• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Mahkamah

Dalam dokumen HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN (Halaman 79-0)

BAB II LEGALITAS HUKUM PEMBUATAN AKTA JUAL-BELI

C. Analisis Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Mahkamah

Hak atas Tanah yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT

Berdasarkan aturan hukum yang berlaku, bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dikualifikasikan sebagai Pejabat Umum, dan diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tertentu dibidang peralihan dan pembebanan hak atas tanah, sebagaimana di atur dalam :

1. Pasal 1 ayat (4) Undang-undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan Dengan Tanah, bahwa : Pejabat

Pembuat Akta Tanah, yang selanjutnya disebut PPAT adalah Pejabat Umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Pasal 1 angka 24 Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, bahwa : Pejabat Pembuat Akta Tanah, sebagaimana disebut PPAT adalah Pejabat Umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu.

3. Peraturan Pemerintah dalam nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah (PJPPAT), dalam Pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa : PPAT adalah Pejabat Umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.

4. Pasal 1 ayat (1), dan ayat (4) serta Pasal 2 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah ditegaskan :

1. Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT, adalah Pejabat Umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.

5. Akta PPAT adalah akta tanah yang dibuat oleh PPAT sebagai bukti telah dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.

(1) PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang akan dijadikan dasar bagi pendfataran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.

Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dapat disimpulkan, bahwa PPAT berwenang atau mempunyai atau diberi kewenangan untuk membuat (to make) akta PPAT, bukan mengisi blangko/formulir akta buatan instansi lain.

Bentuk dan jenis akta PPAT sesuai dengan ketentuan Pasal 96 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah juncto Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, juncto Pasal 2 ayat (2) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, yaitu akta :

1. jual-beli;

2. tukar-menukar;

3. hibah;

4. pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);

5. pembagian hak bersama;

6. pemberian Hak Guna bangunan/Hak Pakai atas Hak Milik;

7. Pemberian Hak Tanggungan;

8. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan.67

Bahwa PPAT hanya mempunyai kewenangan untuk membuat blangko akta tersebut, dan tidak ada kewenangan lain selain akta tersebut, misalnya pembatalan akta PPAT. Dalam kaitan ini akta jual beli hak atas tanah bersertipikat yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT adalah bukti otentik dari PPAT sebagai pejabat umum yang diberikan kewenangan oleh undang-undang dalam hal peralihan hak atas tanah yang telah bersertipikat dengan menjadikan akta jual beli tersebut sebagai dasar hukum proses balik nama di kantor pertanahan setempat.Akta jual beli adalah kesepakatan para pihak yakni pihak penjual dan pihak pembeli yang dituangkan dalam akta jual beli tersebut yang merupakan perbuatan atau tindakkan hukum perdata sesuai ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata. Jika akta jual beli tanah bersertipikat yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, maka akta jual beli tersebut dapat dijadikan dasar hukum yang sah untuk melakukan perbuatan hukum selanjutnya yaitu proses hukum balik nama di kantor pertanahan setempat.

Ketentuan mengenai pembatalan akta PPAT dimuat dalam Pasal 45 ayat (1) huruf g Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah, yang menyatakan bahwa Kepala Kantor Pertanahan menolak

67Winarno Surachman, Tugas dan Kewenangan PPAT, Mandar Maju, Bandung, 2010, hal. 80

untuk melakukan pendaftaran peralihan hak atau pembebanan hak, jika perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) PP 24/1997 dibatalkan oleh para pihak sebelum didaftar oleh Kantor Pertanahan. Pasal 37 ayat (1) PP 24/1997 menyebutkan : Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual-beli, tukar-menukar, hibah, pemasukkan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang, hanya dapat didaftarkan, jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kemudian dalam Penjelasan Pasal 45 PP 24/1997 ditegaskan pula bahwa : Akta PPAT merupakan alat untuk membuktikan telah dilakukannya statu perbuatan hukum. Oleh karena itu apabila perbuatan hukum itu batal atau dibatalkan, akta PPAT yang bersangkutan tidak berlaku lagi sebagai alat bukti perbuatan hukum peralihan hak atas tanah tersebut. Dalam pada itu apabila suatu perbuatan hukum dibatalkan sendiri oleh pihak-pihak yang bersangkutan, sedangkan perbuatan hukum itu sudah didaftar di Kantor Pertanahan, maka pendaftaran tidak dapat dibatalkan.

