• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PENGARUH KELEMBAGAAN FORMAL DAN INFORMAL TERHADAP PREFERENSI POLITIK ANGGOTA

Bab ini menguraikan tentang analisis pegaruh kelembagaan formal, informal, serta perbandingan pengaruh di antara keduanya. Uraian pada bab ini ditujukan untuk menjawab beberapa pertanyaan penelitian yaitu (1) Kelembagaan mana yang lebih besar pengaruhnya dalam penentuan preferensi politik? (2) Bentuk pengaruh apakah yang lebih dominan pada masing-masing kelembagaan? (3) Apakah pengaruh kelembagaan tertentu akan cenderung mengarah kepada tipe perilaku pemilih tertentu pula? Beberapa pertanyaan penelitian tersebut kemudian memunculkan beberapa rumusan dugaan yaitu (1) Kelembagaan informal memiliki pengaruh lebih besar dalam penentuan preferensi politik anggota (2) Kelembagaan formal memberikan pengaruh struktural dan sebaliknya kelembagaan informal memberi pengaruh konstruktif dalam penentuan preferensi politik anggota (3) Pengaruh kelembagaan tertentu akan cenderung mengarah kepada tipe perilaku tertentu pula.

Rumusan dugaan di atas dijawab dan dijelaskan dalam bab ini dengan didasarkan pada data kuantitatif yang didapatkan dengan menggunakan analisis regresi linear (alpha 10 persen), didukung dengan penjelasan kualititatif deskriptif. Untuk melihat ada tidaknya pengaruh antara pengaruh kelembagaan (X) dengan preferensi politik (Y) menggunakan analisis regresi linear, terdapat beberapa nilai yang perlu diperhatikan.3

Analisis Pengaruh Kelembagaan Formal terhadap Preferensi Politik Anggota

Kelembagaan formal pemerintah desa dalam kaitannya dengan pemilihan kepala desa sudah barang tentu memiliki kaitan yang sangat erat. Kelembagaan ini dapat dipastikan ikut mewarnai dinamika politik pemilihan kepala desa. Penelitian yang dilakukan Hidayat (2000) di Desa Tanjung Anom, Jawa Barat menunjukkan bahwa jabatan Kepala Desa dapat diperoleh dan dipertahankan dengan membentuk dan mengembangkan jaringan sosial dengan kelompok-kelompok strategis, salah satu di antaranya adalah kelompok elit desa. Sejalan dengan fakta pada penelitian-penelitian sebelumnya, peneliti menduga bahwa kelembagaan formal sedikit banyak akan memengaruhi preferensi politik anggota di pedesaan (paham komunitarianisme) untuk memilih kandidat Kepala Desa. Adapun bentuk pengaruh kelembagaan pemerintah desa diduga peneliti berupa pengaruh struktural. Dugaan ini didasarkan pada ciri kelembagaan formal menurut Etzioni (1985) berupa pembedaan kerja dan hierarki posisi. Jelasnya perbedaan posisi secara vertikal diduga peneliti memberi pengaruh dalam penentuan tindakan anggota termasuk dalam hal penentuan preferensi politik. Penelitian yang dilakukan mencatat bahwa sejumlah 76,67 persen anggota memilih kandidat nomor urut 2 (pemenang) dan sisanya 23,3 persen memilih kandidat nomor urut 1.

