• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dari Putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Utara Nomor 369/PID/2013/PT- MDN, Putusan Pengadilan Negeri Stabat Nomor:349/PID.SUS.A/2013/PN.STB, Putusan Pengadilan Negeri Stabat Nomor:443/PID.SUS.A/2014/PN.STB, Putusan Pengadilan Negeri Stabat Nomor:444/PID.SUS.A/2014/PN-STB, Putusan Pengadilan Negeri Stabat Nomor:445/PID.SUS.A/2014/PN.STBtersebut dapat dikritisi terkhusus menyangkut hal yang memberatkan dimana penekanannya bahwa si anak yang seharusnya belum mengenal narkoba, tetapi kenyataannya telah mengenal bahkan

menggunakannya juga sampai mengederkannya. Sebenarnya, hal demikian tidak hanya dilihat dari apa yang telah dilakukan olehseorang anak yang melakukan penyalahguna narkoba, tetapi seharusnya yang lebih dilihat adalah latar belakang mengapa si anak melakukan hal tersebut atau dengan kata lain faktor apa yang menyebabkan mereka melakukan itu (ajaran causalitet).

Yang paling menonjol mengenai sebab mereka melakukan penyalahgunaan narkoba adalah dikarenakan faktor lingkungan yang membentuk mereka sehingga melakukan itu. Karena itu pencegahan akan lebih baik dilakukan dengan tetap memperhatikan lingkungan yang kondusif bagi anak-anak untuk berkembang baik fisik, psikisbahkan sosialnya. Hal ini selain terkait erat dengan teori yang dimunculkan oleh Sutherland dengan teori belajarnya, tetapi juga dapat dipahami dari teori motivasi yang dikemukakan oleh Romli Atmasasmita, yang terdiri dari MotivasiInstrinsik (berupa : Faktor intelegensia, Faktor usia, Faktor kelamin dan Faktor kedudukan anak dalam keluarga) dan motivasi ekstrinsik (berupa : Faktor rumah tangga, Faktor pendidikan dan sekolah, Faktor pergaulan anak, Faktor mass media).

Dari motivasi ekstrinsik dapat terlihat bahwa faktor lingkungan akan sangat mempengaruhi tumbuh kembang anak, karena anak tidak hanya terbatas dari pendidikan oleh orangtua yang bertanggungjawab penuh, tetapi lingkungan juga dapat memberikan pendidikan kepada anak, baik pendidikan yang sifatnya adalah baik bahkan pendidikan yang salah.

sekolah. Hasil penelitian Badan Narkotika Nasional menunjukkan hampir dua pertiga pengguna penyalahguna narkoba memulai penyalahgunaan tersebut pada usia 15 - 24 tahun dan 10% pengguna narkotika di Indonesia memulainya sebelum menginjak usia 15 tahun. Dari seluruh pengguna narkotika yang disurvei, empat perlima sering merokok, 2/3 mengonsumsi minuman beralkohol.

Dengan kata lain setiap pengambilan keputusan oleh hakim selalu juga berdasarkan atas penegakan hukum serta atas dasar keadilan, yang dimana apakah betul korban layak mendapatkan keadilan artinya di sini pengurangan masa hukuman atau malah memberikan hukuman yang bahkan sampai mencapai batas maksimum terhadap suatu dakwaan agar dimana memberikan rasa takut untuk tidak mengulang lagi perbuatannya dalam hal ini pidana yang dapat menimbulkan rasa jera terhadap pelaku tindak pidana khususnya dalam tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh anak.

1.Penjatuhan Hukuman di bawah Ancaman Minimal oleh Hakim

Dalam mempertimbangkanberat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat baik dan jahat dari terdakwa. Penetapan dan putusan harus memuat pertimbangan hukum oleh hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar. (UUNo. 48 Tahun 2009 Kekuasaan Kehakiman).Ketentuan dalampasal 10 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih tidak

ada atau kurang jelas. Terkait dengan ketentuan tersebut, UU No. 48 Tahun 2009pasal 5 ayat (1) mengatur bahwa hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai- nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian diharapkan hakim memeriksa dan mengadili perkara yang menjadi wewenangnya harus berdasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku yang akhirnya termuat dalam suatu putusan apabila terdakwa telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah maka putusan hakim dapat berupa pemidanaan.