Perubahan data pendaftaran tanah menurut pembatalan perbuatan hukum itu harus didasarkan atas alat bukti lain, misalnya putusan pengadilan atau akta PPAT mengenai perbuatan hukum yang baru.

Berdasarkan ketentuan tersebut ada 2 (dua) kriteria pembatalan akta PPAT, yaitu (1) pembatalan dilakukan sebelum dilakukan pendaftaran ke Kantor Pertanahan, (2) pembatalan akta jual beli setelah dilakukan atau dalam proses pendaftaran di Kantor Pertanahan. Jika dilakukan pembatalan sebelum dilakukan pendaftaran ke

Kantor Pertanahan dapat dilakukan dengan akta Notaris (akta pihak), karena akta perbuatan yang tersebut dalam akta PPAT adalah perbuatan perdata para pihak.

Sedangkan jika dilakukan pembatalan dalam proses pendaftaran di Kantor Pertanahan, Pasal 45 PP 24/1997 menyebutkan harus dengan putusan pengadilan pembatalannya. Sesuai dengan prinsip dalam hukum perdata, ketika dilakukan pembatalan, maka semua keadaan tersebut harus dikembalikan kepada keadaan semula ketika belum terjadi perbuatan hukum yang tersebut dalam akta jual-beli yang bersangkutan. Dalam pembatalan akta jual beli yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT tersebut, ada permasalahan lain, sebagaimana kita ketahui bahwa Hukum Agraria kita tunduk pada Hukum Perdata Barat, misalnya dalam jual beli tanah prinsip nyata dan tunai harus diperhatikan, berbeda dengan Hukum Perdata Barat dengan prinsip konsensual.

Mengenai pembatalan akta PPAT pembatalan dalam proses pendaftaran di Kantor Pertanahan yang Pasal 45 PP 24/1997 mewajibkan harus dengan putusan pengadilan pembatalannya perlu mendapat pengkajian yang cermat. Bahwa akta perbuatan hukum yang kemudian dalam akta PPAT adalah perbuatan para pihak, jika para pihak sepakat atau tidak ada keberatan, maka para pihak datang kepada Notaris untruk membuat akta pembatalan, tapi jika para pihak bersengketa, atau apabila akta jual beli tersebut mengandung perbuatan melawan hukum atau cacat hukum maka salah satu pihak yang merasa dirugikan haknya karena d terbitnya Akta Jual Beli tersebut dapat mengajukan gugatan pembatalan ke pengadilan umum atau pengadilan negeri. Cara seperti ini sebenarnya dapat dilakukan untuk pembatalan akta PPAT

yang dalam proses pendaftaran di Kantor Pertanahan. Jadi meskipun akta PPAT tersebut dalam proses pendaftaran di Kantor Pertanahan dan tidak ada sengketa apapun, jika para pihak ingin membatalkannya, pembatalannya dapat dilakukan dengan akta Notaris, dan kemudian diajukan permohonan pembatalan dengan melampirkan akta pembatalan tersebut.68

