• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pengaruh Proses Kalsinasi pada TiO 2 Xerogel

Dalam dokumen UNIVERSITAS INDONESIA SKRIPSI (Halaman 51-55)

BAB 5: KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Preparasi TiO 2 Xerogel

4.1.3 Analisis Pengaruh Proses Kalsinasi pada TiO 2 Xerogel

Proses kalsinasi yang dilakukan pada sampel TiO2 xerogel merupakan usaha untuk menghilangkan pelarut dan senyawa organik yang ada, serta meningkatkan kristalinitas senyawa TiO2 yang terbentuk. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh

kalsinasi pada tujuan yang dimaksudkan sebelumnya maka sampel TiO2 xerogel yang telah dikalsinasi selanjutnya dikarakterisasi menggunakan pengujian BET (Brunauer-Emmet-Teller), EDS (Energy Dispersive Spectroscopy) dan XRD

(X-Ray Diffraction).

a) Analisis Hasil Pengujian BET TiO2 Xerogel

Pengujian BET yang dilakukan pada TiO2 xerogel yang telah dikalsinasi menghasilkan luas permukaan sebesar 136,487 m2/g. Jika dibandingkan dengan TiO2 komersil seperti TiO2 Merck (10 m2/g)[22] dan TiO2 Sigma (18,75 m2/g)[23], maka sampel hasil proses sol-gel ini memiliki luas permukaan yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan TiO2 komersil. Metode sol-gel memang dapat mensintesis senyawa dengan luas permukaan yang sangat tinggi[3]. Jadi, TiO2 xerogel sampel penelitian ini secara teori lebih baik untuk dijadikan bahan sintesis senyawa litium titanat dengan luas permukaan tinggi dibandingkan sampel komersil. Hal ini dikarenakan dalam pembentukan litium titanat dengan luas permukaan tinggi diperlukan TiO2 dengan luas permukaan yang tinggi juga[24].

b) Analisis Hasil Pengujian EDS TiO2 Xerogel

Pengujian EDS ini dilakukan di laboratorium CMPFA Departemen Teknik Metalurgi dan Material FTUI. Data yang diperoleh berupa persentase atom (%atom) dan persentase mol (%mol) yang dapat dilihat pada tabel 4.1 serta variasi pengambilan titik atau spot pengujian EDS pada sampel.

Table 4.1. Perbandingan hasil pengujian EDS TiO2 yang telah dikalsinasi pada temperatur 300oC selama 2 jam

Spot Percent Weight (%wt) Percent atom (%atom)

Ti O Ti O

1 63,83 36,17 37,08 62,95

2 58,71 41,29 32,20 67,80

3 64,46 35,54 37,73 62,27

Rata-rata 62,33 37,66 35,67 64,34

Dari tabel 4.1 di atas dapat dilihat data hasil pengujian EDS yang menunjukkan bahwa ketiga titik menunjukkan nilai yang relatif hampir sama satu sama lain. Komposisi unsur titanium dan oksigen dengan nilai persentase berat (%wt) dan persentase atom (%atom) hampir sama satu sama lain. Pada titik yang ada dapat diamati keberadaan titanium yang selalu dominan dibandingkan dengan oksigen dalam persentase beratnya (%wt). Hal ini disebabkan oleh massa atom relatif yang dimiliki titanium jauh lebih besar dibandingkan dengan oksigen (Ar Ti=47,78 gram/mol, O=16 gram/mol). Namun, jika ditinjau dari persentase atom, maka oksigen jauh lebih dominan dibandingkan atom titanium. Hal ini disebabkan karena tiap satu molekul TiO2 selalu membutuhkan 2 mol oksigen dan 1 mol titanium. Dari tabel 4.1 diperoleh perbandingan persentase mol Ti:O berturut-turut dari spot 1, 2, dan 3 adalah 1:1,7; 1:2; dan 1:1,6; serta perbandingan secara rata-rata adalah 1:1,8 (perhitungan dapat dilihat pada lampiran 2). Perbedaan perbandingan dengan nilai seharusnya (Ti:O=1:2) ini disebabkannya kurangnya suplai oksigen selama proses kalsinasi. Kekurangan suplai oksigen ini disebabkan oleh proses kalsinasi yang hanya menggunakan aliran udara dari luar dapur, serta jumlah oksigen internal dalam struktur TiO2 yang terus berkurang karena dikonsumsi untuk menguapkan alkoksida-alkoksida yang ada.

