VI MODEL KONSEPTUAL KEBIJAKAN
6.1 Analisis Prioritas Kebijakan
Semenjak waduk serbaguna Jatiluhur selesai dibangun pada tahun 1967, pengelolaan waduk berikut PLTA Ir. H. Juanda telah diserahkan oleh Pemerintah kepada PN Jatiluhur melalui PP Nomor 8 Tahun 1967, yang kemudian terakhir menjadi Perum Jasa Tirta II (PJTII) melalui PP Nomor7 Tahun 2010. Melalui PP tersebut, Pemerintah telah memberikan kewenangan pengelolaan aset Pemerintah kepada PJTII atas Waduk Jatiluhur beserta keseluruhan jaringan infrastrukturnya dengan cakupan wilayah antara lainmeliputi wilayah DAS Citarum. Sementara itu,untuk mengatasi kebutuhan air jangka panjang yang diproyeksi semakin kritis,sungai Citarum dinilai sebagai sumber pemasok air utama untuk kawasan Jawa Barat.Sejalan dengan kebijakan otonomi daerah, dapat dipahami apabila baik Pemda Propinsi Jawa Barat maupun Pemda Kabupaten/Kota, dalam upaya untuk mengantisipasi kebutuhan air jangka panjang ini, ingin memanfaatkan secara optimal kendali mereka dalam pengelolaan SDA.Kecenderungan ini mempertajam potensi konflik kepentingan dalam pengelolaan DAS Citarum.
Perspektif Pusat. Perspektif yang berkembang di Pusat menyimpulkan bahwa sungai Citarum dianggap sebagai strategis nasional oleh karena itu menjadi kewenangan pemerintah pusat. Dalam pengelolaan SDA dengan kewenangan pusat dikenal dua tipe kelembagaan pengelola (operator) SDA.Pertama, Balai Besar Wilayah Sungai/Balai Wilayah Sungai (BBWS/BWS) yang belum dapat dikelola secara korporasi dimana fungsi pelayanan publiknya masih sangat kuat dan masih menjadi tanggung jawab penuh pemerintah. Kedua, BUMN untuk sungai yang telah dapat dikelola dengan prinsip korporasi. Tidak seperti BBWS/BWS, korporasi ini dapat memperoleh revenue dari para pemakai air
(dengan prinsip “user pays” sesuai kemampuannya) dan dari pencemar (dengan prinsip “polluter pays”). Dengan demikian pengelola sungai diharapkan dapat
membiayai dirinya sendiri dan meningkatkan pelayanan air. Pada DAS Citarum disamping PJT II yang sudah beroperasi sejak lama sebagai korporasi, kementerian Pekerjaan Umum juga membentuk BBWS Citarum yang merupakan kepanjangan tangan pemerintah pusat.
Perspektif Propinsi. Dalam pandangan pemda propinsi Jawa Barat, kewenangan pengelolaan sungai Citarum dianggap menjadi kewenangan propinsi karena sungai Citarum mengalir sepenuhnya di propinsi Jawa Barat.Rencana pengembangan dan pengelolaan SDA Jawa Barat termasuk Sungai Citarum dituangkan dalam Pola Induk yang telah dikukuhkan dalam Perda Nomor 3 Tahun 2001. Program-program yang diusulkan merupakan wujud nyata dari keinginan masyarakat dan Pemda Jawa Barat dalam proses pengalihan wewenang Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Propinsi dalam kerangka desentralisasi. Pengelolaan S. Citarum dikembangkan dengan membentuk institusi pengelola SDA yaitu Balai PSDA Citarum, yang merupakan unit pelaksana teknis dinas (UPTD) di bawah Dinas PSDA. Disamping itu, Pemda Jawa Barat telah membentuk Perusahaan Air Jawa Barat (PAJB) dengan kewajiban operasional untuk pelayanan air bersih seluruh Jawa Barat. Untuk menjamin optimalisasi kinerja PAJB Pemda Jawa Barat berencana untuk mengkaji pembentukan badan regulator air yang akan mempertimbangkan kepentingan stakeholders kunci di Propinsi Jawa Barat. Sampai sejauh ini aspirasi tersebut belum dapat diwujudkan sepenuhnya.
Perspektif Kabupaten. Ada euphoria otonomi yang ditunjukan dari sikap Pemda Kabupaten dalam menyikapi Pemda Propinsi sebagai referensi untuk menuntut kesetaraan.Pemda Kabupaten juga berkeinginan untuk mengusahakan air untuk kepentingan daerah (PAD) melalui PDAM yang independen. PDAM Kabupaten/Kota pada umumnya belum dapat menerima jika harus berada dalam payung PAJB. Secaraumum perhatian Pemda Kabupaten lebih memprioritaskan pada masalah pengelolaan jaringan irigasi yang dianggap dapat memberikan manfaat langsung pada masyarakat. Disamping itu, dalam konteks kontribusi PAD pemerintah Kabupaten merasa sangat berkepentingan dengan pengelolaan galian C pada badan sungai.
