• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Proksimat dan Fisik Produk Mi Hotong Instan Terbaik

B. PROSES PEMBUATAN MI HOTONG INSTAN

5. Analisis Proksimat dan Fisik Produk Mi Hotong Instan Terbaik

Analisis proksimat ini dilakukan terhadap mi hotong mentah yang terpilih. Analisis proksimat meliputi analisis kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat. Penentuan kadar karbohidrat dilakukan secara by difference. Hasil analisis proksimat mi hotong instan terpilih disajikan pada Tabel 15.

Tabel 15. Hasil analisis proksimat mi hotong instan substitusi terigu 40% dan mi hotong instan tanpa substitusi

Komponen Jenis Mi instan *)Hotong tanpa substitusi (% bb) *)Hotong tanpa substitusi (% bk) Hotong substitusi terigu 40% (% bb) Hotong ubstitusi terigu 40% (% bk) Air 2.33 - 6.04 - Abu 1.86 1.91 2.26 2.42 Protein 9.83 10.06 11.39 12.12 Lemak 14.66 15.01 20.53 21.96 Karbohidrat 71.33 73.03 59.79 63.50 Sumber: *) Wibowo (2008)

Kadar air yang terdapat dalam suatu produk pangan berpengaruh terhadap kerusakan produk pangan secara mikrobiologis, kimiawi, dan enzimatis. Kadar air yang rendah menjadikan produk pangan lebih tahan lama dari terjadinya kerusakan baik secara mikrobiologis, enzimatis, maupun kimiawi. Berdasarkan Tabel 15 mi hotong instan terpilih memiliki kadar air yang rendah (6.04%), sehingga dimungkinkan memiliki umur simpan yang lama. Nilai ini lebih tinggi daripada mi hotong instan tanpa substitusi (2.33%), namun masih memenuhi syarat SNI mi instan terigu sebesar maksimal 8% (Lampiran 1). Hal ini disebabkan adanya perbedaan formula penambahan air dari dua macam mi instan tersebut. Formula mi hotong instan (tanpa substitusi) menggunakan penambahan air sebesar 30%, sedangkan formula mi hotong instan menggunakan penambahan air sebanyak 50%. Kadar air mi instan umumnya mencapai 5-8%, sehingga memiliki daya simpan yang lama (Astawan, 1999).

Abu merupakan residu anorganik yang terdiri dari bermacam- macam mineral. Kadar abu menunjukkan jumlah kandungan mineral yang terdapat dalam suatu bahan pangan (Faridah et al., 2008). Kadar abu produk terbaik yaitu 2.42% bk lebih besar daripada kadar abu mi

hotong instan tanpa substitusi (1.86% bk). Walaupun dalam pembuatan mi hotong instan substitusi terigu 40% ditambahkan baking powder

(mengandung Na2CO3 dan K2CO3) dan garam (NaCl), kadar abu mi

hotong instan ini tidak memiliki perbedaan yang nyata dengan kadar abu bahan baku tepung hotong yang dipakai yaitu sebesar 2.67% bk (Tabel 9). Hal ini disebabkan penambahan baking powder hanya sebesar 0.3% dari campuran tepung, dan adanya bahan pensubtitusi yang ditambahkan (terigu).

Kadar protein mi hotong instan dipengaruhi oleh bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan mi. Berdasarkan hasil analisis protein dengan metode mikro-Kjeldahl, kadar protein mi hotong instan substitusi terigu 40% sebesar 12.12% bk. Nilai ini lebih besar daripada nilai kadar protein mi hotong instan tanpa substitusi (11.06% bk) dan masih memenuhi kriteria kadar protein SNI mi instan terigu yaitu minimal 8% bb (Lampiran 1). Hal ini disebabkan bahan substitusi terigu juga mengandung protein + 11.49 % (Wibowo, 2008).

