• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 ANALISIS PEWARISAN SIFAT KETAHANAN CABAI TERHADAP INFESTASI KUTUDAUN MELON, Aphis gossyp

Glover (HEMIPTERA: APHIDIDAE)

Abstrak

Kutudaun melon, Aphis gossypii Glover, adalah salah satu hama pengganggu yang penting dalam produksi cabai dan dapat menyebabkan kerusakan hingga 65% saat populasi tidak terkendali. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari kendali genetik pewarisan sifat ketahanan cabai (Capsicum annuum

L.) terhadap infestasi kutudaun melon. Set populasi enam generasi (P1, P2, F1, F2,

BCP1, BCP2) dibentuk dari persilangan tetua P1 dengan nilai infestasi rendah (IPB

C20) dengan tetua P2 yang bernilai infestasi tinggi (IPB C313). Metode skrining

menggunakan choice test dengan menginfestasikan dua ekor kutudaun per daun kepada masing-masing bibit berumur lima minggu serta dievaluasi setelah 12 hari infestasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketahanan cabai terhadap infestasi kutudaun melon dikendalikan oleh banyak gen (poligen). Derajat dominansi tetua rentan dikategorikan overdominan terhadap tetua tahan. Tetua tahan dikendalikan oleh gen-gen resesif. Aksi gen pengendali ketahanan terhadap kutudaun melon adalah aditif dan dominan, ragam dominan lebih besar dibandingkan ragam aditif. Nilai heritabilitas arti luas tergolong tinggi sedangkan heritabilitas arti sempit tergolong sangat sempit. Metode seleksi dapat digunakan yaitu, metode rekombinasi transgresif atau recurrent selection.

Kata kunci: aksi gen, Capsicum annuum, enam generasi, heritabilitas, ragam dominan

Pendahuluan

Informasi pewarisan sifat ketahanan tanaman terhadap hama masih terbatas dilaporkan dibandingkan dengan pemuliaan tanaman terhadap penyakit. Ketahanan terhadap hama pertama kali dilaporkan pada tanaman anggur terhadap hama

Phylloxena vitifollae tahun 1861 selanjutnya pada padi terhadap hama wereng coklat, Nilaparvata lugens (Ghahal & Gosal 2003). Varietas cabai tahan terhadap infestasi hama kutudaun hingga saat ini belum banyak dikembangkan. Terdapat paling tidak tiga alasan kesulitan di dalam merakit tanaman tahan cekaman biotik seperti ketahanan terhadap hama kutudaun yaitu, (1) kendala dalam menentukan metode skrining, (2) tidak tersedianya sumber gen ketahanan, dan (3) informasi pewarisan sifat yang masih beragam (Yoon 2003). Pengembangan ketahanan terhadap hama juga memerlukan pengetahuan tidak hanya terhadap tanaman yang dimuliakan tetapi juga pengetahuan terhadap prilaku hama (pest behaviour) serta interaksi keduanya (Chahal & Gosal 2003)

Analisis pewarisan karakter kualitatif dan kuantitatif sangat penting dalam program pemuliaan tanaman. Pewarisan suatu karakter populer dilakukan melalui analisis rata-rata generasi (generation means analysis) dari populasi bersegregasi hasil persilangan biparental (single cross) dengan melibatkan enam populasi yaitu, sepasang populasi tetua, populasi F1, populasi F2, dan dua populasi silang balik

(backcross). Asumsi yang perlu dipenuhi untuk melakukan analisis statistik dan analisis genetik dalam melacak gen-gen pengendali karakter tersebut adalah (1) tidak ada efek lingkungan, (2) tidak ada efek dominansi antar alel, (3) tidak ada efek epistasis, (4) gen memberikan efek yang sama dan bersifat aditif untuk semua lokus, (5) tidak ada pautan gen, dan (6) tetua dalam keadaan homozigositas lengkap serta tanaman F1 dalam keadaan heterozigositas lengkap (Allard 1960; Poehlman 1996).