Kantor Pertanahan ataupun Badan Pertanahan Nasional. Dalam kasus Pembatalan Akta jual beli hak atas tanah yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT dalam Putusan Mahkamah Agung No.1138.K/PDT/2012, pembatalan akta jual beli tersebut oleh Pengadilan negeri Bogor, yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jawa Barat dan Mahkamah Agung, didasarkan karena pertimbangan hukum bahwa Akta jual beli tersebut mengandung unsur perbuatan melawan hukum. Akta jual beli yang dibuat oleh PPAT MP tersebut melanggar ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata pada syarat subjektif dimana objek hak atas tanah yang diperjual-belikan tersebut tidak didasarkan kepada prinsip konsensuil (kesepakatan) antara pihak penjual dan pihak pembeli. Pemilik tanah tidak mengetahui sama sekali pembuatan akta jual beli tersebut, dan pihak pembeli PP yang bertindak melakukan pembuatan akta jual beli tersebut bekerja sama dengan PPAT MP dengan melawan hukum karena tanpa sepengetahuan pemilik tanah HNS. Pembuatan akta jual beli tersebut direkayasa oleh tergugat I PP dan tergugat III PPAT MP dengan melawan hukum. Akta jual-beli hak atas tanah yang dibuat dengan melawan hukum dan cacat hukum tersebut dijadikan

68M. Marmin Rosadijo, Kebatalan dan Pembatalan Akta PPAT dalam Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, 2009, hal. 84

dasar proses balik nama di kantor pertanahan kota Bogor. Akibat hukum dari proses balik nama pemilik hak atas tanah dengan dasar hukum akta jual beli yang mengandung cacat hukum tersebut, maka proses balik nama tersebut dibatalkan pula oleh pengadilan. Selain itu dengan dasar akta jual beli dan balik nama dilakukan pengikatan jaminan hak tanggungan di Bank Mandiri. Pengikatan jaminan hak tanggungan atas objek hak atas tanah dengan SHM No.469/Menteng seluas 250 M2 tersebut dilakukan oleh tergugat I PP dan tergugat III Bank Mandiri, juga mengandung cacat hukum. Hal ini disebabkan ketidak berwenangan tergugat I PP dalam hal melakukan pengikatan jaminan hak tanggungan atas objek hak atas tanah tersebut, karena tanah tersebut diperoleh tergugat I PP dengan cara melawan hukum, yaitu dengan merekayasa pembuatan akta jual beli tersebut bersama-sama dengan tergugat III PPAT MP. Oleh karena dasar pertimbangan putusan pengadilan negeri Bogor, yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jawa Barat dan Mahkamah Agung telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB IV

TANGGUNG JAWAB PPAT ATAS AKTA JUAL-BELI HAK ATAS TANAH BERSERTIPIKAT YANG DIBUATNYA YANG DIBATALKAN OLEH

PENGADILAN

A. Tinjauan Umum Tentang Akta Jual-Beli Hak Atas Tanah Bersertipikat Yang Dibuat Oleh PPAT

Akta dalam arti terluas adalah perbuatan hukum (rechtshandeling). Akta juga diartikan sebagai “suatu tulisan” yang dibuat untuk dipakai sebagai bukti suatu perbuatan hukum, yang mana tulisan ditujukan kepada pembuatan sesuatu perjanjian berdasarkan kesepakatan. Akta Jual Beli Tanah adalah akta autentik yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah berkenaan dengan perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah yang telah bersertipikat. Akta jual beli hak atas tanah bersertipikat sering disebut dengan akta PPAT, menurut Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 juncto PP No.24 Tahun 2016, tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, bahwa akta PPAT adalah akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagai bukti telah dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau atas Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.69

Akta PPAT merupakan tanda bukti yang bersifat terang dan nyata (riil), yang merupakan syarat bagi sahnya perbuatan hukum yang bersangkutan, hingga menurut hukum mengikat para pihak yang melakukannya. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat

69 Husaini Usman, Kekuatan Pembuktian PPAT Dalam Teori Dan Praktek, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hal. 26

(1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 juncto PP No.24 Tahun 2016 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah akta otentik.

Jual beli menurut Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, harus dibuat dengan akta PPAT, sedangkan jual beli tanah yang dilakukan tanpa dihadapan PPAT tetap sah karena UUPA berlandaskan pada Hukum Adat yang sistemnya adalah konkret/kontan/nyata. Namun jual beli tanah yang dilakukan tanpa dihadapan PPAT masih diragukan kekuatan hukumnya.

Atas dasar pertimbangan itulah, maka jual beli tanah harus dibuat dengan akta PPAT.