3

Pengaruh Kelembagaan Formal dalam Penentuan Tindakan Anggota

Tindakan politis anggota kelembagaan tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kelembagaan itu sendiri. Setiap anggota dapat dipastikan dipengaruhi tindakannya (sedikit atuau banyak) oleh kelembagaan yang menaunginya. Studi tentang tindakan-tindakan individu dalam kerangka kelompok (kelembagaan) telah banyak dilakukan, salah satunya oleh Sjaf (2013). Dalam bukunya, Sjaf mengistilahkan tindakan-tindakan individu berbasis kelompok ini sebagai politik identitas. Politik identitas didefinisikan sebagai tindakan politis yang mengedepankan kepentingan kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan etnik, gender, keagamaan, dan sejenisnya. Masih dalam buku yang sama, Sjaf (2013) mengutip teori Hardiman yang memberi garis penegas pada latar belakang individu menentukan tindakan politisnya. Paham pertama yaitu paham individualisme menekankan pada kebebasan individu dalam bertindak. Sebaliknya paham kedua yaitu paham komunitarianisme menekankan pada adanya pengaruh kelompok-kelompok dalam penentuan tindakan individu. Terakhir, paham kritisisme mengkritisi dua paham sebelumnya. Paham ini menekankan peran komunikasi sebagai pembentuk kesepakatan dan tindakan bersama.

Penelitian ini memfokuskan pada pengaruh kelembagaan dalam penentuan tindakan-tindakan individu anggotanya. Peran kelompok sebagai pemberi pengaruh mengarahkan pada hipotesis bahwa kelembagaan formal pemerintah desa mempengaruhi preferensi politik anggota. Adapun bentuk pengaruh kelembagaan dalam menentukan tindakan anggotanya mengacu teori Sjaf (2013) yaitu bentuk pengaruh struktural dan konstruktif. Pengaruh struktural yaitu pengaruh-pengaruh yang bersifat hierarkis dan kepatuhan sesuai posisi dalam kelompok. Sebaliknya pengaruh konstruktif menekankan pada pengaruh-pengaruh yang dibangun dan disepakati bersama. Pada kelompok kelembagaan formal pemerintah desa, diduga pengaruh yang lebih dominan adalah pengaruh struktural, dimana posisi dalam hierarki berkemungkinan besar menentukan tindakan anggota.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelembagaan formal pemerintah desa berpengaruh pada taraf sedang dengan persentase 60 persen (tabel 28) dalam penetapan keputusan dan tindakan-tindakan yang dilakukan anggotanya. Sejumlah 23.3 persen responden merasakan adanya pengaruh yang tinggi pada kelembagaan formal pemerintah desa dalam penentuan tindakannya. Adapun 16.7 persen responden lainnya kurang merasakan adanya pengaruh kelembagaan dalam kaitannya penentuan tindakan individu.

Tabel 28 Frekuensi dan persentase pengaruh kelembagaan dalam penentuan tindakan anggota pada kelembagaan formal

Kategori Jumlah responden Persentase ( %)

Tinggi 7 23.30

Sedang 18 60

Rendah 5 16.70

Pengaruh pada taraf sedang menunjukkan bahwa secara umum tidak ada pengaruh yang dominan dalam penentuan tindakan anggota. Anggota merasakan adanya pengaruh-pengaruh dari kelembagaan yang dinaungi namun belum mencapai pada pengaruh pada taraf tinggi (berpengaruh seenuhnya dalam berbagai macam hal penentuan tindakan). Hal ini dimungkinkan terjadi mengingat mayoritas anggota kelembagaan pemerintah desa adalah orang-orang baru. Orang- orang baru ini masih berada pada tahap penyesuaian dengan aturan dan budaya dalam kelembagaan pemerintah desa. Adapun orang-orang lama dalam lembaga ini sudah barang tentu lebih memahami aturan main dan budaya dalam kelembagaan sehingga pengaruh kelembagaan boleh jadi lebih besar.