Kadar lemak mi hotong instan substitusi terigu sebesar 21.96% bk, sedangkan kadar lemak mi hotong instan tanpa substitusi lebih rendah yaitu 15.01% bk. Kadar lemak mi hotong instan substitusi terigu 40% lebih tinggi karena mi dengan substitusi terigu mamiliki sifat porositas yang tinggi sehingga daya serap terhadap minyak saat penggorengan tinggi. Selain itu, waktu penggorengan yang lebih lama (2 menit) menyebabkan penyerapan minyak ke dalam mi semakin banyak. Selama penggorengan, mi instan menyerap minyak hingga 20% sehingga memiliki cita rasa yang lezat (Astawan, 1999).

Kadar karbohidrat dalam analisis dilakukan secara by difference.

Kadar karbohidrat mi hotong instan substitusi terigu lebih rendah (63.50% bk) daripada mi hotong instan tanpa substitusi (73.03% bk). Hal ini disebabkan perubahan komponen yang lain seperti kadar protein, kadar lemak, dan kadar abu.

b. Analisis Warna

Analisis warna dilakukan terhadap mi hotong instan yang terpilih sebelum direhidrasi menggunakan alat Minolta Chroma Meters CR- 310. Prinsip dari Minolta Chroma Meters adalah pengukuran perbedaan warna melalui pemantulan cahaya oleh permukaan sampel. Data pengukuran yang diperoleh dapat berupa nilai absolut maupun nilai selisih dengan warna standar (Dharmawan, 2009).

Berdasarkan hasil pengukuran dengan chromameter diperoleh data nilai L sebesar 52.36, nilai a sebesar +5.67 dan nilai b sebesar +24.77. Nilai L menunjukkan kecerahan sampel, nilai a menunjukkan derajat merah atau hijau sampel, sedangkan niilai b menunjukkan derajat kuning atau biru. Semakin tinggi nilai L, maka warna semakin cerah. Nilai ⁰hue menggambarkan kisaran warna kromatis yang disajikan pada Tabel 16.

Tabel 16. Nilai ⁰hue dan daerah kisaran warna kromatis Nilai ⁰hue Daerah kisaran

warna 342⁰-18⁰ Ungu-Merah 18⁰-54⁰ Merah 54⁰-90⁰ Merah-Kuning 90⁰-126⁰ Kuning 126⁰-162⁰ Kuning-Hijau 162⁰-198⁰ Hijau 198⁰-234⁰ Hijau-Biru 234⁰-270⁰ Biru 270⁰-306⁰ Biru-Ungu 306⁰-342⁰ Ungu

Warna mi hotong instan substitusi terigu memiliki nilai a positif dan nilai b juga positif. Berdasarkan perhitungan, nilai ⁰hue mi hotong instan adalah 77.11. Dari Tabel 16, nilai 77.11 berada pada kisaran

⁰hue 54-90, maka dapat disimpulkan bahwa warna mi hotong instan berwarna campuran merah dan kuning.

c. Analisis Kekerasan, Kelengketan, dan Kekenyalan

Kekerasan, kelengketan, dan kekenyalan mi diukur setelah mi mengalami pemasakan (rehidrasi) dari produk terbaik. Kekerasan dan kelengketan, dan kekenyalan mi diukur secara instrumental menggunakan alat texture analyzer TAXT-2. Hasil pengukuran diperoleh data seperti disajikan pada Tabel 17.

Tabel 17. Perbandingan nilai kekerasan dan kelengketan antara mi hotong instan tanpa substitusi dengan mi hotong instan substitusi terigu 40%

Produk Kekerasan

(gram force)

Kelengketan (gram force) Mi hotong instan tanpa

substitusi *) 1641.33 473.43 Mi hotong instan substitusi terigu 40% 1893.10 557.35 Sumber :*) Wibowo (2008)

