• Tidak ada hasil yang ditemukan

Preferensi Politik Anggota Kelembagaan di Desa Sumberejo, Lumajang, Jawa Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Preferensi Politik Anggota Kelembagaan di Desa Sumberejo, Lumajang, Jawa Timur"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

PREFERENSI POLITIK ANGGOTA KELEMBAGAAN

DI DESA SUMBEREJO, LUMAJANG, JAWA TIMUR

PUTRI NADIYATUL FIRDAUSI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Preferensi Politik Anggota Kelembagaan di Desa Sumberejo, Lumajang, Jawa Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2014

Putri Nadiyatul Firdausi

(4)
(5)

ABSTRAK

PUTRI NADIYATUL FIRDAUSI. Preferensi Politik Anggota Kelembagaan di Desa Sumberejo, Lumajang, Jawa Timur. Dibimbing oleh SOFYAN SJAF.

Keberadaan kelembagaan khususnya dalam masyarakat pedesaan, memberikan pengaruh (baik pengaruh struktural maupun konstruktif) yang penting terkait dengan preferensi politiknya saat pemilihan Kepala Desa. Besarnya pengaruh kelembagaan, baik secara struktural maupun kosntruktif dihubungkan dengan tipe perilaku pemilih anggota (sosiologis, psikologis, dan ekonomi) pada akhirnya akan memunculkan preferensi politik anggota dalam pemilihan Kepala Desa. Penelitian ini menganalisis bentuk-bentuk pengaruh pada kelembagaan formal pemerintah desa dan kelembagaan informal pengajian muslimat terhadap preferensi politik anggota. Analisis didasarkan pada data kuantitatif (analisis regresi) yang didukung dengan data kualitatif deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum kelembagaan di pedesaan berpengaruh terhadap preferensi politik anggota. Kelembagaan formal terbukti memberi pengaruh struktural terhadap preferensi politik pada tipe perilaku sosiologi, sementara pada kelembagaan informal pengajian muslimat tidak ditemukan satu pun bentuk pengaruh kelembagaan terhadap preferensi politik. Penemuan ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi utamanya bagi pemerintah untuk mengevaluasi aparatur yang memanfaatkan pengaruhnya secara struktural untuk kepentingan-kepentingan politik tertentu.

Kata Kunci: kelembagaan, preferensi politik, pemilihan Kepala Desa.

ABSTRACT

PUTRI NADIYATUL FIRDAUSI. Political Preferences of Institution‟s Member in Desa Sumberejo, Lumajang. Supervised by SOFYAN SJAF.

(6)
(7)

PREFERENSI POLITIK ANGGOTA KELEMBAGAAN

DI DESA SUMBEREJO, LUMAJANG, JAWA TIMUR

PUTRI NADIYATUL FIRDAUSI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Preferensi Politik Anggota Kelembagaan di Desa Sumberejo, Lumajang, Jawa Timur

Nama : Putri Nadiyatul Firdausi NIM : I34100017

Disetujui oleh

Dr Sofyan Sjaf, SPt MSi Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Siti Amanah, MSc Ketua Departemen

(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah Subhanahu wata‟ala atas karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Preferensi Politik Anggota Kelembagaan di Desa Sumberejo, Lumajang, Jawa Timur” ini dapat diselesaikan dengan baik. Peneliti menyadari penulisan skripsi ini dapat diselesaikan karena dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih tak terhingga kepada:

1. Dr. Sofyan Sjaf, dosen pembimbing skripsi yang telah dengan penuh kesabaran mengarahkan dan memberi pencerahan kepada penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi dengan baik.

2. Abi As‟at Malik dan Umma Tutuk Fajriatul Mustofiah, Mba Elda, Mas Taqim, Mas Kamal, Farah, Abdil, Indy, Naya, Alm Mbah Dollah, Mbah Ibuk, Mbah Yai, Mbah Nyai, dan segenap keluarga besar penulis yang merupakan sinar penyemangat hidup bagi penulis.

3. Ibu Anna Fatchiya, dosen pembimbing akademik yang selalu memberi motivasi kepada penulis untuk menjalani dan menyelesaikan kuliah dengan baik.

4. Keluarga besar Desa Sumberejo yang telah dengan murah hati dan terbuka menerima penulis menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari selama penelitian berlangsung.

5. Muhammad Faqih Wiratama yang senantiasa mencurahkan perhatian, dukungan, dan doa sehingga penulis tidak pernah kehilangan semangat untuk menyelesaikan skripsi.

6. Keluarga Dwi Regina tercinta, Lorensa, Novalina, Yane, Wulan, Iir, Iin, Ichan, Yolan, Maya, Putri, Juju, Helen, Maria, Ka Jane, Claudia, Sabet, Elsy, Yose, Iga, Haning, Teh Maya, Bapak Edi, Teh Yanti, Teh Yuyun, yang senantiasa mencerahkan hari-hari penulis.

7. Teman-teman seperjuangan, Saefihim, Achmad Fauzi, Anggi, Gebyar, Indah, Izmi, Citra, Ulfi, Luhur, Ka Fani, dan lain-lain yang senantiasa saling menguatkan dalam menjalani hari-hari kuliah.

8. Teman-teman bimbingan, Sofi, Habibi, Ka Resa, Ningsih, Annisa, Mimi, dan Tri, yang selalu kompak untuk bersama-sama menyelesaikan tanggungjawab. 9. Rekan asisten Mata Kuliah Sosiologi Pedesaan, Sylsilia, Bram, Ka Turasih,

Ka Zessy, Ka Rajib, Ka Lukman, dan Ka Anom, yang sering mengingatkan penulis untuk selalu maksimal dalam menyelesaikan skripsi.

10.Pak Abo dan teteh yang menjadi langganan penulis untuk mencetak tugas-tugas akhir dan skripsi, yang senantiasa menyambut penulis dengan semangat dan senyum ramahnya.

11.Semua pihak yang telah banyak mencurahkan dukungan dan bantuan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi banyak pihak.

Bogor, Juni 2014

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xv

DAFTAR LAMPIRAN xvii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 5

PENDEKATAN TEORITIS 7

Tinjauan Pustaka 7

Kerangka Pemikiran 13

Definisi Konseptual 15

Definisi Operasional 16

PENDEKATAN LAPANGAN 25

Metode Penelitian 25

Lokasi dan Waktu Penelitian 25

Teknik Sampling 25

Pengumpulan Data 26

Pengolahan dan Analisis Data 27

GAMBARAN LOKASI PENELITIAN 29

Kondisi Sosial dan Geografis 29

Karakteristik Responden 32

Ikhtisar 36

PROFIL KANDIDAT DAN DINAMIKA KONDISI SOSIAL POLITIK

PEMILIHAN KEPALA DESA SUMBEREJO 36

Gambaran Umum Pemerintahan Desa Sebelum Pemilihan Kepala Desa 2013 37

Pemilihan Kepala Desa 39

Latar Belakang Sosial Ekonomi Dua Kandidat Kepala Desa 40

Strategi Kandidat 42

Peta Kekuatan Kandidat 44

(14)

Pengaruh kelembagaan pedesaan dalam penentuan tindakan anggota 47

Preferensi politik anggota 53

Pengaruh kelembagaan terhadap preferensi politik anggota 58

Ikhtisar 61

ANALISIS PENGARUH KELEMBAGAAN FORMAL DAN INFORMAL

TERHADAP PREFERENSI POLITIK ANGGOTA 63

Analisis Pengaruh Kelembagaan Formal terhadap Preferensi Politik Anggota 63 Analisis Pengaruh Kelembagaan Informal terhadap Preferensi Politik Anggota

76 Analisis Perbandingan Pengaruh Kelembagaan Formal dan Informal terhadap

Preferensi Politik Anggota 85

Ikhtisar 89

SIMPULAN DAN SARAN 91

Simpulan 91

Saran 92

DAFTAR PUSTAKA 93

LAMPIRAN 94

RIWAYAT HIDUP 103

(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

Tabel 1 Uji statistik reliabilitas 26

Tabel 2 Jumlah dan persentase penduduk Desa Sumberejo berdasarkan agama yang dianut

29 Tabel 3 Jumlah dan persentase penduduk Desa Sumberejo

berdasarkan lulusan pendidikan

30 Tabel 4 Jumlah institusi pendidikan di Desa Sumberejo 30

Tabel 5 Sumber pemasukan desa 31

Tabel 6 Preferensi politik warga Desa Sumberejo pada Pemilihan Legislatif 2009

31 Tabel 7 Daftar nama pegawai pemerintah Desa Sumberejo 33 Tabel 8 Pengurus pengajian muslimat Desa Sumberejo 35

Tabel 9 Daftar nama Kepala Desa Sumberejo 37

Tabel 10 Profil kandidat Kepala Desa 39

Tabel 11 Rekapitulasi suara Pemilihan Kepala Desa Sumberejo 2013

40 Tabel 12 Perbandingan karakter kedua kandidat Kepala Desa 45 Tabel 13 Frekuensi dan persentase pengaruh kelembagaan dalam

penentuan tindakan anggota pada kelembagaan pedesaan

48 Tabel 14 Frekuensi dan persentase pengaruh berdasarkan posisi

sosial dalam hierarki kelembagaan pada kelembagaan pedesaan

49

Tabel 15 Frekuensi dan persentase pengaruh berdasarkan lamanya menjadi anggota pada kelembagaan pedesaan