Untuk memastikan segregasi tingkat pengaruh berdasarkan lamanya menjadi anggota, berikut disajikan tabel tingkat pengaruh berdasarkan lamanya menjadi anggota:

Tabel 29 Frekuensi dan persentase pengaruh kelembagaan berdasarkan lamanya menjadi anggota pada kelembagaan formal

Lama menjadi anggota

Pengaruh

Total

Rendah Sedang Tinggi

n % n % n % N % Anggota lama 3 10 8 26.67 4 13.33 15 50.00 Anggota baru 2 6.67 10 33.33 3 10 15 50.00 Total 5 16.7 18 60 7 23.3 30 100.00

Tabel 29 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pada tingkat pengaruh kelembagaan berdasarkan lamanya menjadi anggota. Seperti yang telah disebutkan pada pengantar bab, jumlah responden yang merupakan anggota baru berjumlah sama dengan jumlah responden yang merupakan anggota lama, yaitu sebanyak 15 orang sehingga totalnya berjumlah 30 orang. Pada pengaruh taraf tinggi, anggota lama menduduki nilai 1 poin lebih tinggi dibandingkan anggota baru. Artinya, pada anggota kelembagaan lama, sejumlah 4 orang responden merasakan pengaruh kelembagaan yang tinggi. Adapun sebanyak 3 orang anggota baru merasakan juga pengaruh yang tinggi pada kelembagaan formal. Begitu pula yang terjadi pada taraf sedang. Tidak ada perbedaan angka (nilai) yang signifikan. Perbandingannya adalah 8 (anggota lama) dan 10 (anggota baru). Terakhir, yaitu pada taraf rendah, juga tidak ditemukan perbedaan yang berarti. Berarti dalam hal ini, lamanya menjadi anggota belum tentu menjadi faktor yang menentukan tingkat pengaruh kelembagaan terhadap penentuan tindakan anggotanya.

Setelah memastikan angka-angka berdasarkan lamanya menjadi anggota, secara lebih detil dianalisis tingkat pengaruh berdasarkan posisi sosial dalam hierarki kelembagaan pemerintah formal.

Tabel 30 Frekuensi dan persentase pengaruh berdasarkan posisi sosial dalam hierarki kelembagaan pada kelembagaan formal

Posisi sosial

Pengaruh

Total

Rendah Sedang Tinggi

n % N % n % N % Pengurus inti 0 0 2 6.67 1 3.33 3 10 Pengurus harian 2 6.67 3 10 1 3.33 6 20 Staf 1 3.33 0 0 0 0 1 3.33 Anggota 2 6.67 13 43.98 5 16.67 20 66.67 Total 5 16.77 18 60 7 23.33 30 100.00

Tabel 30 menunjukkan bahwa pada posisi sosial paling bawah (anggota), pengaruhnya cenderung lebih besar dibandingkan dengan 2 posisi di atasnya (pengurus harian dan pengurus inti). Begitu pula pada posisi paling tinggi, tingkat pengaruh juga cenderung lebih besar. Hal ini sesuai dengan asumsi yang dibangun pada definisi operasional bahwa individu dengan posisi sosial yang rendah dalam hierarki kelembagaan akan mengalami tekanan struktur yang besar sehingga pengaruh (intervensi) kelembagaan menjadi besar. Sebaliknya individu yang berada pada posisi yang tinggi dalam kelembagaan tidak mengalami tekanan struktur. Pengaruh yang besar pada anggota dengan posisi sosial di atas lebih disebabkan karena keterikatan anggota tersebut dalam kelembagaan.

“...Tentunya sesuai aturan, namun dalam perjalanannya tentu ada yang harus kita tentukan sendiri dengan kebijakan kita dengan pengalaman kita. Sebaiknya bagaimana. Asal paham sekali sebatas mana yang boleh dan tidak...” (Pon, Kepala Dusun Sekarputih kelembagaan formal pemerintah desa)

Sebaliknya individu dengan posisi paling rendah akan sepenuhnya bertindak sesuai dengan perintah individu yang memiliki posisi sosial yang tinggi.

