• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN"

Copied!
139
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

R. RAMADIPTA 147011115/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

R. RAMADIPTA 147011115/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(3)

Nama Mahasiswa : R. RAMADIPTA Nomor Pokok : 147011115

Program Studi : KENOTARIATAN

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)

Pembimbing Pembimbing

(Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum) (Notaris Syafnil Gani, SH, MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum) (Prof.Dr.Budiman Ginting,SH,MHum)

Tanggal lulus : 09 Mei 2017

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Anggota : 1. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, MHum

2. Notaris Syafnil Gani, SH, MHum 3. Notaris Rosniaty Siregar, SH, MKn 4. Notaris Suprayitno, SH, MKn

(5)

Nama : R. RAMADIPTA

Nim : 147011115

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : TANGGUNG JAWAB HUKUM PPAT ATAS

PEMBUATAN AKTA JUAL BELI HAK ATAS TANAH BERSERTIFIKAT YANG DIBATALKAN OLEH PENGADILAN (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1138.K/PDT/2012)

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama : R. RAMADIPTA Nim : 147011115

(6)

dengan akta jual beli PPAT, maka proses balik nama hak kepemilikan atas tanah tersebut dari nama penjual kepada nama pembeli tidak dapat diproses di kantor pertanahan setempat.

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah, bagaimana legalitas hukum pembuatan akta jual-beli hak atas tanah bersertipikat yang dibuat oleh PPAT dan dibatalkan oleh pengadilan, Bagaimana dasar pertimbangan hukum majelis hakim kasasi Mahkamah Agung dalam membatalkan akta jual beli hak atas tanah yang telah bersertipikat yang dibuat oleh PPAT dalam Putusan Mahkamah Agung No.1138.K/Pdt/2012 dan bagaimana pertanggung jawaban hukum PPAT terhadap pembuatan akta jual-beli hak atas tanah yang telah bersertipikat yang dibatalkan oleh pengadilan.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang dilakukan terhadap peraruran perundang-undangan yang berlaku dalam hal ini adalah UUPA No.5 Tahun1960, PP No.24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah dan PP No.24 Tahun 2016, atas perubahan PP No.37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT dan juga Putusan MA No.1138.K.Pdt/2012 dalam perkara Pembatalan Akta PPAT karena mengandung unsur perbuatan melawan hukum. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis dimana penelitian ini berupaya untuk menggambarkan, memaparkan dan menganalisis permasalahan yang timbul, lalu mencari jawaban yang benar sebagai solusi dari permasalahan tersebut.

Hasil pembahasan dari permasalahan yang timbul dalam penelitian ini adalah bahwa akta jual beli atas tanah bersertipikat yang dibuat oleh PPAT dan yang telah dibatalkan oleh pengadilan adalah akta jual beli tersebut tidak lagi memiliki legalitas dan kekuatan hukum untuk dijadikan bukti autentik peralihan hak atas tanah bersertipikat melalui jual beli dan tidak dapat lagi dijadikan dasar hukum balik nama dari nama penjual kepada nama pembeli di kantor pertanahan setempat. PPAT wajib bertanggung jawab atas pembatalan AJB yang dibuatnya tersebut oleh pengadilan karena mengandung unsur perbuatan melawan hukum.

Tanggung jawab tersebut adalah mengganti kerugian kepada pihak yang dirugikan atas dibatalkannya AJB tersebut oleh pengadilan apabila pihak yang dirugikan tersebut menggugat PPAT tersebut ke pengadilan, dan gugatan tersebut dikabulkan oleh pengadilan dan telah berkekuatan hukum tetap. Selain itu PPAT juga wajib bertanggung jawab secara pidana apabila pihak yang dirugikan melaporkan PPAT tersebut ke pihak kepolisian dan terbukti di pengadilan pembuatan AJB tersebut mengandung unsur perbuatan melawan hukum pidana.

Kata Kunci: PPAT, Akta Jual-Beli, Dibatalkan Pengadilan

(7)

the case above is not done through AJB signed by PPAT, the process of transferring title of ownership of the land from the seller and the buyer cannot be processed in the Land Office. The research problems were as follows: how about the legality of drawing up sales contract on certified land drawn up by PPAT and was revoked by the Court, how about the legal consideration of the Supreme Court in revoking a certified land certificate drawn up by PPAT in the Supreme Court’s Ruling No.

1138.K/Pdt/2012, and how about the liability of PPAT for drawing up certified land certificate which had been revoked by the Court.

The research used juridical normative method on the prevailing law, the Land Act No. 5/1960, PP (Government Regulation) No. 24/1997 on Land Registration, and PP No. 24/2016 on the amendment of PP No. 37/1998 on the Regulation on PPAT Position, and also the Supreme Court’s Ruling No. 1138.K.Pdt/2012 in the case of Revocation of PPAT Certificate because it contained illegal act. The research also used descriptive analytic method which was aimed to describe, explain, and analyze the research problems and to find the correct answers as the solution.

The result of the research shows that sales contract on certified land drawn up by PPAT and has been revoked by the Court will be illegal and has no legal force to be used as an authentic certificate in sales contract. It cannot be used for a transferring title, from the seller to a buyer, in the Land Office. PPAT is liable for the revocation of the Sales Contract since it was illegal. The liability is in the form of compensation for the harmed party because of the revocation of the Sales Contract by the Court when the harmed party files the complaint to the Court and accepted by the Court as final and conclusive. Besides that, PPAT is also liable for the criminal act when the harmed party reports him to the police and in the court he has been proved guilty because the AJB contains criminal act.

Keywords: PPAT, Sales Contract, Revoked by the Court

(8)

karuniaNya sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan di Universitas Sumatera Utara Medan. Dalam memenuhi tugas inilah saya menyusun dan memilih judul :

“TANGGUNG JAWAB HUKUM PPAT ATAS PEMBUATAN AKTA JUAL BELI HAK ATAS TANAH BERSERTIPIKAT YANG DIBATALKAN OLEH

PENGADILAN (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG

NO.1138.K/PDT/2012)”. Saya menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan didalam penulisan tesis ini, untuk itu dengan hati terbuka menerima saran dan kritik dari semua pihak, agar dapat menjadi pedoman dimasa yang akan datang.

Dalam penulisan dan penyusunan tesis ini, saya mendapat bimbingan dan pengarahan serta saran-saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tidak ternilai harganya secara khusus kepada Ketua Komisi Pembimbing Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum dan Bapak Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum, masing-masing selaku anggota Komisi Pembimbing yang banyak memberikan masukkan dan bimbingan kepada saya selama dalam sayaan tesis ini.

Selanjutnya ucapan terima kasih yang tak terhingga saya sampaikan kepada:

(9)

(M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

3. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum., selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan.

4. Bapak Dr. Edy Ikhsan, SH, MA selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan.

5. Bapak-bapak dan Ibu-ibu Guru Besar dan Staf Pengajar dan juga para karyawan Biro Administrasi pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan.

Secara khusus saya menghaturkan terima kasih yang tak terhingga kepada keluargaku tercinta Ayahanda R. Harry Hermana, SH, dan Ibunda Masitha, yang selalu memberikan semangat dan dorongan kepada saya selama ini. Ucapkan kepada adinda tersayang Fauzya Lubis memberikan dukungan, doa serta semangat yang telah diberikan kepada saya selama ini.

Ucapan terima kasih juga saya ucapkan kepada rekan-rekan seperjuangan, khususnya rekan rekan Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara satu angkatan lain yang namanya tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang terus memberikan motivasi, semangat dan kerjasama dan diskusi, membantu dan

(10)

saya, mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah.

Akhirnya, semoga tesis ini dapat berguna bagi diri saya dan juga bagi semua pihak khususnya yang berkaitan dengan bidang kenotariatan.