Analisis pewarisan sifat ketahanan terhadap kutudaun melalui populasi enam generasi dengan metode choice test telah dilaporkan pada beberapa jenis tanaman seperti mentimum (Liang et al. 2015), melon (Boissot et al. 2010), kedelai (Mensah et al. 2008), kacang panjang (Kuswanto et al. 2007), dan tomat (Goffreda & Mutschler 1989). Beberapa hasil penelitian memberikan kesimpulan yang berbeda-beda dari monogenik hingga poligenik yang komplek. Liang et al. (2015) menyatakan bahwa ketahanan mentimun terhadap infestasi A. gossypii

dikendalikan oleh satu gen mayor aditif-dominan dan poligenik aditif-dominan. Di tanaman melon, ketahanan terhadap A. gossypii dikendalikan secara poligenik dengan empat aditif QTL dan dua epistasis QTL dari populasi RIls-nya,

recombinant inbreed lines (Boissot et al. 2010) sedangkan Klingler et al. (2001) pada tanaman yang sama, melon, melaporkan ketahanan tersebut dikendalikan oleh

single gen dan dominan.

Ketahanan terhadap kutudaun pada jenis tanaman serta kutudaun yang berbeda juga telah dilaporkan. Ketahanan tanaman kedelai terhadap A. glycines

dilaporkan dikendalikan oleh dua gen resesif yang berepistasis 15:1 (Mensha et al. 2008) sedangkan ketahanan kacang panjang terhadap A. craccivora dilaporkan dikendalikan oleh gen dominan rangkap dengan rasio 15 toleran : 1 peka, serta terdapat interaksi gen dominan x dominan pada evaluasi populasi F2-nya (Kuswanto et al. 2007). Informasi genetik yang dapat diperoleh dari analisis pewarisan sifat terdiri atas aksi gen, jumlah gen pengendali, keragaman genetik, heritabilitas serta informasi-informasi genetik lainnya (Sujiprihati et al. 2001). Informasi genetik tersebut sangat berguna dalam tahapan seleksi, sehingga seleksi diharapkan akan lebih efektif dan efisien. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi pewarisan sifat ketahanan cabai (C. annuum L.) terhadap infestasi hama kutudaun A. gossypii.

Bahan dan Metode

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan dari bulan April 2014 hingga bulan September 2015. Pembentukan populasi dilakukan di Babakan Lio, Bogor. Kegiatan skrining ketahanan terhadap kutudaun dilakukan di Laboratorium Genetika dan Pemuliaan Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB.

Bahan Tanaman

Material genetik yang digunakan adalah enam populasi yaitu, IPB C20 (P1)

sebagai tetua dengan nilai infestasi kutudaun melon rendah, IPB C313 (P2) dengan

nilai infestasi kutudaun melon tinggi, turunan pertama (F1), turunan kedua (F2),

silang balik P1 dan P2 (BCP1 dan BCP2) Masing-masing populasi memiliki jumlah

P1 = 18 tanaman P2 = 18 tanaman F1 = 18 tanaman F2 = 159 tanaman BCP1 = 28 tanaman BCP2 = 47 tanaman Pembentukan Populasi Biparental

Dua tetua cabai terpilih disilangkan dengan metode silang tunggal (single cross). Turunan pertama (F1) hasil persilangan disilangkan kembali ke masing-

masing tetua untuk membentuk populasi backcross P1 (BCP1) dan backcross P2

(BCP2). Saat bersamaan F1 dibiarkan menyerbuk sendiri sehingga terbentuk

populasi segregasi (F2). Skema persilangan disajikan pada Gambar 6.

Ketahanan Populasi Enam Generasi terhadap Infestasi Kutudaun Melon

Percobaan skrining kutudaun melon pada populasi enam generasi dari persilangan biparental dilakukan untuk mendapatkan informasi parameter genetik, aksi gen pengendali, jumlah gen pengendali, dan nilai heritabilitas. Benih cabai di semai pada media tanam berbahan campuran tanah, coco peat, dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1:1 lalu diisikan ke dalam tray bersel 50 lubang. Benih ditumbuhkan hingga menjadi bibit berdaun 4-6 atau berumur lima minggu setelah semai. Metode infestasi yang dilakukan adalah metode choice test. Infestasi kutudaun melon diberikan sebanyak dua ekor perbibit dan dilakukan di dalam kotak berjaring kedap serangga sehingga membatasi penyebaran kutudaun ke inang lainnya. Evaluasi dilakukan setelah 12 hari infestasi. Metode pengamatan serupa dengan percobaan choice test Bab 3.