Adapun fungsinya adalah sebagai bukti telah diadakan perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Satuan Rumah Susun, akta PPAT berfungsi sebagai alat pembuktian mengenai benar sudah dilakukannya jual beli.70

Akta PPAT juga dijadikan dasar bagi pendaftaran atau perubahan data pendaftaran tanah ke Kantor Pertanahan setempat. Para pihak yang melakukan jual beli hak atas tanah bersertipikat tanpa dibuktikan dengan akta PPAT tidak akan dapat diproses balik nama hak kepemilikan atas tanah tersebut dari nama penjual kepada nama pembeli, meskipun jual belinya sah menurut hukum.

Pembuatan akta jual beli oleh PPAT formatnya sudah diatur di dalam Peraturan Kepala Badan Pertahanan Nasional (Perkaban) no. 08 tahun 2012 tentang Pendaftaran Tanah, sehingga PPAT tinggal mengikuti format-format baku yang

70 Hasan Margono, Hak Atas Tanah dan Peralihannya melalui Akta PPAT, Bumi Aksara, Jakarta, 2007, hal. 76

sudah disediakan. Pembuatan akta jual beli dilakukan setelah seluruh pajak yang timbul karena jual beli sudah dibayarkan oleh para pihak sesuai dengan kewajibannya masing-masing.Untuk pembuatan akta jual beli hak atas tanah bersertipikat harus dihadiri penjual dan Pembeli (suami istri bila sudah menikah) atau orang yang diberi kuasa dengan surat kuasa tertulis.

Dihadirkan sekurang-kurangnya dua orang saksi, dari pihak penjual maupun pembeli PPAT akan membacakan dan menjelaskan isi Akta, bila pihak penjual dan pembeli menyetujui isi akta jual beli tersebut maka akta jual-beli tersebut akan ditandatangani oleh penjual, pembeli, saksi-saksi dan PPAT. Akta jual-beli hak atas tanah bersertipikat dibuat dalam dua rangkap asli, satu rangkap disimpan oleh PPAT dan satu rangkap lainnya akan diserahkan ke kantor Pertanahan untuk keperluan balik nama. Fotocopy akta jual beli tersebut akan diberikan pada pihak penjual dan pembeli Dengan selesainya balik nama sertifikat maka hak yang melekat pada tanah dan bangunan tersebut sudah beralih hak kepemilikannya dari Penjual kepada pembeli.

Sebelum melakukan proses jual beli hak atas tanah bersertipikat, penjual maupun pembeli harus memastikan bahwa tanah tersebut tidak sedang dalam sengketa atau atau dijadikan jaminan hak tanggungan di Bank. Jika tanah tersebut sedang dalam permasalahan maka PPAT dapat menolak pembuatan akta jual beli yang diajukan.

Adapun data-data yang dibutuhkan untuk terjadinya jual beli adalah sebagai berikut:

Data yang perlu disiapkan oleh penjual adalah:

1. Foto copy KTP (apabila sudah menikah maka Foto copy KTP Suami dan Istri) 2. Kartu Keluarga (KK)

3. Surat Nikah (kalau sudah nikah)

4. Asli Sertipikat Hak Atas Tanah yang akan dijual meliputi (Sertpikat Hak Milik, Sertifikat Hak Guna Bangunan, Sertipikat Hak Guna Usaha, Sertipikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun). Selain 4 jenis sertipikat tersebut, maka bukan Akta PPAT yang digunakan melainkan Akta Notaris.

5. Bukti Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) 5 tahun terakhir.

6. NPWP

7. Foto copy Surat Keterangan WNI/ganti nama (bila ada untuk WNI keturunan) 8. Surat bukti persetujan suami istri (bagi yang sudah berkeluarga)

9. Jika suami/istri penjual sudah meninggal maka yang harus dibawa adalah akta kematian.

10. Jika suami istri telah bercerai, yang harus dibawa adalah Surat Penetapan dan Akta Pembagian Harta Bersama yang menyatakan tanah/bangunan adalah hak dari penjual dari pengadilan.71

Data yang harus disiapkan oleh pembeli antara lain adalah:

a. Foto copy KTP (Apabila sudah menikah maka Foto copy KTP suami dan Istri)

b. Kartu Keluarga (KK)

71 Hardianta Banu, Akta Jual Beli PPAT dan Prosedur Pembuatannya Dalam Teori Dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 90

c. Surat Nikah (kalau sudah nikah) d. NPWP.