Medan, Mei 2017 Penulis

(R. Ramadipta)

(11)

Nama : R. Ramadipta

Tempat dan Tanggal Lahir : Medan, 27 Februari 1990

Alamat : Komplek Tasbi Blok G No. 5 Medan

Jenis Kelamin : Laki-laki

Umur : 27 Tahun

Kewarganegaraan : Indonesia

Agama : Islam

Nama Bapak : R. Harry Hermana, SH

Ibu : Masitha

II. PENDIDIKAN

Sekolah Dasar : SD Bhayangkari Medan Sekolah Menengah Pertama : SMP Negeri 1 Medan Sekolah Menengah Atas : SMA Negeri 1 Medan

S1 Universitas : Universitas Sumatera Utara Fakultas Hukum S2 Universitas : Program Studi Magister Kenotariatan

Fakultas Hukum USU

(12)

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Keaslian Penelitian ... 12

F. Kerangka Teori dan Konsepsi... 14

1. Kerangka Teori ... 14

2. Konsepsi ... 21

G. Metode Penelitian ... 23

1. Sifat dan Jenis Penelitian ... 23

2. Sumber Data... 24

3. Teknik dan Pengumpulan Data ... 25

4. Analisis Data ... 25

BAB II LEGALITAS HUKUM PEMBUATAN AKTA JUAL-BELI HAK ATAS TANAH BERSERTIPIKAT YANG DIBUAT OLEH PPAT DAN DIBATALKAN OLEH PENGADILAN ... 27

A. Kedudukan Hukum PPAT Dalam Bidang Hukum Pertanahan Di Indonesia ... 27

B. Tanggung Jawab PPAT Terhadap Akta Jual-Beli Yang Dibuatnya ... 35

(13)

NO.1138.K/Pdt/2012 DALAM KASUS PEMBATALAN

AKTA JUAL BELI HAK ATAS TANAH

BERSERTIPIKAT YANG DIBUAT OLEH PPAT ... 56

A. Kasus Posisi Putusan Mahkamah Agung No.1138.K/Pdt/2012 Dalam Perkara Pembatalan Akta Jual-Beli Hak Atas Tanah Yang Dibuat Oleh PPAT... 56

B. Dasar Pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung Pada Putusan No.1138.K/Pdt/2012 Dalam Perkara Pembatalan Akta Jual-Beli Hak Atas Tanah Bersertipikat Yang Dibuat Oleh PPAT ... 58

C. Analisis Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Mahkamah Agung Pada Putusan No.1138.K/PDT/2012 dalam perkara Pembatalan Akta Jual Beli Hak atas Tanah yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT... 66

BAB IV TANGGUNG JAWAB PPAT ATAS AKTA JUAL-BELI HAK ATAS TANAH BERSERTIPIKAT YANG DIBUATNYA YANG DIBATALKAN OLEH PENGADILAN... 74

A. Tinjauan Umum Tentang Akta Jual-Beli Hak Atas Tanah Bersertipikat Yang Dibuat Oleh PPAT ... 74

B. Akibat Hukum Pembuatan Akta Jual-Beli Hak Atas Tanah Bersertipikat oleh dan dihadapan PPAT ... 82

C. Pertanggung Jawaban Hukum PPAT Terhadap Pembuatan Akta Jual Beli Hak Atas Tanah Yang Telah Bersertipikat Yang Dibatalkan Oleh Pengadilan... 92

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 118

A. Kesimpulan ... 118

B. Saran... 119

DAFTAR PUSTAKA ... 121

(14)

Tanah merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia dan sangat kompleks karena menyangkut banyak segi dalam hal kepemilikannya di dalam kehidupan masyarakat. Setiap orang hidup membutuhkan tanah, baik untuk dijadikan tempat tinggal maupun tempat usaha/bisnis dan mengakibatkan nilai tanah secara ekonomi meningkat pula dengan sangat pesat dari waktu ke waktu.1

Karena nilai ekonomi tanah yang sangat tinggi, maka setiap orang berupaya untuk memperoleh jaminan kepastian hukum atas tanah yang diduduki/ ditempatinya.

Oleh karena itu sebagai jaminan kepastian hukum atas hak kepemilikan atas tanah para pemilik tanah melakukan pengurusan pendaftaran tanahnya agar dapat memperoleh sertifikat hak atas tanah tersebut. Dalam pelaksanaan jual-beli hak atas tanah yang bersertipikat, agar jelas pengalihan hak atas tanah tersebut maka pembuatan akta jual-beli hak atas tanah yang bersertipikat tersebut harus dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang menurut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan Peraturan Pemerintah (PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah serta menurut PP Nomor. 37 Tahun 1998 juncto PP Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).2

1 Muhammad Yamin Lubis Dan Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, Bandung, 2008, hal. 18

2Muhammad Ridwan, Hukum Jual Beli Hak Atas Tanah Yang Telah Bersertipikat, pustaka ilmu, jakarta, 2010, hal. 52.

(15)

Pasal 37 PP No.24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah berbunyi,

"Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual-beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku".

Dari ketentuan Pasal 37 PP No.24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah tersebut di atas maka dapat dikatakan bahwa hanya PPAT yang berwenang membuat akta jual beli hak atas tanah yang telah bersertipikat agar dapat diproses pendaftaran akta jual belinya sekaligus balik namanya di kantor pertanahan tempat dimana tanah tersebut berada. Apabila bukan PPAT yang membuat akta jual beli hak atas tanah yang telah bersertipikat tersebut, maka kantor pertanahan sesuai ketentuan hukum yang berlaku tidak dapat melakukan proses pendaftaran akta jual beli tersebut sekaligus juga tidak dapat memproses balik nama hak kepemilikan atas tanah tersebut.3

Di dalam Pasal 16 UUPA No.5 Tahun 1960 disebutkan bahwa,

(1) "Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1 ialah:

a. Hak Milik b. Hak Guna Usaha c. Hak Guna Bangunan d. Hak Pakai

e. Hak Sewa

f. Hak Membuka Tanah g. Hak memungut hasil hutan

3 Muhammad Yamin Lubis, Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2003, hal 37.

(16)

h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 53

(2) Hak-hak atas air dan ruang angkasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 3 ialah:

a. Hak Guna Air

b. Hak pemeliharaan dan penangkapan ikan.

Hak-hak sebagaimana tercantum dalam Pasal 16 tersebut di atas dalam pelaksanaan pengalihan haknya maka pejabat yang berwenang melaksanakan pengalihan hak nya tersebut adalah PPAT.

Akta PPAT merupakan akta otentik yang pada hakekatnya memuat kebenaran formil dan materil. PPAT berkewajiban untuk membuat akta sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan, serta sebelum proses pembuatan akta PPAT mempunyai kewajiban untuk melakukan pengecekan sertipikat suatu bidang hak atas tanah di kantor pertanahan4, selain itu PPAT mempunyai kewajiban untuk membacakan akta sehingga isi akta dapat dimengerti oleh para pihak. PPAT juga harus memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak yang menandatangani akta. Oleh karena itu para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui isi akta PPAT yang akan ditandatanganinya.5

Fungsi dan tanggung jawab PPAT serta tanggung jawab pertanahan beranjak dari sistem publikasi negatif dan kewajiban menilai dokumen, maka sebaiknya terdapat pembagian fungsi dan tanggung jawab antar PPAT dan petugas pendaftaran PPAT berfungsi dan bertanggung jawab :

4 Jonas Taslim, PPAT Dan Peralihan Hak Atas Tanah (Suatu Analisis Yuridis Normatif), Tarsito Bandung, 2009, hal.11

5 Mirwan Amir, Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Oleh PPAT, Media Ilmu, Jakarta, 2010, hal.42.

(17)

1. Membuat akta yang dapat dipakai sebagai dasar yang kuat bagi pelaksanaan pendaftaran peralihan hak atau pembebanan hak pelaksanaan pendaftaran peralihan hak atau pembebanan hak.

2. PPAT bertanggung jawab terhadap terpenuhinya unsur kecakapan dan kewenangan penghadap dalam akta dan keabsahan perbuatan haknya sesuai data dan keterangan yang disampaikan kepada para penghadap yang dikenal atau diperkenalkan.