Analisis Data a. Uji Kenormalan Data

Data kuantitatif pada populasi F2 yang bersegregasi dianalisis melalui uji

Normalitas Kolmogorov-smirnov pada selang kepercayaan 95% (α = 5%). Uji Normalitas digunakan sebagai pendugaan awal aksi gen berdasarkan pola sebaran dari frekuensi populasi F2. Jika sebaran frekuensi F2 membentuk sebaran normal

dengan terusan satu puncak, maka sifat karakter yang diuji dikendalikan oleh banyak gen (poligenik) atau gen minor.

BCp1 BCp2

F2

P1 x P2

F1 x P1 & P2

x

Gambar 6 Skema persilangan biparental, IPB C20 x IPB C313, dalam membuat populasi enam generasi

b.Derajat Dominansi

Derajat dominansi diduga berdasarkan rumus pendugaan potensi rasio (hp) yang diutarakan oleh Petr dan Frey (1966):

hp = HP − MPF − MP Keterangan:

hp : potensi rasio F1 : rata-rata nilai F1

HP : rata-rata nilai tetua tahan MP : nilai tengah kedua tetua

Berdasarkan nilai potensi rasio, derajat dominansi diklasifikasikan sebagai berikut:

hp = 0 : tidak ada dominansi

hp = 1 atau -1 : dominan atau resesif penuh 0 < hp < 1 : dominan parsial

-1 < hp < 0 : resesif parsial hp > 1 atau hp < -1 : overdominasi

c. Pendugaan Jumlah Gen-Gen Pengendali Karakter Infestasi Kutudaun

Pendugaan jumlah pasangan gen pengendali setiap karakter infestasi kutudaun menggunakan perhitungan yang dijabarkan oleh Lande (1981):

� = [ µ� − µ�

8(�− � + � + � )/ ] µP1 : Rata-rata tetua IPB C20

µP2 : Rata-rata tetua IPB C313 σ2 F2 : Ragam F2 σ2 P1 : Ragam IPB C20 σ2 P2 : Ragam IPB C20

d.Pendugaan Komponen Ragam

Komponen ragam yang dihitung terdiri dari ragam fenotipe pada populasi F2 (σ2F2), ragam silang balik (backcross, σ2BC), ragam genotipe (σ2G), ragam aditif

(σ2

D), ragam dominan (σ2H), dan ragam lingkungan (σ2E). σ2 D (ragam aditif) = 4 σ2F2– 2 σ2BCP1– 2 σ2BCP2 σ2 H (ragam dominan) = 4 σ2BCP1+ 4 σ2BCP2– 4 σ2 F2 –σ2E σ2 E (ragam lingk.) = 1/3 (σ2 P1 + σ2 P2 + σ2 F1 ) σ2 F2 = ½ σ2D + ¼ σ2 H + σ2 E σ2 BCP1 + σ2 BCP2 = ½ σ2D + ½ σ2 H + 2 σ2 E e. Kesesuaian Model Genetik

Model aditif-dominan diduga menggunakan metode uji skala individu (scaling test) dan dapat dilanjutkan ke uji skala gabungan (joint scaling test) bila terdapat interaksi antara lokus dengan tiga parameter generik yaitu, nilai tengah (m), pengaruh aditif (d), dan pengaruh dominansi (h) (Mather & Jink 1982).

Uji skala dilakukan untuk menguji kesesuaian model. Nilai skala harus sama dengan 0 dimana tidak ada perbedaan antara nilai yang diamati dengan yang diduga oleh model aditif-dominan. Pengujian hipotesis menggunakan uji t-student pada taraf nyata 5%. Bila hasil uji menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata, maka model aditif-dominan sesuai untuk menduga komponen parameter genetik. Jika berbeda nyata, maka model harus menyertakan komponen interaksi gen (Mather & Jink 1982).