50 Tabel 16 Frekuensi dan persentase pengaruh struktural dalam

penentuan tindakan anggota pada kelembagaan pedesaan

51 Tabel 17 Frekuensi dan persentase pengaruh konstruktif dalam

penentuan tindakan pada kelembagaan pedesaan

52 Tabel 18 Frekuensi dan persentase tipe perilaku psikologi pada

kelembagaan pedesaan

53 Tabel 19 Frekuensi dan persentase tipe perilaku sosiologi pada

kelembagaan pedesaan

54 Tabel 20 Frekuensi dan persentase tipe perilaku ekonomi pada

kelembagaan pedesaan

54 Tabel 21 Frekuensi dan persentase tipe perilaku pemilih psikologi

pada anggota lama dan baru kelembagaan pedesaan

55 Tabel 22 Frekuensi dan persentase tipe perilaku pemilih sosiologi

pada anggota lama dan baru kelembagaan pedesaan

56 Tabel 23 Frekuensi dan persentase tipe perilaku pemilih ekonomi

pada anggota lama dan baru kelembagaan pedesaan

56 Tabel 24 Frekuensi dan persentase tipe perilaku psikologi

berdasarkan posisi sosial dalam hierarki kelembagaan pada kelembagaan pedesaan

57

Tabel 25 Frekuensi dan persentase tipe perilaku sosiologi berdasarkan posisi sosial dalam hierarki kelembagaan

(16)

pada kelembagaan pedesaan

Tabel 27 Pengaruh kelembagaan terhadap preferensi politik pada kelembagaan pedesaan

59 Tabel 28 Frekuensi dan persentase pengaruh kelembagaan dalam

penentuan tindakan individu pada kelembagaan formal

64 Tabel 29 Frekuensi dan persentase pengaruh kelembagaan dilihat

dari lamanya menjadi anggota pada kelembagaan formal

65 Tabel 30 Frekuensi dan persentase pengaruh berdasarkan posisi

sosial dalam hierarki kelembagaan pada kelembagaan formal

66

Tabel 31 Frekuensi dan persentase pengaruh struktural dalam penentuan tindakan anggota pada kelembagaan formal

67 Tabel 32 Frekuensi dan persentase pengaruh konstruktif dalam

penentuan tindakan anggota pada kelembagaan formal

67 Tabel 33 Frekuensi dan persentase tipe perilaku psikologi pada

kelembagaan formal

68 Tabel 34 Frekuensi dan persentase tipe perilaku sosiologi pada

kelembagaan formal

69 Tabel 35 Frekuensi dan persentase tipe perilaku ekonomi pada

kelembagaan formal

69 Tabel 36 Frekuensi dan persentase tipe perilaku pemilih psikologi

berdasarkan lamanya menjadi anggota pada kelembagaan formal

70

Tabel 37 Frekuensi dan persentase tipe perilaku pemilih sosiologi berdasarkan lamanya menjadi anggota pada kelembagaan formal

71

Tabel 38 Frekuensi dan persentase tipe perilaku pemilih ekonomi berdasarkan lamanya menjadi anggota pada kelembagaan formal

71

Tabel 39 Frekuensi dan persentase tipe perilaku psikologi berdasarkan posisi sosial dalam hierarki kelembagaan pada kelembagaan formal

72

Tabel 40 Frekuensi dan persentase tipe perilaku sosiologi berdasarkan posisi sosial dalam hierarki kelembagaan pada kelembagaan formal

72

Tabel 41 Frekuensi dan persentase tipe perilaku ekonomi berdasarkan posisi sosial dalam hierarki kelembagaan pada kelembagaan formal

73

Tabel 42 Pengaruh kelembagaan terhadap preferensi politik pada kelembagaan formal

74 Tabel 43 Frekuensi dan persentase preferensi politik berdasarkan

lamanya menjadi anggota pada kelembagaan formal

75 Tabel 44 Frekuensi dan persentase pengaruh kelembagaan dalam

penentuan tindakan individu pada kelembagaan informal

(17)

berdasarkan posisi sosial dalam hierarki kelembagaan pada kelembagaan informal

Tabel 46 Frekuensi dan persentase pengaruh kelembagaan berdasarkan lamanya menjadi anggota

79 Tabel 47 Frekuensi dan peresntase pengaruh struktural dalam

penentuan tindakan anggota pada kelembagaan informal

79 Tabel 48 Frekuensi dan persentase pengaruh konstruktif dalam

penentuan tindakan anggota pada kelembagaan informal

79 Tabel 49 Frekuensi dan persentase tipe perilaku psikologi pada

kelembagaan informal

81 Tabel 50 Frekuensi dan persentase tipe perilaku sosiologi pada

kelembagaan informal

81 Tabel 51 Frekuensi dan persentase tipe perilaku ekonomi pada

kelembagaan informal

82 Tabel 52 Pengaruh kelembagaan terhadap preferensi politik pada

kelembagaan informal

84 Tabel 53 Perbandingan pengaruh pada kelembagaan formal dan

informal

85 Tabel 54 Perbandingan pengaruh struktural pada kelembagaan

formal dan informal

86 Tabel 55 Perbandingan pengaruh konstruktif pada kelembagaan

formal dan informal

87 Tabel 56 Perbandingan preferensi politik pada kelembagaan

formal dan informal

87 Tabel 57 Perbandingan pengaruh kelembagaan terhadap preferensi

politik pada kelembagaan formal dan informal

(18)

Nomor Halaman

Gambar 1 Kerangka pemikiran 14

Gambar 2 Bagan mekanisme pengambilan sampel 26

Gambar 3 Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan pada kelembagaan formal

33 Gambar 4 Karakteristik responden berdasarkan jenis pekerjaan pada

kelembagaan formal

34 Gambar 5 Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan

pada kelembagaan informal

35 Gambar 6 Karakteristik responden berdasarkan jenis pekerjaan pada

kelembagaan informal

35

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

Lampiran 1 Jadwal penelitian skripsi 95

Lampiran 2 Peta Desa Sumberejo 96

Lampiran 3 Daftar Panitia Pemilihan Kepala Desa Sumberejo tahun 2013

97 Lampiran 4 Kerangka sampling kelembagaan formal 99 Lampiran 5 Daftar responden kelembagaan informal 101

(19)

PENDAHULUAN

Bab ini memuat latar belakang, masalah penelitian, tujuan penelitian, dan kegunaan penelitian. Latar belakang penelitian menguraikan hal-hal yang melatarbelakangi penelitian dan memunculkan permasalahan penelitian secara umum (General Research Question). Permasalahan penelitian tersebut kemudian diuraikan secara lebih detil menjadi permasalahan yang spesifik (Spesific Research Question) pada bab masalah penelitian. Poin selanjutnya yaitu tujuan penelitian menjelaskan tujuan dari penelitian yang dilaksanakan berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan. Poin terakhir dari bab ini yaitu penjabaran tentang kegunaan penelitian baik bagi akademisi, pemerintah, dan masyarakat.

Latar Belakang

Demokrasi secara harfiah berasal dari kata demos (rakyat) dan kratos

(pemerintahan) yang secara sederhana diartikan sebagai pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat (Valentina 2009). Sistem pemerintahan ini menempatkan rakyat pada posisi tertinggi sebagai pemegang kedaulatan. Sebagai bentuk pemerintahan yang dianggap paling ideal, demokrasi dengan berbagai variannya banyak diterapkan oleh negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Disesuaikan dengan karakter dan budaya bangsa, Indonesia melakukan kombinasi prinsip demokrasi dengan asas negara Indonesia (Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945) sehingga dicetuslah bentuk pemerintahan Demokrasi Pancasila. Demokrasi Pancasila memberikan porsi yang besar terhadap sistem pengambilan keputusan dengan jalan musyawarah, sebagaimana yang disebutkan dalam Pancasila sila ke-4, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”.

(20)

Baru, dimana desa menjadi lebih seperti perpanjangan tangan pemerintah pusat dan kehilangan karakternya.

Hal ini terus terjadi hingga kemudian reformasi bergulir dan demokrasi berperspektif otonomi didengungkan. Otonomi desa mulai mendapatkan kembali karakternya, terlebih dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang desa untuk mewujudkan otonomi desa yang memberi kesempatan kepada masyarakat desa mengurus rumah tangganya sendiri termasuk dalam bidang politik dan pemerintahan (Uang 2012). Selain Peraturan Pemerintah tersebut, UU No. 22 Tahun 1999 tentang kerangka desentraslisasi politik juga ditetapkan pemerintah. Undang-undang ini memberi batasan kekuasaan pusat dan memberikan otoritas yang lebih luas kepada pemerintah daerah. UU No. 22/1999 menjadi prinsip utama untuk menghidupkan kembali parlemen desa dengan keberadaan Badan Permusyawaratan Desa (BPD), serta adanya pemberdayaan peran dan fungsi parlemen daerah untuk tujuan meningkatkan demokratisasi lokal melalui perluasan ruang partisipasi politik rakyat (Gayatri 2007).