3. PPAT bertanggung jawab dokumen yang dipakai dasar melakukan tindakan hukum kekuatan dan pembuktiannya telah memenuhi jaminan kepastian untuk ditindaklanjuti dalam akta otentik dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

4. PPAT bertanggung jawab sahnya perbuatan hukum sesuai data keterangan para penghadap serta menjamin otensitas akta dan bertanggung jawab bahwa perbuatannya sesuai prosedur.6

Keberadaan PPAT untuk mendampingi dan menunjang kegiatan dari BPN yang suatu lembaga / instansi pemerintah non departemen menggantikan direktorat jenderal agraria dibidang ketertiban administrasi pertanahan, antara lain untuk mengatur perdataan dengan mendaftar7. Tanah-tanah di bumi pertiwi Indonesia ini terutama yang belum terdaftar dengan menerbitkan sertipikat hak atas tanah guna mencapai terwujudnya cita-cita bangsa dan negara sebagaimana bunyi Undang- undang Dasar 1945 dan amandemennya Pasal 33 :

6Bachtiar Sibarani, Asas-Asas Pendaftaran Hak Atas Tanah, Pustaka Ilmu Surabaya, 2011, hal.21.

7Alben Daryanto, Kewenangan PPAT Dalam Bidang Pertanahan, Eresco, Bandung, 2007, hal.78.

(18)

1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas dasas kekeluargaan.

2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara yang dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

3. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkedilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal di atur dalam undang- undang.

Di dalam Pasal 1 ayat 1 Peraturan Pemerintah (PP) No.37 Tahun 1998 jo PP No.24 Tahun 2016 Tentang Peraturan Jabatan PPAT disebutkan bahwa, Pejabat Pembuat Akta Tanah selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu yaitu dalam pembuatan akta peralihan hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun".8

Dari ketentuan tersebut di atas maka dapat dikatakan bahwa PPAT adalah pejabat yang berwenang karena ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan dalam

8Delisa Handoyo, Hukum Pendaftaran Hak Atas Tanah di Indonesia, Citra Ilmu, Surabaya, 2009, hal. 28

(19)

hal pembuatan akta-akta otentik peralihan hak atas tanah yang telah bersertipikat termasuk hak milik atas satuan rumah susun.9Apabila peralihan hak atas tanah yang telah bersertipikat dan satuan rumah susun tersebut akta nya tidak dibuat oleh PPAT, maka perbuatan hukum peralihan hak tersebut dipandang tetap sah secara hukum namun tidak dapat didaftarkan atau tidak dapat dibaliknamakan hak kepemilikan atas tanah tersebut dari nama penjual kepada nama penjual di kantor pertanahan setempat.

Akibatnya akta peralihan hak atas tanah yang telah bersertipikat dan hak atas satuan rumah susun tersebut tidak dapat didaftarkan akta peralihan haknya dan tidak dapat diproses balik namanya dari nama penjual kepada nama pembeli oleh kantor pertanahan setempat.10

Secara umum tugas pokok dan kewenangan PPAT adalah melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan dan pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. Perbuatan hukum yang dimaksud sebagaimana tersebut di atas adalah:

a. Jual beli, b. Tukar menukar, c. Hibah,

d. Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng)

9Wayan Sudharta, Jual-Beli Hak Atas Tanah Melalui Akta PPAT, Andi, Yogyakarta, 2007, hal.50.

10Habib Adjie, Percikan Pemikiran tentang Jabatan Dan Akta PPAT, Refika Aditama, Bandung, 2009, hal.26

(20)

e. Pembagian hak bersama,

f. Pemberian hak guna bangunan/hak pakai atas tanah hak milik, g. Pemberian hak tanggungan,

h. Pemberian kuasa membebankan hak tanggungan.11

Akta PPAT dibuat dengan bentuk yang ditetapkan oleh Menteri, dalam hal ini adalah Menteri Agraria/Kepala BPN. Selain memiliki tugas pokok dan kewenangan, PPAT juga memiliki larangan-larangan yang harus ditaati dalam melaksanakan tugas jabatannya.12 Larangan itu antara lain adalah PPAT dilarang membuat akta, apabila PPAT sendiri, suami atau istrinya, keluarganya sedarah atau semenda, dalam garis lurus tanpa pembatasan derajat dan dalam garis ke samping sampai derajat kedua, menjadi pihak dalam perbuatan hukum yang bersangkutan, baik dengan cara bertindak sendiri, maupun melalui kuasa, atau menjadi kuasa dari pihak lain.13

Dalam pelaksanaan pembuatan akta otentik di bidang pertanahan, PPAT harus memiliki prinsip kehati-hatian, karena akta PPAT merupakan akta otentik di bidang pertanahan, khususnya terhadap akta jual-beli yang merupakan akta otentik yang dijadikan dasar peralihan hak atas tanah yang bersertipikat dari nama penjual kepada nama pembeli.14 Oleh karena itu setiap akta jual beli yang dibuat oleh PPAT wajib didaftarkan di kantor pertanahan setempat karena merupakan dasar hukum bagi kantor pertanahan untuk melakukan balik nama hak kepemilikan atas tanah tersebut.

11Gustav Pardosi, PPAT Sebagai Pejabat Umum, Citra Ilmu, Jakarta, 2008, hal.14.

12 Endang Suhendar, PPAT dan Kewenangan dalam bidang Pertanahan, Rineka Cipta, Jakarta, 2012, hal. 21

13Wahyu Riswanto, Sistem Pendaftaran Tanah Di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hal.54.

14Pandu Ismanto, Tanah Dan PPAT, Refika Aditama, Bandung, 2009, hal.77.

(21)

PPAT harus membacakan akta jual beli yang dibuatnya tersebut kepads para pihak yang terkait/berkepentingan dan menjelaskan isi akta tersebut kepada mereka. Hal ini dimaksudkan agar para pihak mengerti dan memahami isi akta jual-beli hak atas tanah bersertipikat tersebut.15

Apabila PPAT tidak berhati-hati dalam melelaksanakan tugas jabatannya dan tidak mematuhi ketentuan yang berlaku dalam pembuatan akta jual beli tersebut, maka bisa saja terjadi akta tersebut tidak lagi menjadi akta otentik tapi terdegredasi menjadi akta di bawah tangan.16 Disamping itu akta jual beli tersebut dapat mengandung cacat hukum, dan merugikan salah satu pihak atau pihak lain. Apabila afa pihak yang dirugikan dengan terbitnya akta jual-beli tersebut maka kemungkinan besat pihak yang merasa dirugikan tersebut mengajukan gugatan pembatalan akta jual beli tersebut dan gugatan ganti rugi terhadap PPAT tersebut.17

Dalam kasus akta jual beli yang dibuat oleh PPAT MP dalam perkara pembuatan akta jual-beli antara PP sebagai pembeli hak atas tanah yang telah bersertipikat hak milik dengan No.459/Menteng milik HNS, pada awalnya HNS sebagai termohon kasasi dahulu penggugat/terbanding mempunyai hubungan hukum dengan PP selaku turut termohon kasasi dahulu tergugat I/turut terbanding I.

Termohon kasasi/dahulu penggugat/terbanding mempunyai hutang kepada PP selaku turut termohon kasasi dahulu tergugat I/turut terbanding I sebesar Rp.70 juta rupiah,

15Darwanto Gunawan, Membedah Akta PPAT, Rineka Cipta, Jakarta, 2009, hal.51.

16Agus Suwandi, Seluk-Beluk Hukum Pendafftaran Tanah, Pradnya Paramitha, 2009, hal.19.

17Arvian Syarwanto, PPAT Dan Pendaftaran Tanah, Arvarindo, Jakarta, 2011, hal.46.

(22)

sebagaimana ternyata dalam akta pengakuan utang No.08 tanggal 16 Maret 2005 yang dibuat dihadapan notaris AH, Notaris di Bogor.

Untuk menjamin utang termohon kasasi dahulu penggugat/terbanding kepada PP selaku turut termohon kasasi dahulu tergugat I/turut terbanding I, pihak termohon kasasi dahulu penggugat/terbanding menjaminkan Sertipikat Hak Milik (SHM) No.459/Menteng seluas 250 m2 (duaratus limapuluh meter persegi) yang merupakan tempat tinggal termohon kasasi dahulu penggugat/terbanding, setempat dikenal sebagai jalan Terapi I Blok AE No.6 Rt.01/19, Kelurahan Menteng, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor.