“...Saya melakukan sesuai dengan apa yang diperintahkan pak inggi (Kepala Desa). Kan saya bawahan. Sana yang memutuskan. Saya yang menjalankan sesuai yang diperintahkan...” (Sam, anggota kelembagaan formal pemerintah desa)

Pengaruh kelembagaan dalam menentukan tindakan anggotanya dalam penelitian ini terbagi dalam dua bentuk (merujuk Sjaf 2013), yaitu pengaruh struktural dan pengaruh konstruktif. Bentuk pengaruh struktural yaitu pengaruh yang mempertimbangkan posisi, kemampuan menentukan tindakan, dan keterikatan dalam kelembagaan. Sebaliknya pengaruh konstruktif yaitu pengaruh yang mempertimbangkan jalinan komunikasi, jaringan sosial, kemampuan melakukan peran yang variatif, dan lain-lain. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa bentuk pengaruh yang paling tinggi angkanya pada taraf sedang.

Tabel 31 Frekuensi dan persentase pengaruh struktural dalam penentuan tindakan anggota pada kelembagaan formal

Kategori Jumlah responden Persentase ( %)

Tinggi 9 30.00

Sedang 21 70.00

Rendah 0 0

Total 30 100.00

Tabel 31 menunjukkan bahwa mayoritas anggota kelembagaan formal (70 persen) merasakan pengaruh struktural pada taraf sedang. Adapun sebanyak 30 persen anggotanya merasakan pengaruh struktural pada taraf tinggi. Dalam hal ini, tidak ditemukan satu pun responden yang menyatakan bahwa kelembagaan formal tidak membawa pengaruh struktural sedikit pun. Hal ini menunjukkan tingginya pengaruh struktudal pada kelembagaan formal pemerintah desa.

Tabel 32 Frekuensi dan persentase pengaruh konstruktif dalam penentuan tindakan anggota pada kelembagaan formal

Kategori Jumlah responden Persentase ( %)

Tinggi 0 0

Sedang 23 76.70

Rendah 7 23.30

Total 30 100.00

Berkebalikan dengan hasil yang didapat pada pengaruh struktural, dalam pengaruh konstruktif, tidak ditemui satu pun responden yang merasakan pengaruh konstruktif pada taraf tinggi. Sebanyak 76.7 persen responden menyatakan merasakan pengaruh konstruktif pada taraf sedang, dan sisanya sebanyak 23.3 persen menyatakan merasakan pengaruh konstruktif pada taraf rendah.

Hasil yang ditunjukkan pada kedua tabel di atas memperlihatkan bentuk pengaruh kelembagaan formal pemerintah desa tidak mutlak dominan satu sama lain. Hal ini terlihat dari persentase terbesar pada kedua bentuk pengaruh tersebut berada pada taraf sedang, yaitu 70 persen pada pengaruh struktural, dan 76.7 persen pada pengaruh konstruktif. Namun demikian, bila dilihat lebih detil, pada taraf tinggi, pengaruh struktural memiliki persentase yang lebih tinggi (30 persen) daripada pengaruh konstruktif (0 persen). Hasil tersebut menunjukkan bahwa dalam kelembagaan formal pemerintah desa, bentuk pengaruh struktural lebih nampak dan dirasakan dibandingkan pengaruh konstruktif.

Preferensi Politik Anggota

Perilaku pemilih secara sederhana didefinisikan sebagai suatu studi yang memusatkan diri pada bidang yang menggeluti kebiasaan atau kecenderungan pilihan rakyat dalam pemilihan umum serta latar belakang mengapa mereka melakukan pilihan itu (Plano, Ringgs, & Robin 1985). Preferensi politik dalam hal ini direpresentasikan oleh tipe perilaku pemilih yang meliputi tipe psikologi, sosiologi, ekonomi. Tipe perilaku psikologi mempertimbangkan unsur loyalitas pemilih terhadap kandidat, pembentukan sikap politik, dan keterdedahan terhadap

pendidikan politik. Adapun tipe perilaku sosiologi menekankan pada aspek-aspek sosial seperti kohesi sosial, pengelompokan sosial, dan informasi sosial. Terakhir, tipe perilaku ekonomi, menekankan pada aspek-aspek kebutuhan konkret pemilih, tujuan pemilih, dan orientasi pemilih. Berikut adalah tabel jumlah dan persentase preferensi politik dilihat dari tipe perilaku pemilihnya.