Dari uraian diatas jelas bahwa masing-masing stakeholders utama memiliki prioritas kepentingan yang berbeda, oleh karena itu perlu dilakukan analisis prioritas secara objektif. Analisis prioritas dilakukan dengan teknik AHP, berdasarkan pengumpulan kuesioner dari instansi/pakar yang dianggap mewakili
keputusan dirumuskan melalui FGD yang dihadiri oleh beberapa pakar. Struktur hirarki terdiri atas lima tingkatan kriteria sebagai berikut: (i) tingkatan pertama adalah fokus: pengelolaan SDA pada DAS Citarum, (ii) kriteria keduayaitu tujuan yaitu peningkatan nilai manfaat ekonomis, peningkatan kesejahteran, pemulihan ekosistem, minimalisasi bencana, dan minimalisasi konflik, (iii) kriteria ketiga adalah faktor yaitu kebijakan pemerintah, penegakan hukum, hubungan stakeholders, ketersediaan pendanaan, kelestarian sumber air, dan partisipasi masyarakat, (iv) kriteria keempatadalah kinerja yaitu kesesuaian mandat, efektifitas, transparansi dan akuntabilitas, pendanaan dan SDM, dan yang terakhir kriteria kelima adalah alternatiflembaga pengelola yaitu alternatif BBWS, PJT atau Balai PSDA. Hasil kuesioner yang terdiri dari 12 instansi/pakar dapat dilihat pada Lampiran 4.
Hasil AHP menunjukan penilaian gabungan kriteria dan alternatif yang dilakukan para pakar terhadap struktur tersebut memiliki tingkat konsistensi yang baik. Hal ini ditunjukkan dengan nilai rasio konsistensi (CR) berkisar antara 0,00 hingga 0,096 pada semua elemennya, sehingga memenuhi batas CR maksimum yang diperbolehkan sebesar 0,1. Penilaian ini menghasilkan nilai pembobotan pada setiap elemen, sekaligus memberikan gambaran prioritas pada setiap elemen tersebut (Gambar 47).
Berdasarkan hasil analisis prioritas jenjang keputusan seperti pada Gambar 47 diatas, pada level tujuan yang menempati prioritas tertinggi adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat yaitu sebesar 0,372. Kemudian secara berturut-turut prioritasnya turun sampai terkecil adalah: (1) Peningkatan Kesejahteraan (2) Pemulihan Ekosistem; (3) Minimalisasi Bencana; (4) Minimalisasi Konflik dan (5) Peningkatan Nilai Manfaat Ekonomi (lihat Gambar 48).
Gambar 48 Grafikkriteria level tujuan
Pada level faktor, yang memiliki bobot terbesar adalah kelestarian sumber daya air yaitu sebesar 0,244. Kemudian secara berturut-turut prioritas terbesar sampai terkecil adalah: (1) Kelestarian Sumberdaya Air; (2) Partisipasi Masyarakat; (3) Penegakan Hukum; (4) Kebijakan Pemerintah; (5) Hubungan
Stakeholders; (6) Ketersediaan Wadah Organisasi (lihat Gambar 49).
Gambar 49 Grafik kriteria level faktor
0,233 0,244 0,110 0,114 0,184 0,114 0,135 0,178 0,222 0,372 0,093
Pada level kinerja, yang memiliki bobot terbesar adalah transparansi dan akuntabilitas yaitu sebesar 0,236. Kemudian secara berturut-turut prioritas terbesar sampai terkecil adalah: (1) Transparansi dan Akuntabilitas; (2) SDM; (3) Pendanaan; (4) Efektivitas; (5) Kesesuaian Mandat (lihat Gambar 50).
Gambar 50 Grafik kriteria level kinerja.
Sedangkan pada level alternatif model lembaga pengelola yang memiliki bobot terbesar adalah model Perum jasa Tirta (PJT) yaitu sebesar 0,565. Kemudian secara berturut-turut prioritas berikutnya adalah: (1) Model PJT; (2) Model Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) dan (3) Model Balai Besar Pengelolaan Sumberdaya Air (BPSDA) (lihat Gambar 51).
Gambar 51 Grafiklevel alternative
Hasil diatas menunjukan bahwa alternatif lembaga pengelola yang dianggap paling tepat untuk menjalankan fungsi RBO adalah PJT II.Tujuan yang memiliki prioritas paling tinggi adalah kesejahteraan masyarakat.Sedangkan faktor yang
0,243 0,565 0,192 0,216 0,194 0,236 0,193 0,161
memilki prioritas paling tinggi adalah kelestarian sumber air dan kinerja yang paling utama adalah akuntabilitas dan transparansi. Elemen-elemen ini akan menjadi pertimbangan utama dalam merumuskan model kebijakan.