Tanpa sepengetahuan dan ijin HNS selaku termohon kasasi dahulu penggugat/terbanding, PP selaku turut termohon kasasi dahulu tergugat I/turut terbanding I bekerja sama dengan Bank Mandiri selaku pemohon kasasi dahulu tergugat II/pembanding dan PPAT MP selaku turut termohon kasasi dahulu tergugat III/turut terbanding III telah merekayasa seolah-olah telah terjadi hubungan hukum baru antara PP dan HNS, yaitu seolah-olah terjadi transaksi jual-beli hak atas tanah yang telah bersertipikat No.459/Menteng milik HNS antara HNS dan PP dengan pembuatan akta jual-beli yang dibuat oleh PPAT MP dengan No.84/2005 tertanggal 31 Maret 2005. Pembuatan akta jual beli (AJB) tersebut dilakukan oleh PPAT MP tanpa sepengetahuan tanpa ijin dan tanpa dihadiri oleh HNS selaku pemilik tanah/penjual.

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa AJB No.84/2005 yang dibuat oleh PPAT MP tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku sesuai PP No.37 Tahun

(23)

1998 jo PP No.24 Tahun 2016 Tentang Peraturan Jabatan PPAT dan juga PP No.24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah.Tindakan PPAT MP merupakan perbuatan melawan hukum dan merugikan HNS selaku termohon kasasi dahulu penggugat/terbanding. Permasalahan perbuatan melawan hukum PPAT MP dalam pembuatan Akta Jual-Beli hak atas tanah yang telah bersertipikat disebabkan karena tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pembuatan akta otentik PPAT, khususnya dalam pembuatan AJB.

Untuk membahas kasus yang telah diputuskan oleh Majelis Hakim kasasi dengan Putusan No.1138.K/Pdt/2012 tersebut maka penelitian ini megambil judul,

“Tanggung Jawab Hukum PPAT Atas Pembuatan Akta Jual-Beli Hak Atas Tanah Bersertipikat Yang Dibatalkan Oleh Pengadilan” (Studi Putusan Mahkamah Agung No.1138.K/Pdt/2012).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana legalitas hukum pembuatan akta jual beli hak atas tanah bersertipikat yang dibuat oleh PPAT dan dibatalkan oleh pengadilan?

2. Bagaimana dasar pertimbangan hukum majelis hakim kasasi Mahkamah Agung dalam membatalkan akta jual beli hak atas tanah yang telah bersertipikat yang dibuat oleh PPAT dalam Putusan Mahkamah Agung No.1138.K/Pdt/2012?

(24)

3. Bagaimana pertanggung jawaban hukum PPAT terhadap pembuatan Akta jual beli hak atas tanah yang telah bersertipikat yang dibatalkan oleh pengadilan?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang tersebut di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui legalitas hukum pembuatan akta jual beli hak atas tanah bersertipikat yang dibuat oleh PPAT dan dibatalkan oleh pengadilan

2. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hukum majelis hakim kasasi Mahkamah Agung dalam membatalkan akta jual beli hak atas tanah yang telah bersertipikat yang dibuat oleh PPAT dalam Putusan Mahkamah Agung No.1138.K/Pdt/2012

3. Untuk mengetahui pertanggung jawaban hukum PPAT terhadap pembuatan Akta jual beli hak atas tanah yang telah bersertipikat yang dibatalkan oleh pengadilan.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis

a. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan akan memberi sumbang saran dalam khasanah ilmu pengetahuan hukum kenotariatan pada umumnya dan ilmu pengetahuan hukum jual-beli hak atas tanah yang telah bersertipikat oleh PPAT pada khususnya selaku

(25)

pejabat publik yang berwenang dalam membuat akta-akta di bidang tertentu yaitu akta di bidang pendaftaran tanah dan peralihan hak atas tanah yang telah bersertipikat.

b. Secara praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai

1. Bahan masukan bagi pemerintah yang dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk dapat dijadikan pedoman dalam pelaksanaan pengawasan terhadap pembuatan akta jual-beli hak atas tanah yang telah bersertipikat agar sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

2. Sebagai bahan penambah wawasan dan pengetahuan bagi PPAT agar dapat melaksanakan pembuatan akta jual beli hak atas tanah yang telah bersertipikat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam bidang pembuatan akta jual beli tanah yang telah bersertipikat.

3. Bahan masukan bagi para akademisi, mahasiswa magister kenotariatan dan masyarakat umum agar dapat lebih mengetahui dengan baik dan benar tentang tata cara pembuatan akta jual beli hak atas tanah yang telah bersertipikat oleh PPAT sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara khususnya di lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Sumatera Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan judul ini belum

(26)

pernah dilakukan. Akan tetapi, ditemukan beberapa judul tesis yang berhubungan dengan topik dalam tesis ini antara lain:

1. Parulian Henokh Sitompul, NIM. 127011048/MKn, dengan judul tesis

“Pertanggungjawaban notaris dalam melaksanakan tugasnya sebagai pejabat publik terhadap akta yang diterbitkan menimbulkan perkara pidana (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 1014K/PID/2013) ”.

Pemasalahan yang dibahas :

a. Bagaimana tanggung jawab Notaris dalam melaksanakan tugasnya sebagai pejabat publik terhadap akta yang diterbitkan berkaitan dengan Putusan Mahkamah Agung No.1014.K/PID/2013?

b. Bagaimana akibat hukum terhadap penerbitan akta notaris yang menimbulkan perkara pidana berkaitan dengan Putusan Mahkamah Agung No.1014.K/PID/2013?

c. Apa penyebab yang membuat seorang notaris terlibat tindak pidana khususnya dalam hal pemalsuan akta notaris berkaitan dengan Putusan Mahkamah Agung No.1014.K/PID/2013?

2. Feni Handryani, NIM 097011108, dengan judul tesis “Akibat hukum dari pembuatan akta jual beli tanah bersertipikat yang tidak sesuai dengan tata cara pembuatan akta PPAT (Studi pada PPAT di Kabupaten Langkat)”

Pemasalahan yang dibahas :

a. Bagaimana bentuk pembuatan akta jual-beli yang tidak sesuai ketentuan dalam prosedur pembuatan akta PPAT?

(27)

b. Bagaimana peran Badan Pertanahan Nasional dalam melakukan pengawasan atas tata cara pembuatan akta PPAT?

c. Bagaumana akibat hukum pembuatan akta jual beli yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam prosedur pembuatan akta PPAT?

3. Muhammad Ardianto Anwar. 087011006/MKn, dengan judul tesis “.Akibat Hukum Pembuatan Akta Jual Beli Hak Atas Tanah Bersertipikat Oleh PPAT Yang Cacat Hukum.”

Pemasalahan yang dibahas :

a. Apa penyebab terbitnya akta jual beli hak atas tanah yang telah bersertipikat oleh PPAT yang cacat hukum?

b. Bagaimana pengaturan hukum pembuatan akta jual beli hak atas tanah yang telah bersertipikat oleh PPAT?

c. Bagaimana akibat hukum pembuatan akta jual beli hak atas tanah yang telah bersertipikat yang mengandung cacat hukum?

Dari judul penelitian tersebut tidak ada kesamaan dengan penelitian yang penulis lakukan. Dengan demikian judul ini belum ada yang membahasnya sehingga penelitian ini dijamin keasliannya dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi.18Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada

18 J.J.J. M. Wuisman, dalam M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, FE UI, Jakarta, 2006, hal.75.

(28)

fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.19 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.20

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori pertanggung jawaban hukum dari Hans Kelsen. Menurut Hans Kelsen teori pertanggung jawaban hukum adalah pertanggung jawaban hukum orang pribadi atau orang yang mewakili suatu organisasi kemasyarakatan/perusahaan yang telah melakukan kesalahan dengan cara melakukan perbuatan yang melawan hukum.21

Ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam kamus hukum, yaitu liability dan responsibility. Liability merupakan istilah hukum yang luas yang menunjuk hampir semua karakter risiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung atau yang mungkin meliputi semua karakter hak dan kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya atau kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang.22

Responsibility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, dan termasuk putusan, ketrampilan, kemampuan dan kecakapan meliputi juga kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang dilaksanakan23. Dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability menunjuk pada

19M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 2005, hal.27.

20Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hal.36.