Tabel 33 Frekuensi dan persentase tipe perilaku psikologi pada kelembagaan formal

Kategori Jumlah responden Persentase ( %)

Tinggi 10 33.30

Sedang 17 56.70

Rendah 3 10.00

Total 30 100.00

Seperti tertera pada tabel 33, tipe perilaku psikologi mayoritas berada pada taraf sedang (56.7 persen). Begitu juga pada taraf tinggi, angka persentase yang cukup tinggi didapat yaitu 33.3 persen. Artinya, dalam menetapkan preferensi politik, pertimbangan-pertimbangan psikologis banyak berperan dan tidak jarang menjadi pertimbangan utama. Adapun pertimbangan-pertimbangan psikologis yang banyak dijumpai pada responden yang diwawancarai adalah loyalitas karena trah politik yang dimiliki kandidat. Kepemilikan warisan sejarah pemimpin menjadi kekuatan utama. Seperti diketahui, saudara, ayah, dan kakeknya merupakan mantan Kepala Desa di Desa Sumberejo. Citra yang baik yang berhasil dibangun keluarga ini membawa kandidat nomor urut 1 kemudian berani dan masih mendapat dukungan dari loyalis-loyalis keluarganya.

“...Disini, orang-orang muda itu pendukungnya Pak At, kalau pak Akh itu yang tua-tua yang dukung, mbak. Soalnya melihat dulu pemerintahan orang tua dan kakeknya bagus...” (Suh, anggota kelembagaan formal pemerintah desa)

“...Pilih yang dekat, yang kenal. Akh ini orangnya baik. Bapak dan kakeknya riwayatnya baik...” (Man, anggota kelembagaan formal pemerintah desa)

Sedangkan pada kandidat nomor urut 2 (pemenang), ketokohan dan karakter kandidat yang dinilai baik menjadi kekuatan utama. Seperti diketahui, kandidat nomor urut 2 (pemenang) merupakan guru agama sekaligus tokoh agama muda di desanya sehingga para orang tua yang puteranya mengaji padanya lebih mempercayakan tampuk kepemimpinan kepada kandidat nomor urut 2.

“...Orangnya baik, karakternya baik, ke masyarakat baik, agamanya baik, NU-nya baik...” (Sul, anggota kelembagaan formal pemerintah desa)

Kandidat nomor urut 2 pada periode sebelumnya sempat mencalonkan diri sebagai Kepala Desa namun tidak berhasil memenangkan jumlah suara. Pada pemilihan kepala desa kali ini, loyalis-loyalis kandidat nomor urut 2 semakin solid

dan banyak sehingga berhasil memenangkan perhelatan politik pemilihan kepala desa di tahun 2014.

Tabel 34 Frekuensi dan persentase tipe perilaku sosiologi pada kelembagaan formal

Kategori Jumlah responden Persentase ( %)

Tinggi 10 33.33

Sedang 16 53.33

Rendah 4 13.33

Total 30 100.00

Nilai yang sama dengan tipe perilaku psikologi pada taraf tinggi, diperoleh tipe perilaku sosiologi. Isu yang sempat santer berkembang dan berhasil memobilisasi suara ke kandidat nomor urut 2 adalah adanya isu bahwa kandidat nomor urut 1 merupakan perpanjangan tangan dari kepala desa periode sebelumnya. Terlebih kepala desa sebelumnya secara terang-terangan menyatakan dukungannya kepada kandidat nomor urut 1. Awalnya, dukungan ini dianggap sebagai tanda akan diterimanya kemenangan mutlak bagi kandidat nomor urut 1 dengan membawa embel-embel kepala desa lama yang terkenal ditakuti oleh warga Desa Sumberejo. Fakta yang terjadi adalah sebaliknya, isu ini membawa kandidat nomor urut 1 kehilangan banyak dukungan. Dukungan justru terpusat kepada kandidat nomor urut 2 karena isu yang beredar tersebut.