Dalam penelitian ini, proses kalsinasi dilaksanakan hanya dengan membiarkan kedua ujung lobang selimut pemanas pada dapur (furnace) terbuka selama proses berlangsung. Jadi, sumber oksigen hanya dari dua celah sempit tersebut. Sementara itu, selama proses kalsinasi, baik oksigen dari dalam TiO2

maupun oksigen yang masuk mengalir melalui celah ujung-ujung lobang selimut pemanas digunakan untuk menguapkan alkoksida-alkoksida yang ada, dalam hal ini adalah senyawa butoksida. Dengan sedikitnya suplai oksigen yang mengalir serta penggunaan oksigen dalam TiO2 menyebabkan oksigen yang masih tersisa tidak merata dalam senyawa TiO2 setelah dikalsinasi. Bagian yang kekurangan oksigen berarti oksigen tersebut digunakan untuk menguapkan butoksida dalam jumlah besar dan hanya menerima suplai oksigen dari luar dapur dalam jumlah yang sangat sedikit.

Hasil pengujian EDS ini juga memberikan informasi bahwa dalam sampel yang diuji benar-benar hanya unsur titanium dan oksigen, serta bebas dari kandungan pengotor seperti karbon (C).

c) Analisis Pengujian X-Ray Diffraction (XRD) TiO2 Xerogel

Pengujian XRD sampel TiO2 xerogel dilakukan di laboratorium CMPFA Departemen Teknik Metalurgi dan Material FTUI. Pengujian ini dimaksudkan untuk mengamati fasa yang terbentuk serta perhitungan besar ukuran kristalit. Pengolahan data dilakukan menggunakan program X’pert HighScore Plus untuk menentukan jenis fasa yang terbentuk, kemudian dilanjutkan dengan menggunakan program Peakfit untuk menentukan besarnya FWHM yang digunakan untuk perhitungan besaran kristalit. Sedangkan untuk mendapatkan pola difraksi yang terbentuk menggunakan program origin. Pola difraksi sinar-X hasil pengujian XRD pada TiO2 xerogel dapat dilihat pada gambar 4.4.

Gambar 4.4. Pola difraksi sinar-X TiO2 xerogel setelah dikalsinasi pada temperatur 300oC selama 2 jam

Pada gambar 4.4 tampak puncak-puncak yang masih lebar namun cukup tinggi intensitasnya. Puncak-puncak ini mewakili bidang kristalitnya masing-masing dan menunjukkan bahwa sampel telah berubah menjadi fasa kristalin. Dari pengolahan data menggunakan program X’pert HighScore Plus grafik yang diperoleh dari TiO2 xerogel ini termasuk dalam kategori TiO2 anatase (JCPDS 21-1272).

Selain memperoleh informasi tentang fasa yang terbentuk, dari pengujian XRD ini juga dapat dihitung estimasi ukuran kristalit rata-rata dari sampel tersebut. Untuk mengukur besar kristalit ini, dari hasil grafik XRD masing-masing sampel tersebut diambil 5 titik puncak (peak) tertinggi. Dengan menggunakan program

peakfit akan diperoleh nilai full width at half maximum (FWHM) atau lebar penuh

dari setengah tinggi maksimum. Kemudian, 5 buah nilai FWHM dari 5 titik yang dipilih akan digunakan untuk perhitungan besar kristalit masing-masing sampel. Estimasi besar ukuran kristalit ini dihitung menggunakan persamaan Scherrer:

𝑡 =𝑘𝑐λ (4.7) Dimana k adalah tetapan Scherrer sebesar 0,89 dan λ adalah panjang gelombang dari sinar-X sebesar 1,54056 Å atau 0,154056 nm. Berdasarkan perhitungan dari persamaan Scherrer didapatkan ukuran kristalit rata-rata adalah 7,62 nm.

Kelebihan hasil penelitian ini adalah keberhasilan dalam pembentukan TiO2 anatase pada temperatur 300oC yang merupakan temperatur yang lebih rendah dari temperatur kristalisasinya. Sehingga, energi dan waktu yang digunakan menjadi lebih sedikit dari seharusnya. Namun, disamping kelebihan tersebut, terdapat kekurangan berupa kristalinitas TiO2 anatase yang dihasilkan relatif rendah jika dilihat dari gambar 4.4. Pada gambar tersebut dapat diamati puncak yang terbentuk masih lebar dan intensitasnya tidak begitu tinggi.

Dalam dokumen UNIVERSITAS INDONESIA SKRIPSI (Halaman 51-55)

Dokumen terkait