Salah satu kegiatan dalam rangka perluasan partisipasi politik rakyat di desa adalah agenda pemilihan Kepala Desa. Desa pada dasarnya telah melakukan pemilihan Kepala Desa sejak sebelum Indonesia merdeka. Pemerintah Hindia Belanda pada masa politik kolonial, melalui penerbitan Indlandsche Gemeente Ordonanntie (IGO) Stbl. 1906 No. 83 memberikan ruang bagi desa untuk menjalankan pemerintahan sendiri dalam bentuk pengakuan hak-hak budaya desa, sistem pemilihan kepala desa, desentralisasi pemerintahan pada tingkat desa, parlemen desa, dan sebagainya. Penduduk „pribumi‟ diperintah secara langsung oleh penguasa pribumi, dan secara tidak langsung oleh penguasa Belanda. Adapun dalam prosesnya, pemilihan Kepala Desa dengan kelembagaan dan jaringan tradisional yang masih lekat di dalamnya selalu memberi warna dan pengaruh. Masih tingginya aktivitas dan keterikatan masyarakat dalam kelembagaan di pedesaan menyebabkan studi tentang pengaruh kelembagaan terhadap kecenderungan memilih (preferensi politik) anggotanya dalam pemilihan Kepala Desa menjadi penting untuk dilakukan.

(21)

Besarnya pengaruh kelembagaan terhadap preferensi politik seperti yang telah banyak diteliti tersebut, berhubungan erat dengan tipe perilaku pemilih. Anggota dalam kelembagaan melakukan konformitas dalam berbagai hal, termasuk keputusan politik, dengan ditentukan oleh tipe perilaku pemilihnya. Kristiadi dalam Valentina (2009) mengungkapkan bahwa terdapat tiga tipe perilaku pemilih yaitu tipe perilaku pemilih dengan pendekatan sosiologis, psikologis, dan ekonomi1. Keberadaan kelembagaan yang masih besar perannya di pedesaan dengan tipe perilaku pemilih seperti yang telah dijelaskan tersebut pada akhirnya akan menentukan preferensi politik anggota dalam pemilihan Kepala Desa.

Pengaruh kelembagaan yang begitu besar dalam proses pemilihan Kepala Desa banyak ditemui di desa-desa di Jawa Timur. Kelembagaan utamanya kelembagaan agama masih besar peran dan pengaruhnya terhadap pilihan masyarakat sehingga seringkali kelembagaan kemudian dijadikan alat untuk memobilisasi suara masyarakat. Masih besarnya pengaruh kelembagaan dalam kehidupan masyarakat utamanya dalam pemilihan pemimpin di daerah Jawa Timur ini kemudian menjadi alasan bagi peneliti untuk melakukan penelitian di desa di daerah Jawa Timur. Lebih spesifik peneliti menetapkan Desa Sumberejo, Kecamatan Sukodono, Kabupaten Lumajang sebagai tempat penelitian. Diketahui desa ini merupakan desa dengan sejumlah kelembagaan (baik formal maupun informal) yang beragam. Kelembagaan-kelembagaan di desa ini sedikit banyak memberi warna dalam pemilihan Kepala Desa. Terlebih diketahui bahwa kandidat yang memenangkan pertarungan politik ini adalah tokoh dari lembaga informal di desa setempat. Demikian pula dengan kandidat lawan yang kalah tipis dengan persentase 43,15 persen-56,11 persen (berdasarkan Data Rekapitulasi Kepala Desa di Lumajang 2013) diketahui merupakan orang dekat dari tokoh yang memiliki pengaruh yang cukup besar di desa setempat. Alasan ini yang kemudian melatarbelakangi peneliti untuk melakukan penelitian di Desa Sumberejo, Kecamatan Sukodono, Kabupaten Lumajang.

Perumusan Masalah

Pemilihan Kepala Desa merupakan agenda politik masyarakat pedesaan yang dilakukan rutin setiap periode tertentu. Terpilihnya Kepala Desa dalam Pemilihan Kepala Desa khususnya di daerah Jawa Timur seringkali dipengaruhi oleh kelembagaan-kelembagaan yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu permasalahan umum yang menjadi fokus penelitian adalah bagaimana pengaruh kelembagaan terhadap preferensi politik anggota dalam Pemilihan Kepala Desa?

Seperti diketahui, kelembagaan di pedesaan membawa pengaruh yang cukup besar dalam hal penentuan preferensi politik anggotanya. Adapun preferensi politik dapat dilihat dengan menganalisis tipe perilaku pemilih. Pengaruh kelembagaan (struktural dan konstruktif) dengan demikian secara

1

(22)

langsung maupun tidak berhubungan dengan perilaku pemilih anggota (sosiologi, psikologi, ekonomi). Oleh sebab itu, perlu untuk dianalisis sejauh mana pengaruh kelembagaan terhadap tipe perilaku pemilih?

Seperti dijelaskan pada latar belakang, Desa Sumberejo merupakan desa dengan sejumlah kelembagaan (baik formal maupun informal) yang beragam. Kelembagaan-kelembagaan yang ada tersebut akan senantiasa memberi pengaruh (baik secara langsung maupun tidak) dalam menentukan preferensi politik anggotanya. Adapun derajat pengaruh dari masing-masing kelembagaan dapat dimungkinkan berbeda satu sama lain. Oleh karena itu perlu diketahui

kelembagaan manakah yang lebih besar pengaruhnya dalam penentuan preferensi politik anggota? Secara lebih spesifik, apakah kelembagaan formal memiliki pengaruh lebih besar daripada kelembagaan informal? Atau sebaliknya?

Kelembagaan-kelembagaan yang ada di pedesaan mempengaruhi pilihan-pilihan politik mayarakat dengan bentuk yang beragam. Beberapa kelembagaan dapat memberi pengaruh struktural, dan beberapa kelembagaan lain mungkin memberi pengaruh konstruktif. Kedua bentuk pengaruh tersebut akan menentukan bagaimana budaya penentuan preferensi politik masyarakat pedesaan. Oleh karena itu penting untuk mengetahui pengaruh apakah yang lebih dominan pada kelembagaan dalam penentuan preferensi politik anggota? Apakah pengaruh struktural atau konstruktif?

Melihat pengaruh kelembagaan yang terdiri dari dua jenis yaitu pengaruh struktural dan konstruktif, juga dengan melihat tipe perilaku pemilih yaitu psikologi, sosiologi, dan ekonomi, memungkinkan pula untuk dianalisis hubungan pengaruh antara kedua konsep tersebut sehingga ditemui kecenderungan-kecenderungan tertentu. Maka muncul pertanyaan apakah pengaruh kelembagaan tertentu akan cenderung mengarah kepada tipe perilaku pemilih tertentu pula?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas, dapat dirumuskan tujuan penelitian umum pada penelitian ini yaitu untuk menganalisis pengaruh kelembagaan terhadap preferensi politik anggota dalam pemilihan Kepala Desa. Adapun tujuan-tujuan khusus pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis pengaruh kelembagaan terhadap tipe perilaku pemilih sehingga memunculkan preferensi politik tertentu.

2. Menganalisis kelembagaan yang memiliki pengaruh lebih besar dalam penentuan preferensi politik anggota.

3. Menganalisis bentuk pengaruh kelembagaan dalam penentuan preferensi politik anggota.

(23)

Kegunaan Penelitian

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan kegunaan bagi berbagai pihak, yaitu:

1. Bagi kalangan akademisi, penelitian ini diharapkan dapat memperluas pengetahuan mengenai pengaruh kelembagaan-kelembagaan yang ada di pedesaan dalam penentuan preferensi politik anggotanya. Penting untuk dipahami bahwa masyarakat desa merupakan masyarakat yang memiliki ikatan sosial yang kuat sehingga tidak jarang kelembagaan (formal maupun informal) senantiasa memberi warna dalam berbagai kehidupan masyarakat, termasuk dalam penentuan preferensi politik. Hal ini menunjukkan bahwa penelitian ini sangat penting untuk dilakukan dan didalami. Diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai literatur dan acuan untuk penelitian lebih dalam tentang pengaruh kelembagaan.

2. Bagi pembuat kebijakan (pemerintah), penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan tentang ragam kondisi politik di pedesaan sehingga dapat menetapkan kebijakan tentang Pemilihan Kepala Desa dengan lebih sesuai degan kondisi politik yang sebenarnya di pedesaan.

(24)
(25)

PENDEKATAN TEORITIS

Bab ini memuat tinjauan pustaka penelitian, kerangka pemikiran, hipotesis, dan definisi operasional dari variabel yang disebutkan pada kerangka pemikiran. Tinjauan pustaka berisi beberapa teori dan konsep terkait penelitian yang dilakukan. Teori dan konsep yang diuraikan pada tinjauan pustaka selanjutnya diturunkan menjadi variabel pengaruh dan terpengaruh yang digambarkan hubungannya pada kerangka pemikiran. Adapun hubungan dugaan antar variabel pada kerangka pemikiran diuraikan pada hipotesis penelitian. Variabel-variabel beserta hubungannya tersebut dijelaskan pengertian dan pengukurannya pada definisi operasional.

Tinjauan Pustaka

Kelembagaan dan Organisasi

Kelembagaan merupakan sebuah istilah yang dalam penggunaannya memiliki setidaknya dua perspektif. Secara harfiah, kelembagaan dapat diartikan dari terjemahan langsung istilah institution. Kelembagaan dalam perspektif ini merujuk kepada suatu badan seperti organisasi, asosiasi, dan sebagainya. Ogburn dan Nimkof dalam Nasdian (2003) misalnya, berpendapat bahwa kelembagaan dan asosiasi pada prinsipnya sama, hanya kelembagaan lebih penting dan umum, sedangkan asosiasi kurang penting dan bertujuan spesifik. Kelembagaan maupun asosiasi dipandang sebagai organisasi sosial, yakni sebagai kelompok. Adapun Bertrand dalam Nasdian (2003) mendefinisikan berbeda dengan perspektif pertama. Kelembagaan diartikan sebagai himpunan norma-norma segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat. Ia merupakan tata abstraksi yang lebih tinggi dari grup, organisasi, dan sistem sosial lainnya. Perspektif ini memandang kelembagaan sebagai kompleks peraturan dan peranan sosial secara abstrak.

