• Tidak ada hasil yang ditemukan

7.1 Kesimpulan

1. Menurut hasil analisis MDS yang dilakukan berdasarkan pendapat 16 pakar menunjukan bahwa hampir semua dimensi memiliki nilai tidak berkelanjutan kecuali dimensi teknis dan dimensi sosial budaya. Dimensi lingkungan memiliki nilai indeks yang paling rendah (7,52%) dengan faktor dominan ditunjukkan pada masih seringnya terjadi kekeringan dan bencana banjir.

2. Berdasarkan hasil simulasi model sistem dinamik, kondisi saat ini menunjukkan proyeksi yang tidak berkelanjutan pada ketiga indikator: sosial, lingkungan dan ekonomi. Hal ini ditunjukkan pada (i) menurunnya kemampuan pemenuhan kebutuhan air baku, (ii) makin buruknya kondisi kualitas air pada badan sungai, serta (iii) menurunya kondisi finansial PJT II.

3. Analisis kekritisan yang dilakukan berdasarkan data sekunder menunjukan (a) peningkatan rasio Qmax/Qmin pada stasiun Nanjung sebesar tiga kali lipat selama 1994 – 2005, hal ini menunjukan kondisi kawasan hulu DAS semakin buruk, (b) kadar BOD serta koli tinja pada zona hulu dan hilir terus memburuk diatas standar baku mutu, serta beberapa anak sungai sudah tercemar ringan sampai berat, dan (c) ketidak-terpaduan operasi kaskade tiga waduk berdampak pada kejadian banjir di awal 2010 dan kekurangan air pada paruh pertama 2011, hal ini menunjukan pengelolaan SDA masih dilakukan secara terfragmentasi dan kurang terkoordinasi.

4. Berdasarkan kuesioner yang dikumpulkan dari 12 pakar yang kemudian dianalisis dengan teknik AHP, diperoleh hasil bahwa alternatip lembaga yang paling tepat adalah alternatipmodel PJT (korporasi). Hal ini menunjukkan bahwa PJT II dipilih untuk melaksanakan fungsi operator sebagai river basin organization (RBO) dalam pengelolaan sumber daya air DAS Citarum.Sedangkan tujuan dengan prioritas yang paling tinggi

adalah kesejahteraan masyarakat, berarti ada keinginan yang kuat bahwa pengelolaan SDA dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan faktor yang paling dominan adalah kelestarian sumber air dan ukuran utama untuk mengukur kinerja adalah akuntabilitas dan transparansi. Variabel-variabel tersebut menjadi pertimbangan utama dalam merumuskan model konseptual kebijakan dalam pengelolaan SDA.

5. Model konseptual kebijakan didasarkan pada prinsip water governance

yang demokratis, transparan dan akuntabel dengan pemisahan fungsi ekonomi (yang ditangani PJT II dengan kaidah perusahaan) dan fungsi publik (yang menjadi tugas pemerintah). Berdasarkan hasil analisis model dinamik, ruanglingkup tanggung jawab PJT II harus dibatasi hanya meliputi pengelolaan (i) waduk dan (ii) prasarana utama pengatur air (skenario 3) agar secara finansial PJT II bisa tetap sehat.

6. Komponen publik menjadi beban pemerintah dengan pendanaan dari APBN, dengan pengaturan: (i) pengelolaan sungai orde dua dan tiga diserahkan kepada BalaiPSDA propinsi Jawa Barat melalui mekanisme tugas pembantuan (TP), (ii) pengelolaan irigasi diserahkan kepada pemerintah pusat, yang kemudian dapat diserahkan kepada kabupaten melalui TP-OP, (iii) pengelolaan badan sungai dan pembangunan prasarana tetap menjadi tanggung jawab BBWS, dan (iv) reboisasi kawasan hulu tetap tanggung jawab BP-DAS dengan dukungan partisipasi masyarakat dan swasta.

