• Tidak ada hasil yang ditemukan

ملسم و ىراخبلا Artinya : Dari Sahl bin Sa‟ad bahwa sesungguhnya Nabi SAW pernah didatangi

TATA CARA PERKAWINAN SUKU BUGIS

A. Proses Perkawinan Suku Bugis

Bagi masyarakat Bugis, perkawinan berarti siala “saling mengambil satu sama lain”. Jadi, perkawinan adalah ikatan timbal-balik. Walaupun mereka berasal dari status sosial berbeda, setelah menjadi suami-istri mereka merupakan mitra. Hanya saja, perkawinan bukan sekadar penyatuan dua mempelai semata, akan tetapi suatu upacara penyatuan dan persekutuan dua keluarga yang biasanya telah memiliki hubungan sebelumnya untuk mempereratnya (ma‟pasideppe‟

mabelae atau mendekatkan yang sudah jauh).

Hal ini juga sering ditemukan dua sahabat atau mitra usaha yang bersepakat menikahkan turunan mereka, atau menjodohkan anak mereka sejak kecil. (Pelras, 2006:180)

Perkawinan (mappabotting) bagi masyarakat Bugis-Makassar adalah sesuatu yang sangat sakral dan merupakan simbol status sosial yang dihargai. Diiringi aturan adat serta agama sehingga membentuk rangkaian upacara yang unik, penuh tata krama, dan sopan santun serta saling menghargai satu sama lain. Dalam pelaksanaannya terdapat beberapa tahap yang harus dilalui yaitu:

1. Makkapese’-kapese’ dan Mattiro

Makkapese‟-kapese‟ maksudnya ialah tahap penjajakan, tahap dimana perwakilan dari kelurga besar pihak laki-laki mulai menjajaki (mencari tahu) perempuan mana yang akan disandingkan dengan calon mempelai laki-laki, lalu dilanjutkan dengan mattiro dimana pihak

32

keluarga juga akan mencari tahu tentang calon pengantin perempuan yang akan dilamar, apakah ia sempurna secara fisik atau memiliki kekurangan tertentu.

Setelah itu bagi kaum bangsawan, garis keturunan perempuan dan laki-laki diteliti secara saksama untuk mengetahui status kebangsawanan mereka sesuai atau tidak. Jangan sampai tingkat pelamar lebih rendah dari tingkat perempuan yang akan dilamar.

2. Ma’duta

Setelah kunjungan resmi pertama untuk mengajukan pertanyaan secara tidak langsung dan halus, apabila keluarga perempuan menyambut baik niat kunjungan pertama dari pihak laki-laki, maka kedua pihak menentukan hari untuk mengajukan lamaran (ma‟duta) secara resmi.

Selama proses pelamaran berlangsung, garis keturunan, status, kekerabatan, dan kedua calon mempelai diteliti lebih jauh, sambil membicarakan sompa dan jumlah uang antaran (dui‟ menre‟) yang harus diberikan oleh pihak laki-laki untuk biaya pesta pernikanan pasangannya, serta hadiah persembahan kepada calon mempelai perempuan dan keluarganya. Setelah semua persyaratan ini disepakati, ditentukan hari pertemuan guna mengukuhkan (ma‟pasiarekkeng) kesepakatan tersebut.

33 3. Mapettu Ada

Mapettu ada‟ ialah memutuskan dan meresmikan segala hasil pembicaraan yang diambil pada waktu pelamaran dilakukan, dalam bahasa Bugis dinamakan “mappasiarekkeng” seperti uang belanja, leko, maskawin, hari akad nikah, dan lain-lain sebagainya. mapettu ada‟ ini dilaksanakan dalam bentuk dialog antara juru bicara pihak pria dengan juru bicara pihak perempuan. Adapun yang dibicarakan dalam rangkaian acara mapettu ada‟ adalah sebagai berikut;