Kekerasan didefinisikan sebagai absolute (+) peak yaitu gaya maksimal, yang menggambarkan gaya probe untuk menekan mi. Semakin tinggi peak (puncak kurva) yang ditunjukkan oleh kurva, berarti kekerasan mi akan semakin meningkat. Kekerasan (hardness) pada mi dapat diakibatkan karena proses retrogradasi pati. Retrogradasi merupakan proses terbentuknya ikatan antara amilosa- amilosa yang telah terdispersi ke dalam air. Semakin banyak amilosa yang terdispersi, maka proses retrogradasi pati semakin mungkin terjadi. Penggunaan bahan tambahan seperti CMC atau guar gum diharapkan dapat menyebabkan turunnya amilosa terlarut sehingga fraksi amilosa yang mengalami retrogradasi juga lebih sedikit. Hal ini menyebabkan tekstur mi menjadi lebih lunak (Kurniawati, 2006).

Mi hotong instan dengan substitusi terigu 40% memiliki nilai kekerasan yang lebih besar (1893.10 gf) daripada mi hotong instan tanpa substitusi (1641.33 gf). Hal ini disebabkan dalam proses pembutan mi hotong instan tanpa substitusi, dilakukan proses pre- gelatinisasi dengan pengukusan sehingga pati dari tepung hotong yang

tergelatinisasi menyebabakan mi hotong instan tanpa substitusi menjadi lebih lunak. Lain halnya dengan mi hotong instan substitusi terigu 40%, tidak dilakukan proses pre-gelatinisasi sehingga mi menjadi lebih keras.

Kelengketan (gummines/stickiness/adhesiveness) didefinisikan sebagai absolute (-) peak yang menggambarkan besarnya usaha untuk menarik probe lepas dari sampel. Menurut Merdiyanti (2008), kelengketan merupakan daya rekat yang dibutuhkan untuk menarik bahan pangan dan memisahkannya dari lempeng kompresi. Semakin besar luas area negatif yang ditunjukkan oleh kurva, maka nilai kelengketan mi semakin tinggi. Menurut Wibowo (2008), kekerasan dan kelengketan mi salah satunya dipengaruhi oleh kadar amilosa dan amilopektin.

Mi hotong instan substitusi terigu 40% memiliki nilai kelengketan yang lebih besar (557.35 gf) daripada mi hotong instan tanpa substitusi (473.43 gf). Hal ini disebabkan bahan substitusi terigu mengandung protein yang mampu membentuk gluten sehingga menyebabkan tekstur mi menjadi lebih lengket dan adanya amilosa yang terlarut dari tepung hotong. Matriks protein yang terurai dan mengembang berlebihan menyebabkan kelengketan (Merdiyanti, 2008). Berbeda dengan mi hotong instan tanpa substitusi, yang hanya memiliki bahan pengikat berupa pati tergelatinisasi sehingga teksturnya menjadi lebih tidak lengket. Penyebab kelengketan mi hotong instan tanpa substitusi hanya berasal dari amilosa terlarut yang terlepas dari granula pati tepung hotong. Menurut Eliasson dan Gudmundsson (1996) dan Merdiyanti (2008), amilosa yang terlepas dari granula pati dapat menyebabkan kelengketan.

Kekenyalan (cohesiveness) merupakan kemampuan suatu bahan untuk kembali ke bentuk semula jika diberi gaya kemudian gaya tersebut dilepas kembali. Pada produk mi, kekenyalan beserta kekerasan dan kelengketan merupakan salah satu parameter mutu organoleptik yang sangat penting (Putra, 2008). Satuan yang

digunakan untuk menyatakan kekenyalan adalah gram second (gs). Seperti halnya kekerasan dan kelengketan, kekenyalan juga diukur menggunakan alat texture analyzer TAXT-2. Kekenyalan diperoleh dari rasio antar dua area kompresi. Alat ini mengukur besarnya gaya yang diperlukan sampai bahan padat (mi) mengalami perubahan bentuk (deformasi). Nilai kekenyalan mi hotong instan substitusi terigu adalah sebesar 0.285 gs.

d. Daya Serap Air (DSA) dan Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP)

Pada saat mi mengalami proses pemasakan terjadi penyerapan air ke dalam mi instan. Air memasuki rongga-rongga dalam mi dan menggantikan minyak serta udara. Kemampuan mi untuk menyerap air secara maksimal disebut daya serap air (DSA). Nilai DSA dihitung dari banyaknya air yang diserap per berat kering sampel dalam satuan persen (%). DSA secara umum menggambarkan perubahan bentuk mi selama pemasakan. Semakin tinggi nilai DSA, maka akan semakin banyak air yang mampu diserap oleh mi dan semakin mengembang.