21 Denny Armando, Pertanggung Jawaban Hukum Dalam Teori dan Praktek, Refika Aditama, Bandung, 2011, hal.25.

22Abdul Kadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti Bandung, 2009, hal.60

23Muryanto Resnik, Tanggung Jawab Profesi Hukum Dalam Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal 41

(29)

pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan istilah responsibility menunjuk pada pertanggungjawaban politik,24

Mengenai persoalan pertanggungjawaban pejabat menurut Kranenburg dan Vegtig ada dua teori yang melandasinya yaitu:

a. Teori fautes personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab ditujukan pada manusia selaku pribadi.

b. Teori fautes de services, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang bersangkutan. Menurut teori ini tanggung jawab dibebankan kepada jabatan.25 Dalam penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula apakah kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat atau kesalahan ringan, dimana berat dan ringannya suatu kesalahan berimplikasi pada tanggung jawab yang harus ditanggung.

Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut:26.

1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan

24 Donny Hasbullah, Kewajiban Dan Wewenang Jabatan Serta Pertanggung jawaban hukumnya, Ghalia, Indonesia, 2006, hal.77.

25Ibid, hal.78

26Suparman TK Raskito, Teori Pertanggung jawaban hukum, Eresco, Bandung, 2012, hal.16

(30)

Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, khususnya Pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara teguh. Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya.27 Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu:

a. Adanya perbuatan;

b. Adanya unsur kesalahan;

c. Adanya kerugian yang diderita;

d. Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.28

Yang dimaksud kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum.

Pengertian hukum tidak hanya bertentangan dengan undang-undang tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat.

2. Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggung Jawab

Prinsip ini menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap bertanggung jawab, sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Kata “dianggap” pada prinsip

“presumption of liability” adalah penting, karena ada kemungkinan tergugat

27 Winarno Suradi, Prosedur Pendaftaran Hak Atas Tanah di Indonesia, Media Ilmu, Surabaya, 2009, hal. 56

28 Sutiono Sutanto, Akta-akta Pertanahan dan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Eresco, Bandung, 2013, hal. 32

(31)

membebaskan diri dari tanggung jawab, yaitu dalam hal ia dapat membuktikan bahwa ia telah “mengambil” semua tindakan yang diperlukan untuk menghindarkan terjadinya kerugian.29

Dalam prinsip ini, beban pembuktiannya ada pada si tergugat. Dalam hal ini tampak beban pembuktian terbalik. Hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah. Namun jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak asas demikian cukup relevan. Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada pada pihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat harus menghadirkan bukti-bukti bahwa dirinya tidak bersalah. Tentu saja pihak yang merasa dirugikan tidak dapat sekehendak hati mengajukan gugatan. Posisi pihak yang dirugikan sebagai penggugat selalu terbuka untuk digugat balik oleh tergugat, jika ia gagal menunjukkan kesalahan tergugat.

3. Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab

Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip yang kedua, prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas. Contoh dari penerapan prinsip ini adalah pada hukum pengangkutan. Kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin atau bagasi tangan, yang biasanya dibawa dan diawasi oleh penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang. Dalam hal ini pengangkut (pelaku usaha) tidak dapat dimintakan

29Buchari Rahardiman, Kesalahan dan Pertanggungan Jawaban hukum Profesi, Rajawali Press, Jakarta, 2008, hal.45.

(32)

pertanggungjawabannya. Pihak yang dibebankan untuk membuktikan kesalahan itu ada pada konsumen.30

4. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak

Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut. Kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan kedua terminologi di atas.31

PPAT sebagai pejabat publik yang memiliki kewnangan yang ditetapkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dalam hal membuat akta otentik di bidang tertentu yakni di bidang pertanahan, harus pula wajib mematuhi prosedur dan tata cara pembuatan akta otentik tersebut sebagaimana yang telah ditepkan dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Apabila PPAT dalam pembuatan akta otentik di bidang pertanahan tersebut, termasuk pembuatan akta jual-beli hak atas tanah yang telah bersertipikat, maka PPAT tersebut telah melakukan perbuatan melawan hukum. Apabila perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh PPAT dalam melaksanakan kewenangannya membuat akta jual beli hak atas tanah yang telah bersertipikat tersebut menimbulkan kerugian dari salah satu pihak atau terhadap pihak lain, maka PPAT yang bersangkutan wajib bertanggung jawab secara hukum atas kerugian tersebut.32

30Rustando Sundoro, Hukum Agraria, Tarsito, Bandung, 2012, hal. 63

31Frandhani Harijanto, Bentuk-Bentuk Pertanggung jawaban Hukum, Pustaka Ilmu, Jakarta, 2009, hal.55

32Ibrahim Bachtiar, Akta Autentik di Bidang Pertanahan dan Kewenangan PPAT, Salemba IV, Jakarta, 2010, hal. 19.

(33)

Tanggung jawab hukum PPAT tersebut dapat berupa terjadinya gugatan terhadap dirinya ke pengadilan oleh pihak-pihak yang dirugikan atas terbitnya akta jual beli hak atas tanah yang telah bersertipikat tersebut akibat tidak dipatuhinya prosedur dan tata cara pembuatan akta jual beli hak atas tanah bersertipikat tersebut.

Apabila putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap menyatakan bahwa akta jual beli PPAT tersebut dibatalkan, maka konsekuensi hukumnya adalah bahwa akta jual-beli tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat lagi bagi para pihak.33

Disamping itu semua perbuatan hukum yang dilakukan berdasarkan akta jual beli yang dibuat oleh PPAT tersebut dengan sendirinya juga akan cacat hukum, dan oleh karena itu juga akan dibatalkan oleh pengadilan atau batal demi hukum. Akibat hukum lainnya dapat saja PPAT yang bersangkutan dituntut oleh para pihak yang dirugikan dengan tuntutan ganti rugi berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata.34 Didalam ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata tersebut dinyatakan bahwa barang siapa yang karena kesalahannya atau kesalahan dari orang-orang yang berada di bawah tanggung jawabnya, mengakibatkan terjadinya kerugian kepada pihak lain, maka orang tersebut wajib mengganti kerugian atas kesalahannya tersebut kepada pihak yang dirugikan.35

33Ridwan Mustari, Hak-hak Atas Tanah Menurut UUPA, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, hal. 40

34 Darsono Hermanto, Akta Autentik di Bidang Pertanahan Berdasarkan PP No. 24 Tahun 1997, Rajawali Press, Jakarta, 2009, hal. 51.

35 Musdar Ali, Kedudukan PPAT Ditinjau Dari PP No.37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan PPAT, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2009, hal.79

(34)

Oleh karena itu terhadap PPAT dituntut untuk memiliki prinsip kehati-hatian dalam pembuatan akta jual-beli hak atas tanah bersertipikat dan wajib mematuhi semua ketentuan yang telah ditetapkan dalam pembuatan akta jual-beli hak atas tanah yang telah bersertipikat tersebut. Hal ini disebabkan karena pertanggung jawaban hukum PPAT dalam pembuatan akta otentik jual-beli hak atas tanah yang telah bersertipikat sangat besar karena menyangkut peralihan hak kepemilikan atas tanah tersebut dari pihak penjual kepada pihak pembeli. Akta jual beli hak atas tanah yang telah bersertipikat tersebut juga menjadi dasar pendaftaran dan balik nama hak kepemilikan atas tanah bersertipikat tersebut di kantor pertanahan dimana tanah tersebut berada.36Kesalahan prosedur dan tata cara pembuatan akta jual-beli hak atas tanah yang telah bersertipikat tersebut oleh PPAT, mengakibatkan akta tersebut akan rentan digugat oleh para pihak yang berkepentingan terhadap akta tersebut ke pengadilan.37

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstrak dan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut definisi operasional.38Dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.39

36Khairuddin Achmad, PPAT, Kewenangan, Kewajiban Dan Larangan, Remaja Rosdakarya Bandung, 2007, hal.32.

37 Junianto Syarif, Hukum Pendaftaran Tanah Dalam Teori Dan Praktek, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2012, hal. 61

38Suryadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hal.15

39.Burhan Ashhofa, Methode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hal.30

(35)

Hal ini bertujuan untuk menghindari perbedaan penafsiran dari istilah yang dipakai, selain itu juga dipergunakan sebagai pegangan dalam proses penelitian ini.

Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil dalam penelitian ini yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan yaitu:

1. PPAT adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta- akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu, mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun40

2. Tanggung jawab hukum adalah suatu pertanggung jawaban secara hukum akibat kesalahan perbuatannya dalam menjalankan kewenangan profesinya yang dijatuhi sanksi perdata berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.41

3. Akta jual beli adalah: dokumen peralihan hak atas tanah yang telah bersertipikat dari penjual kepada pembeli yang menjadi dasar perbuatan hukum bagi pembeli untuk melakukan pendaftaran dan balik nama di kantor pertanahan dimana tanah tersebut berada42.

4. Hak Atas Tanah Bersertipikat adalah : Hak atas tanah yang dimiliki oleh orang pribadi sebagai hak milik yang telah terdaftar haknya di kantor pertanahan tempat dimana tanah tersebut berada dan telah dikeluarkan dokumen berupa bukti kepemilikan hak atas tanah tersebut oleh kantor pertanahan yang bnersangkutan43

40Pasal 1 ayat 1 PP No.37 Tahun 1998 jo PP No.24 Tahun 2016.

41Soekidjo Notoatmodjo, Etika Profesi Dan Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2006, hal.57.

42Ruslan Hartono, Jual-Beli Hak Atas Tanah Bersertipikat, Armico, Bandung, 2010, hal.64

43 Irawan Suhardi, Pendaftaran Hak Atas Tanah, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2008, hal 31

(36)

5. Pembatalan Akta Jual Beli adalah pembatalan akta jual beli hak atas tanah yang telah bersertipikat yang dibuat oleh PPAT oleh pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap karena cacat hukum, tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku44

6. Gugatan Akta Jual Beli adalah suatu pengajuan gugatan oleh para pihak yang merasa dirugikan atas terbitnya akta jual-beli hak atas tanah yang telah bersertipikat yang dibuat oleh PPAT dengan dasar gugatan pembuatannya tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku45

G. Metode Penelitian

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas dan tujuan dari penelitian ini maka jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif (yuridis normatif) dimana penelitian ini dilakukan dengan cara mengkaji ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku di bidang hukum pertanahan pada umumnya dan hukum pembuatan akta jual beli hak atas tanah pada khususnya sebagaimana termuat dalam UUPA No.5 Tahun 1960, PP No.24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, PP No.37 Tahun 1998 jo PP No.24 Tahun 2016 tentang peraturan jabatan PPAT dan Putusan Mahkamah Agung No.1138.K/PDT/2012 dalam perkara pembuatan Akta Jual Beli hak Atas tanah bersertipikat yang dilakukan oleh PPAT yang dibatalkan oleh pengadilan karena tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

44Ibid, hal.34

45.Agung Ryanto, Prosedur Pengajuan Gugatan Ke Pengadilan Di bidang Pertanahan, Pradnya Paramita Jakarta, 2011, hal.62

(37)

Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis yang artinya penelitian ini bersifat menggambarkan, memaparkan dan menganalisis permasalahan yang terjadi untuk kemudian dicari suatu kesimpulan jawaban yang benar sebagai solusi atas permasalahan yang dianalisis tersebut.

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian hukum normatif ini berupa data sekunder yang terbagi menjadi 3 (tiga), yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif berupa peraturan perundang-undangan Peraturan perundang-undangan yang digunakan adalah peraturan perundang-undangan yang memiliki kaitan dengan penelitian yang dilakukan yaitu UUPA No.5 Tahun 1960, PP No.37 Tahun 1998 jo PP No.24 Tahun 2016 Tentang Peraturan Jabatan PPAT, PP No.24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, dan Putusan Mahkamah Agung No.1138.K/PDT/2012 tentang kasus pembatalan akta PPAT yaitu akta jual beli hak atas tanah yang bersertipikat karena mengandung cacat hukum, tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder berupa pendapat hukum / doktrin/ teori-teori yang diperoleh dari literatur hukum, hasil penelitian, artikel ilmiah, maupun website yang terkait dengan penelitian. Bahan hukum sekunder pada dasarnya digunakan

(38)

untuk memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer. Dengan adanya bahan hukum sekunder maka peneliti akan terbantu untuk memahami /menganalisis bahan hukum primer.

c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan dan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tersier diperoleh dari kamus hukum, kamus bahasa indonesia, Ensiklopedia, kamus bahasa asing, dan sebagainya.

3. Teknik dan Pengumpulan Data

Teknik dan pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research). Alat pengumpulan data yang digunakan yaitu studi dokumen untuk memperoleh data sekunder, dengan membaca, mempelajari, menilai, mengidentifikasi dan menganalisa data primer yakni peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang masalah hukum pertanahan pada umumnya dan masalah prosedur dan tata cara pembuatan akta jual beli hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT sesuai ketentuan yang termuat dalam UUPA No.5 Tahun 1960, PP No.37 Tahun 1998 jo PP No.24 Tahun 2016 Tentang Peraturan Jabatan PPAT dan PP No.24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.

4. Analisis Data

Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan menggunakan data dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan

(39)

dapat dirumuskan suatu hipotesa kerja seperti yang disarankan oleh data.46Di dalam penelitian hukum normatif, maka maksud pada hakekatnya berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi47

Sebelum dilakukan analisis, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang dikumpulkan. Setelah itu keseluruhan data tersebut akan dianalisis dan disistematisasikan secara kualitatif. Metode kualitatif merupakan metode penelitian yang digunakan untuk menyelidiki, menemukan, menggambarkan dan menjelaskan kualitas atau keistimewaan dari suatu penelitian yang dilakukan dengan cara menjelaskan dengan kalimat sendiri dari data yang ada, baik primer, sekunder maupun tertier, sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan yang tepat dengan methode deduktif, yaitu melakukan penarikan kesimpulan diawali dengan hal-hal yang bersifat umum, untuk kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus, sebagai jawaban yang benar dalam pembahasan permasalahan yang terdapat pada penelitian ini.

46Johnny Ibrahim, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyu Media, Malang, 2011, hal.28.

47Sahyono Makmum, Metode Penelitian Hukum, Intitama Sejahtera, Jakarta, 2006, hal.24

(40)

BAB II

LEGALITAS HUKUM PEMBUATAN AKTA JUAL-BELI HAK ATAS TANAH BERSERTIPIKAT YANG DIBUAT OLEH PPAT DAN

DIBATALKAN OLEH PENGADILAN

A. Kedudukan Hukum PPAT Dalam Bidang Hukum Pertanahan Di Indonesia Menurut Pasal 37 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, Akta Jual Beli (AJB) merupakan bukti legal/sah (selain risalah lelang yang hak atas tanahnya yang telah bersertipikat diperoleh melalui lelang) untuk menandai peralihan hak atas tanah dan bangunan yang telah bersertipikat dari pihak penjual kepada pihak pembeli yang diakhiri dengan balik nama dari nama penjual kepada nama pembeli di kantor pertanahan tempat dimana tanah tersebut berada. AJB dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau Camat sebagai PPAT untuk daerah tertentu yang masih jarang terdapat PPAT.48

Untuk diketahui bahwa wilayah kerja PPAT telah mengalami perubahan yang cukup signifikan dari kabupaten kota menurut Peraturan Pemerintah (PP) No.37 Tahun 1998 tentang peraturan jabatan PPAT menjadi satu wilayah provinsi setelah terbitnya PP Nomor.24 Tahun 2016 tentang perubahan PP Nomor.37 Tahun 1998 tentang peraturan jabatan PPAT. Namun Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2016 tentang Perubahan dari Undang-Undang No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Notaris tersebut belum dapat diberlakukan karena menunggu terbitnya peraturan menteri selaku peraturan pelaksana dari PP No. 24 Tahun 2016 tersebut.

48 Rasman Hardino, Peran dan Kedudukan Hukum PPAT di Bidang Pertanahan, Rineka Cipta, Jakarta, 2013, hal.45

(41)

Demikian Juga jika berkantor di Deli Serdang maka wilayah kerjanya tetap meliputi satu provinsi yaitu Provinsi Sumatera Utara. Akta jual-beli hak atas tanah yang telah bersertipikat dapat dibuat atas tanah yang telah bersertipikat di seluruh wilayah provinsi Sumatera Utara. Secara hukum, Peralihan Hak atas tanah dan bangunan tidak bisa dilakukan di bawah tangan tanpa AJB. Jika suatu peralihan hak sudah dibuatkan secara di bawah tangan maka untuk mengajukan baliknama sertifikat tersebut harus dibuatkan lagi AJB oleh PPAT.