Proses Pembuatan akta jual beli oleh PPAT memiliki beberapa tahapan yang antara lain adalah:

1. Tahap Persiapan

a. Sebelum membuat AJB, PPAT akan melakukan pemeriksaan mengenai keaslian sertifikat ke kantor Pertanahan.

b. Penjual harus membayar pajak penghasilan (PPh, sedangkan pembeli diharuskan membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dengan ketentuan sebagai berikut:

Pajak Penjual (PPh = NJOP/Harga Jual x 5 %

Pajak Pembeli (BPHTB) = (NJOP/Harga Jual – Nilai Tidak Kena Pajak) x 5%

NJOP adalah singkatan dari Nilai Jual Objek Pajak, yakni harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar.

c. Calon pembeli dapat membuat surat pernyataan bahwa dengan membeli tanah tersebut maka tidak lantas menjadi pemegang Hak Atas Tanah yang melebihi ketentuan batas luas maksimum.

d. PPh maupun BPHTB dapat dibayarkan di Bank atau Kantor Pos. sebelum PPh dan BPHTB dilunasi maka akta belum dapat dibayarkan. Biasanya untuk mengurus pembayaran PPh dan BPHTB dibantu oleh PPAT bersangkutan.

e. Mengecek apakah jangka waktu Hak Atas Tanah sudah berakhir atau belum.

Sebab untuk Sertifikat Hak Guna BAngunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Guna

Usaha (SHGU) ada jangka waktunya. Jangan sampai membeli tanah SHGB/SHGU dengan kondisi sudah jatuh tempo.

f. Mengecek apakah di atas tanah yang akan dibeli ada Hak yang lebih tinggi.

Misalkan, tanah yang akan dibeli adalah tanah SHGB yang di atasnya ada Hak Pengelolaan (HP). Maka penjual dan pembeli harus meminta izin dahulu kepada pemegang Hak Pengelolaan tersebut.

g. Mengecek apakah rumah yang akan dibeli pernah menjadi jaminan kredit dan belum dilakukan penghapusan (Roya) atau tidak. Apabila pernah maka harus diminta Surat Roya dan Surat Lunas dari penjual agar nantinya bisa balik nama.72

2. Pembuatan AJB

a. Pembuatan AJB harus dihadiri penjual dan pembeli (suami istri bila sudah menikah) atau orang yang diberi kuasa dengan surat kuasa tertulis.

b. Dihadirkan sekurang-kurangnya 2 saksi.

c. PPAT akan membacakan dan menjelaskan isi Akta. Bila pihak penjual dan pembeli menyetujui isinya maka Akta akan ditandatangani oleh penjual, pembeli, saksi dan PPAT.

d. Akta dibuat 2 lembar asli, satu disimpan oleh PPAT dan satu lembar lain akan diserahkan ke Kantor Pertanahan untuk keperluan Balik Nama. Salinannya akan diberikan pada pihak penjual dan pembeli.

72 Sony Hermanto, Hak Dan Kewenangan Ppat Dalam Pembuatan Akta Di Bidang Pertanahan, Armico, Bandung, 2008, hal. 49

3. Proses balik nama di kantor pertanahan antara lain adalah bahwa setelah AJB selesai di buat, maka PPAT menyerahkan berkas AJB ke kantor Pertanahan untuk Balik Nama. Penyerahan berkas AJB harus dilakukan selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak ditandatangani.