Uji skala gabungan dilakukan bila model aditif-dominan (m[d][h]) belum sesuai disebabkan oleh adanya interaksi antar lokus. Tahapan yang digunakan pada

joint scaling test adalah:

(1) Pendugaan nilai parameter genetik menggunakan koefisien parameter genetik pada Tabel 7.

(2) Setiap parameter diperoleh dari perkalian rata-rata (µ) generasi dengan koefisien parameternya dan bobot.

µP1 = m + [d]

µP2 = m - [d]

µF1 = m + [h]

µF2 = m + ½ [h]

(3) Selanjutnya dilakukan pengujian untuk menentukan apakah parameter genetik tersebut nyata dan dapat diikutsertakan dalam model. Pengujian dilakukan dengan uji t-student taraf nyata 5% ( t-tabel [1,0.05] = 1.96).

(4) Kesesuaian model diuji dengan test of goodness of fit menggunakan uji Chi

kuadrat (χ2). Derajat bebas = (n-b) dimana n adalah jumlah generasi, dan b

menunjukkan jumlah parameter yang diuji. Misal model m[d][h] pada populasi enam generasi maka derajat bebas = 6-3= 3.

(5) Pendugaan komponen ragam genetik dan nilai heritabilitas. Tabel 7 Parameter genetik

Generasi Parameter Genetik m [d] [h] [i] [j] [l] P1 1 1 0 1 0 0 P2 1 -1 0 1 0 0 F1 1 0 1 0 0 1 F2 1 0 ½ 0 0 ¼ BCP1 1 ½ ½ ¼ ¼ ¼ BCP2 1 -½ ½ ¼ -¼ ¼

Pengujian scalling test dan joint scalling test untuk menduga aksi gen dan parameter genetik menggunakan bantuan SAS 9.0 dengan listing yang tersedia.

f. Nilai Heritabilitas

Nilai heritabilitas arti luas (h2bs) dan heritabilitas (h2ns) arti sempit dihitung

berdasarkan nilai ragam dari populasi tetua, hibrida, F2, dan silang balik (backcross)

dengan rumus sebagai berikut:

Heritabilitas Arti Luas (h2 bs) Heritabilitas arti luas (h2

bs) dihitung berdasarkan rumus yang dicantumkan

hbs =

σF − σP + σP + σF

σF

Heritabilitas Arti Sempit (h2 ns)

Heritabilitas arti sempit metode backcross J. Warner 1952 dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:

hns = σF − σσP + σ P

F

Klasifikasi nilai heritabilitas berdasarkan Stanfield (1988) adalah bernilai rendah ( h2 < 20%), sedang ( 20%≤ h2≤ 50%), dan tinggi (h2 >50%).

Keterangan

σ2

P1 : Ragam populasi IPB C20 (P1) σ2

P2 : Ragam populasi IPB C313 (P2) σ2

F1 : Ragam populasi F1 σ2

BCP1 : Ragam populasi backross P1 σ2

BCP2 : Ragam populasi backross P2 σ2

F2 : Ragam populasi F2

Hasil dan Pembahasan

Sebaran Data Karakter Infestasi Kutudaun pada Populasi Enam Generasi Cabai

Sebaran data dari populasi tetua rentan (P2: IPB C313) pada karakter

infestasi kutudaun melon per tanaman, per daun, dan bersayap berada pada nilai yang lebih tinggi dibandingkan sebaran nilai dari data populasi tetua tahan (P1: IPB

C20) (Gambar 7-9). Sebaran data F1 pada ketiga karakter infestasi tersebar

mengarah ke tetua rentan dengan nilai tengah lebih tinggi dibandingkan tetua P1

dan P2. Hal tersebut mencerminkan bahwa F1 yang terbentuk bersifat rentan

terhadap infestasi kutudaun melon.