“...Dukungan dari mantannya malah ngerusak suara. Dipikirnya tadinya akan bikin suaranya jadi banyak eeh ternyata malah jadi ngurangi...” (Sun, anggota kelembagaan formal pemerintah desa)

Ditambah lagi dengan visi kandidat nomor urut 2 yang berani memberikan janji untuk menjadi kepala desa yang berkebalikan karakter dengan kepala desa sebelumnya dengan tagline andalannya „ora nargetan‟. Alasan-alasan sosiologis akibat isu yang berkembang ini menjadikan suara kemudian berat di kandidat nomor urut 2.

“...Dulu raskin itu seret turunnya. Sekarang ndak lagi. Pajak juga dijanjikan gratis. Biaya nikah juga. Duh kalau dulu nikah bayarnya mahal. Anak saya ini yang nikah saya kena delapan ratus ribu...”(Ket, anggota kelembagaan formal pemerintah desa)

Tabel 35 Frekuensi dan persentase tipe perilaku ekonomi pada kelembagaan formal

Kategori Jumlah responden Persentase ( %)

Tinggi 0 0

Sedang 22 73.30

Rendah 8 26.70

Total 30 100.00

Adapun pada tipe perilaku ekonomi, tidak ada satu responden pun yang memiliki nilai pada taraf tinggi. Seperti pada hasil analisis pengaruh kelembagaan

terhadap preferensi politik anggota secara keseluruhan pada bab sebelumnya, pertimbangan-pertimbangan ekonomi bukan menjadi alasan utama dalam menentukan preferensi politik, namun pertimbangan ekoomi juga bukan hal yang dikesampingkan pemilih. Pertimbangan ekonomi menjadi pertimbangan lain di samping pertimbangan-pertimbangan bersifat psikologis dan sosiologis pada pemilih.

Hasil yang telah dipaparkan di atas menunjukkan bahwa tipe perilaku pemilih soseorang tidak dapat mutlak mengacu pada satu tipe saja. Sebagai contoh, seorang dengan tipe psikologi (skor tipe psikologi tinggi), ternyata juga memiliki ciri-ciri memilih bertipe sosiologi (skor sosiologi sedang). Hal ini menunjukkan bahwa dalam menentukan pilihan kandidat kepala desa, para anggota kelembagaan memiliki pertimbangan-pertimbangan yang kompleks. Satu orang boleh jadi memilih karena loyalitasnya namun sekaligus karena alasan- alasan ekonomi tertentu.

Seperti diketahui, kelembagaan formal merupakan kelembagaan dengan struktur (hierarki) sebagai ciri utamanya. Maka untuk melihat pengaruh kelembagaan terhadap penentuan tindakan anggota, ciri tersebut dapat digunakan sebagai dasar. Faktor lain yang juga dapat dilihat yaitu lamanya menjadi anggota. Faktor ini dimungkinkan ada terkait dengan internalisasi nilai-nilai kelembagaan dalam diri individu anggota. Anggota lama tentunya lebih dahulu mengenal kelembagaan yang menanungi daripada anggota baru sehingga aturan dan nilai yang ada di dalam kelembagaan sangat dimungkinkan lebih diresapi oleh anggota lama. Posisi sosial dan lamanya menjadi anggota adalah dua hal yang sangat dimungkinkan menjadi faktor yang melatarbelakangi tingkat pengaruh kelembagaan. Berikut adalah tabel tingkat pengaruh dilihat dari lamanya menjadi anggota.