Adapun berkas-berkas yang diserahkan meliputi:

Surat Permohonan Balik Nama yang telah ditandatangani pembeli a. Akta Jual Beli dari PPAT

b. Sertifikat Hak Atas Tanah

c. Foto copy KTP penjual dan pembeli d. Bukti lunas pembayaran PPh dan BPHTB Proses di kantor pertanahan adalah sebagai berikut:

a. Setelah berkas diserahkan di Kantor Pertanahan, maka akan ada tanda bukti penerimaan yang akan diserahkan kepada pembeli.

b. Nama pemegang hak lama (penjual) akan dicoret dengan tinta hitam dan diberi paraf oleh Kepala Kantor Pertanahan atau Pejabat yang ditunjuk.

c. Nama pembeli selaku pemegang hak baru atas tanah akan ditulis pada halaman dan kolom yang ada pada buku tanah dan sertifikat, dengan pembubuhan tandatangan Kepala Kantor Pertanahan atau Pejabat yang ditunjuk.

d. Dalam waktu 14 hari, pembeli berhak mengambil sertifikat yang sudah balik atas nama pembeli di Kantor Pertanahan setempat.73

Apabila suami/istri atau keduanya yang namanya tercantum dalam sertifikat sudah meninggal dunia dan ahli warisnya akan melakukan jual beli maka tanah tersebut harus dibalik nama terlebih dahulu atas nama Ahli Waris. Selain itu, Sebelum melakukan proses jual beli seperti di atas, data tambahan yang diperlukan adalah sebagai berikut :

1. Surat Keterangan Waris 2. Untuk WNI Pribumi

3. Surat Keterangan Waris yang diajukan disaksikan dan dibenarkan oleh Lurah yang dikuatkan Camat.

4. Untuk WNI keturunan

5. Surat Keterangan Waris dari Notaris 6. Foto copy KTP seluruh Ahli Waris 7. Foto copy Kartu Keluarga (KK) 8. Foto copy Surat Nikah

9. Seluruh ahli waris harus hadir untuk tanda tangan AJB, atau Surat Persetujuan dan kuasa dari seluruh ahli waris kepada salah seorang di antara mereka yang dilegalisir oleh Notaris (dalam hal tidak bisa hadir)

73 Purnomo Asikin, PPAT dan Kewenangannya Dalam Bidang Pertanahan, Lentera Ilmu, Jakarta, 2011, hal. 105

10. Bukti Pembayaran BPHTB waris (pajak Ahli Waris) dimana besarnya adalah 50% dari BPHTB jual beli setelah dikurangi dengan nilai tidak kena pajaknya.

B. Akibat Hukum Pembuatan Akta Jual-Beli Hak Atas Tanah Bersertipikat oleh dan dihadapan PPAT

Akta Jual Beli (AJB) merupakan suatu kesepakatan antara penjual dan pembeli dalam hal pelaksanaan jual-beli hak atas tanah bersertipikat yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT. Akta jual-beli juga merupakan dokumen yang membuktikan adanya transaksi jual beli hak atas tanah dari penjual kepada pembeli, dimana penjual berhak atas sejumlah uang sebagai pembayaran atas tanah yang dijualnya tersebut dan pembeli berhak memperoleh hak kepemilikan atas tanah tersebut setelah melaksanakan kewajibannya membayar lunas harga hak atas tanah yang bersertipikat tersebut.74

Akibat hukum dari pembuatan akta jual beli hak atas tanah bersertipikat oleh dan dihadapan PPAT tersebut adalah beralihnya hak kepemilikan atas tanah tersebut dari pemilik sebagai penjual kepada pembeli sebagai pemilik baru. Pada prinsipnya jual beli hak atas tanah bersertipikat bersifat terang dan tunai, yaitu dilakukan di

Akibat hukum dari pembuatan akta jual beli hak atas tanah bersertipikat oleh dan dihadapan PPAT tersebut adalah beralihnya hak kepemilikan atas tanah tersebut dari pemilik sebagai penjual kepada pembeli sebagai pemilik baru. Pada prinsipnya jual beli hak atas tanah bersertipikat bersifat terang dan tunai, yaitu dilakukan di

Dalam dokumen HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN (Halaman 79-0)