Langkah pertama yang harus dilakukan untuk melakukan jual beli tanah dan bangunan yang telah bersertipikat (untuk selanjutnya hanya disebut jual beli) adalah dengan mendatangi kantor PPAT untuk mendapatkan keterangan mengenai proses jual beli dan menyiapkan persyaratan untuk proses jual beli tersebut. Ini penting dilakukan karena suatu kondisi legalitas tanah memerlukan persyaratan masing- masing. Contohnya, jika penjual masih hidup akan berbeda syaratnya dengan kondisi penjual sudah meninggal dunia. Jika pemilik sertifikat masih hidup maka pengurusan jual beli lebih sederhana, yaitu lengkapi syarat subjektif dan syarat objektif maka penandatanganan AJB sudah bisa dilakukan.49

Syarat subjektif yang berhubungan dengan subjek jual beli, dalam hal ini adalah pemilik sertfifikatnya dari sisi penjual yang diwakili oleh identitas pemilik seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK). Begitu juga syarat dari sisi pembeli juga harus melengkapi syarat demikian. Syarat objektif adalah

49 Edi Marwanto, Perjanjian Jual Beli Hak atas tanah, Dalam Teori dan Praktek, Armico, Bandung, 2010, hal. 64

(42)

legalitas yang berhubungan dengan objek transaksi yaitu sertifikat (atau girik), SPPT PBB dan bukti pelunasannya, Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), bagi objek yang berupa tanah dan bangunan.

Tetapi apabila pemilik sudah meninggal dunia, maka yang berhak menjual adalah ahli warisnya. Siapa ahli warisnya? Untuk mengetahui ahli waris, maka harus dibuatkan Surat Keterangan Waris (SKW). SKW untuk WNI pribumi dibuat secara bawah tangan yang diketahui oleh lurah dan camat. Sementara untuk WNI keturunan Tionghoa SKW dibuat oleh Notaris.sedangkan untuk warga negara Indonesia keturunan timur asing , SKW dibuat oleh Balai Harta Peninggalan. Proses akan lebih panjang jika ada diantara ahli waris yang masih di bawah umur atau tidak cakap melakukan perbuatan hukum, seperti gila, sudah sangat tua dan kondisi lainnya.

Untuk kondisi seperti ini harus dibuatkan terlebih dahulu surat penetapan pengadilan mengenai wali yang berhak mewakili mereka.

Itulah beberapa kondisi yang mungkin terjadi ketika akan membuat akta jual beli. Jika menemui kondisi seperti ini sebaiknya para pihak terlebih dahulu konsultasi ke kantor Notaris untuk mendapatkan langkah dan syarat-syarat jual beli. Karena kewajiban PPAT-lah untuk menerangkan langkah-langkah dan persyaratan yang diperlukan untuk melaksanakan jual beli. Supaya para pihak mengetahui persyaratan yang harus dipenuhi.

Sebelum dilakukan penandatanganan akta jual beli terlebih dahulu harus dilakukan pengecekan sertifikat untuk melihat kesesuaian data teknis dan yuridis antara sertifikat dan buku tanah yang ada di kantor pertanahan. Pengecekan sertifikat

(43)

ke BPN dilakukan oleh PPAT, tidak boleh dilakukan oleh orang pribadi. PPAT yang melakukan pengecekanpun harus PPAT yang akan membuat AJB-nya. Jadi jika sertifikat sudah dilakukan pengecekan oleh seorang PPAT, kemudian akan dilakukan AJB di PPAT lain maka PPAT yang kedua harus melakukan pengecekan ulang.50

Kepentingan lainnya pengecekan sertifikat adalah untuk melihat apakah pada sertifikat tersebut ada catatan atau tidak. Catatan yang mungkin terjadi adalah blokir dari pihak lain seperti pengadilan, kepolisian atau orang pribadi. Adanya blokir di sertifikat menandakan bahwa tanah tersebut masih tersangkut masalah hukum. Jika sertifikat ada catatan berupa blokir maka blokir tersebut harus diangkat terlebih dahulu. Prinsipnya siapa yang memblokir maka dialah yang harus mengangkat blokir tersebut. Jika blokir dikirimkan oleh pengadilan, maka pengadilan jugalah yang harus mengangkat blokir tersebut. Demikian juga jika pemblokiran dikirimkan oleh kepolisian dengan surat resmi maka pengangkatan blokir juga harus dilakukan oleh kepolisian dengan surat resmi juga.

Selanjutnya jika catatan di sertifikat dikirimkan oleh orang pribadi karena sesuatu hal, maka orang tersebutlah yang harus mencabut blokirnya. Jika kondisi sertfikat dalam keadaan ada blokir maka pengecekan sertifikat tidak bisa dilakukan.

Pemilik bisa mengajukan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) untuk mengetahui kondisi yuridisnya. Karena dalam SKPT akan terlihat siapa yang memblokir sertifikat hak atas tanah tersebut dan apa masalahnya.

50Doni Putratanto, Prosedur dan Tata Cara Jual Beli Hak Atas Tanah Bersertipikat dengan akta PPAT, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 52

(44)

Berkas lainnya yang harus diserahkan kepada PPAT adalah Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan atau SPPT PBB dan bukti pembayarannya. Penyerahan SPPT PBB sebelum jual beli berguna untuk memastikan bahwa tidak ada tunggakan pembayaran PBB dan menghitung biaya-biaya dan pajak- pajak yang menjadi kewajiban masing-masing pihak. Jika PBB ada tunggakan maka tunggakan pembayaran tersebut harus dibayarkan terlebih dahulu karena jika tidak dibayar nanti tidak bisa dilakukan validasi pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), jika tidak bisa validasi pajak-pajak tersebut maka jual beli tidak bisa dilaksanakan.51

Selanjutnya penyerahan SPPT PBB berguna untuk menghitung biaya-biaya yang menjadi kewajiban masing-masing pihak, karena ada biaya-biaya yang dihitung berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Seperti perhitungan biaya akta AJB ada PPAT yang menghitung berdasarkan nilai NJOP. Untuk perhitungan pajak-pajak berdasarkan nilai transaksi sebenarnya dan NJOP. Jika nilai transaksi sebenarnya lebih tinggi dari NJOP maka perhitungan pajak berdasarkan nilai transaksi sebenarnya. Tapi jika kondisi sebaliknya, nilai NJOP lebih tinggi dari nilai transaksi maka dasar pengenaan pajak adalah NJOP.

Penyerahan dokumen-dokumen para pihak perlu diserahkan kepada PPAT sebelum dilakukan penandatanganan akta jual beli, hal ini bertujuan supaya PPAT bisa menyiapkan AJB-nya terlebih dahulu sehingga pada saat hari yang disepakati

51Andino Muchtar, Syarat dan Prosedur Jual Beli Hak Atas Tanah Bersertipikat Dihadapan PPAT, Pradnya Paramitha, Jakarta, 2008, hal. 85

(45)

untuk penandatanganan AJB bisa dilakukan dengan segera. Dokumen yang disiapkan oleh penjual:

1. Asli SPPT PBB tahun terakhir dan bukti pembayaran

2. Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dan dokumen lainnya mengenai tanah dan bangunan, jika objek jual beli berupa tanah dan bangunan

3. Fotokopi KTP dan KK suami dan istri

4. Fotokopi surat nikah, jika sudah menikah. Jika penjual belum menikah diperlukan surat pernyataan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan belum menikah

5. Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)

6. Fotokopi Surat Keterangan Kematian (dalam hal pemilik sudah meninggal) 7. Fotokopi Surat Keterangan Waris yang dilegalisir oleh kelurahan52

Dokumen yang disiapkan oleh pembeli:

1. Fotokopi KTP dan KK 2. Fotokopi NPWP.

Jika suami atau istri ada yang meninggal dunia maka harus ada persetujuan untuk menjual dari ahli waris tanpa melihat nama yang tercantum di dalam sertifikat, apakah atas nama suami atau atas nama istri. Artinya persetujuan ahli waris tetap diperlukan jika sertifikat atas nama istri dan yang meninggal adalah suami (misalnya). Apabila misalnya yang meninggal suami, sertifikat atas nama istri dan

52 Bastian Hadiwinoto, Jual Beli Hak Atas Tanah Dalam Praktek, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2008, hal. 44

(46)

saat ini istri berniat menjual objek tersebut, maka untuk kondisi ini tetap harus dibuatkan Surat Keterangan Waris atas nama suami, dimana ahli warisnya adalah istri dan anak-anak mereka.

