• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelembagaan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Air

II TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Kelembagaan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Air

Scott (2008) mengartikan kelembagaan sebagai aturan yang memberikan kedamaian dalam kehidupan sosial dan memberikan dukungan bagi sistem sosial dalam ruang dan waktunya. Scott (2008) menganalisisnya atas tiga elemen yang disebut tiga pilar kelembagaan yaitu aturan, norma dan pengetahuan budaya. Masing-masing pilar memiliki unsur dan konsekuensi yang berbeda. Kelembagaan yang dikategorikan regulatif memiliki pengertian yang sama dengan organisasi. Kelembagaan sebagai organisasi menunjuk pada lembaga-lembaga formal yang memiliki wewenang untuk mengambil keputusan seperti perusahaan dan negara yang menjalankan fungsi pengendalian terhadap berbagai sumber daya serta memiliki sanksi dan kewenangan yang diatur secara formal.

Pemahaman kelembagaan sebagai organisasi juga dikemukakan oleh North dan Horton (1984). Mereka memandang organisasi sebagai kontinum dari kelembagaan, dimana organisasi adalah kelembagaan yang belum melembaga.

Institution adalah the rules of the games, organizations are the players. Horton merumuskan bahwa institution do not have members, they have followers.

Sementara itu Tjondronegoro (1984) menyatakan kelembagaan berkembang secara kontinum ke organisasi. Tjondronegoro membedakan kelembagaan dengan organisasi. Lembaga berorientasi pada kebutuhan, peranan yang dimainkan, pengakuan karena membudaya, terlibatnya pendukung, tradisi turun-temurun, berpegang pada norma dan bersifat memenuhi kebutuhan tertentu. Sementara organisasi lebih berorientasi pada tujuan, tugas yang dilaksanakan, prosedur, pengawasan peraturan, pengakuan karena didirikan resmi dan merupakan alat dalam mencapai tujuan tertentu.

Kelembagaan menurut Schmid (1972) dalam Pakpahan (1989) adalah suatu himpunan hubungan yang tertata diantara orang-orang dengan mendefenisikan hak-haknya, pengaruhnya terhadap hak orang lain, privilage dan tanggung jawab. Tiga hal utama yang mencirikan suatu kelembagaan adalah:

1) Batas kewenangan (jurisdiksi) adalah menyangkut masalah kewenangan dalam menentukan harga output dan peranan dalam keberhasilan produksi;

2) Hak kepemilikan (property right) adalah mengandung makna sosial yang berimplikasi ekonomi. Property right yang paling penting adalah faktor

kepemilikan terhadap sumber daya seperti lahan, hasil produksi dan lain-lain. Hak pemilikan yang lebih jelas akan adapat menentukan besarnya kekuatan tawar terhadap suatu persoalan;

3) Aturan adalah representasi dalam masalah sistem atau prosedur mengenai suatu keputusan. Dalam proses ini bentuk partisipasi lebih banyak ditentukan oleh keputusan kebijaksanaan organisasi dalam membagi beban dan manfaat terhadap anggota yang terlibat dalam organisasi tersebut (Anwar 2006).

Pengertian kelembagaan yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa kelembagaan dimaknai oleh para penulisnya secara beragam. Pada intinya kelembagaan diartikan sebagai seperangkat pengaturan formal dan non-formal yang mengatur perilaku (behavioral rules) dan dapat memfasilitasi terjadinya koordinasi atau mengatur hubungan interaksi antar individu. Oleh karena itu, kelembagaan memiliki: (1) aturan main (rules of the games); (2) organisasi yang melaksanakan rules of the games atau sebagai the player of the games; (3) aturan main yang telah mengalami keseimbangan (equilibrium rules of the games).

Perkembangan kelembagaan menuju organisasi menyebabkan organisasi menjadi alat sosial yang ampuh dan dapat diandalkan untuk menggabungkan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Kelembagaan dalam bentuk organisasi tersebut menuntut adanya efektivitas dan efisiensi yang dapat mengkoordinir berbagai kegiatan yang kompleks secara terintegrasi.

Pengelolaan sumber daya air yang komplek dan menyangkut kepentingan banyak sektor memerlukan dukungan sistem kelembagaan yang kuat dan terstruktur. Ditinjau dari fungsinya, sistem kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya air secara garis besar dapat dipilah secara sederhana atas lima unsur yaitu:

a. Regulator atau pemerintah, yaitu institusi pengambil keputusan yang dalam hal ini adalah para pejabat yang berwenang menetapkan kebijakan (misalnya Gubernur, Bupati/Walikota dan Kepala Dinas terkait yang menjadi subordinatnya);

b. Operator, yaitu institusi yang sehari-hari berfungsi untuk melaksanakan pengelolaan air, sumber air dan prasarana yang ada dalam suatu Wilayah Sungai (misalnya Balai Besar Wilayah Sungai, Balai Pengelolaan Sumber

daya air, Perum Jasa Tirta II ataupun Balai Pengelola DAS). Institusi ini dibentuk oleh regulator dengan tugas utama menjalankan keputusan regulator dalam pelayanan sumber daya air kepada masyarakat;