Tabel 36 Frekuensi dan persentase tipe perilaku pemilih psikologi berdasarkan lamanya menjadi anggota pada kelembagaan formal

Lama menjadi anggota

Tipe perilaku psikologi

Total

Rendah Sedang Tinggi

n % N % n % N % Anggota lama 2 6.67 9 30 4 13.33 15 50.00 Anggota baru 1 3.33 8 26.67 6 20 15 50.00 Total 3 10 17 56.67 10 33.3 30 100.00

Tabel 36 menunjukkan bahwa pada tipe perilaku psikologi, responden kelembagaan formal mayoritas menempatkan pertimbangan-pertimbangan psikologis untuk menetapkan preferensi politik pada taraf sedang (56.7 persen). Tidak ada perbedaan yang signifikan pada tipe ini baik di anggota lama maupun anggota baru. Pada taraf sedang terlihat bahwa angka pada anggota lama lebih tinggi (30 persen) dibanding angka pada anggota baru (26.67 persen). Namun pada taraf tinggi, anggota baru justru lebih tinggi nilainya (20 persen) dibanding anggota lama (13.33 persen). Artinya, pada tipe psikologi, anggota lama dan anggota baru memiliki peluang yang sama untuk menjadikan pertimbangan-

pertimbangan psikologis menjadi pertimbangan utama ataupun pertimbangan lain dalam penentuan preferensi politik.

Tabel 37 Frekuensi dan persentase tipe perilaku pemilih sosiologi berdasarkan lamanya menjadi anggota pada kelembagaan formal

Lama menjadi anggota

Tipe perilaku sosiologi

Total

Rendah Sedang Tinggi

N % n % n % N % Anggota lama 2 6.67 8 26.67 5 16.67 15 50.00 Anggota baru 2 6.67 8 26.67 5 16.67 15 50.00 Total 4 13.3 16 53.34 10 33.34 30 100.00

Angka yang menarik ditunjukkan pada tabel 37. Terlihat bahwa tidak ada sama sekali perbedaan persentase pada anggota lama dan anggota baru. Angka yang sama persis mengisi pada taraf rendah (6.67 persen), sedang (53.3 persen), maupun tinggi (33.3 persen). Hal ini menunjukkan bahwa tipe perilaku sosiologi dapat dimungkinkan menjadi pertimbangan utama dan pertimbangan lain pada anggota lama maupun anggota baru. Anggota lama seperti dijelaskan sebelumnya, memiliki keterikatan yang mendalam kepada kelembagaan sehingga kemudian terjadi obrolan-obrolan yang secara sadar maupun tidak mengarahkan pada kesepakatan pilihan yang sama.

“...Ya milih temen sendiri mbak. Sesama pegawai di desa. Teman- teman dan pak Kepala Desa juga milih dia kompak. Tapi ada beberapa juga orang lama yang ndak milih pak Ak...” (Suh, anggota kelembagaan formal pemerintah desa)

Adapun pada anggota baru, pertimbangan-pertimbangan sosiologis berasal dari lingkungan sekitar.

“...Saya ikut orang kebanyakan, mbak. Kok arahnya sepertinya ke

nomor 1, saya ikut. Bagus memang kelihatannya peluangnya...” (Ana, anggota kelembagaan formal pemerintah desa)

Tabel 38 Frekuensi dan persentase tipe perilaku pemilih ekonomi berdasarkan lamanya menjadi anggota pada kelembagaan formal

Lama menjadi anggota

Tipe perilaku ekonomi

Total

Rendah Sedang Tinggi

n % N % n % N % Anggota lama 5 16.67 10 33.33 0 0 15 50.00 Anggota baru 3 10 12 40 0 0 15 50.00 Total 8 26.7 22 73.33 0 0 30 100.00

Menarik kemudian melihat angka pada tipe perilaku pemilih ekonomi. Kedua kelembagaan secara sama tidak menempatkan pertimbangan ekonomi sebagai pertimbangan yang utama. Hal ini ditunjukkan dengan nilai 0 persen pada tipe perilaku ekonomi taraf tinggi. Artinya, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pertimbangan ekonomi tidak menjadi pertimbangan utama. Pertimbangan-pertimbangan ekonomi menjadi pertimbangan lain anggota setelah pertimbangan psikologis dan sosiologis.