Putusan hakim akan menjadi putusan majelis hakim dan kemudian akan menjadi putusan pengadilan yang menyidangkan dan memutus perkara yang bersangkutan dimana sesudah dilakukan pemeriksaan selesai, maka hakim akan menjatuhkan vonis berupa :

1.Penghukuman bila terbukti kesalahan terdakwa. 2.Pembebasan jika apa yang didakwakan tidak terbukti.

3.Dilepaskan dari tuntutan hukum bila terdakwa ternyata tidak dapatdipertanggungjawabkan secara rohaninya (ada gangguan jiwa) atau jugaternyata pembelaan yang memaksa.

Dalam putusannya hakim juga berpedoman pada 3 (tiga) hal yaitu : 1.Unsur yuridis yang merupakan unsur pertama dan utama.

2.Unsur filosofis, berintikan kebenaran dan keadilan.

3.Unsursosiologis yaitu mempertimbangkan tata nilai budaya yang hidup danberkembang dalam masyarakat.

dimana putusan hakim yang menjatuhkan hukuman pemidanaan kepada seseorang terdakwa yaitu berisi perintah untuk menghukum terdakwa sesuai dengan ancaman pidana (straftmaat) yang tertuang dalam pasal pidana yang didakwakan. Diakui memang bahwa Undang-undang memberikan kebebasan terhadap hakim dalam menjatuhkan berat ringannya hukuman yaitu minimal atau maksimal namunkebebasan yang dimaksud adalah haruslah sesuai dengan pasal 12 KUHP yaitu :

1.Pidana penjara ialah seumur hidup atau selama waktu tertentu.

2.Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut.

3.Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu atau antara pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu. Begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dilampaui sebab tambahan pidana karena perbarengan, pengulangan atau karena ditentukan pasal 52 KUHP.

4.Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh melebihi dua puluh tahun.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dan berpedoman pada unsur-unsur yang ada dalam setiap putusan, tentunya hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan haruslah sesuai dengan bunyi pasal dakwaan.Dalam arti hakim terikat dengan batas minimal dan batas maksimal sehingga hakim dinilai telah menegakkan Undang-

Undang dengan tepat dan benar. Sehubungan dengan pernyataan di atas, penulis juga dapat memahami apabila ada hakim yang berani menerobos yaitu menjatuhkan pidana di bawah batas minimal dengan alasan “rasa keadilan dan hati nurani” artinya hakim yang bersangkutan tidak mengikuti bunyi undang-undang yang secara tegas tertulis hal ini dapat saja terjadi karena hakim dalam putusannya harus berdasarkan pada kerangka hukum yaitu penegakan hukum dan penegakan keadilan.

Pendapat Hakim yangmenerapkan putusan sanksi minimal pada perkara- perkara anak sebagai pelaku tindak pidana narkotika setelahmenghasilkan pokok kesimpulan sebagai berikut :

a. Undang-Undang yang mengatur sanksi setengah maksimum itu disahkan setelah Undang Undang Peradilan Anak No.3 Tahun 1997 (UUPA).

b. Analogipasal 26 ayat (1) UUPA, adalah separuh dari sanksi maksimum bukanlah

separuh dari minimum ancaman pidana penjara orang dewasa.

c. Karenaterdakwa tergolong usia anak, maka yang dijatuhkan adalah minimal ancaman pidana yang didakwakan, supaya pidana yang dijatuhkan kepada anak tidak melebihi batas separuh dari ancaman pidana maksimum bagi orang dewasa. d. Untuk memenuhi perintah undang-undang yang berlaku, dimana Undang-Undang

No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika, tidak memberikan pengecualian terhadap pelaku anak.

e. Pada dasarnya Hakim disini sebagai corong undang-undang. f. Belum ada yurisprudensi yang mengatur permasalahan ini.

AgungTahun 2010 tentang hal ini dengan pokok jawaban “Hakim boleh memutus perkara narkotika anak sesuai yang didakwakan, asalkan dipertimbangkan”.