c. Developer, yaitu institusi yang berfungsi melaksanakan pembangunan prasarana dan sarana pengairan baik dari unsur pemerintah (misalnya Badan Pelaksana Proyek, BUMN atau BUMD) maupun lembaga non pemerintah (investor). Perannya terutama ketika terjadi ketidak seimbangan antara permintaan dengan kemampuan menyediakan air, sehingga perlu pembangunan prasarana misalnya bendungan, pengendali banjir atau jaringan irigasi;

d. User atau penerima manfaat, yaitu mencakup seluruh unsur masyarakat baik perorangan maupun kelompok yang mendapat manfaat langsung maupun tak langsung dari jasa pengelolaan sumber daya air;

e. Wadah koordinasi, yaitu wadah koordinasi yang berfungsi untuk menerima, menyerap dan menyalurkan aspirasi dan keluhan semua unsur stakeholders. Wadah ini bersifat perwakilan yang bertugas menyampaikan masukan kepada regulator sekaligus menyiapkan resolusi dan rekomendasi penyelesaian masalah-masalah sumber daya air. Keanggotaan badan ini tediri atas unsur pemerintah dan non pemerintah dalam jumlah yang seimbang atas dasar keterwakilan.

Sebagaimana diatur dalam pasal 86 ayat 4 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, sebagai wadah koordinasi tersebut dibentuk Dewan Sumber daya Air yang mengintegrasikan kepentingan berbagai sektor, wilayah serta para pemangku kepentingan dalam pengelolaan sumber daya air melalui proses koordinasi. Secara berjenjang Dewan SDA dibentuk pada tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan bilamana diperlukan pada tingkat wilayah sungai.

Tugas Dewan SDA adalah: (a) menyusun dan merumuskan kebijakan serta strategi pengelolaan sumber daya air; (b) memberikan pertimbangan untuk penetapan wilayah sungai dan cekungan air tanah; (c) menyusun dan merumuskan kebijakan pengelolaan sistem informasi hidrologi, hidrometeorologi dan hidrogeologi; (d) Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan tindak lanjut

penetapan wilayah sungai dan cekungan air tanah serta pengusulan perubahan penetapan wilayah sungai dan cekungan air tanah.

Dewan Sumber daya Air menyelenggarakan fungsi koordinasi melalui: (a) Konsultasi dengan pihak terkait guna keterpaduan dan pengintegrasian kebijakan serta tercapainya kesepahaman antar sektor, antar wilayah dan antar pemilik kepentingan; (b) Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan; (c) Konsultasi dengan pihak terkait guna pemberian pertimbangan untuk penetapan wilayah sungai dan cekungan air tanah; (d) Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan tindak lanjut penetapan wilayah sungai dan cekungan air tanah; (e) Konsultasi dengan pihak terkait guna keterpaduan kebijakan sistem informasi hidrologi, hidrometeorologi dan hidrogeologi; (f) Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan sistem informasi hidrologi, hidrometeorologi dan hidrogeologi.

Menurut Gany (2005) setelah lolosnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang sumber daya air dari uji formil dan materiil Mahkamah Agung, perlu segera diikuti dengan komitmen yaitu membentuk dan memfungsikan Dewan Sumber Daya Air Nasional, wilayah sungai, propinsi dan kabupaten/kota untuk memfasilitasi dialog konstruktif antara semua pihak terkait dalam pengelolaan sumber daya air secara berkelanjutan melalui prinsip kemitraan yang sejajar.

Gany (2005) menyatakan bahwa perlunya penerapan pendekatan kemitraan terpadu hulu, tengah dan hilir yang konsisten, pendataan terpadu dan transparan dengan melibatkan stakeholders dalam pengelolaan sumber daya air terpadu dan berkelanjutan. Hal ini dilakukan melalui pengembangan sumber daya manusia, kelembagaan, ilmu pengetahuan dan teknologi yang ramah lingkungan, pendanaan yang memadai dan penegakan hukum yang konsisten.

Biaya pengelolaan sumber daya air telah ditetapkan berdasarkan kebutuhan nyata pengelolaan sumber daya air. Kebutuhan nyata adalah dana yang dibutuhkan semata-mata untuk membiayai pengelolaan sumber daya air untuk menjamin keberlanjutan fungsi sumber daya air. Biaya dimaksud mencakup tiga aspek pengelolaan sumber daya air, yaitu konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air. Menurut pasal 77 ayat 2 Undang-undang Nomor 7 tahun 2004 jenis pembiayaan pengelolaan sumber daya air meliputi:

a. Biaya sistem informasi; b. Biaya perencanaan;

c. Biaya pelaksanaan konstruksi termasuk di dalamnya biaya konservasi sumber daya air;

d. Biaya operasi dan pemeliharaan (OP); dan

e. Biaya pemantauan, evaluasi dan pemberdayaan masyarakat.

Sumber dana untuk setiap jenis biaya dapat berasal dari: (a) Anggaran pemerintah; (b) Anggaran swasta; dan atau (c) Hasil penerimaan biaya jasa pengelolaan sumber daya air.