Selama pemasakan mi, juga terjadi kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP). KPAP (cooking loss) menunjukkan banyaknya padatan dalam mi yang keluar dari mi selama proses pemasakan. Hal ini terjadi karena lepasnya sebagian kecil pati dari untaian mi. Pati yang terlepas tersuspensi dalam air perebusan dan menyebabkan kekeruhan. Fraksi pati yang keluar dari mi selain menyebabkan kuah mi menjadi keruh, juga menjadikan kuah mi menjadi kental. Cooking loss merupakan salah satu parameter mi yang penting karena berkaitan dengan kualitas mi setelah dimasak (Putra, 2008). Nilai DSA dan KPAP mi instan hotong disajikan pada Tabel 18.

Tabel 18. Perbandingan nilai DSA dan KPAP antara mi hotong instan tanpa substitusi, mi hotong instan substitusi terigu 40%, dan mi instan terigu

Produk DSA (%) KPAP (%)

Mi hotong instan tanpa substitusi *) 160.02 19.38 Mi hotong instan substitusi terigu 40% 157.60 10.26 Mi instan terigu **) 138.60 10.14 Sumber: *) Wibowo (2008) **) Indriani (2005)

Berdasarkan Tabel 18, nilai DSA mi hotong instan substitusi terigu lebih rendah daripada mi hotong instan tanpa substitusi, namun masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan mi instan terigu. Hal ini disebabkan oleh perbedaan waktu rehidrasi antara ketiga jenis mi tersebut. Mi hotong instan tanpa substitusi, mi hotong instan substitusi terigu, dan mi instan terigu memiliki waktu rehidrasi secara berturt- turut adalah 6.5 menit, 6 menit, dan 4 menit. Ini menunjukkan semakin lama waktu rehidrasi maka semakin banyak air yang terserap masuk ke dalam mi.

Nilai KPAP mi hotong instan substitusi terigu juga berada di antara nilai KPAP mi hotong instan tanpa substitusi dan mi instan terigu (Tabel 18). Hal ini dimungkinkan karena perbedaan bahan baku. Bahan dasar mi berupa terigu memiliki kandungan gluten yang mampu merekatkan tekstur mi sehingga tidak mudah terlepas ketika dilakukan pemasakan (rehidrasi). Sedangkan mi hotong instan hanya memiliki bahan pengikat berupa pati tergelatinisasi yang mudah terlepas ke dalam air perebusan ketika dilakukan rehidrasi, sehingga padatan yang terlarut semakin banyak.

e. Waktu Pemasakan

Waktu optimum pemasakan merupakan waktu yang dibutuhkan mi untuk kembali menyerap air sehingga teksturnya menjadi kenyal dan elastis. Penentuan waktu optimum pemasakan dilakukan dengan

memasak mi dalam air mendidih, dan menghitung waktu sampai mi benar-benar matang dan siap untuk dikonsumsi. Penentuan waktu optimum pemasakan penting dilakukan untuk menghindari mi mengalami overcooked maupaun undercooked. Pada saat overcooked, mi menjadi terlewat matang sehingga teksturnya menjadi lengket bahkan hancur, sedangkan jika undercooked mi masih keras saat dimakan. Hasil pengujian terhadap panelis menunjukkan produk mi hotong instan substitusi terigu 40% memiliki waktu optimum pemasakan antara 4.5 sampai 6.5 menit.

Dokumen terkait