Penelitian ini menempatkan kelembagaan pada perspektif pertama, yaitu kelembagaan yang secara harfiah merujuk pada istilah institutution, yaitu sebagai kelompok dan merujuk pada suatu badan, dalam hal ini dikhususkan yaitu organisasi. Organisasi adalah unit sosial (atau pengelompokan manusia) yang sengaja dibentuk dan dibentuk kembali dengan penuh pertimbangan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan tertentu (Parsons dalamEtzioni 1985).

Umumnya, organisasi ditandai oleh ciri-ciri sebagai berikut:

1. Adanya pembagian dalam pekerjaan, kekuasaan, dan tanggung jawab

2. Adanya satu atau beberapa pusat kekuasaan yang berfungsi mengawasi dan mengarahkan organisasi

3. Penggantian tenaga

(26)

dikejar dan diwujudkan oleh organisasi. Tujuan tersebut secara otomatis menciptakan sejumlah pedoman bagi landasan kegiatan organisasi, menjadi sumber legitimasi yang membenarkan setiap kegiatan organisasi, menjadi pAtan yang dapat digunakan baik oleh anggota organisasi maupun kalangan luar untuk menilai keberhasilan organisasi, serta menjadi tolok ukur bagi ilmuwan di bidang organisasi guna mengetahui seberapa jauh suatu organisasi berjalan dengan baik.

Organisasi dalam studinya mengalami banyak perkembangan. Setidaknya terdapat beberapa pendekatan dalam memahami organisasi dan perkembangannya (Etzioni 1985):

1. Aliran Manajemen Ilmiah. Pendekatan ini memandang bahwa motivasi anggota tumbuh karena perangsang ekonomis. Organisasi ditandai dengan pembagian kerja yang tegas dengan tenaga-tenaga yang memiliki keterampilan khusus dan juga oleh hierarki wewenang yang khas. Pandangan ini merupakan cikal bakal dari timbulnya organisasi formal.

2. Aliran Hubungan Manusia. Pendekatan ini menekankan kepada elemen emosional, tidak terencana, dan non-rasional di dalam perilaku organisasi. Rasa persahabatan dan pengelompokan sosial anggota bagi kemajuan organisasi merupakan hal penting dalam pendekatan ini. Diuraikan pula tentang manfaat kepemimpinan organisasi dan komunikasi emosional maupun partisipasi. Dari perspektif ini kemudian dikembangkan konsep organisasi informal. Ciri informal tersebut kadang dipandang sebagai apa yang tersirat di balik struktur organisasi formal.

3. Pendekatan strukturalis, merupakan titik temu teori organisasi yang menggabungkan konsep organisasi formal dan informal serta sekaligus memberikan gambaran tentang organisasi yang lebih lengkap dan terpadu.

Jika Etzioni (1985) mengungkapkan ada tiga jenis organisasi dalam perkembangannya (formal, informal, dan gabungan keduanya), peneliti menetapkan untuk mengambil dua jenis kelembagaan dari pengelompokan tersebut, yaitu kelembagaan formal dan informal. Hal ini mengingat masih terdiferensiasi dengan jelasnya kelembagaan formal dan informal di pedesaan sehingga dapat diperbandingkan secara lebih kuat dan seimbang pengaruh dari kedua kelembagaan tersebut.

Pengaruh Kelompok terhadap Tindakan Politik Aktor

Studi tentang pengaruh kelompok terhadap tindakan politis anggotanya berkaitan erat dengan konsep politik identitas. Politik identitas didefiniskan sebagai tindakan politis yang mengedepankan kepentingan kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan etnik, gender, keagamaan, dan sejenisnya (Sjaf 2013). Tindakan politis tersebut tercermin dari aktivitas aktor dalam arena ekonomi, politik, sosial, ekonomi, dan lain-lain. Beberapa pemahaman terkait politik identitas didefinisikan dan dijabarkan berdasarkan berbagai penelitian. Berikut beberapa pemahaman terkait politik identitas (Hardiman dalam Sjaf 2013):

1. Individualisme

(27)

kultural konkretnya. Adapun subyek atau kedirian individu itu sendiri terjadi melalui kemampuan individu untuk memilih tujuan-tujuan menurut preferensi-preferensi individualnya.

2. Komunitarianisme

Individu dalam pemahaman ini dikaitkan pada komunitas asalnya. Dikatakan bahwa individu konkret berasal dari latar belakang etnis, geder, atau religius tertentu. Subyek atau kedirian terjadi keanggotaannya dalam sebuah komunitas yang terbentuk melalui tradisi-tradisi dan nilai-nilai kultural.

3. Kritisisme

Mengkritisi dua pemahaman di atas, menurut pemahaman ini, individu dilahirkan dari proses komunikasi. Identitas kolektif dan individual berada dalam sebuah proses formatif yang dinamis. Adapun identitasnya dibentuk melalui komunikasi sehingga terbentuk kesepahaman atau kesepakatan identitas bersama.

Pemahaman mengenai politik identitas di atas menunjukkan bahwa dalam melakukan tindakan-tindakannya, individu tidak dapat terlepas dari kelompok, namun di sisi lain, individu juga dapat memutuskan tindakan-tindakannya, termasuk dalam tindakan politik sesuai dengan tujuan individual dan kepentingannya. Gambaran tentang politik identitas terutama terkait dengan aktornya (individu atau kelompok) digambarkan lebih detil oleh Sjaf (2013) dalam tipologi pelaku politik identitas berikut:

a. Tipologi pelaku politik pendekatan Konstruktifis 1. Tipologi aktor-struktur-komunikatif

Tipologi ini menekankan peranan penting aktor dalam politik identitas. Dikatakan bahwa aktor merupakan individu yang memunyai identitas terbentuk dari komunikasi yang dibangun dengan struktur yang menyertainya (Habermas dalam Hardiman dalam Sjaf 2013). Lebih lanjut dijelaskan dalam tipologi ini bahwa identitas individu selain dibentuk dengan struktur yang menyertai, juga dibentuk dari komunikasi dengan struktur di luarnya yang kemudian memunculkan kesepakatan atau kesepahaman tentang identitas bersama. Konstruksi identitas bersama merupakan resultan yang diperoleh individu-kelompok dalam tindakan komunikatif.

2. Tipologi aktor-individu

Tipologi ini menyatakan bahwa politik identitas sarat dengan tindakan individu yang terkait dengan perannya. Individu senantiasa mengkonstruksi identitasnya sesuai dengan konteks peran yang dimainkan karena memiliki peran yang beragam dalam beragam arena kehidupan. Berdasarkan dua tipologi pelaku politik tersebut, dapat diambil variabel-variabel untuk menganalisis pengaruh kelembagaan dengan pendekatan konstruktif secara umum yaitu, jalinan komunikasi dengan lingkungan sekitar, luas jaringan sosial, pembentukan kesepakatan bersama, jumlah variasi peran individu dalam berbagai situasi, dan kemampuan mengkonstruksi peran.

(28)

Politik identitas dalam tipologi ini ditentukan kelompok dari individu-individu masyarakat. Identitas individu tidak dapat dilepaskan dari konteks kelompoknya, baik etnik, ras, agama, maupun gender.

2. Tiplogi struktur-individu

Tipologi struktur-individu melihat aktor tidak memunyai kekuatan untuk menentukan ciri dan karakteristiknya. Hal ini disebabkan besarnya hegemoni struktur di dalamnya.

3. Tipologi struktur-kelompok

Tipologi struktur-kelompok menunjukkan kekuatan konstruksi sejarah yang menempatkan kelompok-kelompok identitas dalam “dikotomi binary” yang berada pada masing-masing kutub yang berlainan. Kehadiran kelompok-kelompok identitas dinilai sebagai suatu realitas alamiah yang senantiasa dipertentangkan antara satu dengan lainnya. Ketiga tipologi di atas dapat dijadikan dasar untuk menentukan variabel pengaruh kelembagaan dengan pendekatan struktural. Variabel-variabel tersebut yaitu, keanggotaan dalam kelompok, keterikatan dengan kelompok, posisi sosial individu, kemampuan menentukan tindakan, dan pengaruh struktur sosial di atasnya.

Perilaku Pemilih dan Preferensi Politik

Perilaku pemilih secara sederhana didefinisikan sebagai suatu studi yang memusatkan diri pada bidang yang menggeluti kebiasaan atau kecenderungan pilihan rakyat dalam pemilihan umum serta latar belakang mengapa mereka melakukan pilihan itu (Plano, Ringgs, & Robin 1985). Perilaku pemilih dapat dikaji dengan menggunakan tiga pendekatan (Jack dalamRochimah 2009):

1. Pendekatan sosiologi

Pendekatan sosiologi memfokuskan pada hubungan antara geografi dan demografi dengan perilaku memilih. Keadaan dan kategori sosial seseorang, keanggotaannya dalam sebuah kelompok, banyak mempengaruhi tindakan-tindakan politiknya. Menurut ahli-ahli sosiologi, dalam sebuah masyarakat yang terdiri dari tingkat keagamaan yang kuat, kelas, pembagian wilayah, ras, kelompok etnis, mengasumsikan bahwa keanggotaannya akan berpengaruh kuat dalam pemilihan. Konteks sosial individu akan mempengaruhi bagaimana pilihan individu. Kampanye bukan merupakan hal yang terlalu banyak memberi pengaruh menurut pendekatan ini. Komunikasi antar pribadi antara anggota akan menjadi jauh lebih efektif daripada kampanye. Beberapa tipe pendekatan sosiologis, yaitu:

a. Kelompok kategorial, yaitu kelompok yang memiliki satu atau beberapa karakter khas namun tidak terdapat kesadaran bersama. Contoh kelompok tipe ini yaitu usia, jenis kelamin, dan lain sebagainya.

b. Kelompok sekunder, yaitu kelompok yang memiliki ciri yang sama dan menyadari tujuan dan identifikasi kelompoknya, misalnya, agama atau etnis.