Sebaran data populasi F2 untuk ketiga karakter infestasi memiliki jangkauan

yang terlebar dibandingkan populasi kedua tetua dan hibrida. Jangkauan yang lebar disebabkan oleh ragam dan nilai tengah yang lebih tinggi dibandingkan populasi tetua serta hibridanya. Hal tersebut mencerminkan bahwa segregasi yang terjadi terhadap karakter infestasi kutudaun melon di populasi F2 hasil persilangan

IPB C20 x IPB C313 telah terjadi dengan baik atau maksimal.

Uji Normalitas Frekuensi Populasi F2

Pendugaan awal untuk mengetahui banyaknya kendali gen pada karakter- karakter kuantitatif dilakukan dengan uji kenormalan data. Hasil sebaran data dan kurva kenormalan populasi F2 pada karakter infestasi kutudaun melon per tanaman

dan kutudaun melon per daun pada sifat ketahanan cabai terhadap hama kutudaun menunjukkan bahwa sebaran frekuensi F2 ialah normal dengan nilai P>0.05

(Lampiran 2-3). Sebaran data normal dan kontinu tersebut mengindikasikan bahwa karakter infestasi kutudaun melon per tanaman dan per daun pada cabai persilangan IPB C20 x IPB C313 dikendalikan oleh banyak gen (poligenik) atau gen-gen minor.

Populasi F2 dapat bersegregasi dengan baik bila tetua yang digunakan

memiliki perbedaannya yang jelas dan jauh pada karakter yang diujikan (Yunianti 2007). Disamping memerlukan tetua tahan, pemilihan tetua rentan yang tinggi tingkat kerentanannya (high susceptible) dapat meminimalisir perubahan gen yang dapat mempengaruhi rasio segregasi (Chahal & Gosal 2003). Genotipe IPB C313 telah terkonfirmasi tingkat kerentanannya terhadap infestasi kutudaun melon berdasarkan percobaan antixenosis dan antibiosis di dalam percobaan sebelumnya.

Karakter infestasi kutudaun melon bersayap menunjukkan pola penyebaran yang tidak normal, nilai P<0.05 (Lampiran 4) dan memiliki nilai skewness 1.03 serta kurtosis 1.24. Sebaran data tidak normal dengan nilai skewness positif mencerminkan bahwa karakter tersebut dikendalikan oleh aksi gen aditif dengan pengaruh epistasis komplementer, sedangkan karakter dengan pola sebaran data tidak normal dengan nilai skewness negatif mencerminkan adanya kendali gen aditif dengan pengaruh epistasis duplikat (Roy 2000). Berdasarkan informasi tersebut maka dapat dinyatakan bahwa karakter infestasi kutudaun melon bersayap dipengaruhi oleh aksi gen epistasis komplementer.

Data F re k u e n s i 450 375 300 225 150 75 0 20 15 10 5 0 Mean 239.8 48.06 10 299.5 63.85 10 StDev N 60 34.74 13 228.3 89.95 159 Variable Perbibt _P2 Perbibit_F1 Perbibit_P1 Perbibit_F2 Normal

Gambar 7 Sebaran data infestasi kutudaun melon per tanaman pada populasi cabai P1, P2, F1, dan F2 Data F re k u e n s i 70 60 50 40 30 20 10 0 25 20 15 10 5 0 Mean 41.52 8.340 10 47.34 6.083 10 StDev N 36.43 12.47 159 12.35 6.671 13 Variable Perdaun_P2 Perdaun_F1 Perdaun_F2 Perdaun_P1 Normal

Gambar 8 Sebaran data infestasi kutudaun melon per daun pada populasi cabai P1,

Data F re k u e n si 18.0 13.5 9.0 4.5 0.0 -4.5 40 30 20 10 0 Mean 3.3 1.947 10 7 4.346 10 StDev N 4.956 4.040 159 1.6 1.506 10 Variable Bersayap_P2 Bersayap_F1 Bersayap_F2 Bersayap_P1 Normal