Faktor kedua yang dimungkinkan menjadi penentu tipe perilaku pemilih adalah posisi sosial anggota dalam hierarki kelembagaan. Hasil penelitian menunjukkan data sebagai berikut:

Tabel 39 Frekuensi dan persentase tipe perilaku psikologi berdasarkan posisi sosial dalam hierarki kelembagaan pada kelembagaan formal

Lama menjadi anggota

Tipe perilaku psikologi

Total

Rendah Sedang Tinggi

n % n % n % N % Pengurus inti 1 3.33 0 0 2 6.67 3 10 Pengurus harian 1 3.33 3 10 2 6.67 6 20 Staf 0 0 0 0 1 3.33 1 3.33 Anggota 1 3.33 14 46.67 5 16.67 20 66.67 Total 3 10 17 56.7 10 33.34 30 100.00

Hasil yang ditunjukkan tabel 39 memperlihatkan beragamnya nilai taraf tipe perilaku psikologi pada masing-masing posisi sosial. Pada anggota dengan posisi paling tinggi (pengurus inti), didapat hasil bahwa 2 dari sejumlah 3 pengurus inti, menempatkan pertimbangan-pertimbangan psikologis pada taraf tinggi. Artinya, anggota kelembagaan dengan posisi yang tinggi lebih condong ke tipe psikologi. Adapun pada posisi pengurus harian, angka tertinggi ditunjukkan pada taraf sedang. Begitu pula pada posisi anggota, menempati posisi sedang. Hal ini menunjukkan bahwa dalam penetapan preferensi politik, pertimbangan psikologi tersebar secara merata dan tidak dapat dicondongkan pada satu posisi anggota dalam kelembagaan.

Tabel 40 Frekuensi dan persentase tipe perilaku sosiologi berdasarkan posisi sosial dalam hierarki kelembagaan pada kelembagaan formal

Lama menjadi anggota

Tipe perilaku sosiologi

Total

Rendah Sedang Tinggi

n % N % n % N % Pengurus inti 0 0 1 3.33 2 6.67 3 10 Pengurus harian 2 6.67 2 6.67 2 6.67 6 20 Staf 0 0 1 3.33 0 0 1 3.33 Anggota 2 6.67 12 40 6 20 20 66.67 Total 4 13.3 16 53.3 10 33.3 30 100.00

Tidak ditemukan perbedaan yang cukup signifikan pada tipe perilaku pemilih dilihat dari posisi sosialnya. Namun demikian, bila ditelisik lebih dalam, dapat dilihat bahwa terdapat angka persentase yang cukup tinggi pada kelompok posisi sosial paling tinggi (pengurus inti) dan kelompok posisi sosial paling rendah (anggota). Sebanyak 2 dari 3 pengurus inti (66.67 persen) menempati taraf tinggi pada tipe perilaku sosiologi. Adapun pada anggota, sebanyak 12 dari 20 anggota (60 persen) menempati taraf sedang, dan sebanyak 6 dari 20 anggota (30 persen) menempati taraf tinggi. Hal ini membuktikan bahwa pada kelompok posisi sosial tinggi, pertimbangan-pertimbangan memilih dengan alasan sosiologis adalah tinggi (karena arahan dari Kepala Desa lama dan atas nama kohesi sosial). Adapun pada kelompok posisi sosial rendah, tingginya angka tipe perilaku sosiologi dapat disebabkan dari pengaruh lingkungan yang senantiasa mewarnai dinamika pada Pemilihan Kepala Desa Sumberejo. Isu-isu yang silih berganti datang mampu mengkonstruksi bangunan pikiran dan pertimbangan pemilih dalam menetapkan preferensi politiknya.

Tabel 41 Frekuensi dan persentase tipe perilaku ekonomi berdasarkan posisi sosial dalam hierarki kelembagaan pada kelembagaan formal