(29)

2. Pendekatan ekonomi

Pendekatan ini menyatakan bahwa ternyata pemilih dapat mengubah pilihannya sewaktu-waktu, terutama berkaitan dengan perkembangan tigkat pendidikan dan semakin banyaknya pilihan yang lebih memberikan dan menjanjikan masa depan. Diasumsikan pada pendekatan ini bahwa pemilih merupakan orang-orang yang rasional. Mereka akan berhitung saat menetapkan pilihan. Mereka cenderung lebih individual dan independen dibandingkan kelompok pada pendekatan sosiologis dan psikologi sosial. Adapun faktor yang dianggap mempengaruhi pilihan seseorang dalam pendekatan ini yaitu adalnya peristiwa tertentu, strategi komunikasi, dan adanya kebutuhan konkret tertentu yang dapat dipenuhi oleh kandidat.

3. Pendekatan psikologi sosial

Pendekatan ini mempertimbangkan unsur loyalitas pemilih terhadap kandidat. Pemilih cenderung memiliki identifikasi terhadap kelompok, partai politik, atau kandidat tertentu. Mereka cenderung menetap dan jarang berpindah dari satu kandidat atau partai satu ke partai lain. Kelompok pemilih dengan karakteristik ini lebih sulit menerima stimuli kampanye dibandingkan kelompok pada pendekatan sosiologis. Hal ini disebabkan karena sikap loyalnya terhadap kelompok atau kandidat yang akan dipilih. Mereka adalah pemilih yang memiliki sikap terhadap apa yang dipilihnya. Sikap pemilih ini merupakan hasil dari proses yang panjang.

Setidaknya terdapat tiga tahap mebentukan sikap pada pemilih dengan tipe psikologis, yaitu:

a. Tahap pertama, yaitu pemberian informasi dan sosialisasi tentang isu politik tertentu oleh keluarga dan lingkungan sejak anak-anak

b. Tahap kedua, yaitu internalisasi hasil sosialisasi tentang isu politik yang didapat dari keluarga yang kemudian membentuk sikap politik saat berada pada situasi di luar keluarga

c. Tahap ketiga, yaitu bagaimana sikap politik dibentuk oleh kelompok-kelompok acuan.

Bagaimana masyarakat memilih dengan tipe perilaku yang melatarbelakangi pada akhirnya akan memunculkan preferensi politik. Preferensi politik seringkali dikaitkan dengan perubahan perilaku pemilih dalam menentukan pilihan politiknya dalam pemilihan umum. Preferensi politik didefinisikan sebagai penentuan pilihan dengan berbagai macam pertimbangan sesuai dengan nilai yang dibangunnya dalam menentukan standar penilaian terhadap seorang calon maupun partai politik. Perilaku pemilih dengan tipenya masing-masing ini yang kemudian akan menentukan preferensi politik seseorang.

Pemilihan Kepala Desa

(30)

Indonesia. Lebih lanjut Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tersebut mendefinisikan pemerintahan desa sebagai penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kepala Desa secara langsung oleh warga desa setempat. Berbeda dengan Lurah yang merupakan Pegawai Negeri Sipil, Kepala Desa merupakan jabatan yang dapat diduduki oleh warga biasa. Aturan tentang Pemilihan Kepala Desa dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014. Mekanisme pemilihan Kepala Desa baru dimulai sejak BPD memberitahukan kepada Kepala Desa mengenai akan berakhirnya masa jabatan Kepala Desa secara tertulis enam bulan sebelum berakhir masa jabatan. Selanjutnya BPD memproses pemilihan Kepala Desa, paling lama empat bulan sebelum berakhirnya masa jabatan Kepala Desa. Adapun pemilih dalam pemilihan Kepala Desa adalah penduduk desa Warga Negara Republik Indonesia yang pada hari pemungutan suara pemilihan kepala desa sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih. Kepala Desa dipilih langsung oleh penduduk desa dari calon yang memenuhi syarat.

Pemilihan Kepala Desa dilaksanakan melalui tahap pencalonan dan tahap pemilihan. Berikut tahapan pencalonan Kepala Desa:

1. BPD membentuk Panitia Pemilihan yang terdiri dari unsur perangkat desa, pengurus lembaga kemasyarakatan, dan tokoh masyarakat.

2. Panitia pemilihan melakukan pemeriksaan identitas bakal calon berdasarkan persyaratan yang ditentukan, melaksanakan pemungutan suara, dan melaporkan pelaksanaan pemilihan Kepala Desa kepada BPD.

3. Panitia pemilihan melaksanakan penjaringan dan penyaringan Bakal Calon Kepala Desa sesuai persyaratan.

4. Bakal Calon Kepala Desa yang telah memenuhi persyaratan ditetapkan sebagai Calon Kepala Desa oleh Panitia Pemilihan.

5. Calon Kepala Desa yang berhak dipilih diumumkan kepada masyarakat ditempat-tempat yang terbuka sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat.

6. Calon Kepala Desa dapat melakukan kampanye sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat.

7. Calon Kepala Desa yang dinyatakan terpilih adalah calon yang mendapatkan dukungan suara terbanyak.

8. Panitia Pemilihan Kepala Desa melaporkan hasil pemilihan Kepala Desa kepada BPD.

9. Calon Kepala Desa terpilih ditetapkan dengan Keputusan BPD berdasarkan Laporan dan Berita Acara Pemilihan dari Panitia Pemilihan.

10. Calon Kepala Desa Terpilih disampaikan oleh BPD kepada Bupati/Walikota melalui Camat untuk disahkan menjadi Kepala Desa Terpilih.

11. Bupati/Walikota menerbitkan Keputusan Bupati/ Walikota tentang Pengesahan Pengangkatan Kepala Desa Terpilih paling lama 15 (lima belas) hari terhitung tanggal diterimanya penyampaian hasil pemilihan dari BPD. 12. Kepala Desa Terpilih dilantik oleh Bupati/Walikota paling lama (lima belas)

hari terhitung tanggal penerbitan keputusan.

(31)

dalam kesatuan masyarakat adat. Dijelaskan bahwa pemilihan Kepala Desa dan masa jabatan kepala desa dalam kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui keberadaannya berlaku ketentuan hukum adat setempat. Ketentuan lebih detil tentang pemilihan di daerah masyarakat adat diserahkan sepenuhnya kepada Pemerintah Daerah dengan peringatan untuk wajib memperhatikan nilai-nilai sosial budaya dan adat istiadat kesatuan masyarakat hukum adat setempat.

Kerangka Pemikiran

Masyarakat pedesaan merupakan masyarakat yang identik (lekat) dengan kelembagaan (baik formal maupun informal) dalam berbagai aktivitas kehidupannya, termasuk dalam penetapan preferensi politik saat pemilihan Kepala Desa berlangsung. Kelembagaan-kelembagaan yang ada di pedesaan secara langsung maupun tidak akan senantiasa memberi warna dalam hal pengaruhnya terhadap preferensi politik anggota. Sjaf (2013) menyatakan ada dua bentuk pengaruh komunitas dalam berbagai bidang kehidupan (sosial, ekonomi, politik) masyarakat, yaitu pengaruh secara struktural dan pengaruh konstruktif. Pengaruh struktural menggambarkan bagaimana struktur, status, dan posisi sosial seseorang akan mempengaruhi tindakan sosialnya. Sebaliknya, pengaruh konstruktif menyatakan bahwa tindakan sosial individu merupakan hasil konstruksi dari komunikasi yang menghasilkan kesepahaman antar individu dalam kelompok. Konsep yang disampaikan Sjaf (2013) ini sangat relevan untuk menganalisis pengaruh kelembagaan yang diteliti dengan melihat kondisi lapang penelitian yaitu pedesaan Jawa. Diketahui bahwa pedesaan Jawa masih kental dengan tradisi “sendiko dawuh”, yaitu kepatuhan kepada orang yang memiliki status lebih tinggi. Konsep pengaruh struktural dan konstruktif dapat menjadi pisau analisis yang tajam sesuai dengan kondisi lapang penelitian.

Analisis terhadap pengaruh kelembagaan (struktural dan konstruktif) tentunya belum dapat menjawab penelitian tentang preferensi politik sehingga peneliti menggunakan konsep perilaku pemilih untuk mengetahui sikap politik anggota dalam Pemilihan Kepala Desa. Perilaku pemilih yaitu suatu studi yang memusatkan diri pada bidang yang menggeluti kebiasaan atau kecenderungan pilihan rakyat dalam pilihan umum serta latar belakang mengapa mereka melakukan pilihan itu (Plano, Ringgs, & Robin 1985). Terdapat 3 tipe perilaku pemilih masyarakat desa berdasarkan pendekatannya yang nantinya mempengaruhi preferensi politik yaitu pendekatan sosiologis, psikologis, dan ekonomi. Masyarakat dengan tipe perilaku sosiologis akan menentukan pilihannya dengan pertimbangan arahan dari kelompoknya, sedangkan masyarakat dengan tipe pendekatan psikologis akan memutuskan pilihannya berdasarkan loyalitasnya, dan terakhir, masyarakat dengan tipe ekonomi, akan mendasarkan pilihannya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional dan logis.

