabi Muhammad menjelaskan bahwasanya di dalam ajaran islam jika seorang ingin menjalin sebuah rumah tangga dengan ikatan pernikahan, maka haruslah dipermudah proses pernikan tersebut, akan tetapi realiata yang terjadi di sebagian wilayah di Indonesia, kadang kala menghambat pernikahan salah satunya adalah mahar. Bagi sebagian daerah di Indonesia mahar bukanlah sesuatu yang dijadikan permasalahan akan tetapi di sebagian daerah mahar dianggap sebagai sesuatu yang sangatlah urgensi sekali dalam pernikan sehingga nominal atau besar kecilnya mahar ini lah yang menghambat pernikahan seseorang.

(61)

49

Jika ditinjau lebih lanjut dari KHI tersebut, didapati bahwasannya pasal yang tertera di dalamnya memberikan jalan terbaik, solusi, ataupun keringanan bagi siapa saja yang ingin membangun sebuah rumah tangga dengan tali pernikahan.

Kendatinya pernikahan adat Bugis bagi sebagaian orang merupakan sebuah topik pembahasan yang sangatlah fenomenal sekali, bagi sebagian kalangan diluar suku Bugis menganggap bahwasannya menikahi wanita-wanita Bugis sangatlah sulit disebabkan uang Panai atau maharnya yang terkenal begitu mahal.

Pembahasan mengenai mahar Jika dianalisis lebih lanjut sebenarnya ajaran islam berdasarkan Quran dan Hadits tidak melarang penentuan batasan nominal besar kecilnya mahar tersebut, begitu pula dengan kompilasi hukum islam, hanya saja dalam penentuan mahar haruslah melihat pada asas kesederhanaan. Ini semua dikarnakan perspektif huku islam mengutamakan maslahat dari pada mafsadahnya, Berdasarkan pada faktor-faktor tersebut tidak sedikit menimbulkan Mafsadah yang besar di bandingkan maslahatnya Sehingga dalam menganalisis persoalan ini penulis mengunakan Kaidah Fiqhiyyah sebagai alat ataupun landasan untuk dijadikan alat menganalisis teori dan fakta di lapangan mengenai mahar perkawinan.

(62)

50

kalimat Qawa‟id ad-din (fondasi-fondasi agama). (Fadal, 2008:1)

Adapun kata fiqh (fikih), secara Bahasa berarti pemahaman, sedangkan menurut istilah diartikan sebagai sebuah pengetahuan tentang hukum-hukum syar‟i yang bersifat praktis (amaliyyah) yang diperoleh melalui proses ijtihad. Dengan demikian Kaidah Fikih dapat diartikan sebagai dasar-dasar hukum mengenai perbuatan manusia yang diperoleh melalui proses ijtihad. (Fadal, 2008:2)

Mayoritas ulama fikih mendefinisikan kaidah fikih sebagai ketentuan-ketentuan hukum mengenai berbagai masalah yang bersifat umum. Kata umum di sini bukan berarti menyeluruh, tetapi lebih bersifat mayoritas, karena penetapan dilakukan melalui cara Ilhaq (mengambil sisi persamaan) atau Qiyas. (Fadal, 2008:2)

Syariat islam ibarat sebuah bangunan megah yang memilki beberapa menara. Adapun hukum-hukum islam ibarat satuan batuan permata yang dijadikan bahan penguat untuk bangunan tersebut.

(63)

51 2008:11-12)

Secara rinci, beberapa kegunaan kaidah-kaidah fikih dapat diketahui sebagai berikut:

Dalam kaidah fikih disebutkan bahwa:

ِ ِلاَصَاا ِبْلَج ْنِم ْوَا ِدِااَفَاا ُءْرَد

Artinya: Menolak mafsadat adalah lebih utama daripada menarik (menggapai) kemaslahatan).

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering dihadapkan kepada mafsadah dan maslahat. Keduanya terjadi secara berkelindan maka maslahat harus dilakukan atau diutamakan, sedangkan yang mafsadah harus dijauhi, tetapi jika suatu ketika seseorang dihadapkan kepada dua pilihan, antara menghindari mafsadah di satu sisi dan menggapai kemaslahatan di sisi lain, maka yang harus didahuluskan adalah menghindari bahaya daripada melakukan hal yang yang dapat mendatangkan maslahat, meskipun pilihan tersebut dapat menyebabkan sebagian kebaikan menjadi terabaikan. Sebab, perhatian syariat terhadap larangan (yang harus ditiggalkan) lebih besar dari pada perintah yang harus dilaksanakan. (Fadal, 2008:58-59)

(64)

52

SAW, Beliau memerintahkan pada umatnya agar bersegera mungkin menikah apabila sudah mampu untuk menikah, hal ini diperintahkan agar umatNya tidak terjerumus kepada kemaksiatan dalam hal perjinahan, akan tetapi jika dikaitkan dengan fenomena yang ada dilapangan banyak sekali ditemui umat muslim khususnya ada beberapa kalangan yang masih dipersulit dan diperhambat pernikahannya yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu dengan alasan yang bermacam-macam.

Berdasarkan fakta di lapangan yang penulis teliti sebenarnya adat perkawinan bugis tidak terlalu bertentangan dengan syariat islam, hanya saja ada beberapa sisi yang dianggap kurang sesuai dengan ajaran islam salah satunya dalam penetapan nominal tinggi dan rendahnya mahar berdasarkan survei di lapagan penulis mendapati bahwa dari persoalan mahar tersebut bisa menimbulkan mafsadah yang besar di bandingkan maslahatnya.