Gambar 9 Sebaran data infestasi kutudaun melon bersayap pada populasi cabai P1,

P2, F1, dan F2

Derajat Dominansi dan Jumlah Gen Pengendali

Pendugaan derajat dominansi dilakukan melalui pendugaan potensi rasio (hp) dari nilai tengah kedua tetua dan F1 menggunakan perhitungan yang

diterangkan oleh Petr dan Frey (1966). Nilai potensi rasio dari infestasi kutudaun melon per tanaman, per daun, dan bersayap berturut-turut adalah -1.70, -1.42, dan -5.35. Hasil perhitungan tersebut menggambarkan bahwa rata-rata nilai tengah infestasi kutudaun pada populasi F1 berada lebih tinggi dari nilai tengah tetua

rentan. Hal ini mencerminkan preferensi kutudaun pada tetua rentan overdominan terhadap infestasi kutudaun di tetua tahan, dengan kata lain ketahanan cabai terhadap kutudaun dikendalikan oleh gen-gen resesif. Ketahanan jagung terhadap kutudaun Rhopalosiphum maidis Fitch juga dikendalikan oleh gen resesif (So et al. 2010) dan ketahanan kedelai terhadap kutudaun A. glycines dikendalikan pula oleh dua gen resesif yang berepistasis (Mensha et al. 2008). Ketahanan cabai terhadap beberapa penyakit dilaporkan dikendalikan oleh gen-gen resesif. Ketahanan cabai terhadap antraknosa dikendalikan oleh gen resesif parsial (Syukur et al. 2013). Tabel 8 Nilai potensi rasio dan jumlah faktor efektif sifat ketahanan cabai terhadap

infestasi kutudaun melon pada populasi IPB C20 x IPB C313

Populasi Nilai tengah infestasi kutudaun

Per tanaman Per daun Bersayap

P1 (IPB C20) 68.90 14.14 1.60

P2 (IPB C313) 239.80 41.52 3.30

F1 (IPB C20 x IPB C313) 299.50 47.34 7.00

Potensi rasio (hp) - 1.70 - 1.42 - 5.35

Aksi gen Overdominan Overdominan Overdominan

Jumlah faktor efektif (N) 0.71 0.86 0.07

Posisi relatif nilai tengah infestasi kutudaun per tanaman, per daun, dan bersayap pada populasi F1 terhadap kedua tetua secara skematis disajikan pada

Gambar 10-12. Posisi relatif tersebut didukung pula oleh nilai potensi rasio. Nilai potensi rasio ketiga karakter tersebut masuk dalam kelompok hp kurang dari minus satu yang berarti tetua rentan overdominan terhadap tetua tahan. Berdasarkan faktor

efektif yang mengendalikan, minimal terdapat satu kelompok gen minor yang mengendalikan ketiga karakter tersebut (kutudaun per tanaman 0.71 = 1, kutudaun per daun 0.86 = 1, dan kutudaun bersayap 0.07 = 1). Ketahanan yang dikendalikan gen-gen minor atau banyak gen dinilai lebih stabil akan tetapi sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Chahal dan Gosal (2003) menyatakan bahwa model ketahanan terhadap serangga yang dikendalikan oleh poligen adalah tipe ketahanan horizontal (horizontal resistance).

Pendugaan Komponen Genetik

Pengujian skala individu membandingkan nilai t-hitung dengan t-tabel untuk menyatakan nyata atau tidaknya suatu komponen genetik (Singh & Chaudhary 1979). Nilai duga parameter genetik uji skala individu (scaling test) karakter infestasi kutudaun per tanaman, kutudaun per daun, dan kutudaun bersayap disajikan pada Tabel 9. Berdasarkan tabel tersebut, model genetik yang sesuai untuk ketiga karakter uji adalah model aditif-dominan (m[d][h]). Hal tersebut ditunjukkan oleh nilai t-hitung yang lebih kecil dari t-tabel, sehingga berarti tidak adanya epistasis pada preferensi kutudaun di tanaman cabai hasil persilangan IPB C20 x IPB C313. Hill et al. (1988) menyatakan bila model aditif-dominan sudah sesuai maka tidak perlu dilanjutkan pengujian model skala gabungannya (joint scaling test) Model genetik ketahanan cabai terhadap antraknosa dilaporkan mengikuti model aditif-dominan (Syukur 2007).