(32)

terhadap seorang calon maupun partai politik. Adapun kelembagaan yang akan diteliti disesuaikan dengan kelembagaan yang umum ada di pedesaan. Peneliti menetapkan dua tipe kelembagaan yang akan dijadikan subyek penelitian yaitu kelembagaan formal yaitu pemerintah desa serta kelembagaan informal yaitu majelis taklim. Untuk lebih jelasnya, kerangka pemikiran yang digunakan peneliti pada penelitian ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Keterangan:

 Jalinan komunikasi dengan lingkungan sekitar  Pengaruh struktur sosial di atasnya

(33)

Hipotesis

Hipotesis penelitian ini disajikan sebagai berikut:

1. Kelembagaan mempengaruhi tipe perilaku pemilih sehingga memunculkan preferensi politik tertentu.

2. Kelembagaan informal memiliki pengaruh lebih besar dalam penentuan preferensi politik anggota dibandingkan kelembagaan formal.

3. Kelembagaan formal memberi pengaruh struktural dan sebaliknya kelembagaan informal memberi pengaruh konstruktif dalam hal penentuan preferensi politik.

4. Pengaruh kelembagaan tertentu akan mengarahkan pada tipe perilaku pemilih tertentu pula.

Definisi Konseptual

Kelembagaan

Kelembagaan merupakan terjemahan dari istilah institution yaitu suatu kelompok yang merujuk pada suatu badan. Peneliti dalam hal ini menempatkan kelembagaan sebagai suatu badan dimana di dalamnya terdapat anggota dan aktivitas dengan tujuan-tujuan yang sama. Kelembagaan menurut jenisnya dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Kelembagaan formal, yaitu kelembagaan resmi yang memiliki hierarki wewenang yang khas dan pembagian kerja tegas dengan tenaga-tenaga yang memiliki keterampilan khusus. Adapun kelembagaan formal yang dijadikan responden dan informan adalah Pemerintah Desa, yaitu Kepala Desa dan Perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa (PP No. 72/2005).

2. Kelembagaan informal, yaitu kelembagaan tidak resmi yang didirikan dengan asas kekeluargaan, persahabatan, dan pengelompokan sosial. Adapun kelembagaan informal yang anggotanya dijadikan responden dan informan adalah adalah majelis taklim. Secara literal Anitasari (2010) mendefiniskan majelis taklim sebagai tempat pembelajaran yang merupakan wadah di mana suatu kelompok masyarakat (laki-laki ataupun perempuan) bertemu untuk belajar dan mendalami ajaran agama. Majelis ta‟lim juga didefinisikan sebagai lembaga atau organisasi sebagai wadah pengajian atau tempat pengajian (KBBI 2014).

Preferensi Politik

(34)

Definisi Operasional

Penelitian ini menggunakan beberapa variabel yang dioperasionalkan sebagai berikut:

Pengaruh kelembagaan

Pengaruh didefiniskan sebagai daya yang ada atau timbul dari sesuatu (orang, benda) yang ikut membentuk watak, kepercayaan, atau perbuatan seseorang (KBBI 2014). Pengaruh kelembagaan dalam penelitian ini diartikan sebagai daya (energi) kelembagaan yang turut membentuk dan menentukan preferensi politik anggotanya. Merujuk pada disertasi Sjaf (2013) tentang tipologi pelaku politik identitas, peneliti menetapkan dua bentuk pengaruh kelembagaan terhadap preferensi politik, yaitu pengaruh struktural dan konstruktif.

1. Pengaruh struktural yaitu bentuk pengaruh kelembagaan dalam menentukan preferensi politik dengan melihat posisi sosial, hierarki kelembagaan, dan hal-hal lain yang berkenaan dengan struktur. Berikut adalah variabel-variabel yang akan digunakan dalam pengaruh struktural:

a. Keanggotaan yaitu status individu dalam kelembagaan yang dilihat dari tingkat keaktifannya. Tingkat keaktifan anggota akan mempengaruhi tingkat pengaruh kelembagaan terhadap tindakan dari anggota itu sendiri. Semakin aktif anggota dalam suatu kelembagaan maka semakin terikat anggota tersebut terhadap kelembagaan sehingga semakin tinggi pula tingkat pengaruh kelembagaan terhadap preferensi politik anggotanya. Pengukuran:

 Anggota sangat aktif (skor 4)  Anggota aktif (skor 3)

 Kurang aktif (skor 2)  Anggota pasif (skor 1)

Indikator untuk mengukur keanggotaan adalah:

 Frekuensi kehadiran dalam kegiatan-kegiatan kelembagaan;

 Frekuensi keterlibatan anggota sebagai panitia dalam kegiatan-kegiatan kelelembagaan;

 Frekuensi keterlibatan dalam pemecahan masalah dalam kelembagaan. b. Keterikatan dengan kelembagaan yaitu ketergantungan individu terhadap

kelembagaan. Keterikatan dengan kelembagaan yang mendalam akan memperbesar peran kelembagaan dalam penentuan tindakan anggotanya, termasuk dalam hal penentuan preferensi politik. Semakin tinggi tingkat keterikatan anggota terhadap kelembagaan, semakin besar pengaruh kelembagaan terhadap preferensi politik anggotanya. Pengukuran:

 Sangat terikat (skor 4)  Terikat (skor 3)

 Kurang terikat (skor 2)  Tidak terikat (skor 1)

Indikator untuk mengukur keterikatan dengan kelembagaan adalah:  Keaktifan dalam setiap kegiatan dalam kelompok;

(35)

 Internalisasi nilai-nilai kelompok dalam diri individu.

c. Posisi sosial individu yaitu status individu dalam hierarki kelembagaan. Individu dengan posisi sosial yang rendah dalam hierarki kelembagaan akan mengalami tekanan struktur yang besar sehingga pengaruh (intervensi) kelembagaan terhadap penentuan preferensi politik menjadi besar. Sebaliknya individu yang berada pada posisi yang tinggi dalam kelembagaan tidak mengalami tekanan struktur sehingga ia memperoleh kebebasan menentukan preferensi politiknya. Pengukuran:

 Anggota (skor 4)  Staf (skor 3)

 Pengurus harian (skor 2)  Pengurus inti (skor 1)

d. Kemampuan menentukan tindakan yaitu tingkat keleluasaan individu dalam menentukan sendiri tindakannya. Semakin mampu individu menentukan tindakan sendiri, semakin kecil kemungkinan kelembagaan mengintervensi anggotanya dalam penentuan preferensi politik. Pengukuran:

 Tidak mampu (skor 4)  Kurang mampu (skor 3)  Mampu (skor 2)

 Sangat mampu (skor 1)

Indikator untuk mengukur kemampuan menentukan tindakan adalah:  Peran dalam kegiatan pengambilan keputusan kelembagaan;

 Melakukan tindakan berdasarkan kemauan sendiri tanpa pengaruh kelembagaan;

 Pilihan individu terhadap kandidat Kepala Desa bukan didasarkan pada arahan dari kelembagaan.

e. Pengaruh struktur sosial di atasnya yaitu daya (energi) dari struktur kelembagaan di atasnya dalam menentukan tindakan individu. Struktur sosial yang lebih atas umumnya akan menekan struktur yang ada di bawahnya. Pengukuran:

 Sangat berpengaruh (skor 4)  Berpengaruh (skor 3)

 Kurang berpengaruh (skor 2)  Tidak berpengaruh (skor 1)

Indikator untuk mengukur pengaruh struktur sosial di atasnya adalah:  Intervensi kelembagaan yang lebih atas dalam penentuan keputusan

kelembagaan;

 Ketergantungan terhadap kebijakan struktur di atasnya;

(36)

Jika diklasifikasikan secara umum berdasarkan 20 pertanyaan tentang tingkat pengaruh kelembagaan secara struktural dalam kuesioner, maka hasilnya dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu:

Tinggi : skor 60 < x ≤ 80 Sedang : skor 40 ≤ x ≤ 60 Rendah : skor 20 ≤ x < 40

2. Pengaruh konstruktif yaitu bentuk pengaruh kelembagaan dalam menentukan preferensi politik yang dicirikan dengan penjalinan komunikasi untuk mencapai kesepakatan bersama. Berikut adalah variabel-variabel yang akan digunakan dalam pengaruh konstruktif:

a. Jalinan komunikasi dengan lingkungan sekitar yaitu hubungan antar individu dengan lingkungan dalam kelembagaan. Jalinan komunikasi yang baik dengan lingkungan sekitar dalam kelembagaan akan memperbesar kemungkinan terjadinya saling berbagi dan bersepakat bersama. Pengkuran:

 Sangat baik (skor 4)  Baik (skor 3)

 Kurang baik (skor 2)  Tidak baik (skor 1)

Indikator untuk mengukur jalinan komunikasi dengan lingkungan sekitar adalah:

 Frekuensi berkomunikasi dengan lingkungan sekitar dalam kelembagaan;

 Frekuensi melakukan kegiatan bersama dengan anggota-anggota lain dalam kelembagaan;