Dalam penandatanganan AJB diperlukan tandatangan seluruh ahli waris.

Dengan catatan, harta tersebut merupakan harta gono gini, yang didapat pada masa pernikahan. Cara menentukan harta tersebut harta gono gini atau tidak dilihat bukti perolehan yang ada di sertifikatnya bandingkan dengan tanggal pernikahan mereka.

Jika harta tersebut diperoleh setelah tanggal di akta penikahan maka harta tersebut dianggap harta gono gini. Hal ini berbeda dengan pemahaman awam bahwa jika sertifikat atas nama istri, yang meninggal suami, maka tanah tersebut miliknya istri, tidak ada hak ahli waris dari yang meninggal Pandangan hukum seperti ini adalah salah.

Ikatan tali perkawinan menyebabkan terjadinya percampuran harta antara suami dan istri, sepanjang tidak ada perjanjian kawin. Maka dalam hal menjual diperlukan persetujuan suami atau istri. Jika suami atau istri karena sesuatu dan lain hal tidak bisa ikut hadir pada saat penandatanganan AJB maka wajib ada surat persetujuan menjual yang dibuat di hadapan notaris, minimal surat persetujuan tersebut dilegalisasi.

Jika ada perjanjian kawin yang menyatakan pemisahan harta maka tidak diperlukan persetujuan suami atau istri. Sebab lainnya adalah harta yang diperoleh sebelum pernikahan yang dihitung bukan sebagai gonogini. Jika semua syarat-syarat yang diperlukan sudah dilengkapi, seperti dokumen-dokumen di atas, penjual sudah

(47)

menerima haknya, pajak-pajak sudah dibayarkan, biaya AJB sudah diterima PPAT maka dilakukan penandatanganan AJB dengan dihadiri oleh dua orang saksi yang pada umumnya karyawan kantor PPAT tersebut. AJB dibuat rangkap 4, yang terdiri dari 2 akta berupa salinan dan 2 akta berupa akta asli yang berisi tandatangan para pihak. 2 akta yang berupa salinan diserahkan kepada masing-masing pihak (penjual dan pembeli) 1 eksemplar. Sedangkan 2 akta asli diserahkan 1 eksemplar untuk BPN sebagai dasar untuk balik nama, selanjutnya 1 eksemplar di simpan di kantor PPAT sebagai minuta akta.53

Balik nama sertifikat diajukan oleh PPAT pembuat AJB ke kantor pertanahan setempat. Proses balik nama ini memakan waktu kurang lebih dua minggu. Teknisnya adalah nama yang ada di sertifikat pada awalnya dicoret dan digantikan oleh pembeli dengan mencantumkan dasar peralihannya, yakni nomor dan tanggal AJB beserta PPAT yang membuatnya. Prosedur hukum terakhir adalah proses balik nama dari nama penjual kepada nama pembeli yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang di kantor pertanahan tempat dimana tanah tersebut berada.

Apabila prosedur dan tata cara pembuatan dan penandatanganan akta jual beli hak atas tanah yang telah bersertipikat tersebut telah dipenuhi dan dipatuhi seluruhnya oleh PPAT, maka produk akta jual beli hak atas tanah yang telah bersertipikat tersebut telah memiliki legalitas dan kekuatan hukum karena telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang pembuatan akta jual beli dan peralihan hak atas tanah yang telah bersertipikat menurut UUPA

53Doharman Damanik, Akta Jual Beli dan PPAT, Pustaka Bangsa Press, Jakarta, 2011, hal. 16

(48)

No.5 Tahun 1960 dan PP Nomor.24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah serta menurut PP Nomor.37 Tahun 1998 juncto PP Nomor.24 Tahun 2016 tentang peraturan jabatan PPAT.54

B. Tanggung Jawab PPAT Terhadap Akta Jual-Beli Yang Dibuatnya

PPAT adalah pejabat umum yang diberi ke d kedudukan hukum oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni UUPA No.5 Tahun 1960, PP No.24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, PP No.37 Tahun 1998 juncto PP No.24 Tahun 2016 tentang peraturan jabatan PPAT. Menurut PP No. 24 tahun 1997 tujuan dari Pendaftaran Tanah adalah:

a. Untuk Memberikan Kepastian Hukum dan Perlingungan Hukum Kepada Pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.

b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat membperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satua-satuan rumah susun yang sudah terdaftar.

c. Untuk terselenggaranya Tertib Administrasi pertanahan.55

Pasal 5 PP No.24 Tahun 1997 secara tegas menyebutkan bahwa Instansi Pemerintah yang menyelanggarakan Pendaftaran Tanah diseluruh Wilayah Republik

54Sudaryono Rahman, Dasar Hukum Pembuatan Akta Jual Beli Oleh PPAT, Pustaka Ilmu, Jakarta, 2010, hal. 56

55Sugondo Arif, Peran PPAT Dalam Bidang Pertanahan, Rajawali Press, Jakarta, 2011, hal. 48

(49)

Indonesia adalah Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia selanjutnya dalam Pasal 6 ayat (1) PP No.24 Tahun 1997 ditegaskan Pelaksanaan tugas Pendaftaran Tanah dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dan dalam Pasal 6 ayat (2) PP No.24 tahun 1997 disebutkan bahwa Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah, dan pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan Kegiatan-kegiatan tertentu menurut peraturan pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Dalam hal ini Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk akta-akta, bentuk dan format aktanya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan kegiatan pendaftaran dan peralihan hak atas tanah yang telah bersertipikat (terdaftar haknya).

Cikal bakal lahirnya PPAT tidak terlepas dengan kegiatan pendaftaran tanah di Indonesia, yang dirumuskan dalam Pasal 19 ayat 1 UUPA yang meyatakan bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah. Sebagai pelaksana ketentuan Pasal 19 ayat 1 UUPA tersebut oleh pemerintah pada mulanya dikeluarkan PP Nomor 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, dimana melalui PP ini mulai diatur peran PPAT yang dirumuskan dalam Pasal 19 PP Nomor 10 Tahun 1961, yang menegaskan bahwa setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan suatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan, harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat yang

Referensi

Dokumen terkait

Tati dkk., Buruh Migran Pekerja Rumah Tangga (TKW-PRT) Indonesia: Kerentanan dan Inisiatif-inisiatif Baru untuk Perlindungan Hak Asasi TKW-PRT, Kuala Lumpur:

ignita yang digunakan pada penelitian ini hanya 1 sampel sehingga tidak bisa diungkapkan variasi dan diversitas genetiknya, walaupun merupakan burung endemik

Demikianlah uraian Laporan Kinerja Kantor Wilayah kementerian Hukum dan HAM Kepulauan Bangka Belitung Tahun Anggaran 2020 sebagai wujud pertanggungjawaban dan

Sistem koloid merupakan heterogen yang tercampur dari dua zat atau lebih yang partikel tersebut berukuran koloid (fase terdispersi) tersebar merata dalam zat lain

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan usaha petani kelapa sawit di Desa Batu Liman Kecamatan Candipuro, dengan titik kajian pada luas lahan garapan, biaya

Dalam konteks ini al-Nursi (2007) melihat bahawa sakit dapat mengajar erti hidup bermasyarakat dan di samping dapat menghapuskan sifat ego dalam diri seseorang kerana

Penelitian ini merupakan suatu studi observasional dengan desain cross- sectional , untuk mengetahui hubungan kadar zink dan kenaikan berat badan ibu selama kehamilan dengan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan untuk pihak pimpinan dengan strategi untuk meningkatkan Pengaruh Customer Service Quality, Customer