Heritabilitas merupakan refleksi pengaruh gen (genotipe) terhadap penampilan luar yang teramati (fenotipe). Nilai heritabilitas dalam arti luas (h2bs)

68.9 154.4 239.80 299.5

0

P1 MP P2 F1

Gambar 10 Skema posisi relatif nilai tengah F1 terhadap kedua tetua pada sifat ketahanan cabai terhadap infestasi kutudaun melon per tanaman pada populasi persilangan IPB C20 x IPB C313. MP: Mid parent

(nilai tengah)

Gambar 11 Skema posisi relatif nilai tengah F1 terhadap kedua tetua pada sifat ketahanan cabai terhadap infestasi kutudaun melon per daun pada populasi persilangan IPB C20 x IPB C313. MP: Mid parent (nilai tengah) 14.1 P1 41.5 2 P2 27.8 MP 47.3 4 F1 1.6 P1 3.3 P2 2.5 MP 7.0 F1

Gambar 12 Skema posisi relatif nilai tengah F1 terhadap kedua tetua pada sifat ketahanan cabai terhadap infestasi kutudaun bersayap pada populasi persilangan IPB C20 x IPB C31. MP: Mid parent (nilai tengah)

pada karakter infestasi kutudaun per tanaman, kutudaun per daun, dan kutudaun bersayap tergolong tinggi yaitu secara berurutan, 79%, 74%, dan 63% (Tabel 10) akan tetapi nilai heritabilitas dalam arti sempit (h2ns) karakter infestasi kutudaun per

tanaman dan per daun tergolong sangat rendah yaitu, 0% dan 6%. Nilai nol diperoleh oleh karena ragam aditif yang negatif, sehingga dalam perhitungan selanjutnya dianggap bernilai nol atau tidak ada pengaruh aditif.

Tabel 9 Nilai duga parameter genetik uji untuk skala individu karakter infestasi kutudaun melon per tanaman, per daun, dan bersayap pada cabai

Parameter Kutudaun per tanaman Kutudaun per daun Kutudaun bersayap m 228.30 36.44 4.96 D -70.66 -7.45 -1.12 H 48.83 1.85 -1.18 C 5.51 -4.60 0.92 SE C 52.89 6.46 3.13 t-hitung 0.10 -0.71 0.30 t-tabel 1.96 1.96 1.96

C = 4*rataan F2 – 2*rataan F1 – rataan P1– rataan P2 (Roy 2000)

m: nilai tengah, D: nilai aditif, H: nilai dominansi, C: nilai interaksi gen, SE C: standard error C.

Tabel 10 Komponen ragam dan nilai heritabilitas sifat ketahanan cabai populasi persilangan IPB C20 x IPB C313 terhadap infestasi kutudaun melon

No Parameter Genetik Infestasi kutudaun

Per tanaman Per daun Bersayap 1 Ragam aditif (σ2 D) -4168.62 22.23 23.34 2 Ragam dominan (σ2H) 38165.40 527.04 10.28 3 Ragam lingkungan (σ2E) 2533.22 50.13 831 4 Ragam fenotipe (σ2F2) 12074.60 193.01 22.56 5 Ragam BCP1 & BCP2 24149.20 374.90 33.44

6 Heritabilitas arti luas (h2

bs) 79% 74% 63%

7 Heritabilitas arti sempit (h2ns) 0 6% 52%

Para peneliti menyatakan pentingnya nilai aditif karena terwariskan dari tetua kepada keturunannya, sehingga diharapkan memberikan kemajuan seleksi yang besar dan cepat terhadap suatu karakter (Chahal & Gosal 2003; Syukur et al.

2015). Nilai heritabilitas arti sempit di dalam penelitian ini jauh lebih rendah dibandingkan nilai heritabilitas arti luasnya. Hal ini mencerminkan proporsi ragam aditif jauh lebih kecil dibandingkan ragam dominan. Nilai tersebut tercermin pula dari hasil uji skala individu, dimana pengaruh dominansi lebih besar dibandingkan pengaruh aditif.