 Frekuensi memperbincangkan suatu topik atau bahasan tertentu.

b. Luas jaringan sosial yaitu banyaknya hubungan-hubungan sosial yang dijangkau oleh individu anggota kelembagaan. Luas jaringan sosial individu dalam kelembagaan akan menentukan banyaknya referensi yang digunakan individu dalam menentukan preferensi politiknya. Semakin luas jaringan sosial, semakin sering bertukar pikiran sehingga semakin besar kemungkinan munculnya preferensi politik anggota secara konstruktif. Pengukuran:

 Sangat luas (skor 4)  Luas (skor 3)

 Kurang luas (skor 2)  Tidak luas (skor 1)

Indikator untuk mengukur luas jaringan sosial adalah:

 Jumlah jaringan sosial yang dijangkau individu anggota kelembagaan;  Frekuensi komunikasi dengan jaringan-jaringan sosial yang dibentuk;  Frekuensi diskusi dengan jaringan-jaringan sosial yang dibentuk. c. Frekuensi pembentukan kesepakatan bersama yaitu tingkat kekerapan

(37)

bersama, semakin tinggi tingkat pengaruh konstruktif kelembagaan terhadap preferensi politik anggota. Pengkuran:

 Sangat sering (skor 4)  Sering (skor 3)  Jarang (skor 2)  Tidak pernah (skor 1)

d. Jumlah variasi peran individu dalam berbagai situasi yaitu banyaknya ragam peran yang dijalankan oleh indvidu dalam kondisi dan situasi yang berbeda-beda. Banyaknya variasi peran yang dijalankan individu memperlihatkan bahwa kelembagaan dibangun dan dikelola secara konstruktif dengan memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada anggota. Pengukuran:

 Sangat banyak (skor 4)  Banyak (skor 3)

 Kurang banyak (skor 2)  Tidak banyak (skor 1)

Indikator untuk mengukur jumlah variasi peran individu dalam berbagai situasi adalah:

 Jumlah peran yang pernah dilakukan individu dalam berbagai situasi (kegiatan);

 Individu dapat menjalankan peran yang berbeda-beda dalam berbagai situasi.

e. Kemampuan mengkonstruksi peran yaitu tingkat keleluasaan individu dalam membentuk perannya dalam suatu situasi tertentu. Tingkat kemampuan individu untuk mengkonstruksi sendiri preferensi politiknya tanpa tekanan dari kelembagaan menunjukkan bahwa lembaga membangun dan mengelola kelembagaannya secara konstruktif. Pengukuran:

 Sangat mampu (skor 4)  Mampu (skor 3)

 Kurang mampu (skor 2)  Tidak mampu (skor 1)

Indikator untuk mengukur kemampuan mengkonstruksi peran adalah:  Individu dapat memilih perannya sendiri dalam suatu situasi;

 Individu memiliki jumlah variasi peran yang banyak dalam berbagai situasi dan kegiatan dalam kelembagaan;

 Individu dapat memilihkan peran untuk orang lain dalam suatu kondisi sesuai dengan kemampuan orang lain tersebut.

Jika diklasifikasikan secara umum berdasarkan 14 pertanyaan tentang tingkat pengaruh kelembagaan secara konstruktif dalam kuesioner, maka hasilnya dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu:

(38)

Adapun pengaruh kelembagaan secara keseluruhan (34 pertanyaan) jika diklasifikasikan hasilnya adalah sebagai berikut:

Tinggi : skor 4 < x ≤ 6 Sedang : skor 3 ≤ x ≤ 4 Rendah : skor 2 ≤ x < 3

Tipe Perilaku Pemilih

Perilaku pemilih yaitu kecenderungan pilihan rakyat dalam pemilihan umum serta latar belakang mengapa mereka melakukan pilihan itu (Plano, Ringgs, & Robin 1985). Merujuk dari jurnal Rochimah (2009) yang mengutip teori Plano (1985) peneliti menetapkan tiga tipe perilaku pemilih, yaitu tipe psikologi, sosiologi, dan ekonomi.

1. Tipe psikologi yaitu tipe perilaku pemilih dimana penentuan preferensi politik pemilih didasarkan pada loyalitas, sikap politik, dan keterdedahan terhadap pendidikan politik. Variabel-variabel yang akan digunakan dalam pengaruh tipe psikologi adalah:

a. Loyalitas terhadap kandidat yaitu tingkat kepatuhan dan kesetiaan individu terhadap kandidat tertentu. Loyalitas yang tinggi menunjukkan bahwa pemilih memiliki sikap dan prinsip tertentu yang dipegang sehingga dalam menentukan pilihan, pemilih cenderung mempertahankan pilihan yang mneurutnya sesuai dengan prinsipnya. Pemilih dengan tipe ini umumnya tidak mudah berpindah pilihan. Pengukuran:

 Sangat loyal (skor 4)  Loyal (skor 3)

 Kurang loyal (skor 2)  Tidak loyal (skor 1)

Indikator untuk mengukur loyalitas terhadap kandidat adalah:

 Pemilih memilih kandidat yang merupakan pilihannya pada pemilihan sebelumnya, atau memilih kandidat yang memiliki hubungan dengan pilihan kandidat yang diikuti;

 Pemilih memiliki ketertarikan yang bersifat prinsipil terhadap kandidat;

 Pemilih mengenal baik karakter kandidat yang dipilih;

 Pemilih tidak menghiraukan dan tidak terpengaruh dengan kampanye kandidat lain yang tidak dikenalnya dengan baik.

b. Pembentukan sikap politik yaitu proses seseorang mendapatkan pengetahuan mengenai isu-isu politik sehingga terinternalisasi dalam dirinya dan membentuk perilaku serta preferensi politik tertentu. Pembentukan sikap politik dilakukan melalui proses mental yang sangat terkait dengan psikologi (pribadi) seseorang. Pengukuran:

 Sangat terbentuk (skor 4)  Terbentuk (skor 3)

 Kurang terbentuk (skor 2)  Tidak terbentuk (skor 1)

(39)

 Sosialisasi dan pembentukan sikap terhadap isu politik didapatkan individu saat masih anak-anak (tahap pertama pembentukan sikap);  Sikap politik dibentuk pada saat dewasa ketika menghadapi situasi

diluar keluarga (tahap kedua pembentukan sikap);

 Sikap politik dibentuk dengan mengacu pada kelompok-kelompok tertentu seperti pekerjaan, gereja, partai politik, dan asosiasi lain (tahap ketiga pembentukan sikap).

c. Keterdedahan terhadap pendidikan politik yaitu tingkat pengetahuan individu terhadap isu-isu dan aturan main politik. Terdedahnya individu terhadap pendidikan politik mengakibatkan individu akan memiliki sikap terhadap isu dan berita politik, termasuk sikap dalam menentukan preferensi politik. Semakin terdedah seseorang terhadap pendidikan politik, semakin terinternalisasi pendidikan politik tersebut dalam diri sehingga semakin tercipta sikap politiknya. Pengukuran:

 Sangat terdedah (skor 4)  Terdedah (skor 3)

 Kurang terdedah (skor 2)  Tidak terdedah (skor 1)

Indikator untuk mengukur keterdedahan terhadap pendidikan politik adalah:

 Individu memahami aturan main dalam dunia politik secara umum;  Individu menyadari pentingnya partisipasi dalam perhelatan politik

seperti Pemilihan Kepala Desa;

 Individu dapat menganalisis dan menyimpulkan kondisi politik yang terjadi di desanya.

Jika diklasifikasikan secara umum berdasarkan 15 pertanyaan tentang tipe perilaku psikologi dalam kuesioner, maka hasilnya dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu:

Tinggi : skor 45 < x ≤ 60 Sedang : skor 30 ≤ x ≤ 45 Rendah : skor 15 ≤ x < 30

2. Tipe sosiologi, yaitu tipe perilaku dimana individu akan menentukan pilihannya dengan pertimbangan dan arahan dari kelompoknya. Variabel-variabel yang akan digunakan dalam pengaruh tipe sosiologi adalah:

a. Kohesi sosial yaitu satu keadaan dimana sekelompok orang (dalam suatu wilayah geografis) menunjukkan kemampuan untuk berkolaborasi dan menghasilkan iklim untuk perubahan. Pengukuran:

 Sangat tinggi (skor 4)  Tinggi (skor 3)

 Kurang tinggi (skor 2)  Rendah (skor 1)

Indikator untuk mengukur kohesi sosial:

(40)

 individu yng mengidentifikasi dirinya dengan grup tertentu.

b. Pengelompokan sosial, dimana individu tergabung dalam kelompok tertentu berdasarkan kesamaan ciri dan tujuan seperti agama, gender, atau ideologi. Tipe perilaku pemilih sosiologi disebut dominan dalam pengukuran variabel ini jika pengelompokan sosial tinggi. Pengukuran:  Sangat tinggi (skor 4)

 Tinggi (skor 3)

 Kurang tinggi (skor 2)  Rendah (skor 1)

Indikator untuk mengukur pengelompokan sosial adalah:

 Individu merasakan adanya pengelompokan sosial di desanya;  Individu tergabung dalam kelompok-kelompok sosial tertentu;

 Individu mengidentikkan preferensi politiknya dengan preferensi politik pada kelompok-kelompok sosialnya.

c. Informasi politik, yaitu tingkat pengetahuan individu terhadap isu-isu politik di lingkungannya. Banyaknya informasi politik yang diterima individu mencerminkan banyaknya komunikasi dan jalinan sosial yang terbentuk. Hal ini merupakan ciri dari tipe perilaku sosiologi. Pengukuran:

 Sangat banyak (skor 4)  Banyak (skor 3)

 Kurang banyak (skor 2)  Tidak banyak (skor 1)

Indikator untuk mengukur besarnya informasi politik yang diterima individu dalam kelembagaan adalah:

 Individu memahami permainan politik di desanya;

 Individu mengetahui informasi terkini seputar isu politik di desa maupun isu politik secara umum;

 Individu dapat menganalisis dan menyimpulkan kondisi politik yang terjadi di desanya.