7. Model pengelolaan sumber daya air yang diusulkan meliputi model kelembagaan, model manajemen dan model pendanaan. Wadah koordinasi TK-PSDA pada tingkat wilayah sungai atau DAS perlu dibentuk dengan keanggotaan yang seimbang antara unsur pemerintah dan non pemerintah.TK-PSDA memiliki peran sentral pada fungsi koordinasi dan kebijakan operasional strategis yang meliputi pola danrencana pengelolaan SDA, perijinan alokasi air dan rencana tanam. Pengelolaan waduk Saguling dan Cirata yang menjadi aset PLN ditangani oleh unit

8. Implikasi dari penerapan model kebijakan ini,menurut simulasi model dinamikmenunjukkan hasil yang positif pada ketiga indikator dan dapat (i) meningkatkan kemampuan penyediaan air baku untuk air minum, (ii) meningkatkan kesehatan lingkungan, serta (iii) memperbaiki kondisi finansial PJT II melalui peningkatan revenue.

7.2 Saran

Perlu pengkajian lebih lanjut tentang (a) proyeksi pengembangan lahan berdasarkantren pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk, serta korelasinya terhadap proyeksi kebutuhan air dan beban pencemaran; (b) analisis BJ-PSDA berdasarkan perhitungan full cost recovery, atas seluruh biaya untuk pengelolaan SDA, sebagai dasar untuk penetapan tarif; (c) kajian keseimbangan input – output sedimen pada badan sungai guna penetapan batas maksimun galian – C yang diijinkan pada badan sungai, dan (d) perencanaan IPAL untuk perkotaan dan kawasan industri, serta analisis biaya pengelolaan IPAL untuk penetapan pollution fee.

Peraturan perundangan yang menjadi landasan hukum pembentukan PJT II, BBWS Citarum dan Balai PSDA harus ditinjau kembali dengan penyesuaian ruang lingkup kewenangan masing-masing sesuai fungsinya, secara jelas dan tidak tumpang tindih.

Untuk meningkatkan revenue PJT II agar bisa memenuhi cost recovery

atas kegiatan-kegiatan yang menjadi tanggungjawabnya perlu dilakukan peninjauan kembali atas peraturan-peraturan yang ada atau perumusan peraturan baru sebagai berikut:

Kepmen PU No. 56/KPTS/M/2010 dan 72/KPTS/M/2011 tentang tarif air baku PJT II ke DKI dan Jawa Barat perlu ditinjau kembali sesuai dengan kajian BJ-PSDA.

Surat Menteri ESDM No. 2581/36/KEM.L/2004 tentang penetapan harga jual PLTA Ir. H. Juanda kepada PLN agar ditinjau lagi dan disesuaikan dengan dinamika perkembangan ekonomi dan industri saat

ini, sejalan dengan Undang-undang No. 30/2009 tenaga ketenagalistrikan.

Merumuskan peraturan baru tentang BJ-PSDA untuk penggunaan tenaga listrik yang selama ini belum diberlakukan pada Waduk Saguling, Cirata dan Jatilluhur.

Peraturan Daerah yang terkait dengan retribusi ijin pembuangan limbah cair perlu ditinjau kembali, kemudian sesuai dengan kewenangannya perlu menerbitan keputusan baru yang mengatur (a) penunjukkan PJT II sebagai pengelola IPAL yang berwenang menarik pungutan pollution fee, (b) penetapan tarif pollution fee, dan (c) effluent IPAL yang diijinkan untuk sungai diturunkan sesuai dengan baku mutu air sungai (3 mg BOD/L).

Peraturan tentang pengelolaan galian C agar ditinjau lagi, kewenangan dalam pemberian ijin galian C pada badan sungai agar dilimpahkan kepada institusi pengelolaan sungai sesuai dengan kewenangannya.

Diperlukan upaya bersama untuk reboisasi kawasan hulu yang merupakan sumber air bagi DAS Citarum, baik melalui program pemerintah maupun bantuan swasta serta partisipasi masyarakat. Upaya ini harus terintegrasi dengan RTRW Propinsi Jawa Barat dengan sasaran meningkatkan kawasan hutan di hulu minimum 30%.