Pengaruh aditif yang rendah berimplikasi terhadap efektivitas seleksi. Berdasarkan data tersebut, tidak efektif melakukan seleksi sifat ketahanan cabai pada karakter infestasi kutudaun per tanaman dan kutudaun per daun disebabkan aksi gen aditif yang rendah. Ragam dominan yang tinggi mencerminkan bahwa karakter tersebut baik bila dalam keadaan lokus heterozigot, sehingga pembentukan hibrida menjadi pilihan terbaik untuk meningkatkan level ketahanan. Akan tetapi persilangan tetua tahan dengan tetua rentan belum efektif meningkatkan ketahanan.

Terlihat dari nilai F1 yang lebih rentan dibandingkan tetua rentannya atau overdominan mengarah ke tetua rentan (Gambar 10-12), sehingga bila diperlukan membentuk hibrida maka gen ketahanan perlu dimiliki oleh kedua tetua.

Sumber ketahanan perlu dipindahkan ke dalam galur elit dengan karakter hasil yang tinggi, maka rekombinasi transgresif dan seleksi berulang (recurrent selection) dapat digunakan untuk pemuliaan dengan kendali gen-gen minor atau ketahanan horizontal (Stoskopf et al. 1993; Ghahal & Gosal 2003). Di dalam pemuliaan tanaman terhadap hama yang dikendalikan oleh gen mayor, backcross

umum digunakan untuk mendapatkan genotipe superior (Mensah et al. 2008). Syukur et al. (2015) menyebutkan keunggulan metode backcross antara lain adanya jaminan tingkat kontrol genetik yang tinggi serta tidak perlunya pencatatan secara ekstensif. Akan tetapi untuk menghimpun gen-gen minor yang tersebar perlu dilakukan metode lain seperti convergent breeding yaitu, rekombinan transgresif.

Metode lain yang dapat digunakan adalah metode recurrent selection. Niks et al. (2011) menyatakan bahwa recurrent selection cocok digunakan untuk pemuliaan terhadap karakter ketahanan kuantitatif atau ketahanan yang belum diketahui kendali genetiknya. Cabai dilaporkan memiliki kemampuan menyerbuk silang yang tinggi hingga 25% (Ritonga 2013), sehingga model persilangan tanaman menyerbuk silang seperti recurrent selection dan hibrida dapat diterapkan dalam proses perakitan cabai unggul tahan kutudaun. Teknik pemuliaan reccurrent selection tidak hanya baik digunakan pada tipe tanaman menyerbuk silang tetapi juga dapat diterapkan pada tanaman menyerbuk sendiri (Roy 2000).

Karakter kutudaun bersayap bernilai h2ns dalam kategori tinggi yaitu, 52%

yang mencerminkan proporsi ragam aditif lebih tinggi dibandingkan ragam dominan sehingga seleksi sifat ketahanan cabai terhadap kutudaun pada karakter kutudaun bersayap dapat efektif dilakukan pada generasi akhir. Chahal dan Gosal (2003) menyatakan bahwa seleksi pada generasi lanjut sesuai untuk karakter yang dikendalikan oleh banyak gen dan ragam aditif yang tinggi.

Simpulan

Kesimpulan dari penelitian ini antara lain: (1) Ketahanan terhadap infestasi kutudaun dikendalikan oleh banyak gen (gen-gen minor). (2) Derajat dominansi tetua rentan dikategorikan overdominan terhadap tetua tahan. (3) Gen-gen pengendali ketahanan terhadap infestasi kutudaun adalah resesif, dimana ragam dominan lebih besar dibandingkan ragam aditif. (4) Nilai heritabilitas arti luas tergolong besar untuk karakter infestasi kutudaun per tanaman, kutudaun per daun dan bersayap sedangkan heritabilitas arti sempit tergolong sangat rendah pada karakter kutudaun per tanaman dan per daun. (5) Perakitan cabai unggul tahan kutudaun melon sebaiknya menggunakan metode convergent breeding dengan rekombinasi transgresif atau seleksi berulang (recurrent selection).

5 ANALISIS SILANG SETENGAH DIALEL POPULASI CABAI

Dokumen terkait