(65)

53

sebelum terjadi pernikahan lebih dulu maka halal darahnya atau kata lain dibunuh.

Inilah mafsadah yang akan terjadi apabila seseorang terhambat pernikahannya orang akan lebih sering memilih jalan pintas yaitu hamil di luar nikah atau nikah di bawah tangan, padahal hal tersebut di larang oleh agama karna dianggap tidak ssesuai dan bertentangan dengan ajaran islam berdasarkan firman Allah SWT:

ليِبَا َءاَاَو ًةَشِحاَف َناَك ُوَّنِإ اَنِّزلا اوُبَرْقَ ت َلََّو

Dan janganlah kalian mendekati zina; Sesungguhnya zina itu

adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.”

(Al-Israa’: 32)

Ayat ini jika dikaji secara seksama telah jelas bahwasannya melakukan perzinahan merupakan sesuatu yang dilarang dalam agama dan sangat dimurkai oleh Allah SWT.

Di dalam kaidah fikih yang lain juga disebutkan bahwa:

ٌةَمَّكَُمُّ ُةَداَعْلَا

(66)

54

Kaidah ini memiliki rujukan dalam nash Al-Qur‟an, salah satu dasar dari kaidah ini adalah firman Allah swt. Dalam surat al-A‟ruf: 199.

َينِلِىاَْاا ِنَع ْرِرْعَأَو ِ ْرُعْلاِب ْرُمْأَو َوْفَعْلا ِ ُخ

Artinya: Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf‟ serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.

Dalam istilah Bahasa arab, „adah berarti tradisi. Istilah lain dari tradisi adalah „ufr. Kedua istilah ini secara umum memiliki pengertian yang tidak jauh

berbeda. Dalam pembahasan ini, adah atau uruf dipahami sebagai suatu kebiasaan yang telah berlaku secara umum di tengah-tengah masyarakat di seluruh penjuru negeri atau pada suatu masyarakat tertentu yang berlangsung sejak lama.(Fadal, 2008:69)

Dari definisi tersebut, para ulama menetapkan bahwa sebuah tradisi yang bisa dijadikan pedoman hukum adalah:

1. Tradisi yang telah berjalan sejak lama yang dikenal masyarakat umum.

2. Diterima akal sehat sebagai sebuah tradisi yang baik.Tidak bertentangan dengan nash Al-quran dan hadits Nabi saw.

3. Menurut para ulama „adah (tradisi) bisa dijadikan dasar untuk menetapkan hukum syar‟i apabila tradisi tersebut telah berdlaku

(67)

55 tersebut dilakukan.

Syarat lain yang terpenting adalah tidak bertentangan dengan nash. artinya, sebuah tradisi bisa dijadikan pedoman hukum apabila tidak bertentangan dengan nash Qur‟an maupun hadits nabi saw. Karena itu sebuah tradisi yang

tidak memenuhi syarat ini harus ditolak dan tidak bisa dijadikan pijakan hukum bagi masyarakat.. nash yang dimaksud disini adalah nash yang bersifat qot‟i (pasti) yakni nash yang sudah jelas dan tegas kandungan hukumnya, sehingga tidak memungkinkan adanya takwil atau penafsiran lain.(Fadal, 2008:71)

Berangkat dari kaidah ini jika digunakann untuk menganalisis mahar suku Bugis, di sana tidak kita dapatkan kesesuaian, dikarnakan mahar suku Bugis merupakan sebuah tradisi yang sudah menjadi adat istiadat, namun bilamana kita kaitkan dengan syarat kapan sebuah adat bisa dikategorikan sebagai pijakan atau penetapan hukum maka adat penetapan mahar suku Bugis tidak termasuk dalam tiga syarat tersebut, oleh karena itu jika adat-istiadat suku manapun yang didalamnya bertentangan atau tidak sesuai dengan syariat Islam maka ditolak.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian angkak sebagai bahan tambahan pangan alami serta untuk mengetahui level yang optimal terhadap

Adapun hasil survei yang dilakukan terhadap jumlah keluarga di daerah distribusi air PDAM Kota Dumai sebagai berikut, Mayoritas jumlah anggota keluarga sampel

Pengaruh yang berasal dari word of mouth bernilai positif, sehingga semakin sering melakukan komunikasi word of mouth maka hal tersebut memberikan dampak yang

Penulisan jurnal ini menggunakan metode normatif yaitu menempatkan norma sebagai obyek penelitian hingga tercapainya suatu kesimpulan bahwa bentuk tanggung jawab pelaku usaha

Dapat dilihat pada Gambar 4.19 hasil pengujian eksperimental menujukkan pola peningkatan serta penurunan yang berbeda dengan hasil perhitungan dengan menggunakan persamaan

Leli Nailul Muna, 11410015, Pengaruh Peran Ayah ( Fathering ) terhadap Determinasi Diri ( Self Determination ) Pada Remaja kelas X di SMAN 3 Malang, Skripsi,

Salah satu mikroorganisme yang cukup penting dalam memanfaatkan fosfat yang ada di dalam tanah adalah Jamur Mikoriza yang berpotensi memfasilitasi penyediaan