Pendapat Hakim Pengadilan Tinggi Sumatera Utara dan Pengadilan Negeri Stabat yang kurang sependapat dengan putusan sanksi minimal diterapkan kepada pelaku anak. Kesimpulannya menghasilkan pokok sebagai berikut :

a.Penafsiran atas pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, yang menegaskan bahwa “Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa” itu juga bisa disesuaikan dan ditafsirkan sama dengan ancaman minimum. Yakni Hakim bisa mengambil putusan separuh dari ancaman minimalnya.

b.Hakim boleh mengambil putusan berdasarkan keyakinan dari fakta-fakta yang diterima dalam persidangan. Bahkan penyalahgunaan narkotika bagi orang dewasa menurut penulis bisa dan berani memberi putusan pidana kurang dari ancaman pidana minimal yang telah ditentukan di dalam UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Contoh pertimbangannya, terdakwa pemakai narkotika atau pengedar yang baru pertama dan terjebak atau tertipu oleh teman-temannya, karena pengadilan ini tidak hanya untuk menegakkan hukum saja tetapi untuk menegakkan keadilan terlebih lagi dalam kasus ini adalah perkara anak.

Keadilan yang diterapkan dalam pengadilan ini tidak monoton pada satu teori saja, menggunakan teori gabungan yang disesuaikan dengan fakta-fakta dan keadaan

terdakwa. lebih lagi dalam perkara peradilan anak menekankan teori keadilan

restoratif.Adanya hasil rakernas atau rapat kerja nasional yang diadakan oleh

Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan jajaran Pengadilan Tingkat Banding dari 4 (empat) peradilan seluruh Indonesia yang diadakan di Palembang tanggal 09 Oktober 2009, yang menyatakan bahwa hakim dapat menjatuhkan putusan di bawah pidana minimum khusus dengan syarat asalkan didukung oleh bukti dan pertimbangan hukum yang sistematis, jelas dan logis serta penerapannya hanya bersifat kasuistis dan tidak berlaku umum. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Bapak Harifin A.Tumpa yang menjelaskan pada prinsipnya hakim memang wajib melaksanakan ketentuan yang diatur dalam undang-undang, termasuk ketentuan pidana dibawah batas minimal dalam tindak pidana korupsi.Namun, prinsip itu tak berlaku secara rigid"tentu seorang hakim bukan hanya corong dari undang-undang, tapi dia juga harus memper-timbangkan rasa keadilan di masyarakat".

Dari uraian yang telah penulis paparkan di atas, menurut hemat penulis sendiri tetap saja apa yang telah diuraikan di atas dianggap bertentangan dengan asas legalitas

(nulla poena sine lege), yaitu :

1.Hal ini dikarenakan hasil rakernas Mahkamah Agung tersebut telahmengaburkan kepastian hukum yang terkandung di dalam asas legalitasitu sendiri.

2.Hasil rakernas Mahkamah Agung tersebut jika dilihat dari susunanhierarki peraturan perundang-undangan yang ada tidak dikenal dan kekuatan berlakunya hanya sebagai

panduan interen bagi hakim dilingkungan Mahkamah Agung sendiri.

Ada 3 (tiga)point penting mengenai dapat tidaknya penjatuhan putusan di bawah ancaman minimal bahwa :

1.Semua dakwaan yang di tuntut oleh penuntut umum sesuai undang-undang yang dimana telah mengatur mengenai sanksi minimal dapat di jatuhkan putusan di bawah minimal dengan melihat perbuatan terdakwa.

2.Biar adanya aturan yang telah mengatur dalam hal ini undang-undang majelis hakim yang menggali lebih dalam dan menciptakan undang-undanng (yurisprudensi).

3.Tidak memperdulikan perbedaan yang terlalu mencolok antara anak atau orang dewasa di lihat kembali peranannya dalam suatu perkara.

Penulis mendapatkan hasil kesimpulan bahwa hakim dapat saja menjatuhkan sanksi pidana di bawah ancaman minimal sebagaimana pasal 111, 112 dan 114 Undang-Undang No.35 tahun 2009 Tentang Narkotika sebagaimana keyakinan yang di anut oleh hakim itu sendiri jika menrutnya pasal yang menjadi patokan penuntut umum tidak sesuai maka ia akan mengkaji undang-undang yang berbeda akan tetapi saling beterkaitan dari sebuah perkara yang ia hadapi yang dimana kadang sanksinya lebih tinggi ataupun bahkan bisa di bawah ancaman minimal yang telah di tetapkan di dalam satu undang-undang itu sendiri.

BAB IV

Dokumen terkait