a. Tanra Esso, penentuan acara puncak atau hari pesta pernikahan sangat perlu mempertimbangkan beberapa faktor, seperti sewaktu-waktu yang dianggap luang bagi keluarga. Jika keluarga, baik laki-laki atau perempuan itu petani, biasanya mereka memilih waktu sesudah panen. (Nurnaga, 2001:18)

b. Leko (seserahan) Adapula hadiah-hadiah yang biasa disebut dengan leko. Leko ini diberikan pada waktu mengantar pengantin laki-laki ke rumah pengantin perempuan untuk melaksanakan akad nikah. Biasanya leko ini berisikan seperti kelengkapan untuk pengantin perempuan yang terdiri dari make up, sepatu, dan lain sebagainya. (Nurnaga, 2001:51)

c. Sompa atau sunrang (Mahar) Pada hari kesepakatan itu hadiah pertunangan kepada mempelai perempuan (pasio‟ atau pengikat) dibawa, antara lain berupa sebuah cincin, beserta sejumlah pemberian simbol lainnya, misalnya tebu, sebagai simbol sesuatu

34

yang manis; buah nangka (panasa) diibaratkan dekat atau kenalan yang dihormati orang tuanya, tetapi kedua orang tua dan calon pengantin sendiri tidak ikut hadir. Juru bicara pihak laki-laki kemudian membahas kembali hal-hal yang telah disepakati, kemudian dijawab oleh wakil pihak perempuan, lalu ditentukanlah hari pesta pernikahan. Setelah itu, hadiah- hadiah yang dibawa diedarkan kepada wakil pihak perempuan untuk diperiksa, pertama-tama oleh kaum pria kemudian perempuan, selanjutnya dibawa ke kamar calon mempelai perempuan.

d. Ma‟pabottingatau Menre‟ Botting “NaiknyaMempelai”

Ma‟pabotting atau menre‟ botting “naiknya mempelai” adalah mengantar pengantin pria ke rumah pengantin wanita untuk melaksanakan akad nikah. Dalam acara menre‟ botting

mempelai pria datang bersama pengiringnya kemudian harus melewati berbagai macam rintangan simbolik (mallawa botting), seperti melewati pagelaran silat, permainan sepak raga di depan rumah mempelai perempuan. Iring- iringan mempelai laki-laki baru bisa lewat apabila telah memberikan hadiah kepada orang-orang yang menghalangi jalannya tersebut.

Setelah kedua mempelai berada dalam rumah, masih ada beberapa ritual serta halangan fisik dan simbolik yang harus dilewati sebelum pernikahan dianggap rampung. Pertama-tama dia harus mengikuti tata cara pernikahan sesuai dengan ajaran

35

Islam. Setelah para saksi dan wali serta pihak penghulu hadir maka kedua mempelai laki-laki diminta oleh penghulu untuk mengucapkan kalimat syahadat. Kemudian penghulu mengucapkan ijab dengan kalimat upannikako sibawa hanna sompana 88 rial (saya nikahkan kamu dengan Hanna dengan mahar 88 rial).

Kemudian mempelai laki-laki menyatakan menerima (kabul) dengan mengucapkan Utarimai nikkana Hanna sompana 88 rial (saya terima nikahnya Hanna dengan mahar 88 rial). Setelah menanyakan kepada saksi, penghulu kemudian menutupnya dengan doa.

Selanjutnya mempelai melewati berbagai rintangan adat seperti mempelai laki-laki harus membayar secara simbolis perempuan penjaga pintu kamar mempelai perempuan, kemudian mempelai laki-laki menyentuh bagian tubuh mempelai perempuan (Mappakarawa). Setelah itu pengantin laki-laki dan perempuan secara simbolis dijahit dalam satu sarung. Setelah ritual-ritual tersebut dijalankan, perkawinan diresmikan di depan publik dimana kedua mempelai duduk berdampingan di pelaminan di dalam baruga yang dibangun di halaman rumah mempelai perempuan. (Perlas,2001:59)

36

B. Profil Keluarga Yang Melakukan Praktek Tingginya Penetapan

Dokumen terkait