Jika diklasifikasikan secara umum berdasarkan 9 pertanyaan tentang tipe perilaku sosiologi dalam kuesioner, maka hasilnya dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu:

Tinggi : skor 27 < x ≤ 36 Sedang : skor 18 ≤ x ≤ 27 Rendah : skor 9 ≤ x < 18

3. Tipe Ekonomi yaitu tipe perilaku pemilih dimana pertimbangan-pertimbangan rasional dan logis menjadi hal utama dalam penentuan preferensi politik. Variabel-variabel yang akan digunakan dalam pengaruh ekonomi adalah:

(41)

didapatkan dari kandidat. Kebutuhan konkret yang dimaksud dalam hal ini adalah kebutuhan ekonomi pemilih. Pengukuran:

 Hanya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi (skor 4)

 Untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sebagai alasan utama dan untuk memenuhi kebutuhan lain (skor 3)

 Untuk memenuhi berbagai kebutuhan (ekonomi dan non ekonomi) yang dirasa dapat diperoleh dari kandidat tertentu (skor 2)

 Bukan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi (skor 1) Indikator untuk mengukur kebutuhan konkret pemilih adalah:

 Individu memilih kandidat tertentu karena keuntungan ekonomi yang diperoleh;

 Individu tidak memberi perhatian lebih terhadap visi misa dan kepribadian kandidat;

 Individu tidak mengenal kandidat secara mendalam.

b. Tujuan pemilih, yaitu maksud tertentu yang menjadi alasan pemilih memilih kandidat tertentu dalam Pemilihan Kepala Desa. Dalam tipe perilaku pemilih, tipe perilaku ekonomi umumnya menjadikan tujuan-tujuan ekonomi sebagai dasar seseorang menjatuhkan preferensi politiknya pada kandidat tertentu. Pengukuran:

 Hanya untuk kepentingan ekonomi (skor 4)

 Untuk kepentingan ekonomi sebagai kepentingan utama dan kepentingan tambahan lain (skor 3)

 Untuk berbagai macam kepentingan (skor 2)  Bukan untuk kepentingan ekonomi (skor 1) Indikator untuk mengukur tujuan pemilih adalah:

 Individu merasa memiliki hubungan mutualisme secara ekonomi dengan kandidat;

 Individu memilih agar mendapatkan keuntungan secara ekonomi dari kandidat;

 Individu tidak memperhatikan visi dan misi kandidat secara mendalam (detil).

c. Orientasi pemilih yaitu pandangan yang mendasari pemilih dalam memilih kandidat Pemilihan Kepala Desa. Orientasi ekonomi sebagai dasar untuk memilih kandidat merupakan ciri utama dari tipe perilaku pemilih ekonomi. Pengukuran:

 Hanya berorientasi ekonomi  Berorientasi ekonomi

 Banyak orientasi

 Bukan berorientasi ekonomi

Indikator untuk mengukur orientasi pemilih adalah:

 Individu memilih karena kandidat peduli terhadap masalah kemiskinan;

(42)

 Individu memilih karena kandidat sering menyumbangkan hartanya untuk beberapa kegiatan;

 Individu memilih karena kandidat tidak memanfaatkan kedudukannya untuk memperkaya diri.

Jika diklasifikasikan secara umum berdasarkan 11 pertanyaan tentang tipe perilaku ekonomi dalam kuesioner, maka hasilnya dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu:

Tinggi : skor 33 < x ≤ 44 Sedang : skor 22 ≤ x ≤ 33 Rendah : skor 11 ≤ x < 22

Adapun tipe perilaku pemilih secara keseluruhan (35 pertanyaan) jika diklasifikasikan hasilnya adalah sebagai berikut:

(43)

PENDEKATAN LAPANGAN

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan menggunakan metode kuantitatif dengan pendekatan penelitian survei dan didukung oleh metode kualitatif. Penelitian survei yaitu penelitian yang datanya dikumpulkan dari sampel atas populasi untuk mewakili seluruh populasi. Informasi yang dikumpulkan dalam penelitian survei adalah informasi dari responden dengan menggunakan kuesioner. Unit analisis yang digunakan pada penelitian adalah anggota kelembagaan formal dan informal pedesaan. Penelitian survei yang digunakan pada penelitian ini digunakan untuk maksud penjelasan (explanatory). Pada penelitian explanatory, dijelaskan hubungan kausal antara variabel-variabel melalui pengujian hipotesa (Singarimbun dan Effendi 1989). Adapun penelitian kualitatif dilakukan dengan teknik penelitian wawancara tidak terstruktur, wawancara mendalam, observasi, dan analisa data sekunder yang terkait dengan topik penelitian. Penelitian kualitatif yang dilakukan berguna untuk melengkapi data terkait pengaruh kelembagaan (struktural dan konstruktif) dan tipe perilaku pemilih anggota sehingga menghasilkan preferensi politik tertentu.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Sumberejo, Kecamatan Sukodono, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Proses penelitian dimulai dari pembuatan proposal penelitian pada bulan Januari 2014. Penelitian di lapangan dilakukan selama 5 minggu, yaitu pada bulan April 2014. Adapun kegiatan penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada tabel jadwal kegiatan (Lampiran 1).

Teknik Sampling

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh kelembagaan pedesaan yang ada di Desa Sumberejo, Kecamatan Sukodono, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Adapun unit penelitiannya yaitu anggota dalam struktur kelembagaan. Kelembagaan pedesaan yang ada dikelompokkan menjadi dua macam yaitu kelembagaan formal dan informal. Peneliti menetapkan secara purposive masing-masing 1 kelembagaan formal (pemerintah desa) dan 1 kelembagaan informal (majelis taklim). Adapun dalam menentapkan responden dalam kelembagaan, peneliti menggunakan metode random sampling (acak) pada kelembagaan formal dan metode sensus pada kelembagaan informal.

(44)

Gambar 2 Bagan mekanisme pengambilan sampel

Gambar 2 di atas menjelaskan mekanisme pengambilan sampel dalam penelitian. Desa Sumberejo merupakan desa desa dengan jumlah kelembagaan yang sangat banyak dan beragam. Peneliti mengambil dua kelembagaan secara

purposive dari formla yaitu pemerintah desa dan dari informal yaitu pengajian muslimat. Masing-masing kemudian diambil sejumlah 30 responden (sensus pada kelembagaan informal dan acak dari sejumlah 64 anggota pada kelembagaan formal).

Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan pada penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer yaitu data yang didapatkan melalui observasi, kuesioner, dan wawancara kepada responden dan informan di lokasi penelitian. Kuesioner sebelumnya telah diuji coba untuk mengetahui realibitas dan validitas dari kuesioner tersebut. Maka diporeloh alpha sebagai berikut:

Tabel 1 Uji statistik reliabilitas

Cronbach's Alpha N of Items

0.814 69

Populasi (Kelembagaa

n pedesaan)

Majelis Taklim (kelembagaan

Informal) Pemerintah

Desa (kelembagaan

formal)

30 responden

30 responden

Purposive

Sensus pli g Acak

Gambar

Gambar 1 Kerangka pemikiran
Gambar 1  Kerangka pemikiran
Gambar 2 Bagan mekanisme pengambilan sampel
Tabel 6 Preferensi politik warga Desa Sumberejo pada Pemilihan Legislatif 2009
+7

Referensi

Dokumen terkait

perencanaan pembiayaan madrasah telah mengalokasikan dana tersebut dari tahun ke tahun. Hal ini terbukti dengan meningkatkan nilai akreditasi dari tahun 2011 yang semula

Walimah naqi&gt;‘ah yaitu walimah yang diadakan untuk menyambut kedatangan musafir (orang yang datang dari bepergian).. Walimah waki&gt;rah yaitu walimah yang diadakan

 Sistem menyediakan fitur untuk pengaturan permainan (volume suara dan resolusi)  Sistem menyediakan fitur untuk me-load history permainan yang sudah disimpan  Sistem

30 No Penelitian (Tahun) Judul Penelitian Variabel Dependen dan Independen Variabel Independen yang Signifikan 8 Chadegani et al (2011) The Determinant Factors of

melanjutkannya dengan menjelaskan beberapa kosa kata yang sukar menurut ukurannya, dengan demikian, tidak semua kosakata dalam sebuah ayat dijelaskan mainkan dipilih

Keterpurukan perekonomian sebenarnya adalah akibat sanksi dan embargo yang di berlakukan oleh Negara barat terkait kebijakan pengembangan energy nuklir dibawah

Adapun data tanaman tomat yang terserang oleh nematoda di atas (Tabel 5 dan 6) jika di konversikan per hektarnya maka didapatkan data sebagai berikut; (Tabel 5 dan 6) dalam luasan

Instrumen yang digunakan dalam pe- nelitian ini adalah 1) biskuit manis, yang di- gunakan untuk menyetarakan keadaan awal pada gigi dan mulut dari kelompok treatment / yang